Senin, 19 Juli 2021

Global-Lokal Kebudayaan Indonesia

Asarpin *
lampungpost.com
 
Munculnya serentetan diskusi dan perdebatan tentang globalitas dan lokalitas belakangan ini bisa dianggap sebagai gejala lanjutan-kalau bukan fenomen yang sama- dari perdebatan lama tentang timur dan barat yang sering dipenting-pentingkan itu. Tak terhitung banyaknya kegiatan ilmiah yang telah diadakan untuk membicarakan kedua tema ini.
 
Ratusan buku dan ribuan makalah telah dihasilkan.
Yang unik dari serentetan kegiatan ilmiah tentang global-lokal di Indonesia yang pernah saya ikuti atau minimal saya baca dari sejumlah bahan tertulis, ada kekhawatiran berlebihan terhadap munculnya semangat primordialisme-etnonasionalisme.
 
Gejala ini saya kira tak hanya terjadi di Indonesia. Berdasar pengamatan Rita Abrahamsen (2004), kebangkitan budaya lokal di sejumlah negara Asia-Afrika-dan Amerika Latin disebabkan oleh kampanye global itu sendiri.
 
Lokalitas ditempatkan sebagai isu strategis dalam kampanye dan agenda penting globalisasi. Yang lokal tidak terbunuh atau dibunuh, malah sengaja dibiarkan, dimanfaatkan, dipandang, disibak, diamati, tetapi potensi-potensi yang bakal menimbulkan resistensi perlahan dijinakkan lewat kemitraan swasta, good governance, otonomi daerah, dan sebagainya.
 
Piet Soeprijadi, mantan konsultan good governance untuk Indonesia, pernah bilang: good governance di Indonesia tidak diterapkan secara bulat seperti yang dijarkan dari Barat sehingga di Indonesia terdapat unsur lokalnya. Strategi pembangunan global menurut mereka seharusnya tidak menghambat budaya setempat, tapi justru menggali nilai-nilai lokal yang akan menopang keberlangsungan agenda tersebut. Bagi pradigma baru ini, perubahan tidak dapat dipaksakan dari luar -negara dalam hal ini termasuk berada di luar-melalui agensi pembangunan semata. Namun akan lebih efektif hanya jika konsepnya berakar kuat pada persoalan local genious.
 
Sepintas, saran-saran tersebut sangat menggoda dan menjanjikan perubahan yang lebih baik. Hasrat untuk membangun masyarakat dunia ketiga dengan memasukkan nilai-nilai lokal dan pribumi dalam semua wilayah (ekosob maupun sipol) akan diabsahkan oleh tidak hanya gerakan sayap “politik kanan”, bahkan oleh sayap “politik kiri” di masa sekarang ini.
 
Bahasa dan diksi yang mereka pilih memang bertujuan untuk memikat. Imaji bahasanya sangat kuat dan menyentuh, dan klaimnya untuk pemberdayaan masyarakat lokal, nilai-nilai lokal, kearifan lokal, tradisi setempat, telah meluncurkan energi, tetapi faktanya ia tak lebih dari khayalan kosong. Analisisnya mengenai agenda untuk “kembali kepada nilai lokal” terkesan melingkar-lingkar dan selalu kembali ke satu faktor tunggal, yakni neoliberalisasi ekonomi-politik.
 
Penggunaan istilah lokal dan pribumi dalam kertas putih good governance bisa dilihat sebagai ilustrasi “bujuk rayu pembangunan”. Pada saat sekarang ini, apa yang dinamakan tata kelola yang baik itu tak lebih dari mitos dan siasat global yang menggunakan baju lokal. Pengulangan terus-menerus mengenai kekhasan nilai-nilai lokal dan penghormatan pada tradisi dan kebudayan pribumi, telah merekomendasikan agenda ini sekadar locus classicus.
 
Lantas, bagaimana situasi kebudayaan Indonesia sendiri? Dinas Pariwisata ternyata punya andil besar mempolitisasi kebudayaan-kebudayaan lokal hingga sebagian budaya lokal dikenal luas, diminati, tapi sekaligus kehilangan basis perlawanannya ketika berhadapan dengan kuasa-global. Ketika sastra daerah telah jatuh dalam genggaman kusa-modal, sebagaimana lewat program-program pariwisata, sastra daerah tampak menjadi kerdil dan tak jarang jadi alat mengukuhkan identitas primordial yang sempit demi melanggengkan jabatan. Jika ini yang terjadi, pantaslah bila sebagian kalangan seniman dan budayawan mengambil jarak bahkan menjadi berhadap-hadapan dengan lembaga ini.
 
Sementara itu, Pusat Bahasa dan kantor bahasa propinsi mirip polisi linguistik yang menggunakan pendekatan senyum yang khas terhadap berbagai bahasa daerah. Ada kalangan yang terang-terangan menyalahkan lembaga ini sebagai biang kerok bagi pertumbuhan bahasa daerah, tapi ada yang membelanya dengan melempar kesalahan pada masyarakat pemakai bahasa daerah sendiri yang pantas disalahkan.
 
Jauh sebelum 1998, ajakan untuk kembali menggali semangat lokalitas sudah sering terdengar, terutama di kalangan pemerintah, LSM, dan perguruan tinggi. Sementara di kalangan penggiat sastra hal ini nyaris mengalami titik jenuh karena isu macam ini telah nyaring terdengar sejak Polemik Kebudayaan 1930-an, munculnya ajakan agar sastrawan kembali ke desa tahun 1950-an, sampai perdebatan sastra kontekstual 1980-an dan lahirnya serentan diskusi seputar posmodernisme di awal 1990-an.
 
Tapi sejak 1998, semua kalangan seperti serentak terpanggil lagi untuk menyuarakan dan menggali kearifan lokal dengan berbagai macam istilah dan pendekatan. Kalau suatu organisasi atau ada yang mau mendirikan sebuah lembaga tapi tidak memasukkan kata “kearifan lokal” sebagai salah satu agenda kerjanya, atau metode pendekatan yang digunakan, rasanya kurang keren dan bakal kena gugat. Apa yang lokal dianggap selalu arif, dan karena itu dianggap pula alternatif.
 
Di beberapa tempat muncul keinginan melakukan standardisasi- sekarang ada istilah konservasi yang sebetulnya istilah lama tapi ngetop kembali sejak didengungkannya isu pemanasan global. Bahasa daerah mesti distandarkan, dikonservasi. Padahal yang namanya budaya lokal tidak cuma itu, lagi pula hal itu tidak cocok distandarkan, sebab standardisasi tak jarang membawa efek penyeragaman. Apa-apa yang beda dan karena itu kreatif akan terancam jika distandarkan.
 
Di beberapa daerah di Indonesia terjadi proses penguatan identitas lokal seiring dengan proses pembusukan modernitas dan kekhawatiran berlebihan terhadap dampak globalisasi ekonomi. Sebagian pemerhati budaya mengkhawatirkan jika globalisasi akan menggerus budaya lokal, tapi sebagian lain justru berkata tidak.
 
Anthony Giddens termasuk salah seorang pemikir yang tidak sependapat dengan anggapan tentang hancurnya budaya lokal sebagai akibat dari globalisasi. Menurut Giddens, di mana-mana sekarang kebudayaan lokal dihidupkan lagi justru ketika sebagian besar negara sedang memasuki arus globalisasi.
 
Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana sikap dan respon kaum cendekiawan terhadap soal global-lokal yang marak tersebut? Pernyataan Henri Chambert-Loir berikut mungkin menarik jadi bahan diskusi, kalau bukan sebuah gambaran dari sebuah jawaban kecil yang minta perhatian.
 
Loir bilang: Sudah barang tentu kiranya orang Nusantara kini perlu sekali mengenal berbagai tradisi, kalau ingin mengenal masa lalu mereka; perlu pula mereka mencari inspirasi di situ kalau ingin membentuk suatu daya ketahanan budaya untuk membendung arus globalisasi. Namun, sebenarnya minat terhadap tradisi-tradisi sangat tipis, kalau pun ada, disebabkan aneka ragam alasan, di antaranya hasrat kaum cendekiawan yang sudah seabad tak kunjung padam untuk berkiblat ke Barat sebagai simbol dan sumber modernitas.
 
Untuk menemukan satu lagi kemungkinan jawaban sementara, saya harus meminjam sejumlah gagasan Frantz Fanon dan George Junus Aditjondro lewat “tiga fase respons cendekiawan bangsa terjajah (atau bangsa yang pernah terjajah)” terhadap “politik kebudayaan” global dan nasional. Fase pertama, para cendekiawan menerima faham bahwa mereka tidak punya kebudayaan, atau bahwa kebudayaan mereka sama sekali tidak punya arti dibandingkan kebudayaan si Tuan Penjajah. Dilandasi sikap ini mereka berusaha mengambil alih kebudayaan bangsa penjajah secara total, asimilasi total (baca: asimilasi tak bersyarat).
 
Fase kedua, ada cendekiawan lokal yang mulai merasa terganggu atas nihilisasi kebudayaan (asli) mereka. Lantas mereka bereaksi secara bertolak-belakang dari fase pertama. Mereka berusaha menghargai kebudayaan mereka yang asli. Namun, karena mereka sudah lama tercerabut dari mahia mereka sendiri, mereka sudah tak bisa lagi menghayati kebudayaan mereka dari sudut nilai intrinsik kebudayaan itu.
 
Maka pilihannya mau tak mau adalah menggali sisa-sisa kebudayaan lama untuk diselamatkan dengan menggunakan barometer yang dipinjam tanpa disadari dari kebudayaan dominan. Sikap ini dengan dikritik Fanon melalui sindiran yang halus: tadinya kita berusaha meludahkan diri kita ke langit, tapi sekarang kita terpercik oleh air liur kita sendiri yang sedang jatuh kembali ke bumi.
 
Fase ketiga, fase perjuangan. Yaitu kaum cendekiawan berusaha menciptakan suatu kebudayaan tandingan, kebudayaan perlawanan.

*) Sastrawan Lampung. http://sastra-indonesia.com/2010/10/global-lokal-kebudayaan-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar