Slamet Sukirnanto, Ia dikenal bersih, tegas, dan tak berharap pamrih
Sihar Ramses Simatupang
sinarharapan.co, 02 Sep 2014
Kepak merpati terbang di jaring mentari/Putih-putih
bagai berlayar mega megah abadi/
Kepak gagak terbang di jaring mentari/ Hitam-hitam
bagai awan memendam duka yang dalam/
Sungguh, dik, hidup mesti begini/Tentang kasih, maut
menagih/Memendam, di dasar hati, antara kau dan aku.
Kepergian seorang sastrawan yang berperan penting dalam sejarah Indonesia, Slamet Sukirnanto yang dimakamkan di Pekayon, Bekasi, Minggu (24/8), seketika mengurut kembali karya-karya puisinya. Salah satunya adalah syair yang berjudul “Kepadamu Kusampaikan” yang dibuat Slamet Sukirnanto pada 1967.
Banyak pelaku sastra, baik berusia tua maupun muda,
kembali mengingatnya. Ia kerap tampil sederhana. Sesederhana perjumpaan
dengannya dalam berbagai kegiatan seni dan sastra di Taman Ismail Marzuki,
Jakarta.
Ia memang sering tampil dengan gaya sederhana. Ia yang
selalu tampil rapi, berambut pendek, mengenakan kacamata, lebih suka mengenakan
kemeja ketimbang kaus oblong, sama sekali tak mengesankan sosok yang “tak
hanya” pernah mengisi kebudayaan Indonesia, tetapi juga sejarah kebangsaan dan
politik Indonesia di masa silam.
Seperti yang dikatakan Eka Budianta kepada SH lewat surat
elektroniknya, Jumat (29/8), “Slamet Sukirnanto tidak pernah jaga gengsi,
apalagi jaga jarak dengan generasi muda maupun penyair marginal. Saya senang
bersamanya membantu beragam acara Komunitas Sastra Indonesia, di Tangerang.”
Menurut Eka, karya Slamet Sukirnanto berada di tengah
protes blak-blakan seperti disuarakan Taufik Ismail dan sajak-sajak liris
Sapardi Djoko Damono. Slamet menulis dan menerbitkan “Bunga di Atas Batu”.
Simbolik, tapi masih terang mengacu pada situasi nyata yang dihadapi publik.
Dengan demikian, kendati ada terasa bentuk liris dan
kontemplatif pada puisinya, Slamet tetap tak menihilkan kondisi sosial-politik
yang terjadi di luar dirinya. Hal ini bisa jadi dipengaruhi jejak
perjalanannya.
Putra dari pelukis R Goenadi yang adalah mahasiswa
jurusan Sejarah Asia Tenggara Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini pernah
aktif menentang Orde Lama, antara lain lewat kumpulan sajaknya dalam bentuk
stensilan yang berjudul “Jaket Kuning” (1967).
Ia pun pernah menjadi anggota DPRGR dan MPRS sebagai
wakil mahasiswa pada 1967-1971. Fenomena ini dilihat Eka Budianta sebagai peran
pentingnya dalam perpuisian Indonesia “mengesahkan sastra di kancah politik. Ia
terpilih menjadi anggota MPR(S) karena artikulasinya sebagai penyair muda
sekaligus mahasiswa pejuang”.
“Kenyataannya, itu sangat berguna sebagai legitimasi
untuk sajak-sajak lain, sebagai alat perjuangan bagi angkatan 1966. Sejak saat
itu, puisi selalu dipakai untuk berdemo, unjuk-rasa, pidato politik. Bersama
Slamet ada Taufiq Ismail, Mansur Samin, dan Goenawan Mohamad, tampil membawa
angin baru, zaman baru. Sebelumnya, politik bisa masuk sastra tapi tidak
sebaliknya,” tutur Eka.
Sayangnya, menurut Eka, hal itu hanya terjadi sesaat.
Setelah itu mantan Presiden Soeharto kurang memanfaatkan sastra untuk mengisi
program pembangunan yang dipujanya.
Buku dan Keluarga
Bagi Fajar Sidiq, putranya, pribadi Slamet Sukirnanto
sebagai seorang bapak dikenal sebagai orang yang menyenangkan tapi juga tertib
dalam kehidupannya. Para penyair kerap mampir ke rumahnya, sebutlah penyair
Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, hingga mendiang Rendra. Mereka sering
mampir ke rumah Slamet sehingga anak-anak penyair yang beristrikan Bulkis
Sukirnanto ini terbiasa dengan dunia kesenian.
Namun, yang unik, ayahnya itu melarang anak-anaknya
menjadi seniman. Slamet bilang tak ingin ada dua seniman di rumah ini. Namun,
kenyataannya, Fajar yang diterima di Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
justru memilih kuliah di Komunikasi Massa di Universitas Sebelas Maret dan
Institut Seni Indonesia Jurusan Seni Rupa di Surakarta.
“Ayah saya akhirnya menyerah. Akhirnya, mau tak mau dia
menerima penampilan baru rambut gondrong saya yang kelihatan nyeniman waktu
itu,” ujar putra keenam Slamet ini, Jumat (29/8), mengenang mendiang ayahnya.
Kecintaannya pada dunia pendidikan dan keilmuan ternyata
dibawanya ke dunia keluarga. Buku-buku di dalam rak rumah berisikan banyak
bidang keilmuan dari filsafat, buku sastra, hingga biografi. Buku-buku itu pun
disosialisasikan kepada enam anaknya.
Hal itu diakui Fajar Sidiq, putera keenam penyair Slamet
Sukirnanto. “Ketika itu, bapak menjejali kami buku-buku biografi. Mulanya kami
tak mengerti kenapa itu penting, ternyata biografi akan berefek kita mencintai
dan bangga kepada tokoh masa lalu. Termasuk keberhasilan mereka, para penemu,
tokoh budaya dan teknologi,” tutur.
“Bapak tak pernah memaksa, tapi dia menjadikan rumahnya
sebagai jendela dunia. Dia menggiring anaknya ke toko buku baru hingga loakan.
Saya terbiasa ke Jalan Kramat (lapak buku bekas-red) untuk menemani ayah saya,”
katanya.
Slamet Sukirnanto, sebagaimana sastrawan lain yang telah
berpulang, baik dari kalangan mana pun, mulai LKN, Lesbumi, Manifestasi
Kebudayaan hingga Lekra, adalah zamrud panjang sejarah sastra Indonesia yang
tak bisa lekang dari catatan kebangsaan kita. Ia adalah penggerak kesusasteraan,
kesenian sekaligus kebudayaan Indonesia. Untuk itu, perlu lagi disitir pendapat
Eka, setelah kematian sosok penyair yang satu ini.
“Untuk generasi sekarang, sebaiknya tidak melupakan
Slamet Sukirnanto. Orangnya bersih, tegas, dan tak banyak pamrih. Ia adalah
contoh pekerja seni yang sederhana, jujur, dan teliti. Semoga di antara anak
muda ada yang siap meneliti karya-karyanya untuk dijadikan skripsi, tesis,
bahkan disertasi,” ujarnya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar