Senin, 04 Desember 2017

Dan Fenomena Presiden Penyair Daerah sebagai Dagelan Populer?

Nurel Javissyarqi

Tentu kita tahu sebutan presiden penyair Indonesia tersemat dari-padanya Sutardji Calzoum Bachri. Kredonya yang fenomenal itu meluas mempengaruhi banyak penyair serta kritikus (… dengan kredonya yang terkenal itu, Sutardji memberikan suatu aksentuasi baru kepada daya cipta atau kreativitas, Ignas Kleden endosemen di buku Isyarat, lalu lihat buku Raja Mantra Presiden Penyair, 2007). Sehingga di puncak ketenarannya, SCB tidak segan-segan menyelewengkan ayat-ayat suci; Qs. Asy-Syu’ara, 224-227 (baca buku saya MTJK SCB, 2011).
Sampailah, kita mendengar adanya presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon dan sebangsanya. Dari sini terpancang jelas pengaruh Sutardji di belantika kepenyairan Tanah Air, atau dengan label presiden penyair memudahkan seseorang berbuat semaunya tanpa halangan berarti pun dari para kritikus; mereka tidak lagi obyektif mengkaji suatu karya, sebab tertutupi titel yang sudah terlanjur mentereng?

Dan saat penobatan dirinya sendiri kurang menguntungkan dalam perjalanannya sebagai sastrawan atau tidak memberikan angin segar sesuai harapannya, maka gelar yang sudah melekat ditanggalkan begitu saja sebagai kenang-kenangan atau masa lalu belaka. Seperti kisah baru saja saya ketahui pagi ini, saat hendak menyegarkan tulisan kembali, tiba-tiba menemukan artikel berjudul “Belajar dari Kisah Burung Botak” berikut kutipannya: Abdul Hadi Wiji Muthari, penyair yang pernah menobatkan dirinya sebagai wakil presiden penyair Indonesia itu, hanya tersenyum sejenak ketika diminta bercerita tentang kiprahnya sebagai penyair. “Ah, itu masa lalu saya yang tak perlu digembar-gemborkan lagi,” katanya merendah. (Dewi Sri Utami, Majalah Gatra, No: 41, 27 Agustus 2001). Lantas, apakah maknawi wewarna di atas dalam kaitannya dengan pribadi seorang penyair?

Penyair tulen merupakan sosok yang menyerap berbagai rupa pengaruh, lalu mengolaborasikan dengan kualitas pribadinya atas pengelanaan sedari pencarian jati dirinya, lantas mengungkapkan kembali (berkarya) secara kreatif sekaligus mapan mempuni. Senada deringan umum bahasa istilah yang dipakai Sutardji; melupa dan mengingat (Menulis adalah upaya untuk melupa dan mengingat, Pengantar Penulis buku Isyarat, SCB halaman ix). Ini semacam proses menghindari keterpengaruhan dari karya-karya lama, atau pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas tersendiri dalam bentuk karya ‘yang bisa jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhi?’ Itulah sejenis kedirian penyair, dinaya pada pergolakan hayatnya di kancah penerimaan pula penolakan (perlawanan)? Namun alangkah sayang, keberhasilannya yang semu menumbuhkan tekat kelewat melunjak bertingkah ‘melupa dan mengingat’ dengan sangat ugal-ugalan menyulap “Kun Fayakun” dijelmakan (dirombaknya) membentuk kata-kata “Jadi maka Jadilah!” dan “Jadi, lantas jadilah!” (Bukan -Pidato Anugerah Sastra Dewan Kesenian Riau 2000- oleh SCB, yang terbit di “Bentara” Kompas, Jumat 11 Januari 2003, dan Sambutan SCB Pada Upacara Penyerahan Anugerah Sastra MASTERA, Bandar Seri Begawan, 14 Maret 2006)?
***

Berbeda dengan penyair agung, presiden penyair raja mantra palsu atau bahkan para epigon serta gerombolan pembebek, kerap kali mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara-cara serampangan dan mentah. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya; sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran yang tangguh. Akibatnya, karya-karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab menempatkan dirinya di bawah bayang-bayang keagungan semu atau bersembunyi dalam ketiak plakat presiden penyair. Itu sekerdil-kerdilnya jiwa penyair; puas dengan julukannya, berbangga atas kekeliruannya, atau mereka sudah pada amnesia?

Dalam konteks kultural, kekerdilan tersebut representasi dari sosok pecundang yang nyaman oleh kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Dan bermunculannya presiden penyair daerah menguatkan cita-cita luhur-nya (pun mereka); meski tidak mampu menggapainya tetap bergembira dengan embel-embel lokalitas yang menyertai, yakni kata-kata presiden penyair. Mereka berbahagia sebagai epigon, dan bukan pelopor walaupun sama kentir juga. Lalu yang merasa sebagai pelopor kian riang girang terkekeh, sehingga hasilnya tidak terbendung menyerupai bentuk-bentuk kesurupan pun jadi, lantaran menurutnya seorang penyair tidak harus bertanggungjawab pada karya-karyanya, maka lahirlah sulapan kelas pertama dalam perpuisian di Indonesia.

Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang sukses memakai umbul-umbul tertentu, lainnya ikut-ikutan, padahal nenek moyang kita pernah memberikan wejangan; usaha bisa dicontoh, namun nasib tidaklah dapat’ atau semakin sial saja. Jika penyontekan tersebut terus berhembus kencang dalam wilayah intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya para pembebek dinamakan gerobak kosong yang bobrok. Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah betul kenyamanan hidup di bawah bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tidak lain adalah kepecundangan, sebab yang ikut grubyuk mengklaim dirinya presiden penyair pun tidak melakukan pemberontakan (perombakan ke arah yang baik), mungkin takut gagal seperti pendahulunya. Itu ekspresi mental kerdil yang cepat puas dengan menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah. Saya kira itulah rupa-rupa pelepasan dari kepuasan konyol (putus-asa), karena para pecundang tidak mungkin melebihi pioner, meski pun hanya pioner-pioneran.

Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, tidak tunduk membara senantiasa atau ketidakpuasan menjadikan bara api perjuangan yang selalu menyala. Ketika puas sedikit saja, mentalitas jiwanya dalam berkarya pastilah tergerus dan hilang amblas ditelan bumi dinaya kreativitasnya. Lebih tepat pamornya tidak sesegar atau segarang sedia kala, dikarena keterlenaan merasa sebagai orang yang telah menjadi. Adalah niscaya presiden penyair bayangan, tidak mungkin berani memberontak kepada presiden penyair lainnya, sebab sama-sama anggota kelompok pelawak, namun tidak mungkin setenar Srimulat.

Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan jadi tradisi, tentu menyusul adanya wakil presiden penyair lainnya, atau penggantian presiden penyair, tersebab masanya sudah habis dan seterusnya. Padahal wujud ini merupakan kamuflase sedari model birokrasi, sekadar gagah-gagahan ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta berbahasa (bersastra), kita seharusnya bersatupadu bikin paduan suara atau beramai-ramai tertawa. Saya rasa perasaan sungkan bisa menghentikan lelucon yang tidak bermutu tersebut, guna langkah mereka berbalik tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus demi membuktian dirinya bisa hadir cemerlang, tanpa embel-embel pangkat presiden penyair daerah misalnya.

Saya raba-raba jika mengaku-ngaku saja, yang tidak tahu-menahu dunia tulis-menulis bisa menyebut dirinya Superman. Dan untuk mengaku sebagai presiden penyair daerah lebih gampang, daripada mengatakan dirinya Satria Baja Hitam ataupun Si Buta dari gua hantu. Itulah tubuh mentalitas yang bobrok, korengan sangat parah yang harus segera diamputasi sebelum menjalar ke organ lainnya; ke jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara. Sungguh, bayangan kefrustrasian begitu kelam menguntit jasad-jasad rapuh mereka, serupa kayu arang melempem tersiram air hujan, tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Seperti watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, atau seorang anak tersedot cerita Superhero yang memakai baju impiannya, lantas jadilah Super-ho-ho.

Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sosok kenabian, maka para epigon tidak bisa mengelak ketika dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, lalu celakalah yang mengikuti pandangan sempit serta keblinger dari mereka. Apa gunanya yang dipetik dari pemilik jengger lebar, tidak lain keterbelengguan jiwa-jiwa yang membosankan. Saya bayangkan mereka berkarya, tidak berangkat dari kedirian murni paling dalam; dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha menulis sajak. Itulah awal penipuan yang bermula dari peniruan, sikap turunan yang tidak patut dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.

Jiwa-jiwa yang tidak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak sanggup menformulasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya, hanya kerlap-kerlip lampu pesta tengah malam atau nafas-nafasnya kembang-kempis dirangsek sesuatu yang tidak membahagiakan (memerdekakan). Mending kunang-kunang tidak menganggap dirinya lintang, mendingan gemintang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak bisa membedakan malam dan siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya dari ruang dan waktu, tapi ketololan menyukai satu keadaan yakni dekaden.

Tidakkah tindakan mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik diprekes menjadi bonsai, tetapi sangat dagelan jika yang tertanam dalam ruh bernama watak. Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian gedung kemandirian, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar kandang, jika tidak menyelimuti tubuhnya atas mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang penakut menunggu redanya hujan, seperti menanti-nanti datangnya petir saat hendak berlari dalam lebatnya kegelapan malam.

Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya main kroyokan, atau tidak mungkin memiliki mentalitas pembalap dalam lintasan sirkuit pancaroba, mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja, namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada terhadap mental-mental kepecundangan. Mental jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, ini solokoto bin kumprung. Maka meskipun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang secahaya kemanusiaan.

Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan semisal awan keraguan, andai melangit tidak mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah satu syarat kenabian’ di dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk jahiliah yang tampak di depan mata yang mengungkungi anak jamannya. Maka sikap pembodohan (pengkerdilan) diri, bisa (secara) otomatis berimbas kepada masyarakat, karena kedunguan sama pengertiannya dengan penipuan, dan golongan tertipu persis seperti kaum merugi di dalam kancah jual beli nilai pengetahuan, atau pada pertukarkan kasih damai kemerdekaan.

Jika kerugian demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan sebagai wujud peribadatan, tidaklah masalah, tetapi jikalau kebangkrutan berakar dari ketololan, maka sangat kumprung. Kalau diniatkan sekadar dagelan, mungkin berguna untuk mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh, sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk mencontek tetaplah kegagalan, dan para presiden penyair gadungan adalah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikiranya matang. Sekali lagi berhati-hatilah memakan buah yang tidak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit perut berimbas keracunan. Atau jangan-jangan sebentar lagi akan terbit antologi puisi para presiden penyair serta wakil-wakilnya di Indonesia? Maka mari persiapkan tertawa…


Jakarta-Yogyakarta-Lamongan, 18 November 2008 / 21 Agustus 2017.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar