Sutejo
Jawa Pos Radar Ponorogo, 7/9/2017
Falsafah lilin adalah filosofi tentang pengorbanan
untuk orang lain. Pengorbanan indah untuk mencerahkan kehidupan. Lilin ikhlas
terbakar untuk menerbitkan cahaya kepada manusia. Lilin tak berkeluh
melakukannya. Meski meleleh, lumat diri, keyakinan pengorbanannya pasti
berarti. Dengan catatan, tanpa angin yang berarti, atau yang mematikannya.
Lilin literasi, metaforanya tak jauh berbeda dengan lilin penerang itu. Lilin literasi sering kali harus penuh dengan pengorbanan, lahir batin untuk belajar memijarkan peradaban. Melawan angin kelisanan. Menembus gelap kebudayaan. Menjadi lilin literasi adalah pilihan. Belajar berbuat meski tak harus melelehkan diri dalam panas perjuangannya.
***
Memasuki
gelap hidup mutakhir, yang antara benar dan tidak susah ditebak. Antara
pencitraan dan kesejatian sulit dibedakan. Lilin literasi akan menjadi cahaya
yang mencerahkan-mendewasakan pikiran dan jiwa. Lilin literasi menjadi
pengingat bahwa masih ada “lilin penerang” meski lampu itu padam. Kehidupan di
ambang gelap, pekat peradaban, karena ketidakberadaban literasi di mana-mana.
Ke mana-mana.
Kebencian
membuncah, kekerasan bisa terjadi tiba-tiba, saling silang untuk menang jadi
permainan biasa. Maka lilin literasi akan membuka kegelapan pikiran, rasa, dan
jiwa untuk menyadarkan kembali hakikat kehidupan. Lilin literasi membuka mata
jiwa, mata rasa, dan mata pikir manusia. Siapkah kita menjadi lilin literasi
untuk menerangi kegelapan peradaban?
Paling tidak,
belajar berkorban untuk menyalakan lilin literasi adalah laku bijaksana
daripada banyak berkata dan mencari sejuta alasan untuk tidak mau
menyalakannya. Menyalakan lilin baca tulis di rumah-rumah sepi, sunyi
publikasi, tetapi akan menjadi berarti ketika sudah terpatri pada generasi.
Kita sering bersilat lidah untuk tidak mencintai
literasi. Bercerita padat kesibukan dan keterhimpitan waktu tak akan mematikan
nyala lilin literasi kala niat itu sudah bulat. Kala langkah teguh tak berubah.
Menjadi lilin literasi adalah belajar meminjam percik matahari untuk membangun
kualitas generasi.
Silap sangka
atas tegak dan nyala kecil lilin literasi adalah biasa. Belajar menjadi ‘putih’
itu pilihan. Kilir pikir belajar berpijar jadi pemandangan rasa yang menggoda.
Menggodam. Pantul dan bandul rasa begitu mengena. Hanya lilin literasi dengan
nyala sepi dan memancar dengan energi hati yang tak akan mati. Lilin literasi
tak boleh mati.
Maka jika
kita adalah orang tua sejati, mari belajar menjadi lilin literasi. Menerangi
anak-anak dengan membelikan sejumlah buku, mencontohkan membaca, dan melatihkan
menulis sesuatu. Sehingga literasi dini akan berbuah dengan mudah di rumah.
Anak-anak peka literasi. Mencintai literasi adalah mematangkan diri menghadapi
kehidupan.
Jika kita
adalah guru, mari terbitkan pengorbanan memuliakan anak-anak dari kegelapan
dengan menyalakan lilin literasi. Guru berjiwa lilin tak akan mengeluh atas
rintangan yang menghadang. Guru bersukma lilin akan berpikir positif bahwa tak
ada yang sia-sia dalam pancar cahaya literasi. Guru berunurani lilin akan
belajar ikhlas berbuat meski menyakitkan dirinya. Sebuah filosofi berbuat yang
indah jika para guru berkenan melakukannya di ruang-ruang kelas.
Jika kita
adalah masyarakat, mari menjadi cahaya literasi dengan berbudaya baca-tulis.
Dengan membaca ke mana-mana, di mana-mana; sehingga menginspirasi masyarakat
lain untuk melakukannya. Masyarakat birokrasi penting menyadari bahwa dirinya
bukan sekadar pekerja untuk negara tetapi inspirator literasi yang menarik
diteladani. Jika di belahan negeri lain hal itu sudah terjadi, tinggallah kita
untuk melakukannya.
Jika kita
adalah tokoh masyarakat, alangkah indahnya kita berjiwa lilin, menebarkan
cahaya literasi untuk umat manusia. Bukankah tokoh memiliki pesona di mata umat
(masyarakat)? Andai para tokoh masyarakat mau menulis, berbagi pengalaman
kehidupan akan menjadi cermin literasi yang indah untuk peradaban.
Tetapi di manakah mimpi tentang idealisme demikian
diharapkan? Semoga perlahan kesadaran menjadi lilin lierasi akan menyentuh
siapa pun kita. Dari pejabat negeri, bupati, birokrat, para guru, dan orang tua
sebagai pilar-pilar pendaran lilin literasi menarik untuk memedulikannya.
*) Sutejo, doktor alumnus Unesa Surabaya. Ketua Adat Sekolah Literasi Gratis STKIP PGRI
Ponorogo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar