Usman Arrumy
http://sastra-indonesia.com
Seorang lelaki yang murni akan selalu bersikap tidak rela jika ia hidup tanpa pernah merasakan cinta, dan baiknya ia terus bertahan sekaligus memperjuangkan sikapnya sampai ke maqom supra-rasional– ke suatu tempat yang tak tersentuh oleh intelektualitas. Yang membedakan antara seseorang yang dengan tekun memelihara cinta dan tidak adalah tampak terhadap lakunya yang selalu menghindar dari kebencian. Setiap masa selalu ada sesuatu yang musti lekas ditulis, meski ia tak terjangkau definisi, rumus bahkan menolak kesimpulan, semata sebagai tindakan— upaya mengekalkan peristiwa.
Kanjeng Nabi suatu waktu menyatakan ”Man ahabba sya’ain aktsaro bi dzikrihi”– Seseorang yang mencintai sesuatu ia akan lebih banyak mengingat/menyebutnya. Sebenarnya ketika menyatakan itu, beliau sedang hendak memberi epistimologi bahwa cinta, betapapun intens-nya, ia tak akan pernah mencapai definisi, ia hanya bisa teraba melalui tanda-tanda. Mendefinisikannya justru hanya akan mereduksi potensi perasaan ke dalam sesuatu yang disebut ketidak-adilan— melunturkan konsep abstrak yang menjadi wataknya, maka sebenarnya, definisi itu tercipta hanya untuk menjelaskan kepada seseorang yang belum paham, sebab jika definisi itu ada, cinta akan menjadi anomali, bagaimana bisa seseorang yang sedang mempraktikkan sesuatu tidak paham apa yang ia praktikkan? Musykil.
Dalam riwayat lain, hadis di atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda tanpa mengurangi esensi dari maknanya: ‘’Man ahabba sya’ian katsuro dzikruhu’’—Seseorang yang mencintai sesuatu, akan banyak mengingat/menyebutnya. Ada perbedaan tipis di antara ke dua hadis tersebut, baik dari sisi kalimat atau maknanya, jika yang pertama menggunakan ‘’Aktsaro’’—Isim Tafdhil, sesuatu yang kapasitasnya bisa menurunkan derajat lainnya, wataknya selalu mengalahkan benda yang lain, pun demikian, ada kecenderungan pada satu sisi dengan lebih memusatkan perhatian untuk menggugurkan selainnya. Maka ini lebih bisa diterima sebagai tanda. Pada hadis yang ke dua itu, ia disampaikan dengan menggunakan ‘’Katsuro’’—makna yang masih berbanding lurus dengan lainnya, punya kedudukan makna yang setara.
Pendefinisian tentang cinta tidak bisa merumuskan suatu kesepakatan, ia terus bergerak melalui upaya-upaya. Hanya upaya, konklusi tidak tercapai. Dan ketika seseorang merasa berhasil mendefinisikan, sebenarnya ia hanya berpusar pada spekulasi, andai pun definisi yang ia cipta relevan dengan keadaannya, itu hanya akan bersifat sementara– ada periode yang membatasinya. Satu bukti kalau definisi itu tidak selalu eksak: Ketika seseorang mendefinisikan cinta, itu artinya akan meng-anulir definisi yang dibuat orang lain— Menganggap tidak sah karena tidak sepaham dengan apa yang ia rasakan. Sebab cinta dalam keadaan bahagia dan sedih itu akan selalu tidak dalam satu asese pengertian, itu artinya, kebenaran hanya milik satu orang, di sini definisi tak berdaya— system demokrasi berperan dalam hal ini.
Mungkin itu sebabnya Kanjeng Nabi lebih dominan menggunakan Tanda sebagai penghubung untuk mengenali cinta. Tanda lebih luwes fungsinya, sementara definisi sifatnya otoriter—menetapkan sesuatu ke dalam bentuk tanpa memperdulikan nasib lainnya. Dari sini aku melakukan pendekatan-pendekatan melalui otoritas penafsiran, bahwa ke dua hadis tersebut disampaikan Kanjeng Nabi terhadap sahabat yang berbeda, ada pertimbangan lebih dulu sebelum menyatakan, melihat tingkat kondisi obyektivitas sahabat. Sebab beliau tahu, setiap sahabat punya instrumen pemahaman dengan tingkat yang berbeda, ini yang mungkin menjadikan beliau bermain metafora
Ke dua hadis tersebut pun, tidak mengandung paradoksal, di antara ke duanya melemparkan efek masing-masing, sebagai identitas. ‘’Katsuro’’ membuat batas, sementara ‘’Aktsaro’’ lebih bebas. Pada kenyatannya, tak ada kontradiksi secara redaksional, ia hanya menggiring kita untuk memahami konteks-nya, sebab subyek dari ke dua hadis tersebut pada masa selanjutnya adalah kita. Maka dari ke duanya, kita mendapat akses untuk menciptakan teori— bukan melalui definisi, tapi via tanda-tanda: Menyebut dan Mengingat adalah alamiah dari tanda cinta.
Berangkat dari ke dua hadis tersebut, cinta mendapatkan identitas— Jenis afeksi yang maklum kita ketahui sebagai emosi lunak, atau memang, menyebut dan mengingat itu bentuk representasi dari pengenalan cinta secara intralinguistis (ciri yang menjadi perhatian utama). Dari sini tanda terbentuk menjadi sebuah pengalaman, menjadi karakter. Ya, karena jika cinta hadir sebagai konsep—definisi baku, ia akan mengalami dekadensi sikap, meski selalu ada ketidak-pastian dalam memahami cinta secara komplemen.
Sebenarnya peran tanda dalam hadis di atas cukup jelas—yaitu untuk menghindar dari konflik definisisme. Dalam hal ini, Kanjeng Nabi membuat jalur mekanisme cinta agar lebih mudah dikenali, bukan saja Menyebut dan Mengingat, dalam riwayat lain, tanda-tanda cinta dibuat 1) ia lebih suka berbicara dengan yang dicintai ketimbang dengan yang lain. Tentu beliau di sini tidak hendak mendefinisikan cinta, tanda-tanda lebih punya kapasitas untuk itu. Bahwa kecenderungan seseorang dengan cara mengabaikan yang lain adalah bentuk makro dari sisi tanda cinta itu sendiri, dan itu yang menyebabkan spiral kebencian tak punya kedudukan di dalam diri seseorang. Tak ada yang lebih patut disebut manusia ketimbang ia yang masih rutin memelihara cinta.
Andai saja definisi ada dalam riwayat di atas, akan ada kontradiksi: Sekarang yang diabaikan membuat definisi cinta atas dasar kesedihan, dan yang dicenderungi juga membuat definisi dengan latar-belakang kebahagiaan. Bahwa ia yang mendefinisikan cinta sebetulnya sedang memuja konsep. Dalam satu narasi, yang berkuasa adalah upaya-upaya, sementara definisi adalah menetapkan kondisi secara mutlak, seaktif apapun aksi seseorang untuk mewariskan definisi, pada satu saat akan terpengaruh keadaan, terminologi di sini gugur demi menumbuhkan persepsi dalam tanda petik.
2)’’ ia lebih suka berkumpul dengan yang dicintai tinimbang dengan yang lain.’’ Ini fase ke dua dari statemen Kanjeng Nabi terkait untuk mengenali cinta secara lebih dalam, lebih jauh dan lebih permanen. Sekali lagi, di sini beliau menggunakan konteks majas, tidak berusaha untuk menciptakan Ta’rif. Ta’rif hanya akan menimbulkan keluhan terhadap orang lain, oleh sebab itu, tanda menjadi petunjuk paling moderat tanpa menyakiti perasaan lainnya. Ta’rif—sebagaimana yang lazim disebut definisi, hanya tempat berlindung dari perbedaan, membuat jalan buntu dari sekian tikungan, menutup pintu bagi kemungkinan: Rasa syukur hanya untuk personal dengan mengabaikan penderitaan orang lain.
Fase yang ke dua ini semacam menjadi draf, bahwa cinta bisa menjadi identitas musti dimulai dengan percakapan, ada keseriusan yang terselip di antara tanda yang pertama dan ke dua: Unsur yang menjadi mata rantai. Percakapan belum tentu berkumpul, ia bisa berlaku dengan cara tidak kumpul, semisal via telpon, internet dan sejenisnya. Sementara berkumpul, bukan hanya bercakap, tapi bisa saling bisik, kumpul di sini berarti minimal sanggup bersitatap. Ada satu hadis yang sejalur dengan fase yang ke dua ini, memberikan asumsi sebagai dasar dalam tanda: Al-Mar’u ma’a man ahabba— seseorang akan bersama dengan orang yang di cintai. Ini semacam menjadi tesis, bahwa kumpul punya spektrum yang lebih luas dibanding percakapan.
Pada hadis yang pertama, tanda bahwa orang itu cinta adalah dilihat dari kecenderungan lebih banyak mengingat atau menyebut. Sementara, diksi mengingat akan berindikasi bahwa orang itu tidak sedang berkumpul, maka apakah bisa dinalar kegiatan mengingat itu aktif ketika ia sedang berkumpul? Dengan logika dan penalaran yang bersih akan dapat disimpulkan, bahwa mengangkat Tanda dengan cara menurunkan Definisi adalah kemungkinan yang tak terbandingkan. Sebab sejauh ini, yang berpendar hanya tanda-tanda— Tidak memutlakkan sesuatu ke dalam leksikal definisi.
Kita kini tahu bahwa mustahil rasanya jika cinta—yang selalu negasi dengan keberadaan definisi itu akan merubah wataknya menjadi tidak universal. Sebenarnya tanda-tanda di atas tersebut sudah terlampau terang, tapi kenyataannya, masih ada satu redaksi lanjutan sebagai penegasan rasionalitas tanda: 3) Ia lebih suka menuruti keinginan yang dicintai ketimbang kemauan orang lain atau diri sendiri. Kanjeng Nabi secara teratur meng-informasikan Tanda sebagai isyarat bahwa definisi itu berkabung. Dari sini nampak definisi tak menjanjikan apaapa selain hanya akan mengaburkan impresi melalui teks— definisi mengemban beban, meski aku tak pernah tahu apakah definisi akan siap menanggung konsep yang sah secara literer.
Pada titik terakhir dari ke tiga tanda ini, semacam menghadirkan konklusi; selaras dengan hadis dalam periwayatan yang lain ‘’Man ahabba syai’an fahuwa abduhu’’— seseorang yang mencintai sesuatu maka ia akan menjadi budaknya. Justru definisi hadir dalam konteks hadis tersebut, diksi ‘’fahuwa’’ itu menjadi jalur penghubung untuk mencapai kesimpulan. Meski pada akhirnya definisi itu tak berjanji untuk menghadirkan konklusi yang disepakati semua pihak.
Kondisi menjadi budak berarti mengalami limitasi dalam bersikap, ia tunduk terhadap keinginan-keinginan yang dicintai, berbeda budak dalam konteks perbudakan di masa yang silam dengan budak dalam pengertian yang menjadi kesumpulan cinta. Menjadi budak dari seorang yang bukan cintanya bisa jadi ia patuh tidak didasari rasa bahagia, maka di setiap senyumnya tidak selalu menunjukkan ketulusan, namun kesendirian yang hadir, ketegangan yang hadir dari kesendiriaan: Keterkucilan.
Rasa patuh terhadap keinginan yang dicintai adalah senyum yang sesungguhnya, rasa berkorban bergeser ke dalam kekosongan, setidaknya tanda ke tiga ini lebih berorientasi pada keintiman, keakraban, kemesraan yang tak berhinga. Makin jauh ia cinta, keinginan-keinginan yang dicintai praktis menjadi keinginannya juga, pada saat yang sama, rasa berkorban tak menjadi sesuatu yang luar biasa.
Cinta selalu bergerak melalui tanda-tanda yang tak pernah selesai: Cinta, barangkali hadir sebagai awal dari kesulitannya untuk berbicara, pada saat itu, tanda menjadi juru bicara. Tatkala definisi mengambil alih posisi tanda— memaksa masuk ke dalam keadaan cinta, maka sejujurnya tanda berkontemplasi ke dalam definisi itu sendiri, pemahaman bermetamorfosis menjadi sesuatu yang umum disebut entitas. Jika cinta musti didefinisikan, maka definisi itu sebanyak orang yang mendefinisikan cinta; tak terhingga dan tak terhitung jumlahnya []
4 july 2013, Kairo
Sesaat setelah Presiden Moursy lengser.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/07/tanda-sebagai-definisi-cinta/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar