Kamis, 27 Juni 2013

Tiga Catatan

Romi Zarman
Riau Pos,19Sep2010

Tiga catatan yang akan saya kemukan terdiri satu entitas yang bernama sastra. Pertama; perihal sastra maya yang menimbulkan ambivalensi dalam diri sebagian kaum sastrawan. Di satu sisi, mereka menolak kehadiran koran, tapi di sisi lain mereka juga mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Kedua; pesatnya perkembangan sastra maya telah melenyapkan batas antara lokal-nasional.
Tak ada istilah lokal-nasional. Riau Pos, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai koran lokal. Lenyapnya batas-batas teritorial di dunia maya, mudahnya akses ke website Riau Pos, telah membuka mata kita bahwa Riau Pos bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Ketiga; terjadinya ambivalensi dalam membumikan sastra. Tarik-menarik antara koran dan dunia maya, penerbit kecil-penerbit besar, dan sistem kapitalisasi yang bermain. Mudah-mudahan tiga catatn ini bermanfaat.

Pertama

Sastra maya adalah sastra yang dipublikasikan di dunia maya. Ia tak memiliki bentuk seperti halnya sastra koran, tetapi kehadirannya bisa dilihat dan disaksikan dengan mata kepala. Bila sastra koran mediumnya adalah koran, maka tidak demikian dengan sastra maya. Orang mesti online dan masuk ke dalam dunianya. Ada mekanisme yang harus dilewati. Tidak seperti sastra koran. Untuk membaca karya sastra koran, pembaca cukup membeli atau meminjam koran. Berbeda dengan mekanisme sastra maya. Pembaca mesti mendaftar terlebih dahulu. Di milis, misalnya. Bagi yang ingin mengikuti perkembangan sastra di sana tapi belum terdaftar sebagai anggota, maka pembaca tak akan bisa masuk dan tak akan bertemu dengan karya.

Begitupun dengan Facebook dan Twitter. Pembaca mesti memiliki aku terlebih dahulu. Meskipun pembaca telah memiliki akun Facebook, bukan berarti sudah bisa menjumpai karya. Ada mekanisme yang harus dilalui berikutnya, yakni menjalin pertemanan dan menunggu konfirmasi atau izin dari orang yang bersangkutan. Ada kalanya izin tak diberikan dan pertemanan pun otomatis tidak akan terjalin. Bagaimana kita akan membaca karya si A, misalnya, bila ia tidak mengizinkan kita berteman dengannya? Sebaliknya, kalau kita sudah berkawan dengan seorang, misalnya, ia bisa saja me-remove kita dari daftar pertemanan. Kasus ini pernah terjadi pada CH Yurma. Waktu itu karyanya dikomentari oleh seseorang, lantas ditanggapi balik oleh Yurma. Akan tetapi, seseorang itu langsung me-remove Yurma dari daftar pertemanan.

Jejaring sosial, sastra maya juga mengacu pada karya yang dipublikasikan di Blogspot dan WordPress. Mekanismenya lebih mudah ketimbang Facebook dan Twitter. Pembaca cukup mengetik alamat blog atau WordPress dan bisa langsung menjumpai karya, tanpa harus mendaftar terlebih dahulu atau menunggu konfirmasi pertemanan. Pembaca juga bisa ikut berkomentar. Cukup mencantumkan nama, alamat blog, atau alamat e-mail.

Sastra maya bukan hanya menyediakan ruang antara karya dan pembaca, tapi juga dengan pengarang. Bila sastra koran hanya menyediakan ruang komunikasi antara pembaca dan karya, maka tidak demikian kiranya dengan sastra maya. Bagaimana kesan pembaca, tanggapan, saran dan kritik, bisa langsung dilontarkan pada pengarang. Cukup dengan mengetik komentar, lalu membagikannya, maka pengarang bisa membaca. Tak hanya sampai di situ, pembaca lain juga bisa ikut menanggapi.

Maraknya sastra maya akhir-akhir ini tak lepas dari metode publikasi yang dimilikinya. Karya begitu mudah menjumpai pembaca. Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita. Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran. Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata. Dunia maya dalam hal ini menjadi media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfingsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis. Bambi Cahyani, misalnya, belajar dan mempublikasikan karya pertama kali melalui media ini. Begitupun dengan Hasan Aspahani, TS Pinang, Deddy Tri Adi, Bernard Batubara, dan sederetan nama lainnya.

Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata? Ah… ambivalensi. Di satu sisi mereka menolak koran, tapi di sisi lain mereka justru mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Indrian Koto, misalnya, pengrang asal Pesisir Selatan ini jelas-jelas menolak sastra koran tapi di sisi lain juga mempublikasikan karya di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka (tiga koran yang dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan). Belum lagi sejumlah pengarang lainnya. Yang menolak koran, justru mengirim dan mempublikasikan karya ke sana…

Dua

Dalam era dunia maya hari ini, apakah masih berlaku sebutan pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. bagi saya, dikotomi itu telah lenyap. Lenyapnya batas-batas teritorial melalui dunia maya, mudahnya akses ke surat kabar-surat kabar yang dipandang lokal, bermunculannya media-media jejaring sosial (Facebook dan Twitter), serta semakin banyaknya media publikasi karya seperti Blogspot dan WordPress yang bisa diakses kapanpun dan dimana saja, apakah masih relevan bila tetap mempertahankan dikotomi pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. Akan tetapi, jika memang demikian, mengapa dikotomi itu hari ini masih berdiri kokoh seakan hendak menciptakan jurang?

Jawabnya, tak lain dan tak bukan, karena sebagian pengarang kita masih dikendalikan oleh habitus koran. Sementara, perkembangan sastra sudah bergeser dari realitas cetak ke dunia maya. Pergeseran ini jamak dipandang bukan bagian dari sejarah kesastraan kita. Ironis memang. Persoalan ini bukan semata-mata kemajuan teknologi, melainkan juga bagaimana pengarang dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan.

Hanysebagian pengarang kita yang mengikuti perkembangan tersebut. Mereka itu bisa disebut sebagai pengarang (maaf) “pantek”, alias pandir teknologi. Kepantekan mereka disebabkan kegagapan dalam memasuki dunia internet. Bagi mereka, media massa cetak hanya habitus yang tak bisa ditinggalkan. Terutama media cetak terbitan Jakarta yang mereka sebut sebagai media cetak nasional. Seseorang belum diakui kepengarangannya bila karyanya belum menembus media yang mereka anggap nasional. Legitimasi seorang sastrawan diukur dari kesanggupannya dalam menembus media nasional. Doxa itulah yang mereka yakini. Keyakinan itu begitu mendalam, mendarah-daging, dan diwariskan secara turun-temurun.

Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superiol dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional. Hierarki seperti ini sering muncul dalam bentuk tindakan mencemooh, menyindir, dan cenderung menutup pintu komunikasi. Mereka tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal, misalnya, atau bila ada yang hendak berkomunikasi, baik melalui tegur sapa langsung maupun via seluler, mereka lebih cenderung menutup diri. Mereka nayan mau berkumpul dengan sesama mereka. Mereka hanya bersedia berkomunikasi antar mereka.

Bila ada yang mengkritisi praktik-praktik diskriminatif tersebut, maka mereka (sang kuasa, yang dipandang sebagai pengarang nasional) akan bersembunyi di balik alasan motivasi. Ambivalensi pun terjadi pada pengarang lokal. Di satu sisi, mereka menolak praktik-praktik diskriminatif tapi di sisi lain mereka ingin setara dengan pengarang nasional. Intensi itu terlihat ketika mereka mati-matian menembus media massa yang disebut nasional. Bahkan, ambivalensi itu juga terlihat ketika mereka justru menggunakan kaca mata sang kuasa (sekali lagi, dalam hal ini pengarang yang dipandang sudah menasional). Praktik-praktik deskriminatif, semisal tak boleh duduk semeja bila sastrawan lokal belum bisa menembus nasional, dipandang sebagai cambuk untuk melecut semangat.

Ironis memang, barangkali ambivalensi ini tak jauh berbeda dengan sifat Hanafi dalam pandangan Abdul Moeis. Dalam novel itu, digambarkan betapa Hanafi setara dengan sang kuasa kolonial. Betapa untuk mewujudkan keinginannya itu ia rela berlalu kebarat-baratan. Tapi di satu sisi ia justru menolaknya dalam bentuk sikap yang lain. Adakah mereka, pengarang-pengarang yang ambivalen itu, adalah “Hanafi-Hanafi” kesastraan? ah…

Praktik-praktik deskriminatif itu sebenarnya berjalan dalam dua ranah. Ranah pertama, terlihat jelas adanya upaya mempertahankan superioritas sebagai sang kuasa, yang telah menasional. Merasa diri hebat ketimbang yang lokal. Ranah kedua, sistim hierarki, atau dikotomi lokal-nasional yang diterapkan semakin memperkuat kekuasaan yang dimiliki guna pencapaian-pencapaian ke depan.

Kelompok inferior, dalam hal ini mereka yang dipandang lokal, merasa bangga bila karya sudah bisa menembus nasional. Merasa sudah setara dengan meraka yang nasional. Padahal, di balik semua itu, yang terjadi adalah praktik-praktik diskriminatif. Dalam konseptual Bourdieu, ini bukan kebanggaan tapi lebih merupa wujud kekerasan simbolik yang melanda kesusastraan kita. Makna kekerasan simbolik terletak pada penerapan makna sosial dan representasi dari realitas yang diinternalisasikan. Kekerasan tersebut bahkan tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan, sehingga tak mengherankan kenapa ia bisa berjalan efektif dalam praktik dominasi kesastraan. Akarnya terletak pada konsep “kesalahkaprahan” (missrecognition) dalam mengidientifikasi kelompok superior yang melekat melalui praktik-praktik yang dipandang sebagai tindakan motifasi.

Tiga

Teknologi memang berkembang pesat akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti kita menerima begitu saja apa yang ditawarkan. Sastra internet, yang menjadikan internet sebagai mediumnya, memang berpeluang menjadi media alternatif dalam rangka membumikan sastra. Akan tetapi, jika diperiksa kembali mediumnya, tentu gagasan itu jauh panggang dari api. Internet hari ini memang bukan lagi milik kaum elit. Mulai dari guru besar sampai anak SD sudah mengenalnya. Ratarata dari mereka terutama SD, SMP, SMA, dan sebagian mahasiswa, hanya menggunakan internet sebagai media gaul. Bukan untuk memenuhi kebutuhan akan “rohani” dan ilmu pengetahuan. Indikatornya bisa kita lihat betapa banyaknya terjadi kasus penyalah gunaan internet yang digunakan siswa sekola menengah dan mahasiswa akhir-akhir ini. Dunia internet bagi mereka baru sebatas hiburan belaka. Belum sampai ke tahap yang lebih serius. Sementara, sastra, dalam hal ini, dipandang sebagai sesuatu yang serius dan hanya milik kaum elit.

Bagaimana akan membumikan sastra bila ternyata buku-bukunya jauh dari pembaca? Sistim distibusi, misalnya, cndrung tertutup. Mereka tak mau bekerja sama dengan toko-toko besar semacam Gramedia, misalnya. Mereka lebih memilih jaringan komunitas, itupun komunitas yang ada di beberapa daerah. Tak merata di seluruh indonesia. Belum lagi belekangan muncul e-book atau buku elektronik yang pemesanannya dilakukan via telepon atau email. Sistem seperti ini saya rasa kurang tepat. Tak zamannya lagi menunggu bola. Sebaliknya, sistem yang cocok menurut saya adalahn sistem jemput bola. Sastra mesti didistribusikan dengan mudah ke tangan pembaca. Barangkali seperti halnya lagu pop Indonesia didistribusikan di pasar kaki lima.

Belum lagi misalnya tipe pembaca yang lain, untuk ibu-ibu atau bapak-bapak pedagang kaki lima, misalnya,. Bagaimana akan membumikan sastra bila media internet saja merupakan sesuatu yang eksklusif bagi mereka. Jangankan internet, dalam taraf koran saja mereka lebih tertarik pada berita politik, ekonomi, dan infotainmen, ketimbang sastra. Internet sebagai mendia bagi mereka adalah sesuatu yang jauh, di atas awang-awang, sesuatu yang elitis. Maka, dalam konteks ini saya pikir gagasan mengenai sastra internet untuk membumikan sastra mesti diperiksa kembali. Pembaca mana yang akan menerima pembumian sastra? Apakah siswa kelas menengah, mahasiswa, guru besar, ataukah guru-guru sekolah? Bukankah beragam pembaca yang saya sebutkan itu lebih gandrung kepada hiburan (infotainmen) semata?

Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka. Sikap sebagian kaum sastrawan ini. Sikap sebagian kaum sastrawan ini bisa kita lihat salah satu dengan tidak diundangnya sebagin mereka ke acara-acara pertemuan sastrawan. Saya tak tahu apa lasan pastinya. Yang saya lihat justru terjadi ambivalensi. Di satu sisi, kita ingin membumikan sastra, tapi ketika ada yang hendak membumikan sastra seperti Andrea Hirata dan Es Ito, dan sederetan nama lainnya, kita justru menolak upaya yang dikaukan mereka. Belum lagi sikap sejumlah pengarang yang anti terhadap penerbit besar. Mereka berpandangan bahwa penerbit besar sarat dengan sistem kapitalisme. Padahal hampir tak bisa dipungkiri, sisitim seperti itulah yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa. Mereka juga berpandangan demikian, sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusika buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.

Sbagian dari penerbit kecil yang anti kapitalis itu justru melakukan kapitalisasi. “Maling teriak maling”. Mereka menyoraki penerbit-penerbit besar. Tapi di sisi lain, penerbit-penerbit kecil itu, justru berladang di punggung sastrawan.

Saya pikir diperlukan saman keterbukaan diri. Tidak zamannya lagi kita menutup diri. Bukan berarti saya hendak menyarankan kaum sastrawan menggoyahkan idealisme.akan tetapi, sikap terbuka. Mau membuka mata terhadap strategi-strategi yang telah berhasil membumikan sastra di sisi-sisi, seperti yang dilakukan Andrea Hirata dan Es Ito. Jika keterbukaan diri tidak kita lakukan dan justru sibuk dengan menutup mata, tetntu gagasan untuk membumikan sastra hanya sebata gagasan. Tak terealisasikan. Hanya akan jadi wacana. Terus dan terus. Sementara, sastra akan tetap menjadi milik kaum elit, segelintir orang. Memang butuh sikap terbuka dan kerja ekstra.***

*) Saat ini sedang studi di S-2 Fakultas Ilmu Budaya UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar