Heboh. Mungkin itulah kata paling heboh di jagat media sejak kemarin. Bukan perkara gempa. Apalagi tsunami. Tapi, bisa jadi merupakan keduanya bagi pihak terkait, terutama yang bersangkutan sendiri. Adalah Ratna Sarumpaet. Seorang seniman, sudah lama berkecimpung di dunia penulisan dan panggung, bahkan aktivis senior telah membuat heboh negeri ini dengan sebuah kebohongan. Namun bisa dikatakan, kebohongan yang mengundang tanda tanya. Setidaknya terbesit sebuah pertanyaan sederhana, apa benar seperti itu kenyataannya? Seorang pengarang cerita seperti dia tentu paham betul betapa pentingnya latar tempat. Sebab, setiap peristiwa pastilah terjadi di suatu tempat, bukan? Katakanlah di gunung, desa, kota, dan lainnya, termasuk di got yang becek. Karena itulah, penentuan lokasinya tidak boleh sembarangan. Termasuk juga mempertimbangkan nalar sesuai isi ceritanya. Sebut saja dia mengarang dirinya dipukuli di Kota Bandung. Maka, untuk membangun alur cerita yang masuk akal, dia sendiri harus diperjalankan dan sampai di kota itu. Bukannya malah menempatkan dirinya sendiri di kota lain, yakni Jakarta. Berbeda jika tokoh Ratna ini yang memukuli dan hendak merekayasa alibi, barulah tempat lain diperlukan sebagai bukti bahwa dia pada waktu peristiwa terjadi tidak berada di tempat kejadian perkara.
Melihat dari sisi ini, ceritanya terkesan main-main. Tidak
serius. Malahan alurnya seperti sengaja dibuat sesingkat-singkatnya terbongkar
bahwa dia berbohong. Lalu muncul pertanyaan, mungkinkah seorang Ratna membuat
naskah sejelek itu? Ataukah kebohongan itu adalah suspense yang sengaja
diciptakan Ratna agar menimbulkan pertanyaan dengan harapan masyarakat kian
penasaran akan kelanjutannya? Kemudian foreshadowing-nya akan dimunculkan pada
babak berikutnya? Agaknya hanya dia dan Tuhan saja yang tahu jawaban tersebut.
Dan, InsyaAllah kita akan mengetahuinya seiring rentang waktu penceritaan
hingga usai. Lama atau tidak yaaaa?
Meski demikian, satu hal yang saya tangkap. Secara sadar atau
tidak, dia sudah membuka sebuah pintu dalam dunia politik saat ini. Coba
perhatikan, ada saja makhluk politik yang gigih mengaitkan antara kebohongan
Ratna dan statusnya yang juga sebagai pelaku seni sastra. Sebut saja ada yang
mengatakan bahwa Ratna tidak sendirian dalam membuat kebohongan lemahnya itu, melainkan
ada sutradara, dan lainnya. Ini terkesan sudah ada kait-mengait antara dunia
politik dan dunia seni sastra. Kalau sudah begitu, mengapa para elit politik
tidak sekalian saja memedulikan sastra secara serius? Maksud saya sastra dalam
arti sesungguhnya, yaitu seni yang positif dan bukan bermakna kebohongan.
Misalnya ke depan, ada paslon capres dan cawapres yang menyuarakan niat baik
akan lebih memajukan dunia sastra di tanah air ini jika mereka menang dalam
pilpres. Oh akan adakah? Sekali lagi kita tunggu saja seiring rentang waktu
yang tersedia.
Ah, tapi sudahlah! Lupakan bagian terakhir soal kepedulian elit
politik terhadap dunia sastra ini. Karena poin utamanya bukanlah itu.
Melainkan, sebagai rakyat, kita idealnya memilih berada di TKP dan bukan merekayasa
alibi. Maksudnya, menjadilah mandiri sebagai pelaku dalam pembangunan bangsa
ini. Berimajinasilah, lalu berdoalah, dan berusahalah mewujudkan setiap
imajinasi menjadi kenyataan. Dengan begitu, tidak sekadar impian yang tersimpan
dalam jiwa, apalagi harus merekayasa alibi agar aman dalam kebohongan.
4
Oktober 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar