Malkan Junaidi
http://www.facebook.com/malkan.junaidi
Dalam
bukunya yang berjudul Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih, diterbitkan
oleh Yayasan Bentang Budaya, pada sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996),
Arif Bagus Prasetyo mencantumkan sebuah puisi yang berjudul Nyanyian
Diri:
Mungkin aku bisa berkelok untuk hidup bersama satwa,
Mereka begitu lembut lagi penuh percaya diri,
Aku berdiri memandang mereka begitu lama.
Mereka tidak berkeringat meratapi nasibnya,
Mereka tak berbaring dan mendelik dalam gelap menangisi dosa-dosanya,
Mereka tak memualkanku dengan bicara kewajiban terhadap Tuhan,
Tidak ada yang kekurangan, tak ada yang jadi edan
Oleh nafsu memiliki benda-benda,
Tidak ada yang berlutut pada yang lain, tak juga pada sesamanya
Yang hidup ribuan tahun silam,
Tak sekali pun dihargai atau berduka atas seluruh penjuru bumi.
1995
Saya
tidak tahu bagaimana Arif B. Prasetyo (demikian penulisan yang lebih
dilazimkan) bisa kemudian menyimpulkan bahwa puisi yang diterjemahkannya
ini merupakan karya penyair Meksiko penerima Nobel Kesusastraan tahun
1990 itu, terlebih jika dikatakan sebagai ditulis pada tahun 1995. Puisi
di atas, atau lebih tepatnya terjemahan penggalan puisi di atas,
bukanlah milik Octavio Paz sebagaimana secara eksplisit diklaim di buku
itu (di halaman ix dikatakan “…, kecuali sejumlah puisi mutakhir
(1995-1996) dialihbahasakan dari manuskrip Paz Agency, New York.”),
melainkan milik Walt Whitman (1819-1892), penyair besar Amerika
kelahiran Long Island. Nyanyian Diri berasal dari Leaves of Grass,
kumpulan puisi trademark Whitman yang merupakan hasil pergulatan
kreatifnya di sepanjang paruh kedua hidupnya. Pertama kali terbit pada
tahun 1855 dan hingga tahun 1882 memiliki setidaknya enam edisi.
SONG OF MYSELF
32
I think I could turn and live with animals, they are so placid and
self-contain’d,
I stand and look at them long and long.
They do not sweat and whine about their condition,
They do not lie awake in the dark and weep for their sins,
They do not make me sick discussing their duty to God,
Not one is dissatisfied, not one is demented with the mania of
owning things,
Not one kneels to another, nor to his kind that lived thousands of
years ago,
Not one is respectable or unhappy over the whole earth.
So they show their relations to me and I accept them,
They bring me tokens of myself, they evince them plainly in their
possession.
I wonder where they get those tokens,
Did I pass that way huge times ago and negligently drop them?
Myself moving forward then and now and forever,
Gathering and showing more always and with velocity,
Infinite and omnigenous, and the like of these among them,
Not too exclusive toward the reachers of my remembrancers,
Picking out here one that I love, and now go with him on brotherlyterms.
A gigantic beauty of a stallion, fresh and responsive to my caresses,
Head high in the forehead, wide between the ears,
Limbs glossy and supple, tail dusting the ground,
Eyes full of sparkling wickedness, ears finely cut, flexibly moving.
His nostrils dilate as my heels embrace him,
His well-built limbs tremble with pleasure as we race around and return.
I but use you a minute, then I resign you, stallion,
Why do I need your paces when I myself out-gallop them?
Even as I stand or sit passing faster than you.
Puisi
di atas saya kutip dari Leaves of Grass edisi 1881. Ada beberapa
perbedaan signifikan antara edisi ini dengan 5 edisi sebelumnya.[1] Pada
edisi 1855, misalnya, puisi ini tak memiliki judul (dan memang semua
puisi di edisi tersebut tak diberi judul), sedang pada edisi 1856, 1860,
1867, dan 1871-1872 ia dicantumkan sebagai puisi ke-32 dari 52 puisi di
bawah judul “Walt Whitman”. Sepuluh tahun kemudian, yakni pada edisi
1881-1882, judul ini diganti dengan frasa “Song of Myself”. Perbedaan
yang lain pada edisi kedua dan ketiga baris kedua[2] puisi ini berbunyi I
stand and look at them sometimes half the day long., sedang pada edisi
ketiga berubah menjadi I stand and look at them sometimes an hour at a
stretch., dan baru di edisi keempat Whitman mantap dengan kalimat I
stand and look at them long and long. Baris lain yang mengalami revisi
adalah baris keenam: di semua edisi sebelum edisi 1881 bunyinya bukan
Not one is respectable or unhappy over the whole earth., melainkan Not
one is respectable or industrious over the whole earth.. Revisi lain di
puisi Song of Myself bagian 32 hanya terkait ihwal pungtuasi dan
enjambemen, dan kiranya kurang relevan untuk dibahas.
Kesalahan
genealogis yang fatal ini secara tak sengaja saya temukan pada tahun
2006 saat saya membuka-buka buku Leaves of Grass di sebuah perpustakaan,
tak lama setelah saya membaca cetakan pertama buku Octavio Paz, Puisi
dan Esai Terpilih. Sejak saat itulah saya meragukan kevalidan data yang
digunakan alumnus International Writing Program, University of Iowa,
Iowa City, Amerika Serikat itu, terutama melihat perbedaan menyolok gaya
tulisan (meski cuma hasil terjemahan) antara puisi-puisi dari
sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996) dengan puisi-puisi dari
sub-kumpulan yang lain (Dari La Estación Violenta (1948-1957), Dari
Águilao sol (1949-1950, Dari Salamandra (1958-1951), Dari Ladera Este
(1962-1968), dan Dari Vuelta (1976)). Puisi-puisi dari sub-kumpulan
Puisi-Puisi (1995-1996) lebih terasa kontemplatif dan aforistis,sedang
puisi-puisi dari sub-kumpulan yang lain lebih terasa surealis dan
pos-modernis. Namun karena keterbatasan alat bukti, dalam hal ini
buku-buku puisi asing, kegusaran saya tetaplah menjadi kegusaran.
Lagipula jikapun saya punya cukup buku, tetap menurut saya merupakan
masalah teknis yang tak mudah diatasi untuk memastikan apakah sebuah
puisi digenealogikan secara benar atau salah, kecuali jika puisi-puisi
yang disalah-nisbahkan tersebut termasuk puisi-puisi yang terkenal atau
setidaknya yang kebetulan saya kenal. Beruntung, tak lama kemudian saya
berkesempatan akrab dengan internet. Internet, yang menyediakan sistem
pencarian menggunakan keyword, memberi kemungkinan pencarian data secara
jauh lebih cepat dan presisi dibanding sistem pencarian manual memakai
katalog di sebuah perpustakaan. Dengan bermodalkan Bahasa Inggris yang
pas-pasan, satu per satu puisi-puisi tersebut saya selidiki, dan
akhirnya sekarang saya nyatakan dengan tanpa ragu, bahwa: seluruh puisi
yang berjumlah 7 judul yang dicantumkan di sub-kumpulan Puisi-Puisi
(1995-1996) buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih karya Arif B.
Prasetyo itu sama sekali bukan puisi Octavio Paz.
Keluar—cahaya marak ada di luar—keluarlah semua!
Dan, atas setiap sosok gemetar,
Tirai, sebentang kafan pemakaman,
Tergerai turun dalam raung angin topan.
Dan malaikat-malaikat, semuanya pucat pasi,
Bangkit, menyibak cadar, merestui
Lakon tragedi ini: Manusia
Dan Pahlawannya, Cacing Penakluk.
April, 1996
Puisi
yang diberi judul Cacing Penakluk ini, misalnya, sangat tidak benar
jika dikatakan merupakan puisi yang pernah dibuat oleh Paz. Ini adalah
puisi Edgar Allan Poe. Mustahil seorang Arif B. Prasetyo tak mengenal
penemu genre Fiksi Detektif yang sering mengalami masalah finansial
disebabkan memutuskan untuk hidup hanya dari menulis ini. Judul asli
puisi di atas adalah The Conqueror Worm, dipublikasikan pertama kali
dalam bentuk puisi yang berdiri sendiri — yakni bukan merupakan bagian
dari cerita pendek Ligeia (isi The Conqueror Worm juga merupakan bagian
dari versi kedua cerita pendek Poe ini, versi pertama tidak
mencantumkannya karena dipublikasikan tahun 1838, sebelum The Conqueror
Worm dibuat) — pada Januari 1843 di Graham’s Magazine, sebuah majalah
seni dan sastra bulanan dari Philadelphia yang eksis selama lebih kurang
18 tahun sejak awal 1840-an, dan yang mana Poe pernah menjadi
editornya. Akan tetapi, sayangnya, versi Arif B. Prasetyo tersebut hanya
merupakan terjemahan satu bait, yaitu bait terakhir, dari keseluruhan 5
bait yang ada.
THE CONQUEROR WORM
Lo! ‘tis a gala night
Within the lonesome latter years!
An angel throng, bewinged, bedight
In veils, and drowned in tears,
Sit in a theatre, to see
A play of hopes and fears,
While the orchestra breathes fitfully
The music of the spheres.
Mimes, in the form of God on high,
Mutter and mumble low,
And hither and thither fly —
Mere puppets they, who come and go
At bidding of vast formless things
That shift the scenery to and fro,
Flapping from out their Condor wings
Invisible Wo!
That motley drama — oh, be sure
It shall not be forgot!
With its Phantom chased for evermore,
By a crowd that seize it not,
Through a circle that ever returneth in
To the self-same spot,
And much of Madness, and more of Sin,
And Horror the soul of the plot.
But see, amid the mimic rout
A crawling shape intrude!
A blood-red thing that writhes from out
The scenic solitude!
It writhes! — it writhes! — with mortal pangs
The mimes become its food,
And the angels sob at vermin fangs
In human gore imbued.
Out — out are the lights — out all!
And, over each quivering form,
The curtain, a funeral pall,
Comes down with the rush of a storm,
And the angels, all pallid and wan,
Uprising, unveiling, affirm
That the play is the tragedy, “Man,”
And its hero the Conqueror Worm.
Sebenarnya
ada beberapa versi dari The Conqueror Worm. Versi yang saya cantumkan
dan agaknya merupakan versi yang diterjemahkan Arif B. Prasetyo di atas
adalah yang sebagaimana bisa kita temukan di Ligeia dan antologi The
Raven and Other Poems. Adapun dalam versi Graham’s Magazine bunyi baris
kedua bait kelima bukanlah And over each quivering form,, melainkan And
over each dying form,, sedang pada baris kelimanya bukan And the angels,
all pallid and wan,, tetapi And the seraphs, all haggard and wan,. Di
samping salah penggenealogian, kekurangtepatan (untuk tak mengatakan
kesalahan) dalam penerjemahan juga saya temukan. Di puisi Nyanyian Diri,
misalnya, Pemenang I Sayembara Kritik Sastra Dewan Kesenian Jakarta
2007 ini menulis Tak sekali pun dihargai atau berduka atas seluruh
penjuru bumi. sebagai terjemahan dari baris Not one is respectable or
unhappy over the whole earth.. Sejak kapan “one” berarti “sekali pun”?
Juga pada puisi Cacing Penakluk ia menulis Bangkit, menyibak cadar,
merestui/Lakon tragedi ini: Manusia/Dan Pahlawannya, Cacing Penakluk.
sebagai terjemahan dari Uprising, unveiling, affirm/That the play is the
tragedy, “Man,”/And its hero the Conqueror Worm.. Bukankah “merestui”
adalah “memberi berkat atau mendoakan” dan padan-katanya dalam Bahasa
Inggris adalah “bless”? Sedang “affirm” jika dirunut maknanya di kamus,
terutama mempertimbangkan adanya complementizer “that” dalam affirm that
the play is the tragedy, mustahil diterjemahkan sebagai “merestui”,
sebaliknya lebih tepat dimaknai sebagai “mengiyakan, menyetujui, atau
menegaskan”. Lagipula “merestui” adalah verba transitif sama seperti
“bless”, sedang “affirm” bisa baik transitif maupun intransitif.
Ada
Tiga ihwal sunyi:
Salju yang luruh, jam
Menjelang subuh, mulut seseorang
Yang menemui ajal.
Maret, 1996
Adapun
puisi ini diberi judul Sunyi, merupakan puisi berikutnya yang juga
sungguh menyesatkan jika dikatakan sebagai karya Paz. Adalah Adelaide
Crapsey (1878–1914), penyair perempuan Amerika penemu Cinquain, jenis
puisi imajis berpola 5 baris, yang menulis puisi ini di rentang tahun
1911-1913. Sebagaimana Edgar Allan Poe yang dalam The Conqueror Worm
terinspirasi oleh puisiThe Proud Ladye karya Spencer Wallace
Cone[3],Adelaide Crapsey pun di dalam menemukan Cinquain terinspirasi
oleh Haiku dan Tanka dari kesusastraan Jepang. Dalam Bahasa Inggris
Haiku lazim ditulis menjadi 3 baris, sedang Tanka menjadi 5 baris.
Crapsey mengawinkan keduanya, termasuk memasukkan unsur imajis kemusiman
(kigo) yang wajib ada dalam sebuah Haiku, sehingga menjadi apa yang
disebut Cinquain itu. Dalam buku puisinya, Verse, yang diterbitkan tak
lama setelah ia meninggal karena tuberkulosis, kita bisa menemukan 28
Cinquain karya Crapsey, salah satunya Cinquain berikut ini.
TRIAD
These be
Three silent things:
The falling snow. .the hour
Before the dawn. .the mouth of one
Just dead.
Dengan
membandingkan dengan Cinquain di atas, saya bisa meraba setidaknya dua
kejanggalan pada puisi Sunyi. Pertama, bagaimana ceritanya sehingga
judul Triad bisa berubah menjadi Sunyi? Kedua, bukankah ada beda-nuansa
saat the mouth of one just dead diterjemahkan sebagai “mulut seseorang
yang menemui ajal” dengan jika misalnya diterjemahkan sebagai “mulut
seseorang yang baru meninggal”? Baris terakhir sebuah Cinquain sangatlah
penting diperhatikan, baik dalam proses pembacaan maupun penerjemahan.
Sebab ada syarat baris ini harus diberi tekanan lebih besar dibanding
keempat baris sebelumnya. Frasa baru meninggal dari segi kediksian dan
fonetik-kepuisian mungkin kalah kuat dibanding frasa menemui ajal. Namun
yang saya rasakan saat membaca frasa mulut seseorang yang menemui ajal
adalah seolah-olah ia diterjemahkan darifrasa “the mouth of a dying
man”, yaitu mulut orang yang sedang sekarat, beberapa detik sebelum
benar-benar meninggal. Padahal yang ditangkap dari versi aslinya, the
mouth of one just dead, adalah justru imaji mulut seseorang yang baru
saja meninggal. Tentu keduanya berbeda.
Di samping kesalahan
fatal penisbahan karya pada nama Octavio Paz, kejanggalan dalam
penjudulan juga saya temukan di puisi Peneguhan Diri berikut:
Bukan soal betapapun sempitnya gerbang,
Betapapun suratan ini didera siksa,
Aku tuan atas nasibku:
Aku nakhoda bagi jiwaku.
Harvard,1996
Puisi
liris ini seharusnya dinisbahkan pada nama William Ernest Henley
(1849–1903), penyair dan kritikus Inggris yang pernah selama beberapa
tahun menjadi editor di jurnal The National Observer. Kita bisa
menemukan versi asli dan lengkap puisi di atas di antologi A Book of
Verses milik Henley, yang merupakan puisi keempat (dengan judul iv) dari
95 puisi di bawah sub-kumpulan Life and Death (Echoes) yang
didedikasikan untuk seseorang yang berinisial R. T. H. B., yaitu Robert
Thomas Hamilton Bruce, seorang penjual tepung sukses dan notabene
sastrawan terkemuka Skotlandia.
LIFE AND DEATH (ECHOES)
iv
To R.T. H. B.
Out of the night that covers me,
Black as the pit from pole to pole,
I thank whatever gods may be
For my unconquerable soul.
In the fell clutch of circumstance
I have not winced nor cried aloud.
Under the bludgeonings of chance
My head is bloody, but unbowed.
Beyond this place of wrath and tears
Looms but the Horror of the shade,
And yet the menace of the years
Finds and shall find me unafraid.
It matters not how strait the gate,
How charged with punishments the scroll.
I am the master of my fate:
I am the captain of my soul.
1875
Tetapi
dalam perkembangannya, pada tahun 1900, sebuah buku berjudul Oxford
Book of English Verse, 1250–1900 terbit, memuat 883 puisi dari
kesusastraan Inggris yang diciptakan di rentang 1250-1900. Arthur
Quiller-Couch, sang editor,memasukkan 3 puisi Henley di dalamnya,
termasuk puisi pendek di atas yang diberinya judul Invictus (dengan
tanpa menyertakan dedikasi pada Robert Thomas Hamilton Bruce dan tahun
pembuatan sebagaimana di A Book of Verses). Sejak itulah puisi ini lebih
dikenal sebagai puisi Invictus, bahasa Latin dari “tak terkalahkan”
atau “unconquerable”. Peneguhan Diri oleh karenanya, meski dilihat dari
konteks semantis memiliki relevansi dan kesesuaian (bahkan secara
pribadi lebih saya sukai ketimbang Invictus), yatim piatu secara
silsilah, kecuali tentu silsilah ke Paz Agency seperti disitir oleh Arif
B. Prasetyo. Invictus— sangat jauh dari keterangan di bawah puisi
Peneguhan Diri yang menyatakan ia ditulis di Harvard pada tahun 1996 —
ditulis di Royal Infirmary of Edinburgh, sebuah rumah sakit nirlaba
tertua di Skotlandia, saat Henley menjalani perawatan selama 20 bulan
antara 1873-1875 karena infeksi tuberkular yang mendera kaki kanannya.
Henley sebelumnya telah kehilangan kaki kirinya karena penyakit ini dan
tak merelakan kaki kanannya mengalami nasib serupa. Dokter Joseph Lister
yang kepadanya Henley menyerahkan kesembuhan dirinya akhirnya bisa
menyelamatkan kaki tersebut, namun penyakit yang telah menghinggapi
Henley sejak usia 12 tahun itu tak bisa benar-benar sembuh dan
dinyatakan sebagai penyebab utama meninggalnya penyair ini di usia 53
tahun.
Kecut?
Aku tahu kita hanya hidup sekali.
Karena itu: hindari mati, saranku.
Juni,1996
Di
antara 7 terjemahan puisi di sub-kumpulan Puisi-Puisi (1995-1996) buku
Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih karya Arif B. Prasetyo, terjemahan
puisi berjumlah 3 baris di atas merupakan yang terpendek sekaligus yang
judulnya sama sekali tak mengalami perubahan dari versi aslinya, Arcades
Ambo. Lagi dan lagi ini bukan hasil terjemahan dari puisi Paz,
melainkan — kali ini — dari milik Robert Browning, penyair era Victoria
di samping Alfred Tennyson yang paling populer dan berpengaruh. Browning
lahir pada 7 Mei 1812 di Camberwell, London selatan. Ayahnya adalah
seorang pecinta sastra yang berusaha keras mewariskan kecintaan itu pada
anak-anaknya. Ia seorang bankir kaya, memiliki perpustakaan pribadi
dengan koleksi mencapai 6.000 buku, banyak di antaranya merupakan buku
langka. Melalui perpustakaan ayahnya inilah Browning yang kutu buku
namun tak menyukai pendidikan formal mendapat asupan gizi yang
meningkatkan secara pesat pengetahuan dan kemampuan kebahasaan dan
kesusastraannya. Terbukti di usia baru 12 tahun ia sudah menghasilkan
sebuah buku puisi, meski lalu dihancurkannya sendiri karena tak adanya
penerbit yang mau menerbitkannya, dan pada umur 14 tahun ia sudah mahir
bahasa Latin, Italia, Yunani, dan Prancis. Yang terakhir ini menjadi
alasan penting kenapa tak sedikit puisi Browning harus kita cari
referensinya dalam bahasa atau khazanah kesusastraan negara-negara
tersebut, termasuk puisi ini:
ARCADES AMBO
A: You blame me that I ran away?
Why, Sir, the enemy advanced:
Balls flew about, and — who can say
But one, if I stood firm, had glanced
In my direction ? Cowardice ?
I only know we don’t live twice,
Therefore — shun death, is my advice.
B: Shun death at all risks ? Well, at some!
True, I myself. Sir, though I scold
The cowardly, by no means come
Under reproof as overbold
— I, who would have no end of brutes
Cut up alive to guess what suits
My case and saves my toe from shoots.
Arcades
Ambo berasal dari Asolando, antologi puisi terakhir Robert Browning
yang meski tertulis 1890 sebagai tahun terbitnya, namun pada
kenyataannya diterbitkan pada hari kematiannya, yaitu 12 Desember 1889.
Frasa Arcades Ambo sebelumnya juga pernah digunakan Browning dalam bait
terakhir puisi terakhir antologi Jocoseria (1883), Pambo:
Brother, brother, I share the blame,
Arcades sumus ambo!
Darkling, I keep my sunrise-aim,
Lack not the critic’s flambeau,
And lookto my ways, yet, much the same,
Offend with my tongue – like Pambo!
Pambo
adalah nama seorang biarawan pada masa Santo Antonius yang, setelah
belajar ayat pertama dari Mazmur ke-39, menolak untuk belajar lagi,
mengatakan bahwa satu saja sudah cukup baginya jika dia belajar dengan
benar. Frasa look to my ways dan offend with my tongue merujuk pada ayat
yang dimaksud, yaitu “I said I will look to my ways, that I offend not
with my tongue.” Secara harfiah Arcades Ambo berarti “Keduanya Sama-Sama
Orang Arkadia” sedang Arcades sumus ambo berarti “Kita berdua sama-sama
orang Arkadia”. Kedua makna ini agaknya tak cukup membantu pemahaman
kita mengenai apa yang kurang lebih dimaksudkan oleh Browning. Kita
harus merunut jauh ke belakang, ke kesusastraan Latin, ke Eclogues—
puisi bergaya klasik yang terdiri dari 10 bagian — karya Virgil (Publius
Vergilius Maro), penyair Romawi Kuno yang meninggal pada 19 SM. Di 5
baris awal Eclogue Ketujuh (Ecloga Septima)-nya tertulis:
Forte subarguta consederat ilice Daphnis,
compulerantque greges Corydon et Thyrsis in unum,
Thyrsis ouis, Corydon distentas lacte capellas,
ambo florentes aetatibus, Arcades ambo,
et cantare pares et repondereparati.
Henry
Rushton Fairclough (1862 – 1938), ahli bahasa Latin dan Yunani
kelahiran Ontario yang meraih gelar Doktor Bidang Karya-Karya Klasik di
Universitas Johns Hopkins, menerjemahkan penggalan Eclogue di atas
sebagai:
Daphnis, it chanced had made his seat beneath a whispering ilex,
while Corydon and Thyrsis had driven their flocks together
– Thyrsis his sheep, Corydon his goats swollen with milk –
both in the bloom of life, Arcadians both,
ready in a singing match to start, ready to make reply.
Arkadia
merupakan bagian dari region Peloponnese, Yunani selatan. Topografi
wilayahnya bergunung-gunung, sehingga membuat mayoritas penduduknya,
dahulu kala, memilih berprofesi sebagai penggembala ternak ketimbang
becocok-tanam. Frasa while Corydon and Thyrsishad driven their flocks
together – Thyrsis his sheep, Corydon his goats swollen with milk
sedikit banyak menggambarkan suasana penggembalaan pada waktu itu. Orang
Arkadia pada umumnya ‘terbelakang’ secara intelektual, namun
‘terpelihara’ secara moral. Populasi yang jarang membuat mereka
mengembangkan sistem kekeluargaan dan pertemanan yang erat, sedang
metode penggembalaan yang berpindah-pindah (demi air dan rumput segar)
dengan sendirinya membentuk kepribadian yang harmonis dengan alam.
Setelah periode yang lama Arkadia akhirnya identik dengan keluguan dan
kepolosan, keramahan dan kehangatan, kesederhanaan dan kerendah-hatian,
orang-orang yang ‘tak berbudaya’ ketika ‘berbudaya’ bermakna sombong dan
rakus. Walau demikian “arkadian” adalah bipolar secara semantis,
seperti halnya frasa “orang kampung”. Orang kampung secara konotatif
identik dengan orang yang “kuno, kolot, atau tak berpendidikan”, — dan
tidak jarang penilaian atau pemaknaan seperti ini dilakukan oleh
orang-orang kota yang (mungkin merasa lebih terdidik namun sekaligus)
tak cukup menyadari atau mengakui berbagai ironi yang membelit hidup
mereka sendiri — tetapi sekaligus menyimpan pula makna-makna pastoral
dalam dirinya. Demikian juga “arkadian” meski biasa dimaknai “polos”,
namun bisa pula dimaknai “bodoh”.
Penggunaan frasa Arcades Ambo dalam karya yang lebih muda terdapat dalam novel The Fortune of War (1979) karya Patrick O’Brian:
Two weevils crept from the crumbs.
“You see those weevils, Stephen?” said Jack solemnly.
“Which would you choose?”
“There
is not a scrap of difference. Arcades ambo. They are the same species
of curculio, and there is nothing to choose between them.”
“But suppose you had to choose?”
“Then I should choose the right-hand weevil; it has a perceptible advantage in both length and breadth.”
Dari
sini jelas terlihat bahwa, setelah dua ribu tahun, frasa yang
dipopulerkan Virgil tersebut mengalami penyempitan makna,dari yang
semula berada di ketegangan ambigu antara makna “keduanya sama-sama
polos” dan “keduanya sama-sama tak canggih” menjadi sekedar “keduanya
sama saja”.
Runutan semantis frasa Arcades Ambo ini penting untuk
terbukanya jendela di ruang-puisi Robert Browning di atas, sehingga ia
tak lagi terlihat terlalu gelap atau terasa terlalu pengap. Walaupun
tentu tetap merupakan kebebasan pembaca untuk memilih makna mana yang
diinginkannya, yang paling selaras dengan proses apresiasinya atas puisi
tersebut. Bahkan tetap merupakan hak mereka untuk memilih makna yang
sama sekali berbeda. Yang pasti konstruksi-dialogis yang dihadirkan
Browning dalam puisinya kali ini, dengan dua aku-lirik, A dan B, dan
dengan dihadirkannya perbandingan argumen yang menunjukkan kesetaraan
kualitatif antar keduanya (A mengungkapkan I only know we don’t live
twice, sedang B mengatakan I, who would have no end of brutes), menjadi
alasan logis atas pemilihan judul Arcades Ambo. Adapun terjemahan Arif
B. Prasetyo — terlepas dari fakta salah-nisbah ke Paz dan fakta puisi
terjemahan di atas hanya merupakan 3-yang-tak-genap dari keseluruhan 14
baris yang ada — menurut saya relatif bagus. Hanya saja memang setelah
mengerti makna Arcades Ambo, terjemahan tersebut, karena absennya dua
hal atau dua orang yang diperbandingkan, jadi terasa janggal. Siapa atau
apa yang sama tidak pernah jelas.
Kalau kau mau mengamati, tak perlu
Seorang pria berbadan besar untuk membuat
Bayang raksasa di atas tembok.
Dan dia yang sehari-hari tampak di mata kita
Tidak ebih daripada sosok kecil dan biasa-biasa saja,
Dalam sorot cahaya khayali kemasyhuran,
Akan melenggang seagung bayang
Melintasi layar masanya.
1996
Puisi
ini diberi judul Kemasyhuran. Sebenarnya hanya fragmen dari sebuah
puisi panjang karya John Townsend Trowbridge (1827-1916), penulis
Amerika asal Ogden, New York, yang di awal-awal karier kepenulisannya
sempat mengunakan pseudonim Paul Creyton. Trowbridge termasuk penulis
yang latar pendidikannya biasa-biasa saja. Gangguan penglihatan semasa
kecil membuatnya tak bisa mengikuti pendidikan formal dengan baik dan
lebih banyak belajar secara autodidak, khususnya dalam bahasa Perancis,
Latin, dan Yunani. Trowbridge pernah kuliah selama setahun di sebuah
akademi di Lockport dan pernah menjadi guru selama dua tahun (1845-1846)
di dua tempat yang berbeda, Illinois dan Lockport. Tahun 1847 ia pergi
ke New York, menjadi kontributor untuk beberapa surat kabar dan majalah,
terutama Dollar Magazine, dan menjadi salah satu staf editorial di
koran Sentinel. Trowbridge adalah seorang yang anti perbudakan, sikap
antinya ini diekspresikan tak hanya melalui artikel-artikel di
koran[4],namun juga melalui sebuah novel berjudul Neighbor Jackwood
(1856). Novel yang lantas ditulis ulang menjadi naskah drama untuk
Boston Museum. Pada Senin, 16 Maret 1857 Trowbridge bersama seorang
temannya menyaksikan sebuah poster pertunjukan drama miliknya itu.
Tertulis di poster tersebut:
TREMENDOUS HIT!!
RECEIVED WITH THUNDERS OF APPLAUSE!!!
Insiden ini menjadi petunjuk bagi terciptanya bait pembuka puisi Author’s Night beberapa tahun berikutnya.
AUTHOR’S NIGHT
“BRILLIANT SUCCESS !” the play-bills said,
Flaming all over the town one day,
Blazing in characters blue and red,
(Printed for posting, by the way,
Before the public had seen the play!)
“Received with thunders of applause!
New Piece! New Author!! Tremendous hit!!!”
This was on Tuesday: still it draws,
And to-night is the Author’s Benefit.
“New piece”: I’ve a word to say about that.
Nine years ago, it may be more,
There came one day to the manager’s door
A hopeful man, with a modest rat-tat,
Who smilingly entered, took off his hat,
And, begging the great man’s pardon, slipt
Into his hand a manuscript.
In a month he came again: “The play —
Which I troubled you with — the other day —”
“The play? Oh! ah!” says the manager,
Politest of men. “Excuse me, sir ;
‘T is being considered.” (Safe to bet
He hadn’t looked at the title yet!)
“I’ll drop you a line; or you’ll confer
A favor by calling a week from now.”
And he turned him out with a model bow.
Eight days later again they met, —
Modest author hopeful as ever;
But the great man finished his business thus:
“I’ve read your play, sir ; very clever;
But” (handing it back to him) ”I regret
It isn’t exactly the thing for us.
Good-morning, sir!” Politest of men!
Nine years ago, it may be ten.
Author and piece were new enough then.
But sorrow and toil and poverty
Have taken the gloss from him, you see;
And the play was afterwards knocked about
The theatres, keeping company
With dice and euchre-packs so long,
And pipes and actors paint, it grew
To look so dingy and smell so strong,
You’d have called it anything but new!
Till gruff and gouty old Montagu
Happened to take it up one day:
’T was after dinner; he thought, no doubt,
’T would help him to a nap. “But stay!
What in the deuce, boys! Here’s a play!”
He rubbed his glasses, forgot his gout,
And read till he started up with a shout,
“’T is just the thing for my protégée,
And hang me, if I don’t bring it out!”
And so it chanced, politest of men!
The play came into your hands again
Nine years later, — did I say ten?
And either age had improved its flavor,
Or you are wiser than you were then;
For now you deem it a special favor
That gouty and grouty old Montagu
Consented to bring it out with you.
“Tremendous hit!”
In the vast theatre’s hollow sphere
High hangs the glittering chandelier;
Its bright beams flash on
Beauty and fashion;
A sea of life pours into the pit,
And cloud upon cloud piles over it,
Where Youth and Pleasure and Mirth and Passion
And Years and Folly and Wisdom and Wit
Throng to the Author’s Benefit.
The orchestra leader takes his place;
Horn and serpent and oboe follow,
Violin and violoncello,
Trombone, trumpet, and double-bass.
A turning of music-leaves begins,
With a thrumming and screwing of violins;
Then the leader waves his bow, and — crash !
Kettle-drum rattles and cymbals clash,
And brass and strings and keen triangle
And high-keyed piccolo, piercing and pure,
Their many-colored chords entangle,
Weaving the wild, proud overture.
Old Montagu, with fret and frown,
All cloaked and gloved, walks up and down
Before the door of his protégée,
Keeping her worshippers at bay.
But he catches one who comes that way,
Gives him a gouty finger or two,
And seems quite civil: “Why didn’t you
Have a bouquet
For my protégée,
In the boudoir-scene last night ? ‘T will do
As well to-night, though.” (Straight off goes gay
Young Lothario, hunting a nosegay.)
He punches a pale reporter next
With his playful cane: “She’s terribly vext
At you, young fellow! Why didn’t you get
That notice into your last Gazette?
You will in your next, eh ? Don’t forget! “
And gruff and snuffy old Montagu
Limps down to the curtain and peeps through:
“Boys! what a house it is! Thanks to me,
The fellow s fortune is made,” quoth he.
Then, tinkle-tinkle! The music hushes;
Up to the ceiling the great curtain rushes;
And a world of surprise
To fresh young eyes,
A realm of enchantment, glows and flushes,
Stretching far back from the footlights’ brink.
How does it look to worldly-wise
And crusty old Montagu, do you think?
And the author, where all the while is he?
How seems it to him ? Were I in his place,
Turning at last my toil-worn face
From the dreary deserts of poverty,
Wouldn’t all my heart leap high to see
The flowers of beauty and fashion and grace,
One many-hued, gay,
Immense bouquet,
Flaunting and fluttering here for me?
The costumed players, even she,
The bright young queen
Of the radiant scene,
Speaking his speeches, living his thought;
And all this vast, pulsating mass
Held captive by the spell he wrought, —
Held breathless, like a sea of glass
That bursts in breakers of wild applause: —
Wouldn’t you conceive you had some cause
For an honest thrill, if you were he?
But where, as we said, can the fellow be?
Montagu is crabbed and old;
And the wings are barren and gusty and cold;
And, ah! could the fresh young eyes behold,
Around and under
That vision of wonder, —
Behind the counterfeit joys and hopes,
The tinsel and paint of the players parts, —
The barn-like vault, with its pulleys and ropes,
Shabby canvas and sheet-iron thunder,
And, O, the humanest lives and hearts!
Head of Jesuit, heart of Jew,
Snuffy and puffy old Montagu
Watches his ward, as a lynx his prey;
Wheedles her lovers, and reckons his gains;
Though naught but praise of his protegee,
Will he hear from another, he follows the play
With eyes that threaten and brows that rebuke her,
And lips that can chide in a fierce, sharp way,
When all is over, for all her pains.
The priest and the lover are playing euchre
In the intervals of their parts ; the clown,
Dull fellow enough when the curtain is down,
Has had, they say,
Bad news to-day ;
The merry ghost of the murdered man
Takes pleasant revenge on the whiskered villain
At a game of chess which they began
In the green-room, just before the killing;
The beggar is scuffling with the king;
And the lovelorn maiden is gossiping
With the misanthrope, prince of all good fellows;
And some are sad, and some are gay,
Some are in love, and some are jealous;
And there s many a play within the play!
And, O young eyes! in yonder alley,
Which the tall theatre overtops
(Its sheer crag towering above a valley
Of poor men s tenements and shops), —
Where three little cherubs, not overfed,
Are lying asleep in a trundle-bed,
While a thin, wan woman, sitting late,
Is stitching a garment beside the grate, —
You might, at this moment, see a man
Act as no paid performer can, —
In that wholly unstudied, natural way
No one to this day
Ever saw in a play!
Out at elbows, out at toes,
A needy, seedy, lank little man,
To and fro and about he goes,
With a vexed little bundle of infantine woes;
Sitting down, rising up, and with rocking and walking,
With hushing and tossing and singing and talking,
Vainly trying
To still its crying;
While a shadow behind him, huge and dim,
With a shadow-baby mimics him,
Sketched on the wall,
Grotesque and tall.
Anon he pauses. Hark to the cheers!
He laughs as he hears;
And he says, “I believe I could tell by the cheers
(If only this child wouldn’t worry so!) —
Whether they come from above or below,
Begin in the boxes or up in the tiers, —
Which is the speech, and who is the player! “
In his keen face kindles a youthful glow, —
And lo! ’t is the face of the man we know;
’T is certainly so!
Though faded and jaded, thinner and grayer,
With a ghost of the look of long ago.
“To think,” he says, “I never knew
The play was to be brought out, until
I saw it that morning on the bill!
Then didn’t I hurry home to you
(I vow, this baby will never hush!
There, bite my finger, if you will!)
With the wonderful news? And didn’t I rush
Up the alley, to find old Montagu?
You wouldn’t believe it was really true,
And you only half believe it still!”
Reason enough that she should doubt!
For hasn’t she witnessed, all these years,
His coming in, and his going out,
His wisdom, his weakness, his laughter and tears?
Seen him pine and seen him fret?
Eating his dinner (when dinners were had) ;
Serious, frivolous, hopeful, sad; —
Why, he never could get
A living yet,
And all that he tried has failed outright!
Now can it be,
Is it really he,
This poor weak man at her side, whose wit
Is making the theatre shake to-night
As if its very sides would split?
Odd, is it not? But, after all,
If you will observe, it doesn’t take
A man of giant mould to make
A giant shadow on the wall;
And he who in our daily sight
Seems but a figure mean and small,
Outlined in Fame s illusive light,
May stalk, a silhouette sublime,
Across the canvas of his time.
She answers with a peevish smile,
Taking stitch upon stitch the while:
“Why didn’t they pay you something down
To buy you a coat and me a gown?
Then I could go to the theatre too,
And you would n t be ashamed to sit
In the private box they offered you,
Instead of sneaking in as you do.
They put you off with a benefit!
And how do I know but Montagu
Is going to cheat you out of it?”
“These women never will understand
Some things!” he cries. “How many times more
Must I explain —” A rap at the door!
A step on the creaking stairway floor!
He opens, and sees before him stand
A visitor, courteous, bland, and grand, —
His friend, the manager, true as you live!
Who puts a packet into his hand,
Very much as once we saw him give
A manuscript, with the same old bow.
(Everything seems altered now
But the model man and his model bow:
He will enter, I fancy, the other world
In just this style, —
With a flourish and smile,
Diamonds sparkling, and mustache curled!)
“It gives me very great pleasure: one third
Of the gross receipts”: presenting the packet.
“For a first instalment, upon my word,
Not bad, my friend ! — A check, if preferred;
But I thought you might manage this,”he says.
“A little seed, which I trust will grow.
The piece is certainly a success,
And, with the right management to back it,
Will run, I should say, six weeks or so.
Really, a very neat success!
We shall always be playing it more or less.
I m happy to say so much; although
I think I was right, nine years ago.
(Sign this little receipt, if you please?)
Times were not ripe for it then, you know;
The play would have failed, nine years ago.
Now, when can you give us another piece?”
The author, in the sudden heat
And tumult of his joy (or is it
His strange confusion at this visit ?
The greatest honor of all his life!)
Partly because the said receipt
Is to be signed, and partly, maybe,
Because one arm still holds the baby,
Turns over the packet to his wife.
She tears the wrapper, and both her hands
Amazed she raises, —
Amazed she gazes !
The bursting treasure her broad lap fills, —
Gold and silver and good bank-bills!
Why, this at last she understands;
And now she believes in the benefit,
In the manager, and in Montagu,
In the play, and just a little bit
In her dear, old, clever husband too!
As for him, he seizes his hat, —
Wife and children must have a treat!
He follows the manager into the street,
Bent on purchasing this and that,
Something to wear and something to eat.
But the worthy man is quite too fast :
The shops are mostly closed; and at last
He comes around to the play-house door,
Where he hears such a din
Burst forth within,
What does he do, but just look in?
He reaches the lobby, and stands in the crowd;
By craning his neck, and tiptoeing tall,
He can see that the curtain is down, that’s all.
But still the roar
Goes up as before,
Shout upon shout!
Rapping and clapping and whistling and calling,
Stamping and tramping and caterwauling.
So he cries aloud to a man in the crowd,
“What is it about?”
And the man in the crowd screams back as loud,
“Don’t you know?
It s the end of the show!
They’re trying to call the author out!”
The manager appears in his place,
Hat in hand, extremely polite,
Bowing and smiling to left and right,
(If only the author could get a sight!)
And delivers with characteristic grace
A neat little speech of about a minute,
With a plenty of pleasant nothings in it: —
“Author — unable to appear
Obliged — presents —
Compliments —”
(If only the author himself could hear!
How the people cheer!)
“Company — favorite — credit due —
My friend and the public’s — Montagu —
Theatre — enterprise in securing —
Author — other plans maturing —
Public — generous appreciation —
Gratification —
This ovation” —
And so, with a beautiful peroration,
Just the thing for the happy occasion,
He sails away in the breeze of a grand sensation.
All is over, and out with the throng
The jostled author is borne along.
Will the fresh young eyes, I wonder, see
The crumpled man in the crowd, and note
The napless hat and the seedy coat?
Alone, unknown, he goes his way,
None so unknown and lonely as he!
While he hears at his side a sweet voice say,
“O, what wouldn’t any one give to be
The author of that delightful play!
I know he is handsome, he must be gay,
And tall, — though of that I’m not so certain.
Why didn’t he come before the curtain?”
Author’s
Night terdiri dari 27 bait (367 baris), bisa ditemukan di The
Emigrant’s Story and Other Poems (1875) atau di The Poetical Works of
John Townsend Trowbridge (1903). Merupakan sebuah puisi naratif yang
rapi rimanya namun tak beraturan baitnya. Bercerita tentang seorang
penulis cerdas yang karyanya diacuhkan, kehidupan keluarganya dihimpit
kemiskinan, dan baru bisa keluar dari penderitaan ketika naskahnya —
sembilan atau sepuluh tahun setelah ditolak oleh seorang manajer
pertunjukan drama — secara kebetulan ditemukan dan dibaca oleh sang
sutradara pertunjukan drama itu, lantas dimainkan dan meraih sukses
besar. Istri sang penulis ketika mendengar kabar karya suaminya membuat
heboh gedung teater merasa tak percaya, sebab pikirnya jika betul
suaminya orang cerdas tentu usahanya tak begitu sering menemui kegagalan
dan kehidupan mereka tak sengsara seperti sekarang. Ia ragu, benarkah
lelaki miskin yang lemah fisiknya ini yang karyanya jadi buah bibir
diseluruh penjuru kota? Dalam rangka menanggapi keheranan dan
ketakpercayaan inilah Trowbridge menulis bagian yang diterjemahkan Arif
B. Prasetyo sebagai puisi berjudul Kemasyhuran itu, yaitu keseluruhan
bait ke-18 (baris ke-227 hingga 235), kecuali baris pertama:
Odd, is it not? But, after all,
If you will observe, it doesn’t take
A man of giant mould to make
A giant shadow on the wall;
And he who in our daily sight
Seems but a figure mean and small,
Outlined in Fame s illusive light,
May stalk, a silhouette sublime,
Across the canvas of his time.
Tak
sebagaimana puisi-puisi Walt Whitman yang kerapkali mengalami revisi,
puisi-puisi Trowbridge relatif stabil. Khusus puisi Author’s Night saya
mencatat hanya terdapat dua versi, yaitu versi 1875, sebagaimana yang
secara lengkap saya kutip di atas, dan versi 1893. Perbedaan di kedua
versi ini pun sangat kecil, jika saya tak salah hitung hanya ada dua:
pertama, pada baris terakhir bait ke-8 versi 1875 bunyinya The fellow’s
fortune is made,” quoth he., sedang redaksi 1893 berbunyi The fellow’s
fortune is made,” growls he., kedua, pada baris pertama bait ke-12 versi
1875 bunyinya Head of Jesuit, heart of Jew,, adapun pada versi 1893
adalah Within the wings, just hid from view,. Terlepas dari kesalahan
penisbahan karya dan fakta bahwa Author’s Night bukan dicipta pada tahun
1996, melainkan di suatu masa di rentang tahun 1857-1875, menurut saya
terjemahan Arif B. Prasetyo atas fragmen puisi Author’s Night di atas
sangat bagus.
Pahamilah, jangan dikira Tuhan peduli,
Manusia adalah hikmah kemanusiaan yangsejati.
Diletakkan di tanah genting pada status yang mengambang,
Dialah wujud yang bijaksana lagi kelam, wujud akbar lagi kasar:
Sisi skeptis yang terlalu banyak ilmu,
Kebanggaan yang terlampau sarat cacat.
Terombang-ambing dalam bimbang untuk bertindak atau takluk,
Dalam gamang menganggap diri sebagai Tuhan atau binatang,
Dalam sangsi memilih benak atau tubuh.
Lahir cuma untuk mati, dan berpikir untuk sesat.
Apa pun yang dalam otak, sama saja tak peduli:
Apakah dia berwawasan kelewat sempit, atau justru muluk-muluk.
Carut-marut angan dan nafsu, semua baur:
Ia menindas atau ditindas.
Diciptakan setengahnya untuk tumbuh, separuh lagi untuk runtuh.
Tuan besar semesta benda, sekaligus si pemangsa segalanya.
Hakim tunggal kebenaran yang tak henti melakukan kesalahan:
Dialah keagungan, senda gurau, dan teka-teki dunia!
1996
Ini
adalah puisi terakhir dari buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih
yang merupakan terjemahan yang salah nisbah. Diberi judul Wujud
Kemanusiaan dan dinyatakan ditulis pada tahun 1996. Siapa pemilik sah
versi asli puisi di atas? Ialah Alexander Pope (1688 – 1744), salah satu
penyair Inggris yang paling sering dikutip tulisannya. Pope berasal
dari keluarga pengikut Gereja Katolik Roma yang pada akhir 1600-an
mengalami diskriminasi dan pengucilan dari para pendukung Gereja
Inggris, yang mana imbas langsungnya ia tak dapat mengenyam pendidikan
formal secara layak. Pope sejak usia 12 tahun sudah harus belajar secara
autodidak, baik dalam mempelajari bahasa (Perancis, Italia, Latin, dan
Yunani) maupun sastra. Juga sejak usia itu ia menderita berbagai
penyakit, antara lain penyakit Pott, yaitu bagian dari Tuberkulosis yang
menyerang pertumbuhan tulang, akibatnya tinggi tubuh Pope hanya 1,37
meter. Penyakit Pott juga menyebabkan Pope mengalami gangguan
pernapasan, demam, mata bengkak, dan sakit perut.
Popularitas
Pope sebagai penyair melejit setelah karyanya, Essay on Criticism,
sebuah puisi naratif dalam bentuk Heroic Couplet[5] yang terdiri dari
744 baris dan ditulisnya saat ia menginjak usia 21 tahun,
dipublikasikan. The Rape of the Lock adalah karya berikutnya yang
mengukuhkan nama Alexander Popesebagai salah satu penyair terbesar
Inggris. Diterbitkan pertama kali secara anonim pada tahun 1712 dalam 2
kanto (334 baris), lantas direvisinya dan dikembangkan menjadi 5 kanto
(794 baris) dan dipublikasikan atas namanya sendiri pada tahun 1714.
Tahun 1729 Pope mulai mengerjakan sebuah proyek besar: sebuah puisi
filosofis yang didesain menjadi 4 buah buku di bawah judul An Essay on
Man. Namun sayang hingga ajal tiba ia hanya mampu menyelesaikan buku
pertama, terdiri dari 4 Epistle dan secara umum membicarakan hakikat
kemanusiaan dan hubungan manusia dengan semesta. Puisi ini mendapat
sambutan luar biasa di seluruh penjuru Eropa. Para filsuf seperti
Immanuel Kant, Jean-Jacques Rousseau, dan François-Marie Arouet
(Voltaire) memuji-mujinya. Kant dalam Allgemeine Naturgeschichte und
Theorie Des Himmels (Universal Natural History and Theory of the
Heavens), misalnya, mengutip paling tidak 6 fragmen dari An Essay on Man
(empat dari Epistle I, satu dari Epistle II, dan satu dari Epistle
III). Rousseau dalam suratnya kepada Voltaire tanggal 18 Agustus 1756,
dalam rangka membalas dan menanggapi puisi Voltaire yang dikirimkan pada
Rousseau sebelumnya, mengatakan “Pope’s poem alleviates my difficulties
and inclines me to patience; yours makes my afflictions worse, prompts
me to grumble, and, leading me beyond a shattered hope, reduces me to
despair….”. Adapun Voltaire sendiri adalah salah satu penggemar berat
Pope, pujiannya atas penyair ini tak terbilang banyaknya. Di suatu
kesempatan ia mengatakan “Pope is, I think, the most elegant, the most
correct, what is more, the most harmonious of English poets.” dan di
lain kesempatan, bicara soal An Essay on Man, ia mengatakannya sebagai
“the most beautiful, the most useful, the most sublime didactic poem
ever written in any language.”
Puisi Wujud Kemanusiaan sejatinya
merupakan terjemahan dari 18 baris awal bagian pertama Epistle II puisi
An Essay on Man. Epistle ini secara keseluruhan terdiri dari 3 bagian
(294 baris).
EPISTLE II.
I. Know, then, thyself, presume not God to scan;
The proper study of mankind is man.
Placed on this isthmus of a middle state,
A being darkly wise, and rudely great:
With too much knowledge for the sceptic side,
With too much weakness for the stoic’s pride,
He hangs between; in doubt to act, or rest;
In doubt to deem himself a god, or beast;
In doubt his mind or body to prefer;
Born but to die, and reasoning but to err;
Alike in ignorance, his reason such,
Whether he thinks too little, or too much:
Chaos of thought and passion, all confused;
Still by himself abused, or disabused;
Created half to rise, and half to fall;
Great lord of all things, yet a prey to all;
Sole judge of truth, in endless error hurled:
The glory, jest, and riddle of the world!
Go, wondrous creature! mount where science guides,
Go, measure earth, weigh air, and state the tides;
Instruct the planets in what orbs to run,
Correct old time, and regulate the sun;
Go, soar with Plato to th’ empyreal sphere,
To the first good, first perfect, and first fair;
Or tread the mazy round his followers trod,
And quitting sense call imitating God;
As Eastern priests in giddy circles run,
And turn their heads to imitate the sun.
Go, teach Eternal Wisdom how to rule—
Then drop into thyself, and be a fool!
Superior beings, when of late they saw
A mortal man unfold all Nature’s law,
Admired such wisdom in an earthly shape
And showed a Newton as we show an ape.
Could he, whose rules the rapid comet bind,
Describe or fix one movement of his mind?
Who saw its fires here rise, and there descend,
Explain his own beginning, or his end?
Alas, what wonder! man’s superior part
Unchecked may rise, and climb from art to art;
But when his own great work is but begun,
What reason weaves, by passion is undone.
Trace Science, then, with Modesty thy guide;
First strip off all her equipage of pride;
Deduct what is but vanity or dress,
Or learning’s luxury, or idleness;
Or tricks to show the stretch of human brain,
Mere curious pleasure, or ingenious pain;
Expunge the whole, or lop th’ excrescent parts
Of all our vices have created arts;
Then see how little the remaining sum,
Which served the past, and must the times to come!
Arif
B. Prasetyo jelas bukan penulis amatir. Dari tulisan-tulisannya yang
tersebar di berbagai media massa, juga yang telah terbukukan, bisa
dilihat betapa jembar lanskap pengetahuan kesusastraan dan keseniannya.
Selain dikenal sebagai penyair, Arif juga dikenal sebagai esais,
kurator, dan penerjemah. Buku puisinya antara lain Mahasukka (2000) dan
Memento (2009), sedang buku kritik sastranya Epifenomenon (2005). Ia
menerjemahkan The Hungry Stones and Other Stories (2002), History of
Infamy (2006), dan History of the World in Ten and A Half Chapters
(2009), dan menulis beberapa buku tentang kesenian, di antaranya Mangu
Putra: Nature, Culture, Tension (2000), Melampaui Rupa (2001), dan
Stephan Spicher: Eternal Line [on Paper] (2005). Arif meraih berbagai
penghargaan, antara lain Pemenang II Kritik Seni Rupa 2005 Dewan
Kesenian Jakarta, Pemenang I Kritik Sastra 2007 Dewan Kesenian Jakarta,
Anugerah Widya Pataka 2009 Pemerintah Provinsi Bali, serta CSH Poetry
Award 2009. Semua capaian ini membuktikan betapa yang bersangkutan tak
main-main dalam kecimpungnya di dunia kesenian dan kesusastraan.
Lelaki
kelahiran Madiun, 30 September 1971 ini juga menunjukkan perhatian yang
serius terhadap perkembangan kritik sastra. Tema krisis kritik sastra
dan krisis kritik seni sering menjadi tema esainya, misalnya di esai
Kritikus Seni Sudah Mati, dimuat Kompas pada 9 Januari 2011, antara lain
ia mengatakan Kritikus memang ”sekadar pembaca”, tetapi bukan ”pembaca
sekadar”. Kritikus adalah pembaca yang bukan saja memproduksi makna,
tetapi juga menghasilkan ”surplus makna”. Ibaratnya, ketika semua orang
bisa berjoget, kritikus adalah ia yang menari. Orang menari atau melukis
menghasilkan ”surplus makna” yang membedakannya dari orang berjoget
atau mengecat. Di esai yang lain, dimuat di Bali Post, 14 April 2013,
mengetengahkan Buku Terjemahan dan Profesi Penerjemah, Arif mengeluhkan
mutu terjemahan para penerjemah dengan mengatakan Persoalannya kemudian,
banyak muncul keluhan tentang rendahnya mutu penerjemahan buku
terjemahan yang beredar di pasar. Penerjemahnya terkesan bekerja
asal-asalan,sehingga hasil terjemahannya membingungkan, bikin pusing,
bahkan kadang mencapai taraf “tak bisa dibaca”. Empu-empu pengarang
dunia yang karyanya diterjemahkan menjadi tampak konyol seperti badut
yang menjengkelkan. Mereka seperti berceloteh dalam struktur bahasa
kacau yang mustahil dimengerti, tanpa makna, mirip pengarang amatiran
yang tak tahu bagaimana berbahasa dengan baik. Kalau mereka sastrawan
besar, maka karyanya tak bermutu sastra sama sekali. Kalau mereka
pemikir ulung, pemikirannya seperti sampah yang sedikit pun
takmencerdaskan.
Yang saya tangkap dari apa yang ditulis Arif
tersebut adalah: untuk menjadi kritikus mumpuni ?kritikus
non-tradisional dalam paradigma Arif?, dibutuhkan kualifikasi tertentu,
seni kritik tertentu, jika tidak maka ia akan menjadi sekedar penjoget
atau pengecat. Pun untuk menjadi penerjemah handal, dibutuhkan
kompetensi khusus, bukan saja dalam penguasaan bahasa yang dipakai dalam
kerja penerjemahan, melainkan juga dalam penguasaan disiplin wacana
yang terlibat, yang seringkali mengandung terminologi khas yang tak bisa
diterjemahkan “kata per kata” begitu saja. Mungkin saya harus
menambahkan di sini: dibutuhkan pula ketelitian dalam membaca sumber,
agar selain hasil terjemahan bagus, pun kesalahan fatal semisal salah
menisbahkan karya dapat dihindari, seperti yang secara ironis terjadi
pada Arif.
Saya mungkin salah tuduh, barangkali Arif B. Prasetyo
telah melakukan penerjemahan dari sumber yang terpercaya, dan seluruh
puisi di buku tersebut adalah betul diterjemahkan dari karya Octavio
Paz, atau setidaknya yang menurut sumber tersebut adalah benar-benar
milik Paz. Jika begitu adanya saya jadi berpikir: apa usia tua dan
kangker telah membuat penulis The Labyrinth of Solitude itu demikian
menurun kecerdasannya hingga ke tingkat idiot, sehingga ia nekad mencuri
karya-karya trademark penulis lain untuk diakui sebagai karyanya
sendiri, tanpa merasa takut akan ketahuan? Saya juga berpikir: jika ada
seorang penyair penerima nobel memlagiat karya-karya penyair yang tak
kalah terkenal darinya, bukankah bisa dipastikan ini menjadi ekshibisi
absurditas yang memicu heboh internasional? Namun kenapa saya tak pernah
mendengar hebohnya? Saya yang terlalu kuper atau memang sudah tak ada
lagi di planet ini yang membaca karya sastra dari pra-abad 21? Rasanya
sulit sekali saya mengikuti alur pemikiran seperti ini. Rasanya lebih
mudah menganggap Arif-lah yang ceroboh dalam bekerja. Arif-lah yang
tergesa menisbahkan puisi-puisi tersebut kepada Paz tanpa terlebih
dahulu meneliti data yang diperolehnya dari Paz Agency itu. Namun pun
bagaimana bisa seorang yang sudah sangat sering disebut kritikus, yang
sering mengangkat tema krisis kritik sastra di esai-esainya, yang
notabene merupakan satu dari sedikit penerjemah karya sastra asing yang
paling produktif, dan yang sekaligus penyair senior yang karya-karyanya
banyak terpengaruh oleh karya-karya asing yang dibacanya dan sebagian di
antaranya kemudian diterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, bisa
melakukan blunder yang tak masuk akal seperti ini? Apa pengetahuan
seorang Arif B. Prasetyo ihwal kesusastraan Inggris dan Amerika demikian
dangkal? Bagaimana jika buku Octavio Paz, Puisi dan Esai Terpilih itu
dibaca oleh kritikus Barat yang mahir berbahasa Indonesia? Alangkah
memalukannya!
Blitar, 30 April 2013
Malkan Junaidi
(Penyair, Aktivis Warnet)
Catatan Kaki:
[1]
Selama 5 tahun sejak 1831 Whitman mempelajari teknik percetakan di
koran Patriot, di bawah bimbingan William Hartshorne. Tahun 1838 ia
mencoba menerbitkan koran mingguannya sendiri, The Long Islander,
dibantu oleh sang adik, Goerge, namun hanya bertahan satu tahun.
Selanjutnya mulai September 1845 hingga Maret 1846 Whitman menjadi salah
satu editor koran Long Island Star dan mulai Maret 1846 hingga Januari
1848 ia menjadi editor utama koran Eagle. Latar belakang inilah agaknya
yang menyebabkan Whitman menjadi satu-satunya penulis Amerika abad ke-19
yang paling intim dalam proses pembuatan buku. Ia tak hanya menulis
lantas menawarkan ke penerbit, namun juga terlibat dalam lay-out,
pemilihan bahan sampul, dan penentuan ilustrasi buku. Leaves of Grass,
sebagai contoh, tak hanya dicetak-ulang, namun diedit dan disajikan
dalam bentuk yang berlainan di tiap edisinya, mulai edisi perdana yang
berisi hanya 12 puisi hingga edisi terakhir yang berisi 293 buah puisi.
[2]
Di buku tercantum sebagai baris ketiga dikarenakan ada pemotongan di
baris pertama akibat baris terlalu panjang untuk ukuran buku yang
dipilih Whitman.
[3] Lahir pada 1819 dan meninggal pada 1888,
seorang jurnalis, penyair, dan dalam Civil War adalah seorang tentara
berpangkat kolonel. Tahun 1840 menerbitkan sebuah buku, yang diulas oleh
Edgar Allan Poe pada Juni 1840 di Burton’s Gentleman’s Magazine,
berjudul The Proud Ladye and Other Poems, berisi 48 buah puisi dengan
puisi pertama berjudul The Proud Ladye, terdiri dari 27 bagian yang
bagian ketiga nomor 1 berbunyi:
Lay him upon no bier,
But on his knightly shield;
The warrior’s corpse uprear,
And bear him from the field.
Spread o’er his rigid form
The banner of his pride,
And let him meet the conqueror worm,
With his good sword by his side.
[4]
Sebagaimana diceritakannya di buku My Own Story (berisikan berbagai
cerita di seputar kehidupan, proses kreatif,dan hubungan Trowbridge
dengan beberapa temannya, antara lain Walt whitman), koran Sentinel yang
kebanyakan pelanggannya adalah kaum pro-perbudakan sampai nyaris gulung
tikar berkat artikel yang dimuat Trowbridge saat ia diberi wewenang dan
tanggungjawab mengelola koran tersebut selama satu atau dua minggu
Benjamin Perley Poore, sang pemilik, bepergian ke Washington.
[5]
Sebuah bentuk puisi tradisional yang sangat populer di abad 18, umumnya
digunakan untuk menulispuisi naratif. Prosodi yang lazim adalah tiap
baris terdiri dari lima Kaki.Satu Kaki adalah satu suku kata tak
bertekanan yang diikuti satu suku katabertekanan, atau bisa digambarkan
satu Kaki adalah satu dig-DUG detak jantung.
Dijumput dari: https://www.facebook.com/notes/malkan-junaidi/kecerobohan-sang-kritikus-atau-plagiarisme-sang-penyair-nobel/563186940390949
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar