Sabrank Suparno *
Sastra-indonesia.com
Besut dan folklor di belantara nusantara adalah seikat kembang bertangkai dua: satu berwajah polos nan lugu berperingai bocah ingusan sebuah desa terpelosok, yakni kampung Jombang, dua sebagai kawan sepermainan dengan anak-cucu folklor senusantara lainnya. Keduanya berbeda julukan dan tanah kelahiran, namun berperilaku sepadan, yakni khusuk bersila merenungi jati diri, dari rahim siapa ia lahir di muka bumi? Kemudian kedewasaan menghantarkan dirinya meniti asa cinta yang ternodai.
Besut memecahkan tangis sekitaran tahun 1894-1897. Demikian ujaran pengembara waktu saat menyongkar sepetak historiografi kancahnya. Sementara ratusan perantau ulung menyematkan pada kurun 1907. Apalah guna waktu jika tak ada wujud. Coer isak tangisnya memecahkan teori bulatan kandungan. Sebuah lingkaran menuju ketersibakan dimensial. Apapun keadannya, ia akan mengabadikan tugu monumental, menganuhgerahkan sejarah elemental bagi kenduri sosial.
Jabang bayi Besut lahir berlidah kidal, lantaran dirinya tak menorehkan balada kegetiran nafasnya secara jelas. Desir lirih pribumi yang membopongnya mengajari bertutur dengan bahasa kikuk. Dalam ayunan waktu, bunda menyenandungkan tembang pantun per-empu-annya, bahwa Besut menyimpan arti rahasia beberno maksud [menggelar suatu tujuan]. Ia terseok dan terantanan menjajaki masa depan yang berjarak selangkah demi selangkah. Hingga entah, siapa hendak menuntun dan menunjukkan jalan pertambatannya. Di sanalah, jika sampai waktunya, Besut mengudal manuskrip nan berdebu tentang suatu kisah sebuah negeri yang tidak menentu ini.
Menyisir suhuf yang dilontarkan Suwarni, Besut jejuluk Lerok jua. Pak Santik sang abdi kebupaten sekaligus petani tulen Jombang, mengisi tunggu musim semai sembari mengamen tembang. Dibantu Pak Amir, kedua pujangga bersolek menor, mencoreng muka, memoles wajah. Samar dan sayup dari kejauhan, pelupuk mata terkesan laksana badut menebar tawa. Karena dandan mencolok itulah kondang disebut pengamen Lerok [Suwarni, Bahasa, Sastra, Budaya, Gajah Mada University Press, 1991]. Dua insan pun bernyanyi bak tembang bersaut dengan irama mulut.
Hari pun terus melaju. Pujangga Santik beserta kawan yang bertambah menyusuri lajur berdebu dan bencah sawah. Warna-warni sahut suara mendampar di telinga, ijo, abang [hijau, merah] menderu, menyatu bersama hembusan nafasnya. Melambai satu desa untuk menyinggahi desa lainnya. Hidup selalu bersalaman dengan waktu yang terus terkejut dan tak terduga. Munculah ide melayang dari langit. Lalu mereka sebat dan mereka gurat agar kian semarak, Pak Santik mendapuk diri sebagai aktor utama Besut, perjaka melankoli. Sebagai ciri agar mudah dikenali, Besut berbusana kaos lorek, celana hitam penadon serta peci lancip mirip sang bayi.
Di altar-altar rumah, di perempatan jalan warga, bahkan di pojok punden desa dan gedung govermant, lakon Besut mulai digebyarkan. Adanya lawan dialog semakna bukan monolog. Teriring rancak mulut bergending. Ning nong ning gung cim plak cim plung. Namun penanda pangkal lakon berawal, Besut memejam mulut tersumpal. Sambil beranjak merangkak, Besut mendekat ke satu kawan pembawa obor. Sekali sembur syarat mantera, nyala obor mati tergelar cerita.
Dalam dramaturgi baku, Besut pemegang ksatria utama. Ia mencinta Rusmini, dara jelita pujaan menawan hati. Seorang gadis kembang desa nan mekar sayu rupawan. Bagi Besut, Rusmini serupa nyanyian dibilik sunyi. Serupa nyawa sebentuk cahaya. Dalam dendang Besut mengigau:
-Raja angin lintasi pulau-Sesekali pongah terbuai.
-Mandang wajahmu aku terpukau- Bukan paras, melainkan innerbeuty.
Namun apalah hendak dikata. Cinta Besut terhalang oleh tahta sang Paman Gondo yang sumbang. Rusmini yang tak bertuan ayah tercinta, membuat Paman kuasa mendaulah. Dengan wajah berbinar, Paman Gondo menjodohkan Rusmini dengan Sumo Gambar. Keterbatasan Besut sebagai kaum proletar tak cukup syarat modal meminang wanita terkasih pujaan hati. Hati Besut tecabik duri. Luka mengangah seribu sayatan, perih dan pedih. mendung pekat bergelayut, hujan cinta deras air mata. Tragedi Besut bukanlah kisah tunggal, ketika harta diperhitungkan kaum kapital terciptalah sungai deterministik dari masa silam, masa yang kelam. Berkali kali sumber bening ketulusan cinta harus mengalirkan tangis air mata. Paman Gondo tak menjodohkan tangis, menyaksikan tragis. Ia memilih yang menjanjikan adalah pemuda borjuis, Sumo Gambar. Demikianlah kehidupan anyir yang dicecapi Besut, berpijak pada petuah Godel, bahwa pengetahuan yang konsisten tak pernah lengkap, pengetahuan yang lengkap pun tak konsisten.
Dari bentangan paragraf di atas dapatlah diintip dari lubang jendela di antara beberapa pintu kajian humaniora. Misal, Besut adalah perlambang anak negeri, pribumi, kesadaran lokalitas keindonesiaan yang dinamis bergerak membaur mempertegas identitas menuju ruang entitas baru dari tiadanya Indonesia pra proklamasi menuju Indonesia sejati dari hari ke hari. Besut menyimbolkan nasionalisme, di mana pemilik kebudayaan agung negerinya disadari hingga lapisan jiwa paling holistik. Kekuatan dalam yang berlapis menyemburkan gemuruh energi demi melindungi kemerdekaan nurani. Penggalangan kekuatan individu untuk menangkis pengekangan daya jajah dari luar diri. Ialah temperatur internal untuk menyaring hembusan angin berwarna sringkah dari eksternal [Barat].
Demikian juga paras ayu Rusmini, wanita lugu gemuai. Perawan berkulit sedang. Tidak hitam legam penghuni Montenegro, juga tak putih lembek pencokol Benua Biru. Tak cebol negeri Sakura Timur Raya, tak menjulang bak manusia Eropa. Rusmini berkulit sawo matang, tampilan sebuah negeri nusantara. Negeri gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Adat moral nan sopan santun, memantik lentik jari jemari Rusmini indah berkelak kelok irama tari. Anggun nun menawan. Nusantara Rusmini adalah berjajar kepulauan bergandeng-gandeng mesrah sedari Sabang hingga Merauke. Dataran hijau royo-royo. Kala pagi menjelang, mentari menyelinap di antara ranting dan dahan. Adakah negeri sesumringah nusantara raya. Batas wilayah 6-11 derajat lintang, di sinilah ranjang jaga dan peraduan kehangatan mentari membelai bumi dengan sangat mengesankan. Aneka bunga warna warni, harum semerbak membuai jagat. Di dekapan dada nusantara Rusmini adalah ketenangan dari segala aktivitas kegalauan.
Rusmini tak berorangtua. Entah dari rahim siapa dirinya terlahir, tumbuh dan dewasa. Ia dipangku Paman Gondo, saudara tak jelas ayah tercinta, ibu nan mulia. Jika Rusmini bertubuh nusantara, berkebaya adat ketimuran adiluhung yang usianya ahistoris dari rekaman kolonial, maka Rusminilah saudara seibu yang melahirkan Majapahit, Sriwijaya, Kutai Kartanegara, Pajajaran dan lainnya. Ketika kemudian lahir anak lamkoar, jabang bayi ajaib yang bernama Indonesia, siapakah yang melahirkannya? Apakah sekadar mengikuti alur musim, bahwa belahan dunia sedang marak membikin komunitas yang bernama negara? Apakah diperhitungkan jua mendulang, memandikan, mendidik, meneteki dengan air susu republik, demokrasi, distrik persemakmuran, atau bahkan monarki? Sebagaian rahasia terjawab sudah, bahwa nama Indonesia adalah pemberian Subastian, sarjana Jerman tahun1884, atau rancangan G.R. Logan tahun 1850, bukan murni nama pribumi.
Itulah segudang tanya dan jawab mengenai status Rusmini yang yatim-piatu. Tiba-tiba Paman Gondo yang merawat, menuntun, menghardik dan membesarkannya. Paman Gondo menempati hak kursi legislatif dan yudikatif, merancang perundangundangan yang tumpangtindih silih berganti. Dan demi ambisi, Paman Gondo menukar kemontokan Rusmini dengan Sumo Gambar, seorang lelaki borjuis, berperawakan tinggi dan besar. Sosiawan Leak menakwilkan suara pedalaman Jawa Tengah, bahwa Sumo Gambar perlambang Barat, piawai pengibul kelas kakap, ahli mode desaign, pelukis segala sketsa. [Disampaikan Sosiawan Leak dan Beni Setia, diskusi kearifan lokal di Gor Jombang pada 10 Juli 2010]
Kisah inilah arti pemerasan santan dari lanskap pementasan Besutan. Yang ketika pengikut Pak Santik kian bertambah, Besut bermetamorfosis menjadi Ludruk. Artinya, bila diutas sesimpulan tali, berpangkal Besut dan Lerok dan berujung Ludruk dengan ciri pengibaran panji kebesaran bendera lawakan, lelucon, badhut nan geli. Pun pula jika ditelusuri arus anak sungai seni, Besut kecil dan Ludruk perjaka bertunas perenial dari hulu Candi Badhut simbol tari lelucon kondang kerajaan Kanyuruhan Malang, tatkala Gajayana pada tahun 760 M bertengger di singgasana tahta [Esai Gugun El Guyanie, Jurnal Kebudayaan The Sandour, hal 53, Pustaka Pujangga, 2008]. Lelucon dipilih sebagai ajang teraman dalam menyampaikan aspirasi politik, sebab kecerdikan berfungsi menyatukan bahasa rakyat banyak yang mengidentifikasi masalah yang dikeluhkan, diresahkan dan digumamkan. Selain itu media guyonan sulit dirumuskan dari kacamata politik [Baca: Tuhan Tidak Perlu Dibela, hal 178, Gus Dur, Lkis, 2000].
Mengulang sejarah, mengeja makna, Besut sangat bertaut dengan guratan perjuangan anak nusantara yang menghantar ke pintu gerbang garda berdirinya Indonesia. Lantas Indonesia macam apa? Macam mana? Macam bagaimana? Itulah keluasan beribu tanya yang harus disibak generasi penerus bangsa.
Mendedah perihal Besut tentu bukan sekedar kemalangan meratapi nasib. Seperti bocah dirundung duka nestapa waktu kanaknya. Kurun di mana bocah sedang asyik dengan dirinya, bagai siput pendiam dalam cangkang ujung lancip belulirnya. Percintaan dengan sejarah kontemporer membuat dirinya terhempas pada pengalaman standart yang ditemuinya dengan para tukang sihir eksistensialis. Ia tercabik atas jawaban puisi yang berlarat-larat, dengan penghianatan kenyataan dan ketidaksetiaan sedang membokonginya dan berselingkuh dengan kekasih baru di milyaran kebun belakang. Dengan enteng pecundang berkata: yang lalu biarlah berlalu, lenyap ditelan dingin ruang dan waktu, kebudayaan tak selamanya bisa diselamatkan, jika waktunya tamat, berakhirlah semua riwayat.
Sebagai anak zaman, menghadirkan kisah Besut tak pula hendak bermegalomania atas kebuntuan masa depan lantas mengembara, menziarahi masa lampau sekedar melulur batas pra-sejarah kelabu. Tidak pula menoleh seluruh warisan nenek moyang dengan menyusuri jalanan setapak di mana hujan air mata dan gemuruh tangis prahara mengirngi setiap langkah. Sementara di ubun-ubun menggumpal mendung pekat memeluk eloknya cakrawala. Dan pergumulan sang halilintar terus menyambar dari langit merah lembayung senja dengan letusan Undang Undang Dasar 45.
Realitas bangunan baru yang diidamkan Besut, yakni Indonesia telah longsor dan menyeretnya ke lembah alang kepalang. Gelombang keadaan yang berdebur di kepalanya sejak orde lama, orde baru, orde reformasi sampai orde tak jelas jluntrungnya. Masyarakat dihipnotis oleh rayuan para cukong yang mempertaruhkan digit digit angka ketimbang keperihatinan sublim para penyair. Indonesia yang lahir tahun 1945 kemarin sore bukanlah perkawinan penghulu dengan lelaki tulen yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI], melainkan palu godam perceraian dengan penjajah kolonial saat Herosima hancur dan Nagasaki lebur. Bahkan, pasca perceraian dengan kolonial pada 17 Agustus 1945 hingga sekarang belum ditemukan naskah konsensus yang sah perihal menikahnya Indonesia sebagai suatu negara dengan komitmen NKRI. Naskah Sumpah Pemuda yang kuat menjadi akte puisi percintaan nusantara justru lahir jauh pra-proklamasi. Sumpah Pemuda lahir tak ubahnya Bima Bungkus, lahir namun tak merasakan kenyataan gemerlap mayapada.
Jalan yang paling otientik bagi Besut adalah mencintai Rusmini. Gadis berwajah lautan bertubuh samudera, berdada hamparan kepulauan dan berpayudara gunung-gunung menjulang. Berkebaya adat ketimuran dan berselendang sayap garuda. Bagi Besut, jika mencintai Rusmini adalah suatu kesalahan dalam hidupnya, biarlah ia teguh kesalahan yang dipilihnya. Kesalahan dari percintaan yang tak jelas. Namun setidaknya ada upaya giat membebaskan Rusmini dari cengkeraman sang Paman Gondo. Ketika Paman Gondo berbaju Suharto, nusantara Rusmini diperkosa demi ambisi kelanggengan jabatannya. Ketika Paman Gondo berperilaku BJ. Habibie, referendum Timor Leste ternodai. ketika Paman Gondo menjelma Gus Dur, perang Sampit beribu nyawa gugur. Ketika pengasuh Rusmini berupa Megawati, kasih sayang pilih kasih, rakyat kecil terbelit ekonomi sedangkan pengusaha didanai. Apalagi ketika Paman Gondo di kursi reformasi, perangkat partai berlomba memperbesar korupsi.
Kapankah otientifikasi cinta Besut akan terwujud? Ia perlahan sadar, bahwa ketika menyuarakan realitas dalam berkarya, bukan semata penganut Lekra. Ia tau, ketika keindahan digurat secara ambigu, bukan semata anak si Manikebu. Juga ketika jihat suci menegakkan agama ilahi, bukan semata santri Lesbumi. Ia adalah pelaku abdi sejarah yang menjemput masa lalu, menggendong masa kini dan menghantarkan ke masa depan. Ia kubur pertengkaran kakeknya yang hanya rebutan uban dan jenggot panjang. Sejarah dipahami untuk mengaksentuasi bagi perjuangan diri.
Bilakah kecantikan Rusmini akan terbukti? Ialah ketika diketahui bahwa tubuhnya terlentang memanjang seperdelapan bumi. Berselonjor membujur dari timur ke barat menyerupahi sebentuk perahu. Kepala dan leher menjulur ke depan sedari selat Sunda sampai semenanjung Malaka, tata letak Sumatera. Sederet Jawa dan Sunda Kecil [Bali, Lombok, Sumbawa, Nusa Tenggara] menjadi alas bawah badan perahu. Sedang bamper belakang Irian Jaya. Kalimantan dan Sulawesi sebagai struktur bodi [disampaikan Emha Ainun Nadjib, pada Forum Padhang mBulan, 4 Juni 2012]. Sempurnalah perahu Nu-h-santara. Armada penyelamat peradaban tangguh. Empat puluh spesies, empat puluh hari nahkoda berlabuh.
Sebagai wanita yang mempunyai garis kodrat per-empu-an, Rusmini dikaruniai empu, yakni tunas yang bakal tumbuh dari rahim ibu. Kalau Rusmini sang Ibu Pertiwi, dialah pemilik keluasan kasih sayang luas tanpa batas, kasih anak sepanjang galah, tapi kasih ibu sepanjang masa. Warna warni anak zaman lahir dan tumbuh di pangkuannya. Anak tertua bernama timur yang lahir pertama, barulah menyusul tiga adik dalam urutan arah. Tiada filsafat pun yang membantah, bahwa ‘Timur’ dibanding’ Barat’ lebih muda [disampaikan Emha Ainun Nadjib di acara Bang Bang Wetan, Surabaya, pada 5 Juli 2012].
Saudara tua digadang mampu melindungi para adiknya. Timur lahir sebagai ksatria bermental baja, kebal krisis moneter dunia. Apalah segala punya, segala bisa, adat melimpah, suku bersahaja dan pluralisme agama berdampingan mesrah. Dan betapa semua terperangah, diam diam Mesir dan Timur Tengah sadar adanya rahasia American Spring, yakni Adi Kuasa meninabobokan dunia, Mesir menjadikan Indonesia sebagai prototipe cara hidupnya, tapi bukan prototipe pemerintah, melainkan kerukunan umat beragama [disampaikan Emha Ainun Nadjib pada Forum Padhang mBulan, pada 15 Agustus 2011].
Tanah Timur yang subur, dengan humus lahar melumpur merupakan anugerah petani menyemai sayur. Agri bisnis dan hortikultura, melimpahkan cadangan pangan saat krisis Eropa. Bersama Brazilia, Indonesia di garis ekuator katulistiwa akan tampil sebagai juru selamat dunia. Gelaran wilayah tropis yang dicurigai Arsyo Santos sebagai pusat kejayaan Atlantis. Negara penuh ladang yang ditumbuhi alang-alang [palawija].
Bukankah kebohongan Sumo Gambar perlahan terbongkar? Krisis finansial global membuat perekonomian Eropa terpental. Benua Biru yang kondang ternyata dibangun dari dana hutang. Dan ketika ditagih jatuh tempo, zona euro hanya melongo. Masa depan petrodollar pun bersiap terkapar. Spanyol yang mendapat donor bantuan dari Lembaga Stabilitas Finansial Eropa [EFSF], terbukti reaksi pasar semakin konyol. Realitas Eropa yang miskin sumber minyak akan sulit menawarkan ‘green economy’ direboisasi. Uni Eropa mengadakan pertemuan G-20 yang berlangsung di Los Cabos, Meksiko pada 18-19 Juni 2012. G-20 mengagendakan pembahasan tentang perkembangan ekonomi global sehubungan dengan penentuan berlangsungnya zona euro melalui pemilu Yunani 17 Juni 2012. Signal strategi mengatasi krisis Eropa dilontarkan presiden Prancis Francois Hollande dengan mekanisme rekapitalisasi pengucuran dana darurat IMF sebesar 900 miliar euro. Namun mekanisme penyuntikan bank-bank sakit semacam itu ditentang tegas pihak Jerman dan harus mencari mekanisme rekapitalisasi lain. Belum diketahui jelas apa rumusan yang akan digalang secara rahasia -bawah tanah- oleh pihak Berlin dalam membangkitkan krisis dan volatilitas harga komoditas. Keadaan ini suatu gambaran, bahwa penghuni rumah megah tanpa pangan dan minyak pengeboran, Sumo Gambar terkapar kelaparan.
Berpetak paragraf dalam area pemaparan di atas terkumpul seikat simpul, bahwa kenapa Besut gigih mencintai Rusmini? Pak Santik sang anak negeri mengguratkan mahakarkarya jiwa sebagai herbarium perjuangan seni. Jika sudah terkabar banjir krisis akan menjalar, perahu Nu-h-santaralah yang siap menghantar. Lantas sejauh manakah para perantau Jombang dalam menyinggahi sejarah ulang ketika pulang? Besut hanyalah teater lokal, tapi aktornya melakonkan tema nasional dan internasional.
*) Penulis pernah menjadi peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011. Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Bergiat di Lincak Sastra. Beralamat di Desa Plosokerep (Dowong) RT/RW:08/02, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Email: sabrank_bre@yahoo.com
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar