Alunk Estohank **
mpusastra.blogspot.co.id
Kau kembali
memanggilku
Padahal
telah kuselesaikan janji, mimpi-mimpi
Dan resah
masa lalu.
Jika bukan
karenamu telah kulipat perjumpaan ini.
Puisi kembali
mempertemukanku pada ruang yang selama 1 tahun lebih ini membuat jarak, sampai
rindu bertatap, tertawa dan makan bareng adalah hal yang paling menakutkan
bagiku. Telah kuputuskan pilihan setelah panggung menjadi kenangan. Kini entah
kenapa seakan-akan ada yang kembali memanggilku untuk kembali menyeduh keringat
yang sudah lama mengering. Padahal tempat ini yang memaksaku untuk membuat
pilihan, dan memilih adalah keputusan paling final dalam hidupku. Namun kini
aku harus kembali dengan sampul muka dan hati yang sama, bercanda dan tertawa
layaknya dulu aku menghabiskan waktu di sini. Bukan lagi sebagai properti
panggung atau kalau bahasa teman-teman teater Eska aktor seperti itu.
Panggilan
batin ini adalah puisi. Sebenarnya ada apa dengan puisi, bukankah puisi adalah
baju para seniman sedangkan aku hanyalah pengembara selatan dan utara yang tak
tau apa-apa. Tapi tak apalah sebab karena puisi aku kembali melihat peta di
tubuhmu.
Puisi. Sungguh
ini tak pernah terbayangkan sebelumnya, dan saya merasa tidak pantas untuk
menjadi pembicara pada kali ini. Apalagi harus membahas masalah puisi. Sebab
saya belajar menulis puisi setelah pentas produksi teater Eska selesai di
helat. Dan selama itu saya harus membagi waktu antara kuliah dan menulis. Dari
proses yang sebentar itu kiranya tidak pantas bagiku berbicara panjang lebar
masalah tentang puisi. Namun apa boleh dikata bila kesepakatan telah selesai
disepakati dan juga ini sebagai pembelajaran bagiku.
Puisi adalah
puncak dari segala karya sastra, oleh karena itu saya tidak bisa mendefinisikan
apa itu puisi. Kalau “ Muhammad Ali Fakih ” (penyair Kutub) mengatakanpuisi
itu adalah masalah yang sengaja di ciptakan. Tapi kalau “ Pablo Neruda ”
(prancis) berbeda mendefinisikan puisi. Bagi dia puisi adalah darah
masa lalu atau persoalan saat ini yang di ciptakan dengan cucuran keringatnya.
Sedangkan bagi “ Otto Sukatno CR ” (penyair Eska) dalam pengantarnya di
antologi puisi (prosenium) mengungkapkan bahwa puisi adalah
masalah-masalah neurotic (kejiwaan). Dan banyak penyair lain
mendefinisikan puisi. Maka dari itu puisi tidak mempunyai definisi yang tetap
dan itu terserah kalian mau mendefinisikan puisi sebagai apa. Dan yang penting,
dunia puisi itu adalah dunia lain dan tidak sembarang orang bisa memasukinya.
Bandingkan saja penyair dan politikus atau pengusaha di dunia ini.
Puisi selalu
mengajak kita berkelana keruang yang jauh dan bisa masuk dari
berbagai penjuru, baik itu masa lalu, masa depan, rindu, kenangan,
cinta, luka, malam, sunyi, sepi, sex dan hal yang paling sepele dalam hidup ini
seperti makan, minum, beol, tidur, bangun, mandi, minum kopi dll. Puisi masuk
ke dalam sendi-sendi kehidupan tapi puisi beda dengan catatan harian atau
status facebook. Puisi bisa ditulis dengan kata sederhana tapi dengan cara yang
tidak sederhana contoh puisinya Sapardi Djoko Damono:
Aku ingin
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata
yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada
api yang menjadikannya abu
Aku ingin
mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat
yang tak sempat disampaikan
Awan kepada
hujan yang menjadikannya tiada
(Hujuan Bulan
Juni: Aku Ingin)
Bahasa yang
digunakan Sapardi dalam puisi di atas adalah bahasa sehari-hari. Kadang kita
menyepelekan bahasa sehari-hari dalam menulis puisi, dan kebanyakan para
penyair hususnya penyair muda, mencari atau merangkai kata yang jelimet
tujuannya biar orang menganggap ini puisi bagus karena tidak dimengerti. Dan
ahirnya puisinya jelek dan tidak memberikan apa-apa kepada pembaca. Beda dengan
puisi-puisinya Sutardji Calsoum Bahri, kalau puisinya Sutardji itu jelas
bagaimana dia mencerabut realitas dan kata adalah tujuan dari puisi-puisinya,
coba kita lihat puisi berikut:
Daging kita
satu arwah kita satu
Walau masing
jauh
Yang tertusuk
padamu berdarah padaku
(Amuk Kapak:
Satu)
Dalam hal ini
saya tidak bermaksud menggurui teman-teman, cuma membagi informasi dari apa
yang telah saya ketahui baik lewat bacaan atau diskusi-diskusi seperti ini.
Sebenarnya pada kali ini saya bertugas membedah puisi saudara M. Shaleh tapi
setelah membaca puisinya aku hanya bisa menulis catatan ini, entah itu
kenapa.
**) Alunk Estohank (Alunk S Tohank atau Nurul Anam), Esais tinggal di Yogyakarta.
Sekarang aktif di Lesehan Sastra Kutub Yogyakarta (LSKY).
*) disampaikan pada acara diskusi sastra di
Teater Eska 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar