Romi Zarman
Riau Pos,19Sep2010
Tiga catatan yang akan saya kemukan terdiri satu entitas yang bernama sastra. Pertama; perihal sastra maya yang menimbulkan ambivalensi dalam diri sebagian kaum sastrawan. Di satu sisi, mereka menolak kehadiran koran, tapi di sisi lain mereka juga mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Kedua; pesatnya perkembangan sastra maya telah melenyapkan batas antara lokal-nasional.
Tak ada istilah lokal-nasional. Riau Pos, misalnya, tidak bisa dikategorikan sebagai koran lokal. Lenyapnya batas-batas teritorial di dunia maya, mudahnya akses ke website Riau Pos, telah membuka mata kita bahwa Riau Pos bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Ketiga; terjadinya ambivalensi dalam membumikan sastra. Tarik-menarik antara koran dan dunia maya, penerbit kecil-penerbit besar, dan sistem kapitalisasi yang bermain. Mudah-mudahan tiga catatn ini bermanfaat.
Pertama
Sastra maya adalah sastra yang dipublikasikan di dunia maya. Ia tak memiliki bentuk seperti halnya sastra koran, tetapi kehadirannya bisa dilihat dan disaksikan dengan mata kepala. Bila sastra koran mediumnya adalah koran, maka tidak demikian dengan sastra maya. Orang mesti online dan masuk ke dalam dunianya. Ada mekanisme yang harus dilewati. Tidak seperti sastra koran. Untuk membaca karya sastra koran, pembaca cukup membeli atau meminjam koran. Berbeda dengan mekanisme sastra maya. Pembaca mesti mendaftar terlebih dahulu. Di milis, misalnya. Bagi yang ingin mengikuti perkembangan sastra di sana tapi belum terdaftar sebagai anggota, maka pembaca tak akan bisa masuk dan tak akan bertemu dengan karya.
Begitupun dengan Facebook dan Twitter. Pembaca mesti memiliki aku terlebih dahulu. Meskipun pembaca telah memiliki akun Facebook, bukan berarti sudah bisa menjumpai karya. Ada mekanisme yang harus dilalui berikutnya, yakni menjalin pertemanan dan menunggu konfirmasi atau izin dari orang yang bersangkutan. Ada kalanya izin tak diberikan dan pertemanan pun otomatis tidak akan terjalin. Bagaimana kita akan membaca karya si A, misalnya, bila ia tidak mengizinkan kita berteman dengannya? Sebaliknya, kalau kita sudah berkawan dengan seorang, misalnya, ia bisa saja me-remove kita dari daftar pertemanan. Kasus ini pernah terjadi pada CH Yurma. Waktu itu karyanya dikomentari oleh seseorang, lantas ditanggapi balik oleh Yurma. Akan tetapi, seseorang itu langsung me-remove Yurma dari daftar pertemanan.
Jejaring sosial, sastra maya juga mengacu pada karya yang dipublikasikan di Blogspot dan WordPress. Mekanismenya lebih mudah ketimbang Facebook dan Twitter. Pembaca cukup mengetik alamat blog atau WordPress dan bisa langsung menjumpai karya, tanpa harus mendaftar terlebih dahulu atau menunggu konfirmasi pertemanan. Pembaca juga bisa ikut berkomentar. Cukup mencantumkan nama, alamat blog, atau alamat e-mail.
Sastra maya bukan hanya menyediakan ruang antara karya dan pembaca, tapi juga dengan pengarang. Bila sastra koran hanya menyediakan ruang komunikasi antara pembaca dan karya, maka tidak demikian kiranya dengan sastra maya. Bagaimana kesan pembaca, tanggapan, saran dan kritik, bisa langsung dilontarkan pada pengarang. Cukup dengan mengetik komentar, lalu membagikannya, maka pengarang bisa membaca. Tak hanya sampai di situ, pembaca lain juga bisa ikut menanggapi.
Maraknya sastra maya akhir-akhir ini tak lepas dari metode publikasi yang dimilikinya. Karya begitu mudah menjumpai pembaca. Tak ada proses seleksi di sana, seperti halnya sastra koran. Kelayakannya justru ditentukan oleh pembaca. Pembaca yang memiliki otoritas, bukan redaktur. Bila karya itu kurang baik mutunya, maka pembaca akan meninggalkannya. Atau sebaliknya, pembaca akan langsung menanggapi, memberikan masukan. Selain itu, maraknya sastra maya dikarenakan ia mampu menjadi media alternatif bagi sebagian pengarang kita. Rata-rata dari mereka tidak percaya pada mekanisme seleksi koran. Dalam pandangan mereka, karya-karya yang dipublikasikan di koran tidak lepas dari selera dan kepentingan redaktur semata. Dunia maya dalam hal ini menjadi media alternatif untuk mempublikasikan karya. Bahkan beberapa waktu belakangan, dunia maya tidak hanya berfingsi sebagai media alternatif, tapi juga tempat belajar menulis. Bambi Cahyani, misalnya, belajar dan mempublikasikan karya pertama kali melalui media ini. Begitupun dengan Hasan Aspahani, TS Pinang, Deddy Tri Adi, Bernard Batubara, dan sederetan nama lainnya.
Bila ia hanya bukan sekedar media alternatif, mengapalah sebagian dari mereka mempublikasikan karya di media cetak koran? Bukankah mereka jelas-jelas mencurigai bahwa proses seleksi koran hanya didasarkan atas selera dan kepentingan redaktur semata? Ah… ambivalensi. Di satu sisi mereka menolak koran, tapi di sisi lain mereka justru mengirim dan mempublikasikan karya di sana. Indrian Koto, misalnya, pengrang asal Pesisir Selatan ini jelas-jelas menolak sastra koran tapi di sisi lain juga mempublikasikan karya di Kompas, Koran Tempo, Suara Merdeka (tiga koran yang dicurigai sebagai koran yang mengkonstruksi estetika dominan). Belum lagi sejumlah pengarang lainnya. Yang menolak koran, justru mengirim dan mempublikasikan karya ke sana…
Dua
Dalam era dunia maya hari ini, apakah masih berlaku sebutan pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. bagi saya, dikotomi itu telah lenyap. Lenyapnya batas-batas teritorial melalui dunia maya, mudahnya akses ke surat kabar-surat kabar yang dipandang lokal, bermunculannya media-media jejaring sosial (Facebook dan Twitter), serta semakin banyaknya media publikasi karya seperti Blogspot dan WordPress yang bisa diakses kapanpun dan dimana saja, apakah masih relevan bila tetap mempertahankan dikotomi pengarang lokal-pengarang nasional? Tidak. Akan tetapi, jika memang demikian, mengapa dikotomi itu hari ini masih berdiri kokoh seakan hendak menciptakan jurang?
Jawabnya, tak lain dan tak bukan, karena sebagian pengarang kita masih dikendalikan oleh habitus koran. Sementara, perkembangan sastra sudah bergeser dari realitas cetak ke dunia maya. Pergeseran ini jamak dipandang bukan bagian dari sejarah kesastraan kita. Ironis memang. Persoalan ini bukan semata-mata kemajuan teknologi, melainkan juga bagaimana pengarang dituntut untuk selalu mengikuti perkembangan.
Hanysebagian pengarang kita yang mengikuti perkembangan tersebut. Mereka itu bisa disebut sebagai pengarang (maaf) “pantek”, alias pandir teknologi. Kepantekan mereka disebabkan kegagapan dalam memasuki dunia internet. Bagi mereka, media massa cetak hanya habitus yang tak bisa ditinggalkan. Terutama media cetak terbitan Jakarta yang mereka sebut sebagai media cetak nasional. Seseorang belum diakui kepengarangannya bila karyanya belum menembus media yang mereka anggap nasional. Legitimasi seorang sastrawan diukur dari kesanggupannya dalam menembus media nasional. Doxa itulah yang mereka yakini. Keyakinan itu begitu mendalam, mendarah-daging, dan diwariskan secara turun-temurun.
Warisan itu berbentuk dikotomi lokal-nasional, di mana satu kategori yang bernama nasional merasa lebih superiol dibanding lokal. Pengarang lokal dipandang begitu inferior. Belum ada apa-apa bila karyanya menembus koran nasional. Hierarki seperti ini sering muncul dalam bentuk tindakan mencemooh, menyindir, dan cenderung menutup pintu komunikasi. Mereka tak mau duduk semeja dengan pengarang lokal, misalnya, atau bila ada yang hendak berkomunikasi, baik melalui tegur sapa langsung maupun via seluler, mereka lebih cenderung menutup diri. Mereka nayan mau berkumpul dengan sesama mereka. Mereka hanya bersedia berkomunikasi antar mereka.
Bila ada yang mengkritisi praktik-praktik diskriminatif tersebut, maka mereka (sang kuasa, yang dipandang sebagai pengarang nasional) akan bersembunyi di balik alasan motivasi. Ambivalensi pun terjadi pada pengarang lokal. Di satu sisi, mereka menolak praktik-praktik diskriminatif tapi di sisi lain mereka ingin setara dengan pengarang nasional. Intensi itu terlihat ketika mereka mati-matian menembus media massa yang disebut nasional. Bahkan, ambivalensi itu juga terlihat ketika mereka justru menggunakan kaca mata sang kuasa (sekali lagi, dalam hal ini pengarang yang dipandang sudah menasional). Praktik-praktik deskriminatif, semisal tak boleh duduk semeja bila sastrawan lokal belum bisa menembus nasional, dipandang sebagai cambuk untuk melecut semangat.
Ironis memang, barangkali ambivalensi ini tak jauh berbeda dengan sifat Hanafi dalam pandangan Abdul Moeis. Dalam novel itu, digambarkan betapa Hanafi setara dengan sang kuasa kolonial. Betapa untuk mewujudkan keinginannya itu ia rela berlalu kebarat-baratan. Tapi di satu sisi ia justru menolaknya dalam bentuk sikap yang lain. Adakah mereka, pengarang-pengarang yang ambivalen itu, adalah “Hanafi-Hanafi” kesastraan? ah…
Praktik-praktik deskriminatif itu sebenarnya berjalan dalam dua ranah. Ranah pertama, terlihat jelas adanya upaya mempertahankan superioritas sebagai sang kuasa, yang telah menasional. Merasa diri hebat ketimbang yang lokal. Ranah kedua, sistim hierarki, atau dikotomi lokal-nasional yang diterapkan semakin memperkuat kekuasaan yang dimiliki guna pencapaian-pencapaian ke depan.
Kelompok inferior, dalam hal ini mereka yang dipandang lokal, merasa bangga bila karya sudah bisa menembus nasional. Merasa sudah setara dengan meraka yang nasional. Padahal, di balik semua itu, yang terjadi adalah praktik-praktik diskriminatif. Dalam konseptual Bourdieu, ini bukan kebanggaan tapi lebih merupa wujud kekerasan simbolik yang melanda kesusastraan kita. Makna kekerasan simbolik terletak pada penerapan makna sosial dan representasi dari realitas yang diinternalisasikan. Kekerasan tersebut bahkan tidak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan, sehingga tak mengherankan kenapa ia bisa berjalan efektif dalam praktik dominasi kesastraan. Akarnya terletak pada konsep “kesalahkaprahan” (missrecognition) dalam mengidientifikasi kelompok superior yang melekat melalui praktik-praktik yang dipandang sebagai tindakan motifasi.
Tiga
Teknologi memang berkembang pesat akhir-akhir ini. Tapi bukan berarti kita menerima begitu saja apa yang ditawarkan. Sastra internet, yang menjadikan internet sebagai mediumnya, memang berpeluang menjadi media alternatif dalam rangka membumikan sastra. Akan tetapi, jika diperiksa kembali mediumnya, tentu gagasan itu jauh panggang dari api. Internet hari ini memang bukan lagi milik kaum elit. Mulai dari guru besar sampai anak SD sudah mengenalnya. Ratarata dari mereka terutama SD, SMP, SMA, dan sebagian mahasiswa, hanya menggunakan internet sebagai media gaul. Bukan untuk memenuhi kebutuhan akan “rohani” dan ilmu pengetahuan. Indikatornya bisa kita lihat betapa banyaknya terjadi kasus penyalah gunaan internet yang digunakan siswa sekola menengah dan mahasiswa akhir-akhir ini. Dunia internet bagi mereka baru sebatas hiburan belaka. Belum sampai ke tahap yang lebih serius. Sementara, sastra, dalam hal ini, dipandang sebagai sesuatu yang serius dan hanya milik kaum elit.
Bagaimana akan membumikan sastra bila ternyata buku-bukunya jauh dari pembaca? Sistim distibusi, misalnya, cndrung tertutup. Mereka tak mau bekerja sama dengan toko-toko besar semacam Gramedia, misalnya. Mereka lebih memilih jaringan komunitas, itupun komunitas yang ada di beberapa daerah. Tak merata di seluruh indonesia. Belum lagi belekangan muncul e-book atau buku elektronik yang pemesanannya dilakukan via telepon atau email. Sistem seperti ini saya rasa kurang tepat. Tak zamannya lagi menunggu bola. Sebaliknya, sistem yang cocok menurut saya adalahn sistem jemput bola. Sastra mesti didistribusikan dengan mudah ke tangan pembaca. Barangkali seperti halnya lagu pop Indonesia didistribusikan di pasar kaki lima.
Belum lagi misalnya tipe pembaca yang lain, untuk ibu-ibu atau bapak-bapak pedagang kaki lima, misalnya,. Bagaimana akan membumikan sastra bila media internet saja merupakan sesuatu yang eksklusif bagi mereka. Jangankan internet, dalam taraf koran saja mereka lebih tertarik pada berita politik, ekonomi, dan infotainmen, ketimbang sastra. Internet sebagai mendia bagi mereka adalah sesuatu yang jauh, di atas awang-awang, sesuatu yang elitis. Maka, dalam konteks ini saya pikir gagasan mengenai sastra internet untuk membumikan sastra mesti diperiksa kembali. Pembaca mana yang akan menerima pembumian sastra? Apakah siswa kelas menengah, mahasiswa, guru besar, ataukah guru-guru sekolah? Bukankah beragam pembaca yang saya sebutkan itu lebih gandrung kepada hiburan (infotainmen) semata?
Bila dibanding dengan strategi pemasaran Laskar Pelangi, Ayat-ayat Cinta, Rahasia Medee dan Negeri Lima Menara, saya pikir kita perlu belajar dari mereka. Akan tetapi, jangankan belajar, sebagian kaum sastrawan menolak kehadiran mereka. Sikap sebagian kaum sastrawan ini. Sikap sebagian kaum sastrawan ini bisa kita lihat salah satu dengan tidak diundangnya sebagin mereka ke acara-acara pertemuan sastrawan. Saya tak tahu apa lasan pastinya. Yang saya lihat justru terjadi ambivalensi. Di satu sisi, kita ingin membumikan sastra, tapi ketika ada yang hendak membumikan sastra seperti Andrea Hirata dan Es Ito, dan sederetan nama lainnya, kita justru menolak upaya yang dikaukan mereka. Belum lagi sikap sejumlah pengarang yang anti terhadap penerbit besar. Mereka berpandangan bahwa penerbit besar sarat dengan sistem kapitalisme. Padahal hampir tak bisa dipungkiri, sisitim seperti itulah yang membantu sastra untuk membumikan dirinya. Bahkan, sejumlah penerbit kecil ada yang berlaku serupa. Mereka juga berpandangan demikian, sehingga tak mengherankan kenapa tak mau mendistribusika buku-bukunya ke toko buku yang mereka anggap kapitalis.
Sbagian dari penerbit kecil yang anti kapitalis itu justru melakukan kapitalisasi. “Maling teriak maling”. Mereka menyoraki penerbit-penerbit besar. Tapi di sisi lain, penerbit-penerbit kecil itu, justru berladang di punggung sastrawan.
Saya pikir diperlukan saman keterbukaan diri. Tidak zamannya lagi kita menutup diri. Bukan berarti saya hendak menyarankan kaum sastrawan menggoyahkan idealisme.akan tetapi, sikap terbuka. Mau membuka mata terhadap strategi-strategi yang telah berhasil membumikan sastra di sisi-sisi, seperti yang dilakukan Andrea Hirata dan Es Ito. Jika keterbukaan diri tidak kita lakukan dan justru sibuk dengan menutup mata, tetntu gagasan untuk membumikan sastra hanya sebata gagasan. Tak terealisasikan. Hanya akan jadi wacana. Terus dan terus. Sementara, sastra akan tetap menjadi milik kaum elit, segelintir orang. Memang butuh sikap terbuka dan kerja ekstra.***
*) Saat ini sedang studi di S-2 Fakultas Ilmu Budaya UGM
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 27 Juni 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar