Awalludin GD Mualif
sastra-indonesia.com
Sebagai salah satu negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia sarat dengan berbagai persoalan. Salah satunya dari dulu hingga sekarang belum tertangani secara baik yaitu toleransi menjalankan sebuah keyakinan beragama (Islam). Hampir setiap saat, terutama di berbagai daerah terpencil, penganut keyakinan ajaran agama (Islam) yang mengakomodir nilai-nilai adat istiadat dan budaya lokal tidak pernah merasa tenang dalam menjalankan ajaran keyakinannya.
Ketakutan selalu menghantui mereka. Tindakan kekerasan senantiasa menjelma bayang-bayang meskipun ia tidak pernah diundang. Bagi masyarakat Indonesia, yang selama ini hidup dalam realitas keberagaman suku, adat istiadat, serta budaya, masalah tersebut sangat meresahkan.
Secara umum, penyebab ketidakharmonisan dalam menjalalankan sebuah keyakinan beragama antara lain disebabkan oleh kurang tegasnya pemerintah mengambil satu tindakan hukum kepada pelaku tindak anarkis, kondisi pemahaman umat yang mengalami disorientasi dalam memaknai sebuah hukum agama (merasa yang paling benar), dan lupa akan sejarah perjalanan bangsa. Apakah agama mengajarkan kekerasan? Pantaskah sekuntum keyakinan yang bersifat intagible dipaksakan? Siapakah yang harus bertanggung jawab dalam hal ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukan betapa memprihatinkan sekaligus memilukan akibat dari pembiaran tindak anarkis yang mengatasnamakan agama dalam konteks ubudiyah (ibadah) dan muammalah (kemasyarakatan). Tindakan kekerasan dalam beragama tidak dapat dibenarkan melalui kacamata apapun, tanda cermin kurangnya kedewasaan dalam mengapresiasi ajaran agama.
Dalam ajaran Islam terdapat satu kaidah yang mewadahi adat istiadat dan budaya masyarakat setempat Al uruf “adat yang baik bisa dijadikan hukum” Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan lewat Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat, atau kebiasaan, telah meresap ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal juga menggunakan istilah tersebut.
Sebagai Dasar kaidah ini Hadist Mauquf (riwayat Imam ahmad dari Ibnu mas’ud): “Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah” sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah, Surat Al-A’raf: 199). “Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199). Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadist yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang Ta’rif dari Al-Adaah dan Al-Uruf serta hubungannya dengan hadist. Menurut Al-Jurjani: “Al-Adaah ialah sesuatu (Perbuatan atau Perkataan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang terus menerus” Sedangkan Al-Uruf, kebanyakan ulama Fiqih mengartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreativitas-imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Sedangkan Al-Uruf, dalam bahasa arab terbentuk dari akar kata Al-Muta’araf, yang mempunyai makna “saling mengetahui”. Adapun “Uruf” menurut ulama Ushul Fiqih sebagai: “Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”
Dari pengertian di atas, juga ta’rif (penjelasan) yang diberikan ulama-ulama lain, dapat dipahami bahwa Al-Uruf dan Al-Adah adalah searti, yang mungkin maknanya perbuatan atau perkataan. Keduanya harus benar-benar berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat di jiwa, diterima dan dibenarkan akal dengan pertimbangan sehat serta tabiat yang sejahtera. Hal demikian tentu merupakan perihal yang bermanfaat dan tidak bertentangan syara’ (alqur’an dan hadist), dan yang dimaksud hadist di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin. Dengan sendirinya di sini tidak termasuk dalam pengertian “adaah dan uruf, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya (manfaat) sama sekali. Misalnya: Muamallah dengan nganakno duit (riba), judi, saling daya memperdayai, menyabung ayam, dan sebagainya, meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan, dan bahkan tidak dirasa lagi keburukannya.
Dewasa ini umat Islam digegerkan dengan perusakan sebuah makam cucu Sri Sultan HB VI yang meninggal pada tahun 1933, yaitu Eyang Kyai Ageng Prawiropurbo, yang dimakamkan di Pesarean Karang kabolotan, di jalan Kusumanegara, Yogyakarta. Seperti yang dituliskan di Harian Kedaulatan Rakyat (17/9/2013), perusakan tersebut terjadi pada hari Senin, 16 september 2013, dilakukan oleh 15 orang memakai cadar. Makam Eyang Kyai Ageng Prawiropurbo merupakan situs sejarah. Ironinya kejadian ini terjadi di kota yang mempunyai nilai toleransi tinggi (Yogyakarta).
Ziarah, ngalap berkah, merupakan laku budaya yang sudah dilakukan masyarakat Jawa, jauh sebelum keyakinan agama Islam itu sendiri masuk ke Indonesia. Dan dalam ajaran Islam kebisaan seperti tersebut tidak bertentangan nilai-nilai yang di ajarkan oleh Rasullullah Muhammad SAW. Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam Ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pulalah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” (HR. Muslim no.108, 2/671).
Lupa akan sejarah merupakan istilah tepat bagi mereka yang telah merusak makam, karena tanpa adanya para pendahulu bisa jadi kita semua tidak akan mengenal keyakinan yang kita anut saat ini (Islam). Jika kita menengok jauh ke kebelakang, para wali yang mensyiarkan ajaran Islam di Nusantara tidak meninggalkan nilai-nilai lokalitas yang sudah lestari dan menjadi keyakinan budaya masyarakat setempat. Bahkan sebaliknya para penyiar agama Islam terdahulu mengakomodir adat dan budaya setempat sebagai media dakwah mereka. Contohnya, yang dilakukan kangeng Sunan kalijaga, dimana beliau menggunakan media wayang dan gamelan untuk mensyiarkan sebuah nilai-nilai keagamaan yang di jaman nabi hal semacam itu belum ada. Maka sangat tidak beralasan dan berdasar serta dibenarkan sama sekali dalam konteks hukum Islam maupun hukum Negara dari apa yang mereka lakukan terhadap makam Gusti Purbo di atas.
Selain lupa akan akar sejarah perkembangan Islam di Indonesia, disorientasi ajaran agama dalam sebuah aliran kelompok keyakinan sangat terlihat di kejadian ini. Merasa apa yang diyakininya paling “benar” tanpa dasar yang benar. Bagaimana tidak, sebuah tempat ibadah sekaligus situs sejarah yang di hari-hari tertentu ramai dikunjungi para peziarah, untuk mendoakan beliau (Gusti Purbo), sekaligus ngalap berkah, serta menjadi tempat bersosialisasi masyarakat, dirusak keberadaannya. Yang lebih miris, di area makam cucu Sri sultan hb VI ditulisi “syirik” dan “musryik” hingga di mushola (tempat orang melakuan aktivitas ibadah).
Islam mempunyai konsep dasar Rahmatan lilalamin (menjadi rahmat untuk seluruh alam) dan musyawarah mufakat guna mediskusikan berbagai macam perbedaan dalam menafsiri ajaran agama, duduk bersama dan membicarakan segala sesuatunya secara arif. Jika hal ini dapat dilakukan maka tindak kekerasan, atau dalam hal ini perusakan, akan dapat diminimalisir, bahkan tidak ada. Merupakan tindakan di luar ajaran Islam bahwa kekerasan berbentuk apapun tidaklah diperkenankan. Jika perbuatan semacam ini tidak mendapatkan tindak lanjut yang tegas dari aparat penegak hukum (yang diberi kuasa oleh rakyat melalui undang-undang), akan muncul banyak keresahan di masyarakat. Jangan sampai masyarakat mengambil langkah hukum sendiri, karena setiap tindakan kekerasan tidak akan pernah rampung jika diselesaikan dengan cara yang sama.
Jogjakarta 2013
sastra-indonesia.com
Sebagai salah satu negara dengan penduduk Islam terbesar di dunia, Indonesia sarat dengan berbagai persoalan. Salah satunya dari dulu hingga sekarang belum tertangani secara baik yaitu toleransi menjalankan sebuah keyakinan beragama (Islam). Hampir setiap saat, terutama di berbagai daerah terpencil, penganut keyakinan ajaran agama (Islam) yang mengakomodir nilai-nilai adat istiadat dan budaya lokal tidak pernah merasa tenang dalam menjalankan ajaran keyakinannya.
Ketakutan selalu menghantui mereka. Tindakan kekerasan senantiasa menjelma bayang-bayang meskipun ia tidak pernah diundang. Bagi masyarakat Indonesia, yang selama ini hidup dalam realitas keberagaman suku, adat istiadat, serta budaya, masalah tersebut sangat meresahkan.
Secara umum, penyebab ketidakharmonisan dalam menjalalankan sebuah keyakinan beragama antara lain disebabkan oleh kurang tegasnya pemerintah mengambil satu tindakan hukum kepada pelaku tindak anarkis, kondisi pemahaman umat yang mengalami disorientasi dalam memaknai sebuah hukum agama (merasa yang paling benar), dan lupa akan sejarah perjalanan bangsa. Apakah agama mengajarkan kekerasan? Pantaskah sekuntum keyakinan yang bersifat intagible dipaksakan? Siapakah yang harus bertanggung jawab dalam hal ini? Pertanyaan-pertanyaan di atas menunjukan betapa memprihatinkan sekaligus memilukan akibat dari pembiaran tindak anarkis yang mengatasnamakan agama dalam konteks ubudiyah (ibadah) dan muammalah (kemasyarakatan). Tindakan kekerasan dalam beragama tidak dapat dibenarkan melalui kacamata apapun, tanda cermin kurangnya kedewasaan dalam mengapresiasi ajaran agama.
Dalam ajaran Islam terdapat satu kaidah yang mewadahi adat istiadat dan budaya masyarakat setempat Al uruf “adat yang baik bisa dijadikan hukum” Istilah adat berasal dari bahasa Arab, yang apabila diterjemahkan lewat Bahasa Indonesia berarti “kebiasaan”. Adat, atau kebiasaan, telah meresap ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga hampir semua bahasa daerah di Indonesia telah mengenal juga menggunakan istilah tersebut.
Sebagai Dasar kaidah ini Hadist Mauquf (riwayat Imam ahmad dari Ibnu mas’ud): “Apa yang dipandang baik oleh orang Islam, maka baik pula di sisi Allah” sebagian ulama berpendapat bahwa dasar kaidah di atas adalah Firman Allah, Surat Al-A’raf: 199). “Berikanlah maaf (wahai Muhammad) dan perintahkanlah dengan sesuatu yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang bodoh” (QS. Al-A’raf: 199). Setelah memperhatikan kaidah serta ayat-ayat dan hadist yang menjadi dasar kaidah, perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu tentang Ta’rif dari Al-Adaah dan Al-Uruf serta hubungannya dengan hadist. Menurut Al-Jurjani: “Al-Adaah ialah sesuatu (Perbuatan atau Perkataan) yang terus menerus dilakukan manusia, karena dapat diterima oleh akal, dan manusia mengulang terus menerus” Sedangkan Al-Uruf, kebanyakan ulama Fiqih mengartikan sebagai kebiasaan yang dilakukan banyak orang (kelompok) dan timbul dari kreativitas-imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai budaya. Sedangkan Al-Uruf, dalam bahasa arab terbentuk dari akar kata Al-Muta’araf, yang mempunyai makna “saling mengetahui”. Adapun “Uruf” menurut ulama Ushul Fiqih sebagai: “Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan atau perbuatan”
Dari pengertian di atas, juga ta’rif (penjelasan) yang diberikan ulama-ulama lain, dapat dipahami bahwa Al-Uruf dan Al-Adah adalah searti, yang mungkin maknanya perbuatan atau perkataan. Keduanya harus benar-benar berulang-ulang dikerjakan oleh manusia, sehingga melekat di jiwa, diterima dan dibenarkan akal dengan pertimbangan sehat serta tabiat yang sejahtera. Hal demikian tentu merupakan perihal yang bermanfaat dan tidak bertentangan syara’ (alqur’an dan hadist), dan yang dimaksud hadist di atas, yaitu apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin. Dengan sendirinya di sini tidak termasuk dalam pengertian “adaah dan uruf, hal-hal yang membawa kerusakan, kedurhakaan, tidak ada faedahnya (manfaat) sama sekali. Misalnya: Muamallah dengan nganakno duit (riba), judi, saling daya memperdayai, menyabung ayam, dan sebagainya, meskipun perbuatan-perbuatan itu telah menjadi kebiasaan, dan bahkan tidak dirasa lagi keburukannya.
Dewasa ini umat Islam digegerkan dengan perusakan sebuah makam cucu Sri Sultan HB VI yang meninggal pada tahun 1933, yaitu Eyang Kyai Ageng Prawiropurbo, yang dimakamkan di Pesarean Karang kabolotan, di jalan Kusumanegara, Yogyakarta. Seperti yang dituliskan di Harian Kedaulatan Rakyat (17/9/2013), perusakan tersebut terjadi pada hari Senin, 16 september 2013, dilakukan oleh 15 orang memakai cadar. Makam Eyang Kyai Ageng Prawiropurbo merupakan situs sejarah. Ironinya kejadian ini terjadi di kota yang mempunyai nilai toleransi tinggi (Yogyakarta).
Ziarah, ngalap berkah, merupakan laku budaya yang sudah dilakukan masyarakat Jawa, jauh sebelum keyakinan agama Islam itu sendiri masuk ke Indonesia. Dan dalam ajaran Islam kebisaan seperti tersebut tidak bertentangan nilai-nilai yang di ajarkan oleh Rasullullah Muhammad SAW. Dari Abu Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin ‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam Ibunya, lalu beliau menangis, kemudian menangis pulalah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu bersabda: “Berziarah-kuburlah, karena ia dapat mengingatkan engkau akan kematian” (HR. Muslim no.108, 2/671).
Lupa akan sejarah merupakan istilah tepat bagi mereka yang telah merusak makam, karena tanpa adanya para pendahulu bisa jadi kita semua tidak akan mengenal keyakinan yang kita anut saat ini (Islam). Jika kita menengok jauh ke kebelakang, para wali yang mensyiarkan ajaran Islam di Nusantara tidak meninggalkan nilai-nilai lokalitas yang sudah lestari dan menjadi keyakinan budaya masyarakat setempat. Bahkan sebaliknya para penyiar agama Islam terdahulu mengakomodir adat dan budaya setempat sebagai media dakwah mereka. Contohnya, yang dilakukan kangeng Sunan kalijaga, dimana beliau menggunakan media wayang dan gamelan untuk mensyiarkan sebuah nilai-nilai keagamaan yang di jaman nabi hal semacam itu belum ada. Maka sangat tidak beralasan dan berdasar serta dibenarkan sama sekali dalam konteks hukum Islam maupun hukum Negara dari apa yang mereka lakukan terhadap makam Gusti Purbo di atas.
Selain lupa akan akar sejarah perkembangan Islam di Indonesia, disorientasi ajaran agama dalam sebuah aliran kelompok keyakinan sangat terlihat di kejadian ini. Merasa apa yang diyakininya paling “benar” tanpa dasar yang benar. Bagaimana tidak, sebuah tempat ibadah sekaligus situs sejarah yang di hari-hari tertentu ramai dikunjungi para peziarah, untuk mendoakan beliau (Gusti Purbo), sekaligus ngalap berkah, serta menjadi tempat bersosialisasi masyarakat, dirusak keberadaannya. Yang lebih miris, di area makam cucu Sri sultan hb VI ditulisi “syirik” dan “musryik” hingga di mushola (tempat orang melakuan aktivitas ibadah).
Islam mempunyai konsep dasar Rahmatan lilalamin (menjadi rahmat untuk seluruh alam) dan musyawarah mufakat guna mediskusikan berbagai macam perbedaan dalam menafsiri ajaran agama, duduk bersama dan membicarakan segala sesuatunya secara arif. Jika hal ini dapat dilakukan maka tindak kekerasan, atau dalam hal ini perusakan, akan dapat diminimalisir, bahkan tidak ada. Merupakan tindakan di luar ajaran Islam bahwa kekerasan berbentuk apapun tidaklah diperkenankan. Jika perbuatan semacam ini tidak mendapatkan tindak lanjut yang tegas dari aparat penegak hukum (yang diberi kuasa oleh rakyat melalui undang-undang), akan muncul banyak keresahan di masyarakat. Jangan sampai masyarakat mengambil langkah hukum sendiri, karena setiap tindakan kekerasan tidak akan pernah rampung jika diselesaikan dengan cara yang sama.
Jogjakarta 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar