Tosa Poetra *
http://sastra-indonesia.com
(Sesungguhnya ini catatan yang lama, boleh dikata setengah kadaluarsa, sudah lewat setengah tahun, tapi baru kali ini aku dapat mengedit sedikit dan mencoba mempublikasikan, semoga akan ada manfaatnya)
Wal asri, demi masa aku memulai, sungguh pun harus merugi janganlah setelah mati. Dengan menyeru yang membirukan samudera, dengan segala keterbatasan aku bercerita. Semoga ada manfaatnya. Iqro, demikian dalam alquran dikatakan, entah surat apa ayat berapa aku tidak mengerti, tersebab sejak kecil jauh dari belajar mengaji.
Bacalah, Tuhan memerintahkan pada umatnya untuk membaca, maka aku tak bosan membaca, meski kadang membaca membikin pusing kepala ketika yang kubaca tidak kumengerti. Aku pun ingat dari beberapa buku yang kubaca, juga pepatah yang ada “Membaca membuka jendela dunia”, dalam buku yang aku juga lupa judul dan pengarangnya disebutkan beberapa manfaat membaca; mengisi waktu luang, mencari hiburan, mendapatkan ilmu pengetahuan dan lain lagi, yang lagi-lagi aku lupa lagi. Dan syarat pembaca yang baik diantaranya; bersikap positif; tidak meremehkan bacaan yang sekiranya tampak kurang mutu, dan tidak lekas menyerah ketika bacaan terlalu susah dimengerti.
Demikian aku, di sela waktuku yang berdesakan, siang kerja sampai sore jam empat, malam kerja lagi sejak jam sembilan sampai jam dua, di waktu senggang antara jam empat sore sampai sembilan malam yang harusnya kunikmati dengan anak istri, dan antara jam dua pagi sampai jam delapan pagi yang mesthinya dapat kugunakan tidur, aku tidak mau menyiakannya, aku memilih membaca, sesekali menulis dengan segala keterbatasanku; keterbatasan pikiran, juga sarana, yang itu tidak harus kujadikan alasan untuk tidak menulis, sebab cuma orang malas saja yang tak ada waktu buat menulis/ membaca, atau menyerah dengan keterbatasan. Sekira dua tahun lalu, aku kedatangan kawanku dari lamongan dan jombang, kang nurel dan kang sabrank, kedatangannya adalah dalam rangka bedah buku nurel yang berjudul menggugat tanggungjawab kepenyairan Sutardji Calzoum Backhri, yang dilaksanakan oleh komunitas arisan sastra Trenggalek, komunitas yang kuikuti pada masa itu.
Waktu itu, kang nurel memberikan aku beberapa buku, beberapa karyanya; Trilogi Kesadaran, Menggugat Sutardji, Balada Takdir Terlalu Dini, Kitab Para Malaikat dan berapa lainnya. Buku-buku itu sudah semua kubaca, meski belum katam semua, buku trilogi, mengugat dan balada aku sedikit bisa mengeti, tetapi giliran Kitab Para Malaikat, membuat aku pusing ketika membacanya dengan cermat, sehingga kubaca cuma sambil lalu, maka apa isinya aku gak tahu. Sabtu, 9 Februari yang lalu aku ke kedai baca suket, di Jombang dalam rangka bedah bukuku Kidung Jaran Dawuk, di sana selain jumpa kawan penulis senior lain yang beri kritik masukan buatku, aku jumpa Nurel untuk ke dua kali.
Minggu 10 Februari, sekira jam 10 pagi, cak Ju, kawanku dari Kediri meneleponku, sempat kami membincangkan sedikit terkait Nurel dan Kitab Para Malaikat. Sore hari aku pulang kerja, istriku ngajak ke rumah mertua, kami pulang jam delapan malam. Kugunakan jeda waktu sampai jam 21.00 untuk membuka kembali Kitab Para Malaikat, kubaca pengantar dari Maman S Mahayana yang menyatakan: “Temukan Nurel di antara Socrates, Plato, Aris Toteles, Deridra, Amir Hamzah, Syeh Siti Djenar dan berapa nama orang besar lain”, yang itu juga tertampang di sampul depan, tepat di bawah gambar gadis bersayap.
Setelah prolog lorong gelap yang mengasyikan yang ditulis Maman S Mahayana kuselesaikan, itu cukup memberi bekal dasar bagiku mencoba memahami Kitab Para Malaikat, aku mulai menapaki lembaran Muqaddimah; waktu di sayap malaikat, tak banyak dapat kupahami, tetapi sedikit kumengerti. Lagi-lagi sedikit pusing, tapi tetap kuteruskan sampai pada IX; “Kenapa sebentar-sebentar kalian menarik nafasmu kembali? Pena ini menemani gamelan hening kalimah ke dasar misteri.” Seolah nurel hadir di dekatku, tahu aku mendesah berulang ketika membaca bukunya sebab aku tak mengerti, tatapi nurel menasihatiku untuk terus membacanya sebab penanya mengiringi gamelan hening kalimah ke dasar relung misteri. Ya, dan aku harus terus membaca sampai aku menemukan misteri, misteri kitab malaikat.
Aku kembali sendiri, menelusuri tiap bait yang ada, sampai pada XXXVI; menujulah ke diri kesucian, saat di jalan licin mendapati tongkat di tengah-tengah seberang titian . . ., seolah Nurel datang lagi, menyuruhku untuk belajar mensucikan hati saat aku hampir terpeleset dalam memahaminya dan aku mendapatkan tongkat untuk melanjutkan membaca. Dan tiba-tiba di XXXVII, Nurel mengatakan bahwa isyarat sudah cukup, ya kupikir memang sudah cukup Nurel mengantarkan aku menelusuri relung misteri Kitab para Malaikat sampai di situ, sebab aku mungkin bisa saja muntah jika terus diberi pangantar untuk mengetahui jika aku masih belum juga memahami. Terakhir dia mengatakan di XXXXIX; “Ragumu menghantui, tekatmu berjembatan, ia di sisimu di setiap enkau rebah.” Ya dia benar, jika aku masih terus ragu sebab kepusinganku selamanya aku tidak akan mampu menyibak misteri, tetapi jika tekatku kuat maka Nurel akan terus menemaniku membacanya di setiap aku ada waktu luang. Maka aku pun melanjutkan, Membuka Raga Padmi. Astaga betapa bodohnya dua tahun ini, mengapa baru kali ini aku dapat mengerti tentang Raga Padmi? Ah, nurel benar-benar menemaniku membaca.
Membuka Raga Padmi, harusnya dari awal aku sadar bahwa raga adalah tubuh, dan padmi adalah perempuan, dan tentunya membuka raga padmi adalah membuka segala hal tentang perempuan, ya dan memang itu yang kutangkap dari raga padmi yang ditulis Nurel, mengungkap banyak hal tentang perempuan, mulai keindahan fisik, psikis, kasih-sayang serta segala kenikmatan dan kenyamanan yang diisuguhkan sosok perempuan, yang menaruh surga di bawah telapak kaki bagi anak-anaknya, memberi kenikmatan bagi lelaki di selangkangannya, menyajikan segala keindahan yang memukau bagi pemujanya. Semua diungkap Nurel pada tiap larik kalimatnya yang tak perlu kusebut satu persatu, biar pembaca penasaran dan membacanya sendiri. Jika kemarin di masa skripsi aku mengkaji soal perempuan dalam puisi Rendra, maka jika sekarang ada mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang akan skripsi, aku menyarankan untuk mengkaji citra perempuan dalam puisi Membuka Raga Padmi karya Nurel.
Bedah buku Kidung Jaran Dawuk di Sanggar Suket, Sabtu 9 Februari yang lalu adalah bedah ke empat dari lima kali bedah yang terencanakan di bulan Januari-Februari, pertama di MAN Badas yang di selenggarakan Sanggar Seni Kreatifitas Arek Kediri dengan apresiator Nur Cholis dan cak Agus Haris, ke dua di Sanggar Pena Ananda Tulungagung dengan apresiator kang Siwi dan kang St Sri Emyani, ke tiga di Smart ILC Pare dengan apresiator kang Tulus Setyadi Madiun dan mbakyu Ary Nurdiana Ponorogo, sedang di Kedai Baca Suket dengan apresiator Zeus Anggara dan kang Sabrank Suparno. Sesungguhnya direncanakan pembedah tiga orang dengan kang Cucuk SP, saying beliau berhalangan hadir. Bedah di KBS itu adalah bedah terdahsyat dibanding tiga kali sebelumnya, yaitu dihadiri para dedengkot sastra di Jatim, selain Nurel dari Lamongan, dari Malang ada Deny Mishar, Ali Sarbini Gresik, Agus Rego Ilalang Nganjuk, Ahmas Fathoni Mojokerto, dan berapa nama lain dari Jombang seperti cak Fahrudin Nasruloh yang sekarang sudah almarhum, dan Rahmat Sularso RH. Juga berapa kawan dari Kediri; cak Supri, Cak Juwaeni, dari Madiun cak Tulus dan Tulungagung kang Siwi sekalian. Serta lainnya yang aku gak hafal.
Di sana aku banyak dapat masukan buat bahan referensi bagi karyaku ke depan. Dan dahsyatnya bedah hari itu, masih terasa sampai hari ini, sebelum kumulai nulis cerita ini, wakyu itu kulihat perdebatan di catatan kang Sabrank tentang makalahnya untuk bedah bukuku itu, sampai kulihat dancuk-dancukan antara kang Sabrank dan Almarhum fahrudin, dan kawan lain (sungguh kenangan yang tak terlupakan dengan almarhum cak Fahrudin, yang tak mungkin dapat terulang lagi). Wah wah, jan eram, tapi saya gak kaget, sudah biasa cak Sabrank cangkeme rusak, sama seperti cangkemku, cangkem orang liar, orang bengkel, ketemu kawan pertama kali meluncur dari mulut: cok pie kabarmu? Nang ndi wae su ratau katon? Persis seperti ketika aku membaca Raga Padmi, di tiap bait kalimatnya kalau kang Sabrank bilang mbokne hancok, aku bilang Jancok njaran. Kalau gak percaya, coba deh baca sendiri, jika ingin misuh gak karuan tiap habis baca per baitnya.
Setelah selesai membaca Raga Padmi, aku mulai menapaki lembaran hukum pecinta, yang lagi-lagi membikin pusing kepala, aku memaksa juga menyelesaikannya meski tak berapa banyak yang aku dapat, tetapi di sana aku mendapati cara menemukan diriku yang kucari di II;VI “Jadilah kekupu waktu menerima berkepompong terlebih dulu, lama memintal benang sutramu akan anggun begitu tampil.” Ya, itulah yang aku cari. Ketika dalam bedah bukuku kang Sabrank mengatakan aku tergesa menasional, sedang menasional itu berawal dari yang paling dekat, bagaimana bisa menjadi nasional jika yang paling dekat tidak kita kenal. Dalam karyaku aku menyuarakan suara orang Indonesia, menyatakan ketidak terimaanku pada pemerintahan, pada orang di Jakarta, sedang suara rakyat Jaran Dawuk sendiri sama sakali tidak kusuarakan, dan itu tentu akan membikin aku malu, ketika warga sekelilingku tahu aku menulis lantas mereka bertanya apakah aku juga menyuarakan suara mereka? Suara petani yang kebingungan air, kebingungan dengan harga pupuk yang mahal, kebingungan mau menanam jagung, kedelai atau kacang setelah mati-matian berjuang menanam padi. Lantas kembali aku bertanya, siapa aku sebenarnya? Orang Indonesia? Anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli? Atau siapa? Yang menurut bunda Zahro realitas itu tak dapat dikubur begitu saja, sebab nyata benar ketiganya.
Kemudian aku ingat kata Cak Ali Sarbini bahwa bukuku Jaran Dawuk gak ada nyawanya. Secara realitas memang buku bukan makhluk hidup, buku adalah benda mati yang tak bernyawa, yang bernyawa adalah penulisnya, tetapi hendaknya buku dapat berbicara pada pembacanya, mewakili diri pengarangnya. Dan aku melihat dalam Kitab Para Malaikat, nyata itu adalah Nurel, Nurel yang berbicara pada pembacanya. Diri Nurel ada di sana, dari sekian pengembaraannya, menelusuri buku-buku dan ilmu, pengelanaannya dari pondok pesantren ke pesantren. Ya Nurel yang besar dengan cerita kuda sembrani dari neneknya tiap jelang tidur di masa kanak-kanaknya.
Dalam Kitab Malaikat aku lihat banyak diksi menggunakan kata kuda sembrani, kuda sembrani yang bersayap, kuda itu dapat terbang, dan kuda itu adalah kuda malaikat, yang barangkali serupa buroq yang dikendarai Rosullulah waktu Isra-mikrat. Dari masjidil Harom ke masjidil Aqso hingga Sidrotul Muntaha berjumpa Tuhan dan mendapat perintah sholat. Tampilan/ penyusunannya pun disusun serupa kitab, membaca tiap judulnya seolah membaca nama surat dalam Alquran, dan tiap baris kalimatnya yang selau dikasih nomor selayaknya ayat-ayat. Melihat susunan itu juga alur bahasanya, Sekali lagi aku melihat Nurel yang akrap dengan Alquran dan kitab lainnya waktu di pondok pesantren.
Melihat keberhasilan nurel dalam kitab malaikat, aku semakin menyadari ketidak tahuanku pada diriku sendiri, siapa aku? Dimana aku? Seperti kebingunganku pada berapa hari yang lalu. Hari Sabtu, sebelum berangkat ke Jombang aku masuk kerja meski badanku sakit tak karuan, mau bolos tak berani sebab liburku dah berkali-kali, rekor bolos kerja di bengkelku aku nomor wahid, dalam satu bulan minimal aku bolos sepuluh kali, kadang pernah satu bulan aku masuk kerja cuma kurang sepuluh hari. Sabtu itu aku gak mau bolos lagi, soalnya Minggunya aku akan ada di Jombang. Sabtu malam bedah bukuku dan Minggu sore baru akan pulang. Di tempat kerja aku tidak bekerja, aku cuma tiduran di bangku bus, untuk mengusir jenuh aku buka FB, aku baca “Malam Bulan Pucat Pasi” yang ditulis kang Siwi, yang merupakan penggalan dari novel Trilogi The Legend of Bonorowo garapannya. Tiba-tiba aku tidak di dalam bus, aku ada di atas atap, aku lihat sekeliling, nampak bangunan puri-puri keraton seperti yang kulihat pada film di televisi, aku bingung, di mana aku? Bukankah tadi aku di dalam bus? Kenapa sekarang ada di atas wuwungan keraton? Apa aku terseret ke masa ribuan tahun lalu? Aku melihat diriku, aku kembali bingung, kulihat pakaian yang kukenakan bukan lagi baju kerjaku setelan kaos dan celana yang hitam oleh bercak setenpet dan oli, tapi yang kupakai adalah pakaian seorang prajurit, siapakah aku? Apakah aku telik sandi atau prajurit masa lalu?
Kudengar suara gemerit dari bawah, juga kudengar suara desah, jika aku ada di atas bus, harusnya suara desah dan gemerit itu muncul dari keriet pir waktu didongkrak, ketika sedang perbaikan mau menyetel rim, tetapi ketika aku di atas atap kutaraja, suara itu berasal darimana? Kuperhatikan dan coba mencari sumber suara itu, aku mengintip dari celah genting, asataga di bawahku tepat adalah kamar seorang puteri, nampak dia sedang tidur, anggun sekali, seketika aku tak sadar, kurasakan tiga panah menembus jantungku, entah itu panah cinta sang puteri atau panah dari pengawal kerajaan yang melihat aku ada di atas wuwungan kotaraja. Aku tak sadar diri entah berapa lama, sampai kubuka mataku, aku sudah ada di dalam bus kembali.
Aku tak tahu apakah kejadian itu mimpi ataukah halusinasi karena pengaruh baca tuisan kang Siwi, atau itu adalah pepiling dari gustiku agar aku sadar diri, agar aku kembali pada diriku sendiri. Ya, diriku sendiri, seorang anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli, bukan di alam puisi. Ya kehadiranku di dunia sastra kusadari seperti kehadiranku di suasana kota raja, aku terpesona paras sang putri, terjatuh cinta pada puisi, hingga aku terpanah, dan kembali di atas bus. Ya kupikir aku harus kembali jadi anak Jaran Dawuk yang hidup dikubangan oli, dan ketika aku jatuh cinta pada puisi, harusnya suara orang-orang Jaran Dawuk yang kuteriakkan, petani yang kebingungan air waktu tanam, gemerit pir, pertemuan baut dan mur, putaran roda-roda. Itu yang harus kuceritakan, kubahasakan. Kecuali aku mau bunuh diri. Bunuh diri dalam artian apa? Seperti yang diceritakan Maman S Mahayana dalam pengantar bukunya Nurel tentang Socrates yang memilih meminum racun ketimbang menghiyanati keyakinannya berekspresi? Lantas di mana letak keyakinanku dalam berekspresi jika aku harus bunuh diri? Atas nama kebebasankah? Bebas berekspresi? Dalam artian bebas di mana? Bebas berteriak sesukaku mengungkapkan apa saja? Bebas lepas tidak menyuarakan suara orang Jaran Dawuk? Bebas lepas dari oli? Kurasa tidak. Aku tak akan bisa lepas dari kenyataan hidupku jika aku mau menjadi aku, mau mengetahui diriku.
Lantas bagaimana dengan Kidung Jaran Dawuk yang tak menyuarakan suara petani di Jaran Dawuk, tak menyuarakan deru kenalpot, dengung mesin, dan gemerit pir? Apakah aku akan mempertahankan kebebasan berekspresi yang lepas dari semua tentang diriku sendiri seperti dalam buku Jaran Dawuk itu, yang nyata jika itu kulakukan adalah perbuatan bunuh diri. Dan aku pun telah melakukannya, telah bunuh diri dengan buku itu. Kemudian kuingat kata kang Deni Mishar dalam bedah bukuku itu juga, dia mengatakan, tentunya orang akan berfikir seribukali untuk bunuh diri, andaipun terpaksa bunuh diri, maka cukuplah sekali, jangan bunuh diri berkali-kali.
Jauh sebelum aku meluncurkan buku Jaran Dawuk, aku pun sadar tentang buku itu, yang sebagaimana kukatakan di pengantar yang kutulis, jika itu belum pantas dianggap puisi, maka anggaplah sebagai bagian dari proses bagi anak Jaran Dawuk untuk mencapai taraf yang disebut puisi. Aku teringat waktu bedah di Smart ILC, seorang dari yogya mengatakan bahwa komunitasnya di Yogya telah melanglang buana di berbagai media masa di Indonesia, tetapi belum berani menerbitkan buku, tetapi kenapa aku berani? Dengan mudah aku menjawab, apa yang aku takutkan? Bukuku tak laku dijual dan merugi? Apakah aku takut kritik? Aku tidak takut rugi, dan bukankah dengan kritik kita kan dapat belajar menjadi lebih baik lagi. Sudah sejak jaman dahulu proyek buku puisi adalah proyek merugi, tapi bagiku menulis adalah ibadah, dan tidak ada kata rugi dalam beribadah. Selain itu, buku jika tak terjual juga tidak akan basi seperti nasi, yang begitu basi dibuang, tapi sejelek apapun buku/ karya akan tetap ada yang menghargai, setidaknya diri kita sendiri, sebab sebagaimana dikatakan Nurel padaku ketika itu, “Bagaimana mungkin orang lain menghargai karya kita, kalau kita sendiri tak menghargainya.”
Yang pernyataan itu sempat kukatakan terbalik: “bagaimana kita menhargai karya orang lain jika tidak menghargai karya sendiri. Dan meskipun kukatakan terbalik seperti itu Nurel berkata: “Kau balik seperti itu juga tak apa, dengan menyebut pendapatku juga dengan kepahamanmu di atas, kayaknya asyik.”
Dalam bedah bukuku di Jombang kemarin aku mendapatkan banyak kritikan, yang semua aku terima dengan sangat terimakasih, betapa besarnya perhatian kawan-kawan padaku, pada dunia sastra, mereka meluangkan waktu, biaya dan tenaga dari kotanya datang ke Jombang, meluangkan fikiran untuk menilai karyaku dan memberikan masukan. Sungguh luar biasa, dan seperti kukatakan pada bunda Zahro aku serasa ingin menangis haru, ketika melihat foto bersama kami di acara itu. Terimakasih berulang kuucapkan pada kawanku semua, atas kehadirannya, masukan-masukannya yang telah menyadarkan aku siapa diriku yang sebenarnya dan mengantar aku kembali pada diriku yang sesungguhnya “Anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli”. Aku ingat cak Juwaeni, yang ketika melihat aku mendapatkan banyak kritikan, bahkan ketika dikatakan bukuku tidak bernyawa, beliau mengajak untuk melihat dari segi kedalaman makna dan proses kreatif yang ada, tidak cuma melihat dari tampilan luar saja. Yang itu dijawab Nurel dengan mengatakan, bagaimana tertarik melihat isinya, melihat baris pertama dan ke dua saja sudah tidak menarik. Ya benar kata cak Ju, ibarat melihat orang jangan cuma melihat luarnya, jangan cuma melihat tampilan rambut gondrong dan tatoan lantas menyimpulkan, tanpa melihat kebaikan dalam hatinya, tetapi memang yang berlaku di masyarakat umum kebanyakan demikian, melihat penampilan luar saja dahulu. Sebagaimana Benar juga kata Nurel, jika tampilan luar tak menarik, sudah memberikan kesan buruk, bagaimana mau melihat ke dalam.
Dan kesimpulanku adalah, bagaimana pun kebaikan jika tidak disampaikan dengan cara yang baik, akan sulit diterima orang lain. Sebagaimana yang kubaca berapa waktu lalu di sebuah buku di rumah kang Prio Pambudi, seorang sastrawan sekaligus pengusaha aquarium di Trenggalek, dalam puisi sebagaimana pun dalam yang makna disampaikan, tetapi jika tidak mengindahkan bahasanya maka akan sulit diterima demikian pula sebaliknya, sebagaimana pun indah bahasanya jika tidak menghiraukan makna, maka akan tidak berguna. Lain hal bukuku dengan buku Nurel, yang senyata tak dapat dibandingkan, layaknya prosesku dan proses Nurel yang memang belum dapat di setarakan, memang harus diakui bahwa Kitab Para Malaikat, tak cuma menyuguhkan keindahan bahasa tetapi juga kedalaman makna yang disampaikan khas cara Nurel. Meskipun belum semua yang ada dalam Kitab Malaikat dapat kumengerti sebab kedangkalan pengetahuanku.
Ketika itu aku mulai aku telah menyadari diriku sendiri, sebagaimana dikatakan mbak Ary dalam bedah di Smart ILC bahwa aku masih mencari jatidiri, dan ketika itu bak Ary mengatakan jika jati dirinya adalah seorang guru maka kukatakan jatidiriku adalah seorang mekanik. Yang jadi PR-ku kini, bagaimana aku dapat mengusung pesan yang bermakna dengan cara/ bahasa yang menarik sehingga dapat mudah diterima, dan menunjukkan kesejatianku sebagai anak Jaran Dawuk yang hidup di kubangan oli. Itulah yang ketika itu aku belum tahu dan hingga kini terus kucoba gali. Dan kebelum tahuanku ketika itu seolah menjadikan aku mati, tetapi Nurel menyadarkanku melalui Hukum-hukum Cinta II;VI: “Untuk sedia menjadi kepompong dahulu, merenung dan menyatu dengan alam Jaran Dawuk, merenungkan oli dan besi-besi di garasi.
Setelah bedah di jombang itu aku masih punya satu kesempatan lagi menjadi ulat bulu, yaitu bedah bukuku di Mojokerto tanggal 23 Februari, Acara yang diselenggarakan Komunitas Arek Japan (KAJ) yang diketuai Ahmad Fatoni, dengan pembedah Bpk Khamim Kohari. Ketika itu aku bertekat akan memakan setiap helai daun pelajaran di sana nanti yang akan kulanjutkan dengan menjadi ulat di Kitab Malaikat, mengerogoti tiap kalimat. Ya, aku akan terus membaca Kitab Malaikat sampai tamat, agar aku dapat segera berkepompong dan kelak mampu menjadi salah satu malaikat.
Sebagai penutup cerita, kukatakan pada saudaraku sekalian, inilah cerita dari bedah buku Kidung Jaran Dawuk sampai pada Kitab Para Malaikat. Cerita bunuh diriku, ceritaku menjadi ulat bulu, yang ketika itu kupikir dengan dengan hasil bedah di Jombang itu akan menyurutkan penjualan buku Jaran Dawuk atau mungkin semakin membunuh diriku, menjatuhkanku, tetapi ternyata tidak. Dari 500 eksemplar yang kucetak kini hanya tersisa beberapa puluh buku saja. Alhamdulilah kritik itu malah membuat semakin laris. Bahkan pada 13 Juni 2013 lalu aku diundang ke di aula kantor PKK Kab Nganjuk untuk bedah buku Jaran dawuk, ketika itu dengan pembedah Cak Juwaeni dan Kang Arim Kamandaka dari Ponorogo. Inilah pengalaman yang kuceritakan yang mungkin dapat berguna bagi orang lain sebagai bahan pelajaran. Terakhir kukatakan sebagai penutup cerita, jika puisi itu serupa ilham, bacalah Kitab Para Malaikat. Salam hormat , dan selamat berkarya.
19 Agustus 2013
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/09/dari-perjalanan-bedah-kidung-jaran-dawuk-sampai-kitab-para-malaikat/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar