Kamis, 04 Juli 2013

Tanda sebagai Definisi Cinta

Usman Arrumy
http://sastra-indonesia.com

Seorang lelaki yang murni akan selalu bersikap tidak rela jika ia hidup tanpa pernah merasakan cinta, dan baiknya ia terus bertahan sekaligus memperjuangkan sikapnya sampai ke maqom supra-rasional– ke suatu tempat yang tak tersentuh oleh intelektualitas. Yang membedakan antara seseorang yang dengan tekun memelihara cinta dan tidak adalah tampak terhadap lakunya yang selalu menghindar dari kebencian. Setiap masa selalu ada sesuatu yang musti lekas ditulis, meski ia tak terjangkau definisi, rumus bahkan menolak kesimpulan, semata sebagai tindakan— upaya mengekalkan peristiwa.

Kanjeng Nabi suatu waktu menyatakan ”Man ahabba sya’ain aktsaro bi dzikrihi”– Seseorang yang mencintai sesuatu ia akan lebih banyak mengingat/menyebutnya. Sebenarnya ketika menyatakan itu, beliau sedang hendak memberi epistimologi bahwa cinta, betapapun intens-nya, ia tak akan pernah mencapai definisi, ia hanya bisa teraba melalui tanda-tanda. Mendefinisikannya justru hanya akan mereduksi potensi perasaan ke dalam sesuatu yang disebut ketidak-adilan— melunturkan konsep abstrak yang menjadi wataknya, maka sebenarnya, definisi itu tercipta hanya untuk menjelaskan kepada seseorang yang belum paham, sebab jika definisi itu ada, cinta akan menjadi anomali, bagaimana bisa seseorang yang sedang mempraktikkan sesuatu tidak paham apa yang ia praktikkan? Musykil.

Dalam riwayat lain, hadis di atas disampaikan dengan redaksi yang berbeda tanpa mengurangi esensi dari maknanya: ‘’Man ahabba sya’ian katsuro dzikruhu’’—Seseorang yang mencintai sesuatu, akan banyak mengingat/menyebutnya. Ada perbedaan tipis di antara ke dua hadis tersebut, baik dari sisi kalimat atau maknanya, jika yang pertama menggunakan ‘’Aktsaro’’—Isim Tafdhil, sesuatu yang kapasitasnya bisa menurunkan derajat lainnya, wataknya selalu mengalahkan benda yang lain, pun demikian, ada kecenderungan pada satu sisi dengan lebih memusatkan perhatian untuk menggugurkan selainnya. Maka ini lebih bisa diterima sebagai tanda. Pada hadis yang ke dua itu, ia disampaikan dengan menggunakan ‘’Katsuro’’—makna yang masih berbanding lurus dengan lainnya, punya kedudukan makna yang setara.

Pendefinisian tentang cinta tidak bisa merumuskan suatu kesepakatan, ia terus bergerak melalui upaya-upaya. Hanya upaya, konklusi tidak tercapai. Dan ketika seseorang merasa berhasil mendefinisikan, sebenarnya ia hanya berpusar pada spekulasi, andai pun definisi yang ia cipta relevan dengan keadaannya, itu hanya akan bersifat sementara– ada periode yang membatasinya. Satu bukti kalau definisi itu tidak selalu eksak: Ketika seseorang mendefinisikan cinta, itu artinya akan meng-anulir definisi yang dibuat orang lain— Menganggap tidak sah karena tidak sepaham dengan apa yang ia rasakan. Sebab cinta dalam keadaan bahagia dan sedih itu akan selalu tidak dalam satu asese pengertian, itu artinya, kebenaran hanya milik satu orang, di sini definisi tak berdaya— system demokrasi berperan dalam hal ini.

Mungkin itu sebabnya Kanjeng Nabi lebih dominan menggunakan Tanda sebagai penghubung untuk mengenali cinta. Tanda lebih luwes fungsinya, sementara definisi sifatnya otoriter—menetapkan sesuatu ke dalam bentuk tanpa memperdulikan nasib lainnya. Dari sini aku melakukan pendekatan-pendekatan melalui otoritas penafsiran, bahwa ke dua hadis tersebut disampaikan Kanjeng Nabi terhadap sahabat yang berbeda, ada pertimbangan lebih dulu sebelum menyatakan, melihat tingkat kondisi obyektivitas sahabat. Sebab beliau tahu, setiap sahabat punya instrumen pemahaman dengan tingkat yang berbeda, ini yang mungkin menjadikan beliau bermain metafora

Ke dua hadis tersebut pun, tidak mengandung paradoksal, di antara ke duanya melemparkan efek masing-masing, sebagai identitas. ‘’Katsuro’’ membuat batas, sementara ‘’Aktsaro’’ lebih bebas. Pada kenyatannya, tak ada kontradiksi secara redaksional, ia hanya menggiring kita untuk memahami konteks-nya, sebab subyek dari ke dua hadis tersebut pada masa selanjutnya adalah kita. Maka dari ke duanya, kita mendapat akses untuk menciptakan teori— bukan melalui definisi, tapi via tanda-tanda: Menyebut dan Mengingat adalah alamiah dari tanda cinta.

Berangkat dari ke dua hadis tersebut, cinta mendapatkan identitas— Jenis afeksi yang maklum kita ketahui sebagai emosi lunak, atau memang, menyebut dan mengingat itu bentuk representasi dari pengenalan cinta secara intralinguistis (ciri yang menjadi perhatian utama). Dari sini tanda terbentuk menjadi sebuah pengalaman, menjadi karakter. Ya, karena jika cinta hadir sebagai konsep—definisi baku, ia akan mengalami dekadensi sikap, meski selalu ada ketidak-pastian dalam memahami cinta secara komplemen.

Sebenarnya peran tanda dalam hadis di atas cukup jelas—yaitu untuk menghindar dari konflik definisisme. Dalam hal ini, Kanjeng Nabi membuat jalur mekanisme cinta agar lebih mudah dikenali, bukan saja Menyebut dan Mengingat, dalam riwayat lain, tanda-tanda cinta dibuat 1) ia lebih suka berbicara dengan yang dicintai ketimbang dengan yang lain. Tentu beliau di sini tidak hendak mendefinisikan cinta, tanda-tanda lebih punya kapasitas untuk itu. Bahwa kecenderungan seseorang dengan cara mengabaikan yang lain adalah bentuk makro dari sisi tanda cinta itu sendiri, dan itu yang menyebabkan spiral kebencian tak punya kedudukan di dalam diri seseorang. Tak ada yang lebih patut disebut manusia ketimbang ia yang masih rutin memelihara cinta.

Andai saja definisi ada dalam riwayat di atas, akan ada kontradiksi: Sekarang yang diabaikan membuat definisi cinta atas dasar kesedihan, dan yang dicenderungi juga membuat definisi dengan latar-belakang kebahagiaan. Bahwa ia yang mendefinisikan cinta sebetulnya sedang memuja konsep. Dalam satu narasi, yang berkuasa adalah upaya-upaya, sementara definisi adalah menetapkan kondisi secara mutlak, seaktif apapun aksi seseorang untuk mewariskan definisi, pada satu saat akan terpengaruh keadaan, terminologi di sini gugur demi menumbuhkan persepsi dalam tanda petik.

2)’’ ia lebih suka berkumpul dengan yang dicintai tinimbang dengan yang lain.’’ Ini fase ke dua dari statemen Kanjeng Nabi terkait untuk mengenali cinta secara lebih dalam, lebih jauh dan lebih permanen. Sekali lagi, di sini beliau menggunakan konteks majas, tidak berusaha untuk menciptakan Ta’rif. Ta’rif hanya akan menimbulkan keluhan terhadap orang lain, oleh sebab itu, tanda menjadi petunjuk paling moderat tanpa menyakiti perasaan lainnya. Ta’rif—sebagaimana yang lazim disebut definisi, hanya tempat berlindung dari perbedaan, membuat jalan buntu dari sekian tikungan, menutup pintu bagi kemungkinan: Rasa syukur hanya untuk personal dengan mengabaikan penderitaan orang lain.

Fase yang ke dua ini semacam menjadi draf, bahwa cinta bisa menjadi identitas musti dimulai dengan percakapan, ada keseriusan yang terselip di antara tanda yang pertama dan ke dua: Unsur yang menjadi mata rantai. Percakapan belum tentu berkumpul, ia bisa berlaku dengan cara tidak kumpul, semisal via telpon, internet dan sejenisnya. Sementara berkumpul, bukan hanya bercakap, tapi bisa saling bisik, kumpul di sini berarti minimal sanggup bersitatap. Ada satu hadis yang sejalur dengan fase yang ke dua ini, memberikan asumsi sebagai dasar dalam tanda: Al-Mar’u ma’a man ahabba— seseorang akan bersama dengan orang yang di cintai. Ini semacam menjadi tesis, bahwa kumpul punya spektrum yang lebih luas dibanding percakapan.

Pada hadis yang pertama, tanda bahwa orang itu cinta adalah dilihat dari kecenderungan lebih banyak mengingat atau menyebut. Sementara, diksi mengingat akan berindikasi bahwa orang itu tidak sedang berkumpul, maka apakah bisa dinalar kegiatan mengingat itu aktif ketika ia sedang berkumpul? Dengan logika dan penalaran yang bersih akan dapat disimpulkan, bahwa mengangkat Tanda dengan cara menurunkan Definisi adalah kemungkinan yang tak terbandingkan. Sebab sejauh ini, yang berpendar hanya tanda-tanda— Tidak memutlakkan sesuatu ke dalam leksikal definisi.

Kita kini tahu bahwa mustahil rasanya jika cinta—yang selalu negasi dengan keberadaan definisi itu akan merubah wataknya menjadi tidak universal. Sebenarnya tanda-tanda di atas tersebut sudah terlampau terang, tapi kenyataannya, masih ada satu redaksi lanjutan sebagai penegasan rasionalitas tanda: 3) Ia lebih suka menuruti keinginan yang dicintai ketimbang kemauan orang lain atau diri sendiri. Kanjeng Nabi secara teratur meng-informasikan Tanda sebagai isyarat bahwa definisi itu berkabung. Dari sini nampak definisi tak menjanjikan apaapa selain hanya akan mengaburkan impresi melalui teks— definisi mengemban beban, meski aku tak pernah tahu apakah definisi akan siap menanggung konsep yang sah secara literer.

Pada titik terakhir dari ke tiga tanda ini, semacam menghadirkan konklusi; selaras dengan hadis dalam periwayatan yang lain ‘’Man ahabba syai’an fahuwa abduhu’’— seseorang yang mencintai sesuatu maka ia akan menjadi budaknya. Justru definisi hadir dalam konteks hadis tersebut, diksi ‘’fahuwa’’ itu menjadi jalur penghubung untuk mencapai kesimpulan. Meski pada akhirnya definisi itu tak berjanji untuk menghadirkan konklusi yang disepakati semua pihak.

Kondisi menjadi budak berarti mengalami limitasi dalam bersikap, ia tunduk terhadap keinginan-keinginan yang dicintai, berbeda budak dalam konteks perbudakan di masa yang silam dengan budak dalam pengertian yang menjadi kesumpulan cinta. Menjadi budak dari seorang yang bukan cintanya bisa jadi ia patuh tidak didasari rasa bahagia, maka di setiap senyumnya tidak selalu menunjukkan ketulusan, namun kesendirian yang hadir, ketegangan yang hadir dari kesendiriaan: Keterkucilan.

Rasa patuh terhadap keinginan yang dicintai adalah senyum yang sesungguhnya, rasa berkorban bergeser ke dalam kekosongan, setidaknya tanda ke tiga ini lebih berorientasi pada keintiman, keakraban, kemesraan yang tak berhinga. Makin jauh ia cinta, keinginan-keinginan yang dicintai praktis menjadi keinginannya juga, pada saat yang sama, rasa berkorban tak menjadi sesuatu yang luar biasa.

Cinta selalu bergerak melalui tanda-tanda yang tak pernah selesai: Cinta, barangkali hadir sebagai awal dari kesulitannya untuk berbicara, pada saat itu, tanda menjadi juru bicara. Tatkala definisi mengambil alih posisi tanda— memaksa masuk ke dalam keadaan cinta, maka sejujurnya tanda berkontemplasi ke dalam definisi itu sendiri, pemahaman bermetamorfosis menjadi sesuatu yang umum disebut entitas. Jika cinta musti didefinisikan, maka definisi itu sebanyak orang yang mendefinisikan cinta; tak terhingga dan tak terhitung jumlahnya []

4 july 2013, Kairo
Sesaat setelah Presiden Moursy lengser.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/07/tanda-sebagai-definisi-cinta/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar