Selasa, 02 Oktober 2012

Besut Seikat Kembang Nusantara

Sabrank Suparno *
Sastra-indonesia.com

Besut dan folklor di belantara nusantara adalah seikat kembang bertangkai dua: satu berwajah polos nan lugu berperingai bocah ingusan sebuah desa terpelosok, yakni kampung Jombang, dua sebagai kawan sepermainan dengan anak-cucu folklor senusantara lainnya. Keduanya berbeda julukan dan tanah kelahiran, namun berperilaku sepadan, yakni khusuk bersila merenungi jati diri, dari rahim siapa ia lahir di muka bumi? Kemudian kedewasaan menghantarkan dirinya meniti asa cinta yang ternodai.

Besut memecahkan tangis sekitaran tahun 1894-1897. Demikian ujaran pengembara waktu saat menyongkar sepetak historiografi kancahnya. Sementara ratusan perantau ulung menyematkan pada kurun 1907. Apalah guna waktu jika tak ada wujud. Coer isak tangisnya memecahkan teori bulatan kandungan. Sebuah lingkaran menuju ketersibakan dimensial. Apapun keadannya, ia akan mengabadikan tugu monumental, menganuhgerahkan sejarah elemental bagi kenduri sosial.

Jabang bayi Besut lahir berlidah kidal, lantaran dirinya tak menorehkan balada kegetiran nafasnya secara jelas. Desir lirih pribumi yang membopongnya mengajari bertutur dengan bahasa kikuk. Dalam ayunan waktu, bunda menyenandungkan tembang pantun per-empu-annya, bahwa Besut menyimpan arti rahasia beberno maksud [menggelar suatu tujuan]. Ia terseok dan terantanan menjajaki masa depan yang berjarak selangkah demi selangkah. Hingga entah, siapa hendak menuntun dan menunjukkan jalan pertambatannya. Di sanalah, jika sampai waktunya, Besut mengudal manuskrip nan berdebu tentang suatu kisah sebuah negeri yang tidak menentu ini.

Menyisir suhuf yang dilontarkan Suwarni, Besut jejuluk Lerok jua. Pak Santik sang abdi kebupaten sekaligus petani tulen Jombang, mengisi tunggu musim semai sembari mengamen tembang. Dibantu Pak Amir, kedua pujangga bersolek menor, mencoreng muka, memoles wajah. Samar dan sayup dari kejauhan, pelupuk mata terkesan laksana badut menebar tawa. Karena dandan mencolok itulah kondang disebut pengamen Lerok [Suwarni, Bahasa, Sastra, Budaya, Gajah Mada University Press, 1991]. Dua insan pun bernyanyi bak tembang bersaut dengan irama mulut.

Hari pun terus melaju. Pujangga Santik beserta kawan yang bertambah menyusuri lajur berdebu dan bencah sawah. Warna-warni sahut suara mendampar di telinga, ijo, abang [hijau, merah] menderu, menyatu bersama hembusan nafasnya. Melambai satu desa untuk menyinggahi desa lainnya. Hidup selalu bersalaman dengan waktu yang terus terkejut dan tak terduga. Munculah ide melayang dari langit. Lalu mereka sebat dan mereka gurat agar kian semarak, Pak Santik mendapuk diri sebagai aktor utama Besut, perjaka melankoli. Sebagai ciri agar mudah dikenali, Besut berbusana kaos lorek, celana hitam penadon serta peci lancip mirip sang bayi.

Di altar-altar rumah, di perempatan jalan warga, bahkan di pojok punden desa dan gedung govermant, lakon Besut mulai digebyarkan. Adanya lawan dialog semakna bukan monolog. Teriring rancak mulut bergending. Ning nong ning gung cim plak cim plung. Namun penanda pangkal lakon berawal, Besut memejam mulut tersumpal. Sambil beranjak merangkak, Besut mendekat ke satu kawan pembawa obor. Sekali sembur syarat mantera, nyala obor mati tergelar cerita.

Dalam dramaturgi baku, Besut pemegang ksatria utama. Ia mencinta Rusmini, dara jelita pujaan menawan hati. Seorang gadis kembang desa nan mekar sayu rupawan. Bagi Besut, Rusmini serupa nyanyian dibilik sunyi. Serupa nyawa sebentuk cahaya. Dalam dendang Besut mengigau:

-Raja angin lintasi pulau-Sesekali pongah terbuai.
-Mandang wajahmu aku terpukau- Bukan paras, melainkan innerbeuty.

Namun apalah hendak dikata. Cinta Besut terhalang oleh tahta sang Paman Gondo yang sumbang. Rusmini yang tak bertuan ayah tercinta, membuat Paman kuasa mendaulah. Dengan wajah berbinar, Paman Gondo menjodohkan Rusmini dengan Sumo Gambar. Keterbatasan Besut sebagai kaum proletar tak cukup syarat modal meminang wanita terkasih pujaan hati. Hati Besut tecabik duri. Luka mengangah seribu sayatan, perih dan pedih. mendung pekat bergelayut, hujan cinta deras air mata. Tragedi Besut bukanlah kisah tunggal, ketika harta diperhitungkan kaum kapital terciptalah sungai deterministik dari masa silam, masa yang kelam. Berkali kali sumber bening ketulusan cinta harus mengalirkan tangis air mata. Paman Gondo tak menjodohkan tangis, menyaksikan tragis. Ia memilih yang menjanjikan adalah pemuda borjuis, Sumo Gambar. Demikianlah kehidupan anyir yang dicecapi Besut, berpijak pada petuah Godel, bahwa pengetahuan yang konsisten tak pernah lengkap, pengetahuan yang lengkap pun tak konsisten.

Dari bentangan paragraf di atas dapatlah diintip dari lubang jendela di antara beberapa pintu kajian humaniora. Misal, Besut adalah perlambang anak negeri, pribumi, kesadaran lokalitas keindonesiaan yang dinamis bergerak membaur mempertegas identitas menuju ruang entitas baru dari tiadanya Indonesia pra proklamasi menuju Indonesia sejati dari hari ke hari. Besut menyimbolkan nasionalisme, di mana pemilik kebudayaan agung negerinya disadari hingga lapisan jiwa paling holistik. Kekuatan dalam yang berlapis menyemburkan gemuruh energi demi melindungi kemerdekaan nurani. Penggalangan kekuatan individu untuk menangkis pengekangan daya jajah dari luar diri. Ialah temperatur internal untuk menyaring hembusan angin berwarna sringkah dari eksternal [Barat].

Demikian juga paras ayu Rusmini, wanita lugu gemuai. Perawan berkulit sedang. Tidak hitam legam penghuni Montenegro, juga tak putih lembek pencokol Benua Biru. Tak cebol negeri Sakura Timur Raya, tak menjulang bak manusia Eropa. Rusmini berkulit sawo matang, tampilan sebuah negeri nusantara. Negeri gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo. Adat moral nan sopan santun, memantik lentik jari jemari Rusmini indah berkelak kelok irama tari. Anggun nun menawan. Nusantara Rusmini adalah berjajar kepulauan bergandeng-gandeng mesrah sedari Sabang hingga Merauke. Dataran hijau royo-royo. Kala pagi menjelang, mentari menyelinap di antara ranting dan dahan. Adakah negeri sesumringah nusantara raya. Batas wilayah 6-11 derajat lintang, di sinilah ranjang jaga dan peraduan kehangatan mentari membelai bumi dengan sangat mengesankan. Aneka bunga warna warni, harum semerbak membuai jagat. Di dekapan dada nusantara Rusmini adalah ketenangan dari segala aktivitas kegalauan.

Rusmini tak berorangtua. Entah dari rahim siapa dirinya terlahir, tumbuh dan dewasa. Ia dipangku Paman Gondo, saudara tak jelas ayah tercinta, ibu nan mulia. Jika Rusmini bertubuh nusantara, berkebaya adat ketimuran adiluhung yang usianya ahistoris dari rekaman kolonial, maka Rusminilah saudara seibu yang melahirkan Majapahit, Sriwijaya, Kutai Kartanegara, Pajajaran dan lainnya. Ketika kemudian lahir anak lamkoar, jabang bayi ajaib yang bernama Indonesia, siapakah yang melahirkannya? Apakah sekadar mengikuti alur musim, bahwa belahan dunia sedang marak membikin komunitas yang bernama negara? Apakah diperhitungkan jua mendulang, memandikan, mendidik, meneteki dengan air susu republik, demokrasi, distrik persemakmuran, atau bahkan monarki? Sebagaian rahasia terjawab sudah, bahwa nama Indonesia adalah pemberian Subastian, sarjana Jerman tahun1884, atau rancangan G.R. Logan tahun 1850, bukan murni nama pribumi.

Itulah segudang tanya dan jawab mengenai status Rusmini yang yatim-piatu. Tiba-tiba Paman Gondo yang merawat, menuntun, menghardik dan membesarkannya. Paman Gondo menempati hak kursi legislatif dan yudikatif, merancang perundangundangan yang tumpangtindih silih berganti. Dan demi ambisi, Paman Gondo menukar kemontokan Rusmini dengan Sumo Gambar, seorang lelaki borjuis, berperawakan tinggi dan besar. Sosiawan Leak menakwilkan suara pedalaman Jawa Tengah, bahwa Sumo Gambar perlambang Barat, piawai pengibul kelas kakap, ahli mode desaign, pelukis segala sketsa. [Disampaikan Sosiawan Leak dan Beni Setia, diskusi kearifan lokal di Gor Jombang pada 10 Juli 2010]

Kisah inilah arti pemerasan santan dari lanskap pementasan Besutan. Yang ketika pengikut Pak Santik kian bertambah, Besut bermetamorfosis menjadi Ludruk. Artinya, bila diutas sesimpulan tali, berpangkal Besut dan Lerok dan berujung Ludruk dengan ciri pengibaran panji kebesaran bendera lawakan, lelucon, badhut nan geli. Pun pula jika ditelusuri arus anak sungai seni, Besut kecil dan Ludruk perjaka bertunas perenial dari hulu Candi Badhut simbol tari lelucon kondang kerajaan Kanyuruhan Malang, tatkala Gajayana pada tahun 760 M bertengger di singgasana tahta [Esai Gugun El Guyanie, Jurnal Kebudayaan The Sandour, hal 53, Pustaka Pujangga, 2008]. Lelucon dipilih sebagai ajang teraman dalam menyampaikan aspirasi politik, sebab kecerdikan berfungsi menyatukan bahasa rakyat banyak yang mengidentifikasi masalah yang dikeluhkan, diresahkan dan digumamkan. Selain itu media guyonan sulit dirumuskan dari kacamata politik [Baca: Tuhan Tidak Perlu Dibela, hal 178, Gus Dur, Lkis, 2000].

Mengulang sejarah, mengeja makna, Besut sangat bertaut dengan guratan perjuangan anak nusantara yang menghantar ke pintu gerbang garda berdirinya Indonesia. Lantas Indonesia macam apa? Macam mana? Macam bagaimana? Itulah keluasan beribu tanya yang harus disibak generasi penerus bangsa.

Mendedah perihal Besut tentu bukan sekedar kemalangan meratapi nasib. Seperti bocah dirundung duka nestapa waktu kanaknya. Kurun di mana bocah sedang asyik dengan dirinya, bagai siput pendiam dalam cangkang ujung lancip belulirnya. Percintaan dengan sejarah kontemporer membuat dirinya terhempas pada pengalaman standart yang ditemuinya dengan para tukang sihir eksistensialis. Ia tercabik atas jawaban puisi yang berlarat-larat, dengan penghianatan kenyataan dan ketidaksetiaan sedang membokonginya dan berselingkuh dengan kekasih baru di milyaran kebun belakang. Dengan enteng pecundang berkata: yang lalu biarlah berlalu, lenyap ditelan dingin ruang dan waktu, kebudayaan tak selamanya bisa diselamatkan, jika waktunya tamat, berakhirlah semua riwayat.

Sebagai anak zaman, menghadirkan kisah Besut tak pula hendak bermegalomania atas kebuntuan masa depan lantas mengembara, menziarahi masa lampau sekedar melulur batas pra-sejarah kelabu. Tidak pula menoleh seluruh warisan nenek moyang dengan menyusuri jalanan setapak di mana hujan air mata dan gemuruh tangis prahara mengirngi setiap langkah. Sementara di ubun-ubun menggumpal mendung pekat memeluk eloknya cakrawala. Dan pergumulan sang halilintar terus menyambar dari langit merah lembayung senja dengan letusan Undang Undang Dasar 45.

Realitas bangunan baru yang diidamkan Besut, yakni Indonesia telah longsor dan menyeretnya ke lembah alang kepalang. Gelombang keadaan yang berdebur di kepalanya sejak orde lama, orde baru, orde reformasi sampai orde tak jelas jluntrungnya. Masyarakat dihipnotis oleh rayuan para cukong yang mempertaruhkan digit digit angka ketimbang keperihatinan sublim para penyair. Indonesia yang lahir tahun 1945 kemarin sore bukanlah perkawinan penghulu dengan lelaki tulen yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI], melainkan palu godam perceraian dengan penjajah kolonial saat Herosima hancur dan Nagasaki lebur. Bahkan, pasca perceraian dengan kolonial pada 17 Agustus 1945 hingga sekarang belum ditemukan naskah konsensus yang sah perihal menikahnya Indonesia sebagai suatu negara dengan komitmen NKRI. Naskah Sumpah Pemuda yang kuat menjadi akte puisi percintaan nusantara justru lahir jauh pra-proklamasi. Sumpah Pemuda lahir tak ubahnya Bima Bungkus, lahir namun tak merasakan kenyataan gemerlap mayapada.

Jalan yang paling otientik bagi Besut adalah mencintai Rusmini. Gadis berwajah lautan bertubuh samudera, berdada hamparan kepulauan dan berpayudara gunung-gunung menjulang. Berkebaya adat ketimuran dan berselendang sayap garuda. Bagi Besut, jika mencintai Rusmini adalah suatu kesalahan dalam hidupnya, biarlah ia teguh kesalahan yang dipilihnya. Kesalahan dari percintaan yang tak jelas. Namun setidaknya ada upaya giat membebaskan Rusmini dari cengkeraman sang Paman Gondo. Ketika Paman Gondo berbaju Suharto, nusantara Rusmini diperkosa demi ambisi kelanggengan jabatannya. Ketika Paman Gondo berperilaku BJ. Habibie, referendum Timor Leste ternodai. ketika Paman Gondo menjelma Gus Dur, perang Sampit beribu nyawa gugur. Ketika pengasuh Rusmini berupa Megawati, kasih sayang pilih kasih, rakyat kecil terbelit ekonomi sedangkan pengusaha didanai. Apalagi ketika Paman Gondo di kursi reformasi, perangkat partai berlomba memperbesar korupsi.

Kapankah otientifikasi cinta Besut akan terwujud? Ia perlahan sadar, bahwa ketika menyuarakan realitas dalam berkarya, bukan semata penganut Lekra. Ia tau, ketika keindahan digurat secara ambigu, bukan semata anak si Manikebu. Juga ketika jihat suci menegakkan agama ilahi, bukan semata santri Lesbumi. Ia adalah pelaku abdi sejarah yang menjemput masa lalu, menggendong masa kini dan menghantarkan ke masa depan. Ia kubur pertengkaran kakeknya yang hanya rebutan uban dan jenggot panjang. Sejarah dipahami untuk mengaksentuasi bagi perjuangan diri.

Bilakah kecantikan Rusmini akan terbukti? Ialah ketika diketahui bahwa tubuhnya terlentang memanjang seperdelapan bumi. Berselonjor membujur dari timur ke barat menyerupahi sebentuk perahu. Kepala dan leher menjulur ke depan sedari selat Sunda sampai semenanjung Malaka, tata letak Sumatera. Sederet Jawa dan Sunda Kecil [Bali, Lombok, Sumbawa, Nusa Tenggara] menjadi alas bawah badan perahu. Sedang bamper belakang Irian Jaya. Kalimantan dan Sulawesi sebagai struktur bodi [disampaikan Emha Ainun Nadjib, pada Forum Padhang mBulan, 4 Juni 2012]. Sempurnalah perahu Nu-h-santara. Armada penyelamat peradaban tangguh. Empat puluh spesies, empat puluh hari nahkoda berlabuh.

Sebagai wanita yang mempunyai garis kodrat per-empu-an, Rusmini dikaruniai empu, yakni tunas yang bakal tumbuh dari rahim ibu. Kalau Rusmini sang Ibu Pertiwi, dialah pemilik keluasan kasih sayang luas tanpa batas, kasih anak sepanjang galah, tapi kasih ibu sepanjang masa. Warna warni anak zaman lahir dan tumbuh di pangkuannya. Anak tertua bernama timur yang lahir pertama, barulah menyusul tiga adik dalam urutan arah. Tiada filsafat pun yang membantah, bahwa ‘Timur’ dibanding’ Barat’ lebih muda [disampaikan Emha Ainun Nadjib di acara Bang Bang Wetan, Surabaya, pada 5 Juli 2012].

Saudara tua digadang mampu melindungi para adiknya. Timur lahir sebagai ksatria bermental baja, kebal krisis moneter dunia. Apalah segala punya, segala bisa, adat melimpah, suku bersahaja dan pluralisme agama berdampingan mesrah. Dan betapa semua terperangah, diam diam Mesir dan Timur Tengah sadar adanya rahasia American Spring, yakni Adi Kuasa meninabobokan dunia, Mesir menjadikan Indonesia sebagai prototipe cara hidupnya, tapi bukan prototipe pemerintah, melainkan kerukunan umat beragama [disampaikan Emha Ainun Nadjib pada Forum Padhang mBulan, pada 15 Agustus 2011].

Tanah Timur yang subur, dengan humus lahar melumpur merupakan anugerah petani menyemai sayur. Agri bisnis dan hortikultura, melimpahkan cadangan pangan saat krisis Eropa. Bersama Brazilia, Indonesia di garis ekuator katulistiwa akan tampil sebagai juru selamat dunia. Gelaran wilayah tropis yang dicurigai Arsyo Santos sebagai pusat kejayaan Atlantis. Negara penuh ladang yang ditumbuhi alang-alang [palawija].

Bukankah kebohongan Sumo Gambar perlahan terbongkar? Krisis finansial global membuat perekonomian Eropa terpental. Benua Biru yang kondang ternyata dibangun dari dana hutang. Dan ketika ditagih jatuh tempo, zona euro hanya melongo. Masa depan petrodollar pun bersiap terkapar. Spanyol yang mendapat donor bantuan dari Lembaga Stabilitas Finansial Eropa [EFSF], terbukti reaksi pasar semakin konyol. Realitas Eropa yang miskin sumber minyak akan sulit menawarkan ‘green economy’ direboisasi. Uni Eropa mengadakan pertemuan G-20 yang berlangsung di Los Cabos, Meksiko pada 18-19 Juni 2012. G-20 mengagendakan pembahasan tentang perkembangan ekonomi global sehubungan dengan penentuan berlangsungnya zona euro melalui pemilu Yunani 17 Juni 2012. Signal strategi mengatasi krisis Eropa dilontarkan presiden Prancis Francois Hollande dengan mekanisme rekapitalisasi pengucuran dana darurat IMF sebesar 900 miliar euro. Namun mekanisme penyuntikan bank-bank sakit semacam itu ditentang tegas pihak Jerman dan harus mencari mekanisme rekapitalisasi lain. Belum diketahui jelas apa rumusan yang akan digalang secara rahasia -bawah tanah- oleh pihak Berlin dalam membangkitkan krisis dan volatilitas harga komoditas. Keadaan ini suatu gambaran, bahwa penghuni rumah megah tanpa pangan dan minyak pengeboran, Sumo Gambar terkapar kelaparan.

Berpetak paragraf dalam area pemaparan di atas terkumpul seikat simpul, bahwa kenapa Besut gigih mencintai Rusmini? Pak Santik sang anak negeri mengguratkan mahakarkarya jiwa sebagai herbarium perjuangan seni. Jika sudah terkabar banjir krisis akan menjalar, perahu Nu-h-santaralah yang siap menghantar. Lantas sejauh manakah para perantau Jombang dalam menyinggahi sejarah ulang ketika pulang? Besut hanyalah teater lokal, tapi aktornya melakonkan tema nasional dan internasional.

*) Penulis pernah menjadi peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011. Lahir di Jombang 24 Maret 1975. Menulis esai, puisi, cerpen, cerkak bahasa nJombangan. Bergiat di Lincak Sastra. Beralamat di Desa Plosokerep (Dowong) RT/RW:08/02, Kecamatan Sumobito, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Email: sabrank_bre@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar