Tri Tunggal Dalam Seni Pertunjukan Reyog Ponorogo
Sudirman *
_Majalah Dinamika
Cerita Terjadinya Reyog Ponorogo (Versi Ki Ageng Kutu)
Jika sedang berlangsung pertunjukan Reyog Ponorogo pada jaman dulu, waktu penulis masih kecil (tahun 1970–1980); banyak terjumpai sosok dewasa yang gagah dan kekar dengan baju hitam penadhon. Celana kombor hitam dingkikan sebatas bawah lutut, memakai sabuk othok terbuat dari bahan kulit dan ikat kepala (udheng), ditambah mothik yang diselipkan di pinggang sebagai identitas Warok yang menambah wibawa penampilannya.
Mereka menggandeng seorang bocah laki-laki belasan tahun yang berparas tampan, berbaju warna menyolok, potongan rambut rapi, berkaca mata hitam atau biru laut, di saku bajunya terselip sapu tangan, dan ditangannya melingkar arloji krepyak, terkadang memakai topi moris. Jika tersenyum, maka terlihat platina kuning emas atau perak melekat di gigi taring kiri atas yang disebut gigik/tlasah/patik. Dialah sosok Gemblak yang selalu setia mendampingi para warok dalam setiap kesempatan.
Komunitas mereka banyak sekali, hampir seluruh desa dan dusun di perkampungan pendudu,k terdapat perkumpulan warok-warok yang “ngopeni” Gemblak. Apalagi dalam suatu acara hajatan seperti temanten, khitanan atau lainnya. Pemandangan tersebut menjadi “wajib” bagi komunitas keberadaan Warok.
Menurut pengamatan penulis secara mendalam dan berdasar penuturan para sesepuh yang tertemui (penulis pernah terlibat dalam komunitas reyog secara intens, sejak umur belasan tahun); asal muasal Reyog, Warok, dan Gemblak, berawal dari salah satu Punggawa dari Kerajaan Majapahit yang mengasingkan diri dan membuat suatu tempat yang diberi nama Kademangan Suru Kubeng, dengan gelar ki Demang Kutu atau Ki Suryo Alam. Dengan berdirinya Kademangan Suru Kubeng, lama-kelamaan banyak pengikut yang jadi murid Ki Ageng Kutu, untuk berlatih kanoragan.
Meski telah mengasingkan diri dari Kerajaan Majapahit, tapi Ki Surya Alam tetap ikuti perkembangan Kerajaan Majapahit. Dalam pengamatannya, Ki Demang Kutu tidak sependapat dengan yang dilakukan Raja, karena setiap tindakan dan keputusan besar diambil kerajaan, selalu dipengaruhi sang Permaisuri. Raja tidak memiliki pendirian tegas dalam ambil putusan, karena tergantung permaisuri; posisi Raja sangat lemah juga tak punya prinsip yang kuat, tidak mandiri.
Demikian juga yang terjadi pada barisan Prajurit Kerajaan Majapahit, bala tentaranya sangat lemah, tak memiliki keberanian berperang untuk menyerang, seperti masa dahulu. Ketangguhan prajurit tak serupa ketika Ki Surya Alam masih menjadi Tamtama di Majapahit, yang gagah berani, selalu siap bertempur di mana dan kapan saja dibutuhkan kerajaan.
Ki Demang Kutu sangat kecewa atas keadaan kerajaan yang demikian merosot, maka dia memprotes lewat membuat satire/sindiran terhadap raja dan prajurit Majapahit. Wujud dari ketidakpuasannya dituangkan dalam bentuk pertunjukan rakyat, dengan mencipta sebuah topeng kepala harimau sebagai simbul seorang raja, dan di atasnya diberi burung merak yang sedang membentangkan sayap-sayap indahnya sebagai simbul dari sang permaisuri raja. Bentuk permainan itu dinamakan Barongan, yang nantinya terkenal dengan sebutan Reyog. Yaitu lambang atau simbul bahwa Raja dapat disetir sang permaisuru dalam menjalankan tugasnya. Untuk menyindir Prajurit Majapahit, Ki Demang Surya Alam mencipta tarian yang dilakukan anak muda yang tampan dengan menunggang kuda perpakaian keprajuritan, tapi baju yang dikenakannya kebaya perempuan, dengan rambut panjang perempuan, dan dirias cantik seperti wanita, ditambah lagi gerak-gerik menarinya sangat feminine, lemah gemulai layaknya wanita sedang menari. Hal ini sangat ironis, dengan jiwa seorang prajurit yang seharusnya tegas, sigap penuh semangat.
Dalam pertunjukannya, permainan ini disebut Barongan dengan diringi penabuh beberapa bende, ketipung, kendang, dan bunyi-bunyian yang mengeluarkan suara gemuruh, jika dibunyikan akan mengundang orang-orang datang menyaksikan tontonan ini. Setiap mengadakan pertunjukan tontonan ini, akan banyak disaksikan masyarakat yang ingin melihat pertunjukan baru yang diciptakan Ki Demang Kutu. Merasa banyak yang menyaksikan simbul kritikannya pada Majapahit, maka timbul kekhawatiran dari Ki Demang. Maka dikumpulkan para pengikutnya untuk waspada berjaga-jaga, terhadap kemungkinan jika kerajaan Majapahit marah, dan akan menyerang kademangan Kutu.
Dalam mengantisipasi kemungkinan tersebut, para pengikutnya dilatih olah kanoragan, yaitu ilmu beladiri dan berperang seperti yang dipunyai ketika masih menjadi Prajurit pilihan di Majapahit pada jaman dulu. Yang tua dikelompokkan dengan yang tua, untuk diajarkan ilmu kadigdayaan dari dalam, agar memiliki kesaktian luar dan dalam yang tinggi. Sedangkan yang muda, dikelompokkan dengan yang muda untuk berlatih adu kekuatan luar, agar kebal terhadap senjata apapun. Ki Demang memang orang hebat dan sakti, hal ini dibuktikan dengan ajaran-ajaran yang diberikan kepada semua murid dan pengikutnya. Untuk melengkapi kesiapan para murid dan pengikutnya, mereka dibekali dengan senjata kolor, yaitu seutas tali pengikat celana yang dililitkan di pinggang menyerupai sabuk. Kolor ini dapat digunakan sebagai sarana alat dan senjata jika menghadapi musuh dalam suatu pertempuran, sehingga selain adu kekuatan badan dan tenaga dalam, dapat pula mengguna kolor sebagai senjata andalan pengikut dari Ki Demang Kutu. Inilah cikal bakal munculnya Warok di Ponorogo.
Kekuatan dan kesaktian Warok pengikut Ki Demang Kutu harus dijaga, demi tidak hilang dari badan dan dapat digunakan sewaktu-waktu menghadapi musuh. Agar bisa bertahan kekuatannya, ada beberapa pantangan harus dihindari dan dijauhi oleh mereka. Pantangan yang harus dihindari ialah melakukan hubungan intim dengan wanita, maka seorang warok harus menjauhi wanita. Pantangan ini sangat berat, karena merupakan kebutuhan biologis bagi pria. Maka untuk melampiaskan hasrat biologisnya, dia memelihara seorang anak muda usia belasan tahun untuk dijadikan Gemblak. Jika dia memperlakukan gemblaknya seperti tersebut, maka kekuatan yang dimiliki terjaga dan tetap sakti. Gemblak akan mendampingi ke manapun sang Warok berada, seakan sudah sejiwa, artinya di mana ada Warok di situ pasti ada seorang Gemblak mendampinginya.
Antara Warok dan Gemblak menyatu, demikian pula dalam memainkan barongan yang menjadi kesenian pertunjukan baru di lingkungan Kademangan Suru Kubeng. Untuk bisa memainkan dan menjadi peraga pertunjukan tersebut, para pengikut di Kademangan harus diseleksi sesuai umur dan tingkatan ilmu kesaktian yang dimiliki. Jika pemula dan usia masih muda cukup menjadi penggembira dan “penyenggak” yaitu bersorak-sorai memberi semangat, nada suaranya serempak keras ambisius serta lantang, pada yang sedang beraksi.
Sedangkan tingkatan di atasnya dipercaya memainkan irama pengiring yaitu memukul bendhe, angklun, ketipung, dan kendang. Bagi warok yang memiliki tingkatan ilmu tinggi, ditugasi memanggul topeng kepala harimau atau barongannya. Ia harus kuat dan pandai, karena ini fokus utamanya sebagai figur yang ditonjolkan, harus lihai menghidupkan sang topeng agar benar-benar seperti bernyawa jika sedang beraksi ditonton banyak orang, maka tidak sembarang orang bisa menjadi pembarong.
Sedangkan para Gemblaknya diberi tugas menjadi Jathilan, yaitu gambaran prajurit Majapahit yang lemah lembut dan gemulai seperti apa yang jadi sindiran sang Demang. Begitu permainan Barongan ini dipertunjukan Warok dan Gemblak di Kademangan Suru Kubeng oleh Ki Surya Alam, sebagai ketidakpuasannya kepada Pemerintahan di Majapahit, dan inilah awal pertunjukan Reyog Ponorogo.
Warok Dan Gemblak Dalam Kehidupan Masyarakat Di Pedesaan.
Figur Warok telah terpatri dalam gambaran masyarakat di Ponorogo, seperti contohnya Warok Suromenggolo, Warok Suro Gentho, Warok Guno Seco dan lain-lain dalam cerita rakyat di daerah Ponorogo. Gambaran tubuh yang kekar, tinggi besar, wajah angker, karena selalu berkumis dan jambang yang tebal adalah ilustrasi yang ada dalam pemikiran sebagian orang.
Karakter tegas dan keras serta gagah berani itu jiwa pemberani seorang warok, apalagi dengan basutan busana celana kombor dan baju penadhon hitam, serta ikat yang selalu menghias sebagai penutup kepala, melengkapi kesan angker/garang. Figur tersebut ikon yang sangat diidolakan kebanyakan masyarakat di pelosok-pelosok pedesaan, bahkan sampai lereng-lereng gunung. Banyak masyarakat membentuk kelompok atau grup perkumpulan warok di lingkungan dusun, dengan model penampilan seperti di atas, sebagai komunitas Warok baru. Dengan terhimpunnya kelompok tersebut lalu mereka mencari Gemblak yang akan mewarnai ikatan kuat perkumpulan Warok tersebut.
Definisi Gemblak dapat didiskripsikan sebagai berikut, seorang anak (bocah) lelaki muda usia belasan (antara 12-18 tahun) yang memiliki wajah tampan, berkulit bersih. Umumnya dari golongan keluarga tidak mampu, yang dikontrak (dipelihara) selama dua tahun, dengan imbalan seekor lembu atau garapan sebidang tanah pinjaman selama masa kontrak tersebut.
Penampilan seorang gemblak harus selalu memikat, dengan kerapian busana dan potongan model rambut yang khas yaitu baju hem lengan panjang press body warna menyolok (hijau, merah muda, ungu, kuning, dan lainnya), rambut cepak, ciri yang sangat khusus ialah pemakaian platina warna kunig keemasan atau warna perak yang menempel di gigi taring kiri atas, yang disebut gigik, tlasah, atau patik, serta berkepribadian sopan, dan santun terhadap siapa saja yang mengajaknya. Di tangan aksesoris arloji, dan di saku bajunya selalu terselip kacu (sapu tangan), berkaca mata biru laut atau hitam juga memakai topi moris menambah kelengkapan busana resmi, yang menjadikan ciri khas gemblak berbeda dengan anak-anak lain yang bukan gemblak.
Inilah figur/gambaran gemblak yang harus memiliki inner beauty terpancar dari dalam diri, sehingga pesonanya menambah daya tarik siapa pun melihatnya. Tidak terkecuali anak-anak, tua muda, laki-laki dan perempuan semua terpikat, karena pada diri gemblak pula dipasang susuk “pasang pengasihan”.
Jika kelompok Warok akan memiliki gemblak, harus melalui beberapa tahap: (1) Nlesihne; mengutus kurir untuk mencari anak yang akan dijadikan gemblak. (2) Lamaran, proses ini dilakukan kurir sebagai utusan, bersama tokoh lingkungan calon gemblak yang akan dipinang, sebagai juru bicara. Serta menentukan masa dan nilai kontrak yang harus disepakati (biasanya 2 tahun) dengan imbalan 1 ekor lembu atau berupa tanah sawah garapan selama 2 tahun sebagai pinjaman. (3) Penjemputan (boyongan), setelah ditentukan hari baik untuk menjemput calon gemblak, diadakan Selamatan (Brokohan), di rumah calon gemblak dengan mengundang beberapa tetangga, selesai acara lalu pamitan untuk membawa calon gemblak ke rumah para Warok.
Gemblak Ditempat Dan Lingkungan Baru
Lingkungan tempat para warok sangat sibuk menyambut kedatangan sang bintang baru, gemblak yang akan mewarnai keceriaan mereka. Di tempat baru telah dipersiapkan selamatan dengan mengundang para anggota warok untuk meresmikan, dan mensosialisasikan keberadaan gemblak di lingkungan mereka.
Sebagai tempat pertama giliran rumah ketua warok selama 2 sampai 5 hari, untuk tinggal dan tidur dengannya. Gemblak baru harus segera menyesuaikan kehidupan barunya, misalnya selalu memakai kostum/baju kebesaran yaitu celana pendek, kaos dalam singlet serta baju hem press body/ketat, lengan panjang dengan potongan/model khusus berwarna terang; misalnya kuning, hijau, merah, atau warna menyolok lain, serta di saku bajunya terselip sapu tangan. Memakai kaos kaki dan sandal (biasanya merek Lily).
Agar lebih memesona, seorang Gemblak harus dipasang Pengasihan, semacam susuk yang ditanamkan di wajah Gemblak oleh Paranormal (dukun), dengan tujuan siapa saja yang melihat, pasti senang dan tertarik. Gemblak sangat dimanjakan oleh para Waroknya, tidak boleh bekerja atau melakukan pekerjaan berat/kasar. Tugasnya menemani dimana Bapakan Waroknya berada. Karena yang memiliki adalah kolektif, maka keberadaan tinggal di rumah para Bapakan waroknya digilir dua hari secara bergantian. Begitu roling berputar setiap harinya harus menemani, sampai seluruh anggota Warok mendapat giliran Gemblaknya.
Kebiasaan Warok yang rumahnya mendapat giliran, warok tersebut sebelumnya akan bekerja keras untuk mendapat/mencari uang, karena selama 2 hari tersebut kadang-kadang warok tidak melakukan aktivitas bekerja, hanya bersenang-senang dengan gemblaknya, pergi ke kota mengajak gemblak dengan naik sepeda, mencari/melihat hiburan dan makan enak-enak di rumah makan, untuk menyenangkan hati gemblak. Begitu seterusnya.
Bagi Warok yang sudah beristri, maka sang istrilah yang menyiapkan kamar untuk tidur suami dan gemblaknya. Sang istri senang dan bangga, jika suami atau rumahnya ketempatan, karena ini gengsi martabat suami, demikian juga sang istri akan memasak yang mewah serta enak, demi menjamu gemblak suaminya.
Demikian tinggi masyarakat memandang gemblak sebagai identitas keberadaan seorang Warok, akan dilihat dari kelompok tersebut memiliki Gemblak atau tidak. Sehingga gemblak sangat dielu-elukan oleh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Apalagi jika sedang ada hajatan pernikahan, temanten utamanya, maka gemblak adalah hiasan utama dan wajib dalam perhelatan tersebut. Bahkan kalau perlu dengan meminjam gemblak pada kelompok Warok dari daerah lain, sehingga jumlah gemblak bisa 5 sampai 10 orang. Mereka akan menemani para warok, dan selalu mendampingi manten pria selama 5 hari.
Untuk meminjam Gemblak dari daerah lain, ada aturan tersendiri, misalnya sebagai imbalannya beberapa bungkus rokok dari beberapa merk, lalu dibungkus dengan kain mirip saputangan tapi agak besar ukurannya, dan itu diserahkan ketika bersamaan dengan mengembalikan Gemblak.
Gemblak Adalah Penari Jathilan Reyog
Group Reyog banyak tumbuh-berkembang di desa dan dusun di Ponorogo. Reyog ini sebenarnya hanya dimiliki oleh kelompok Warok. Mereka memelihara, memainkan, mempelajari dan menjaganya. Semua penari, pengrawit serta penyenggaknya ialah para warok dan gemblak.
Tidak ada yang memiliki dan memainkan kesenian Reyog ini, kecuali para komunitas warok dan gemblak. Karena di masa dulu, kesenian ini tumbuh-berkembang di daerah dusun-dusun atau pelosok-pelosok desa, di mana tumbuh subur budaya/keberadaan para warok dan gemblak pada komunitasnya. Para warok muda sebagai penyenggak, yang agak dewasa pada bagian iringan/penabuh, yang memiliki kekuatan (ilmu kanuragan dan kebatinan) ”lebih” pada diri peraga penari seperti Pembarong, bujang ganong Potrojoyo, dan Potrotholo, atau yang lainya.
Sedangkan untuk penari jathilan adalah para gemblak. Para warok senang sekaligus bersemangat jika gemblaknya menari Jathilan. Dengan gerakan lemah gemulai dan ekspresi menawan, menambah daya tarik gemblak pada seluruh penontonnya. Dengan begitu para Warok (bapakannya) akan selalu memanjakan gemblak-gemblak kesayangannya. Semakin tampan dan menariknya penari Jathilan, kian terkenal nama group dan desa di mana kesenian reyog tersebut berasal.
Pada setiap iring-iringan reyog berlangsung, mengelilingi jalan-jalan desa, maka secara spontan masyarakat akan berduyun-duyun mengikuti ke mana saja kesenian Reyog tersebut akan iker. Mereka menyaksikan penari Jathilan kususnya, dengan sabar dan penuh gembira menanti tempat-tempat iker, terkadang dipertigaan atau perempatan jalan berhenti sejenak untuk atraksi. Di tempat-tempat seperti itulah, penonton berjubel berdesak-desakan laki-laki ataupun perempuan, tua-muda, besar-kecil, bahkan anak-anak kecil gembira dipanggul di atas kepala orang tuanya, supaya dapat jelas menyaksikan pertunjukan.
Itulah pamor seni pertunjukan Reyog saat dipentaskan, serasa memiliki kekuatan magnet luar biasa. Dengan mendengar alunan musik yang ditabuh bertalu-talu, gemanya sampai kiloan meter dapat didengar. Daya sugesti ini menyebabkan orang berkeinginan mendekat-menyaksikan, hingga usai pertunjukan Reyog digelar. Reyog Ponorogo memang luar biasa, beruntung bangsa Indonesia memiliki khasanah budaya adi luhung tersebut.
Yang lebih patut dihargai, para warok Ponorogo yang dulu loyal setia berdedikasi tinggi, dalam memelihara kesenian Reyog. Merekalah pemilik Reyog, pemain Reyog, dan yang melestarikan Reyog. Tanpa para warok dan gemblaknya, kita tak dapat membayangkan bagaimana kesenian termasyhur, mahakarya nenek moyang yang memukau tersebut, bisa dinikmati anak cucu. Berbanggalah Ponorogo, termashurlah Indonesia, tersenyumlah para warok dan gemblak, kesenianmu kini telah mendunia.
*) Sudirman, S. Pd, Guru Kesenian SMPN 1 Jetis Ponorogo
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/07/reyog-warok-dan-gemblak/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar