Lewat Waktu Di Sayap Malaikat, I-XXXIX dalam Antologi Puisi
“Kitab Para Malaikat”
Awalludin GD Mualif
1/
Selepas mengaduk secangkir kopi saya pun menyalakan laptop,
kemudian membuka windows media player dan mengisinya dengan beberapa lagu yang
saya kehendaki. Sesaat setelah itu saya terkenang dengan salah satu buku
antologi puisi bertajuk “Kitab Para Malaikat” buah karya Nurel Javissyarqi.
Entah mengapa, malam ini kenang dalam pikir saya tertuju pada karya itu. Baiklah,
gumam saya lirih.
Nurel adalah salah satu penyair kelahiran kota Lamongan
empat puluh satu silam yang cukup produktif dalam menelurkan buah pikirannya.
Mungkin tak sulit untuk menemukan sosok penyair satu ini. Cukup berbekal
gadget, lalu mengaksesnya via internet dengan menuliskan namanya pada kolom
pencarian, maka kita pun akan dihidangkan seabrek berita terkait dirinya.
Singkatnya, kita bisa menemukan sosoknya hanya dengan menggerakkan jari. Karena
cukup susah menjumpinya dalam lingkar meja bersama cecangkiran kopi dan kebulan
asap benjol-benjol sambil berbagi kata. Karena intensitas kehadiran dirinya
dalam dunia kasunyatan sudah berkurang jauh jika dibandingkan era-era tahun
2000-an awal lalu. Bagi saya berjumpa dengannya seperti berjumpa dengan kamus
sastra berjalan. Hal inilah yang saya rasakan sejauh pengalaman saya bersua
bersamanya. Patrap sikap dan gestur tubuh penyair yang konon berjuluk “Hantu
Sastra Indonesia” ini sesungguhnya tak sulit untuk dikenali jika ia masih
berpenampilan seperti sepuluh tahun silam. Penyair satu ini memiliki sorot mata
tajam, rambut ikal menjuntai hampir sepantat dengan langkah kaki pelan namun
penuh percaya diri serta memiliki nada bicara agak sedikit terbata-bata tetapi
menusuk tajam kehulu soal, adalah sedikit dari gambaran ragawinya.
Dalam peta sastra Indonesia namanya tak begitu banyak
disebut pada lingkar meja sastrawan bermental kerumunan. Tetapi jejak-jejak
sastrawinya mudah kita temui lewat para sastrawan yang berjibaku dengan dunia
sastra di tahun 90-an akhir sampai dengan 2009-nan. Khususnya di kota
Yogyakarta. Penyair satu ini memiliki cara bersastra yang unik. Jalan sunyi
sastrawinya menjejak di tempat dan ruang-ruang yang tak lazim dikunjungi oleh
kebanyakan sastrawan. Misal, di pekuburan-pekuburan keramat, di sumber-sumber
mata air bersejarah, di tempat-tempat peninggalan para pujangga-pujangga
terdahulu, di pondok-pondok pesantren dlsb. Selain dari pada ini, Nurel kerap
dianggap oleh sebagian masyarakat orang gila (gendeng), sebab seringkali ia
mencoba berbicara dengan pepohonan, hewan dan aliran sungai. Jika menilik dari
sepintas kabar serupa ini, maka saya menduga bahwa setiap tempat, ruang dan
perjumpaan adalah kata-kata baginya. Sekurang-kurangnya hal inilah yang sedikit
saya ketahui dari sosok penyair satu ini.
2/
Dalam dunia sastra sebuah nama besar dapat menciutkan nyali
dan membuat para kritikus muda mundur teratur saat berhadapan dengan
karya-karyanya. Apalagi dengan orangnya. Apa yang membuat hal ini mengada? Lalu
gerangan apakah yang membuat para kritikus muda mundur teratur? Nama besarkah?
Atau kualitias karyanya? Tentu saja, setiap orang memiliki cara pandang
masing-masing terkait hal ini. Bagi saya, tak ada kebesaran yang melebihi
kebesaran kita menjadi seorang manusia. Ya, hanya manusia. Bukankah sebagai
manusia kita adalah manusia yang sama-sama hidup di tanah, air, dan
menginjakkan nafas hidup di bawah atap langit yang sama.
Dewasa ini para kritikus muda dalam bidang sastra mulai
bermunculan, tetapi ruang gerak-gerik dan pikiran-pikiran mereka masih
terbentur “dinding-dinding” ke-absurd-an pikirannya sendiri yang sesungguhnya
mereka sendiri tak begitu mengetahuinya. Bagaimana mungkin kita bisa takut
dengan sebuah ‘nama’ yang tak pernah menyakiti kita? Pula takut terhadap sebuah
karya yang seharusnya memberikan jalan pencerahan hidup, inspirasi, dlsb bagi
kehidupan kita. Artinya ketakutan-ketakutan itu sesungguhnya tak beralasan sama
sekali. Ketakutan memperpanjang barisan perbudakan, ujar Widji Tukul. Memang
demikian kiranya apa yang disampaikan oleh orang yang menyedekahkan dirinya
sebagai busur untuk memanah matahari. Ernes Canneti berkata; orang takut akan
hal yang tidak ia ketahui. Rasa-rasanya dua ungkapan dari dua generasi yang
hidup di ruang lingkup jaman dan budaya berbeda ini mengerucut pada satu hal,
yakni; “Ketakutan atas sesuatu yang tak kita ketahui adalah kemustahilan”.
“Yang nyata adalah yang mustahil”, ujar Lacan.
Dalam pada ini saya ingin sedikit melangkah maju, dan
berupaya untuk merangkai seikat kata demi menangkupkan pikiran-pikiran atas
pengalaman yang saya dapati saat menyelami karya-karya puisi Nurel Javissyarqi
yang tergores dalam bunga rampai Kitab Para Malaikat. Salah satu manuskrip yang
konon membutuhkan waktu 10 tahun untuk menemukan sari-sari kata-kata yang ia maui.
Manuskrip yang ia perjalankan lewat berbagai tempat. Maman S. Mahayana, salah
seorang kritikus sastra kenamaan memberi ungkapan yang cukup membuat pembaca
mengrenyitkan dahi dan menyiutkan hati saat menyajikan kredonya untuk karya
ini, sbb: Temukan Nurel diantara; Socrates, Plato, Aristoteles, Giodano Bruno,
Galileo Galilei, Rene Decartes, Copernicus, Ferdinand de Sausure, Roland
Barthhes, Derida, Ibnu Tufail, Ibnu Arabi, Ibnu Sina, Al-Hallaj, Al-Ghazali,
Muhammad iqbal, Hamzah Fanzuri, Syech Siti Jenar, Amir Hamzah, Chairil Anwar,
Kahlil Gibran, Sutardji Calzoum Bahri, Afrizal Malna serta ajaran
Konfusianisme. Maman menjejalkan Nurel di antara para pemikir dunia. Entah apa
yang ingin Maman sampaikan? Apakah Nurel salah satu bagian diantara mereka, ataukah
Nurel adalah serpihan-serpihan mozaik dari ceceran pikir para pemikir itu?
Sejatinya hanya Maman yang paling tahu terkait ungkapannya tersebut. Pada
gilirannya, selain memberikan pengantar kepada pembaca tentang sosok Nurel Javissyarqi,
Maman mengomentari Nurel beserta hamparan kata-katamya lewat bahasa retoris
yang mengajak pembaca untuk “menafsir” ulang. Maman menulis sbb: “Nurel Javissyarqi
lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia
seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai
katup pembukanya. Maka yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur
kalimat, pemorakporandaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora
yang sempoyongan berantakan dalam gerakan dewa mabuk”.
Apakah sosok Nurel Javissyarqi beserta karyanya memang
seperti apa yang digambarkan oleh Maman? Mungkin, ya, bagi Maman. Boleh jadi,
ya dan tidak bagi sastrawan lainnya, dan bisa sangat jauh berbeda dengan
keduanya jika Nurel dan karyanya ini jatuh ke pembaca awam seperti saya yang
notabene tak begitu banyak memiliki amunisi dan senjata untuk melihat sebuah
karya sastra. Namun, membaca Kitab Para Malaikat memberikan pengalaman
tersendiri bagi saya. Suatu pengalaman yang susah saya ungkapkan lewat
kata-kata. Pengalaman ini seakan mengajak saya berjalan ke dalam relung-relung
jiwa dan kesadaran yang tak hendak menengok ke luar diri, dan secara bersamaan
pengalaman ini mengajak saya untuk melihat dari luar apa yang terlanjur menjadi
yang terdalam. Keduanya mengada untuk menjadi yang tak saya pahami. Beranjak
dari pengalaman ini, kemudian saya bertanya-tanya. Apakah sebuah karya sastra
(puisi) harus terpahami secara utuh secara menyeluruh. Ataukah pemahaman itu
terletak pada ketidakberhentian kita untuk terus mencari, menggali demi
menemukan makna-makna baru. Suatu makna yang bisa jadi berbeda dari si empunya.
Wal hasil, untuk sementara waktu ini saya sedikit memahami ujaran Maman terkait
frasa “metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk”. Karena
pembaca awam seperti saya tak hanya ikut sempoyongan dan mabuk, tetapi sudah
menjadi yang sempoyongan dan mabuk saat memasuki hamparan sajak-sajak Nurel.
Rupa-rupanya saat kata-kata bungkam dari nalar sadar saya, entah mengalir ke
dalam maupun keluar, justru di situlah kata-kata itu mengada menjadi kata-kata
tersendiri. Karena bungkam/diam juga bagian dari kata-kata.
Maka seturut pengalaman membaca “Kitab Para Malaikat”, saya
tak hendak memasuki sajak-sajak Nurel yang meraung di hutan belantara bahasa,
mengelombang di gegulungan ombak samudera yang membisik lirih penuh kecemasan,
harap, duka, cita dan doa dengan upacara baku nalar sadar saya. Tetapi berupaya
mengihlaskan diri menjadi bagian dari hamparan sajak-sajak ini. Supaya saya
tidak tersesat di hutan belantara bahasa atau tergulung mati di gegulungan
ombak samudera yang dapat membuat saya menyepi sendiri, sunyi kemudian mati.
Karena muskil mengandalkan nalar pikir semata untuk memahami suatu karya yang
melepaskan nalar pikir dalam perjalanan prosesnya. Jerit jiwa hanya bisa
ditangkap dengan ruang jiwa. Sebagaimana cinta dalam bahasa kalbu hanya dapat
ditangkap dengan bahasa kalbu. Di mana pikiran harus rela terpinggirkan untuk
sementara waktu.
3/
Sementara itu saya menemukan satu titik pijak sadar dari si empunya
di dalam Muqaddimah; Waktu Di Sayap Malaikat; “Allahumma Sholi ala Sayidina
Muhammad; ruh bersaksi sederaian gerimis mengantarkan rasa atmosfer semesta
terkumpul di dasar laut di kedalaman rongga dada pujangga “ (I). Titik sadar
yang saya maksud dalam hal ini adalah bahwa Nurel menyadari betul bahwa dia
sebagai si empunya Kitab Para Malaikat haruslah berpijak pada dunia insani.
Insan kamil (Kanjeng Nabi Muhammad), tepatnya. Sebagaimana sholawat yang
menggores di awal sajak. Nurel ingin begelayut pada surban Kanjeng Nabi untuk
mengharap syafaat dan ia tak ingin “…menghitung masa bertirakat…” supaya
persembahan diri lewat untaian sajak dapat mengusir pandir dan bisa menemu
hilir. Dalam Waktu Di Sayap Malaikat.
Lebih lanjut aroma ketertundukan diri pada takdir ilahi
tercium mewangi bak bebunga di tetamanan begitu nampak. Nurel menyisir
pengalaman hidupnya dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari satu kejadian
ke kejadian lainnya untuk menemukan dirinya yang sejati. Kesadaran Man arafah
Nafsahu Faqad Arafah Rabbahu sepertinya tengah memusara dalam dirinya saat
mencipta. Ia tak ingin hidup sekedar hidup. Mengingatkan saya pada bait pembuka
puisi WS. Rendra bertajuk MA; “Ma, bukan maut yang menggetarkan jiwaku. Tetapi
hidup dan tdak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya…”. Dalam
falsafah jawa dikenal dengan“Sang Kang Paraning Dumadi”. Atau ungkapan Nietzsche
“Temukan Dirimu”. Pencarian jati dirinya ia ungkapkan dengan “Sengaja
mengunjugi masa silam, puja keagungan di tengah pencarian kesejatian, bertarian
Keilahian terpatri di dinding gua sejarah, inilah relief-trelief orang-orang
berbudi utama” (XII) Nurel merajut masa yang silam, kini, dan masa mendatang
untuk menemukan kekamilan dirinya. Tekad, tumbuh kembang dan tumbangnya
semangat pencarian kekamilan diri tersebut telah mengantarkan dirinya menyusuri
alam kesunyian.
Kesunyian telah menjungkir balikkan logika berpikir Nurel.
Dari yang nyata menjadi tiada, atau berlaku hukum sebaliknya, dari yang tiada
menjadi nyata. Yang nyata dan tiada sudah ia leburkan jadi satu. Ia ikat dalam
tali benang rasa yang mendorong-dorong dirinya untuk terus menerus beranjak
dari satu alam kesunyian menuju alam kesunyian lainnya dan begitu seterusnya.
Karena pada alam kesunyian inilah Nurel menegakkan marwah dirinya. Diri yang
telah terpusara oleh berbagai kejadian dan pengetahuan itu telah menuntutnya
untuk terus meraung-raung menantang dunia.
Kadang kala raung jiwanya pada alam kesunyian itu membuahkan
hasil, kadang juga tergolek sia-sia, menjuntai jatuh tanpa makna. Dalam pada
ini saya mendapat pengalaman dari sebuah pertarungan yang tak kunjung selesai
antara dirinya (Nurel) dengan yang bukan dirinya (Nurel) untuk menemu dirinya
(Nurel). Dalam hal ini kesadaran Nurel muncul saat ia berdiri pada pintu gerbang
kegamangan yang membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, saat itu ia bersimpuh
meluruhkan raga dan jiwanya pada Rahmat ilahi. Kemudian ia menari-nari bersama
sesunyian ilahi dengan berpegangan erat-erat pada surban kanjeng nabi untuk
menggoda-goda suratan takdir demi penyelamatan jiwanya yang terkatung-katung di
alam kesunyian. “Mengagungkan rahmat-Nya sejauh menimba sumur terdalam, jikalau
bersemedi di dalam gua nurani” (XXI).
Kemudian sudahkah ia bertemu dengan dirinya yang hakiki?
Pada kumpulan sajak Waktu Di Sayap Malaikat ia memberi siratan kabar itu lewat
puisi-puisi di dalamnya bahwa ia pernah berjumpa dengan dirinya yang hakiki
dalam satu waktu tertentu, tetapi perjumpaan itu belumlah permanen mematri.
Melainkan masihlah parsial. Karena gerak-gerik kesadaran terhadap laku
kehidupan dirinya masih harus diperjalankan, dibenturkan ulang, ditempa kembali
dengan penuh kesungguhan. Seperti seorang empu yang membuat sebuah keris. Dari
mana kita bisa mengatakan sesuatu yang sudah berwujud serupa keris adalah
keris? Apakah hanya ketika kita melihat secara materiil (bentuk) bahwa ia
memiliki unsur-unsur dari apa yang dinamakan keris? Bukankah kita pun tahu
bahwa hal seperti itu masihlah perlu diperiksa ulang? Apakah ia benar-benar
sudah bisa dikatakan sebagai keris dalam makna simbolis, falsafi, nilai dan
kedalaman-kedalaman yang dimiliki oleh keris dengan berbagai tingkatan dan tata
aturan yang menyelimuti keris itu sendiri. Atukah hanya sebatas mengejar wujud.
Jika hanya mengejar serupa wujud. Sudah barang tentu keris souvenir pun bisa
disebut sebagai keris dalam arti wujud rupa semata.
Selain dari pada itu, Nurel Javissyarqi dalam Waktu Di Sayap
Malaikat. Mengabarkan kepada pembaca bahwa suatu kesungguhan tak bisa
dicampuradukkan dalam satu wadah yang sama dengan gojek kere (geguyonan). Apa
yang saya maksud dalam hal ini adalah bahwa jika kita tengah meniatkan diri
untuk mencapai sesuatu, maka jangan pernah anggap remeh sedikitpun segala
proses yang mengiringimu. Saya menangkap hal ini pada sajak “Panjangnya layang—layang
ditiup bayu, rambut terurai, selendang mendatang yang mendentang, dan wengi
melahirkan hikayat di bawah sadar penciptaan” (XXVI). Di sini terlukis
bagaimana Nurel membagi pembelajaran pada pembaca untuk menemukan hikmah-hikmah
yang tercecer di alam semesta yang dimiliki oleh malam. Gelap adalah terang
yang belum nampak. Dan terang adalah gelap menyilaukan. Sekurang-kurangnya saya
memaknai pencarian hikmah pada malam seperti itu.
4/
Beberapa sari-sari dari sesarian yang telah Nurel peras
dalam barisan sajak bertajuk Waktu Di Sayap Malaikat I-XXXIX dapat saya tangkap
dan maknai sebatas pemahaman cetek saya sekurang-kurangnya adalah bahwa puncak
kehidupan manusia adalah menemukan diri sendiri. Mengenali tahapan-tahapan
dalam menempu dan menempa diri untuk mengenali dirinya sendiri. Berani melawan
dan memasuki berbagi dimensi dalam kehidupan yang nampak mustahil. Tidak
terlena pada kenyataan yang nampak indah. Mawas diri adalah kunci. Menyerahkan
diri adalah jalan. Menekadkan diri adalah senjata. Nurel sepertinya menyadari
akan berbagai dimensi dan hal-hal yang berkelindan pada sebuah pencarian diri.
Kodrat manusia tercipta sebagai kalifah sekalian alam, dan
manusia yang ‘berhak’ menyandang gelar kalifah adalah manusia yang tuntas
melewati proses takhali, taqhali, tajali yang maujud menjadi insan kamil. Oleh
karenanya Tuhan menghendaki bahwa manusialah pemimpin sekalian alam (para
malaikat). “Kitab”, menjadi pilihan diksi yang menarik sebagai kata awal untuk
judul. Kemudian disusul dengan kata “Para Malaikat”. Dari judul yang metaforis
ini saya menggumam lirih; bahwa Nurel menghendaki pembacanya atau penikmat
karya ini adalah para malaikat atau orang-orang yang sudah berada di maqam
kemalaikatan. Atau mengharap para pembacanya dapat mencapai maqam ini setelah
menyecap habis hamparan sajak yang berjejal di dalamnya. Sayangnya saya hanya
manusia biasa. Heheh.
Mungkinkah antologi puisi bertajuk “Kitab Para Malaikat” ini
diandaikan bagi manusia bermaqam malaikat? Sebuah maqamat yang tak mudah untuk
diraih oleh sekalian manusia. Apakah malaikat memerlukan sebuah “kitab”? Jika
malaikat adalah bagian dari mahluk Tuhan yang keterciptaanya diperuntukkan
untuk menjadi abdi manusia, barangkali “kitab” itu perlu adanya. Lantas
kemudian perlukah manusia mencipta kitab untuk para malaikat? Lalu manusia
sekaliber apakah yang diharapkan dapat melakukannya? Apabila merunut dari
ungkapan Budi Darma yang berpendapat bahwa seorang sastrawan (penyair) adalah
sang “nabi”, maka Nurel adalah salah satu penyair yang berupaya menjadi. Dan ia
pun sudah mengerjakannya.
Ah akhirnya, kopi dalam cangkir sudah mulai menipis dan
tembakau dalam bungkusan kertas pun beranjak habis. Pula playlist lagu pada
windows media player ikut-ikutan habis. Saya pun undur kata dari Waktu Di Sayap
Malaikat untuk mengatur nafas kembali guna memasuki sajak-sajak dalam tajuk
“Membuka Raga Padmi.”.
Kopi hitam
Sewon, Bantul, Yogyakarta 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar