Rabu, 13 Februari 2013

Kidung Jaran Dawuk Antara Hancurit dan Si Mbokne (H)Dancok (Puisi, Posisi dan Oposisi) *

Sabrank Suparno **
sastra-indonesia.com

1.1. Puisi
Antologi puisi tunggal Kidung Jaran Dawuk menyembulkan tanya bagi Tosa Poetra. Mengapa masih menulis puisi? Apa sekedar berniat menggayuh eksistensi keajegan melahirkan karya agar disebut penyair? Atau, memang belum punya pilihan karya dalam bentuk lain? Misal esai atau cerpen. Sedang kadar puisi Kidung Jaran Dawuk belum melompat setapak dari antologi sebelummnya, yakni Jalanan Di Kotaku yang terbit Agustus 2010.

Se-pengamatan saya, permasalahan mendasar puisi-puisi Tosa Poetra belum menemukan konsep yang jelas, dari dan kemana puisi akan dibawa, serta dari mana asalnya, sehingga terputuslah akar sejarah lahirnya sebuah puisi. Perlu diketahui bahwa ibarat anak, puisi mempunyai riwayat hidup, kenapa satu judul puisi harus dirampungkan? Ia mempunyai sejarahnya sendiri. Dalam hal ini, dari rahim siapa genosa sebuah puisi terbuai, tumbuh kemudian berkembang menjadi embrio yang akhirnya lahir berupa jabang bayi. Puisi-puisi Tosa Poetra belum menunjukkan ciri khas ke-Tosa-an bahwa Kidung Jaran Dawuk adalah anak kandung yang dilahirkan dari pedalaman kaki bukit Jaran Dawuk, Trenggalek. Artinya puisi Tosa masih dilahirkan hasil pemerkosaan massal para penyair Indonesia.

Cara paling fulgar untuk memblejeti sebuah puisi adalah obrolan di luar forum resmi (jagongan nyentrik). Di sanalah keluar komentar perihal penilaian puisi, “ah, puisi jelek, puisi kosong, puisi kerupuk, puisi belajaran,” dll.  Tentu saja komentar berdasarkan cocote penilai atas jarak pandang dengan pribadinya, cocok atau bersinggungan dengan ideologi dan konsep yang dianutnya. Penilai kemudian menetralisir kritiknya dengan ucapan, “yang perlu diacungi jempol dari penyair yang sudah menuliskan dan menerbitkan karyanya adalah jiwa militansi terhadap dunia perpuisian yang digeluti.”

Atau, jalan demikian memang dipilih Tosa, bahwa berkarya tidak perlu memperhatikan konsep, ideologi atau panutan pada penyair sebelumnya. Tosa seperti menawarkan gagasan baru setelah jenuh mengamati ulah sesepuh sastra Indonesia yang terus menerus sibuk bengkerekan royokan apik, royokan bender, royokan tuwek hingga mengeluarkan KTP. Dalam hal ini Tosa bersikap adil bahwa ia dilahirkan oleh Lekra, Lesbumi dan Menikebu bahkan aliran Mbah Sangkil (aliran lain yang tidak terdeteksi). Atau, Tosa justru bersikap lebih tua dari kemampuan empat anak yang dilahirkan oleh sejarah perpuisian Indonesia. Bahwa baik Lekra, Manikebu, Lesbumi dan Mbah Sangkil adalah anak-anaknya yang harus diopeni secara adil. Tiap anak mempunyai karakter dan fungsi tertentu pada saat tertentu pula. Bagi Tosa yang urgen sebagai penyair adalah membikin puisi, dan bukan sibuk membikin Deklarasi Hari Puisi Indonesia yang diprasastikan berdasar hari lahir Chairil Anwar, 26 Juli. Betapa rampaknya hari bersejarah di Indonesia, sementara tanggal 27 Juli Hari Kudatuli memperingati gugurnya mahasiswa Trisakti sebagai pahlawan reformasi. Berikutnya tanggal 28, 29 dan 30 Juli saya sematkan sebagai Hari Nissing Nasional.

Jika bertemu Agus R. Sarjono, Tosa akan dihimbau untuk meluruskan puisi sebagaimana sebelum sholat meluruskan shof  dulu (sauwi sufufakum min tamami sholah). Makin lurus makin baik. Puisi yang lurus melatih penulisnya untuk meluruskan niat, meluruskan pikirtan, meluruskan jiwa dan ketajaman pena (kalau sempat baca Horison edisi Januari 2013, halaman 34). Cak Agus R. Sarjono tidak menyukai puisi yang bermetafora, kembangan atau hiasan yang tidak perlu. Ia juga tidak sependapat dengan Cak Michlel Riffatere dalam Semeotic of Poetri yang mengatakan bahwa puisi adalah “says onething and means another (ngunu yo ngunu ning ojo ngunu)”. Dalam hal ini Agus R. Sarjono akan menyukai puisi Surat Buat Presiden (halaman 27). Hanya dua baris kalimat pendek: BBM Naik! // Kau Turun!. Jelas. Padat. Gamblang. Tanpa basa-basih. Begitu juga puisi Lelaki Di Balik Jeruji Besi (hal, 22), sejenis Puisi Balada yang menceritakan panjang lebar tentang Gayus [seharusnya bukan Gayus Tambunan, tapi Novel Basweda, sebab Tosa menyukai puisi yang mengampanyekan bahwa Novel telah tertangkap keparatannya. Semoga  yang tertangkap berikutnya bukan Dian Sastro Wardoyo yang mengindikasikan buruknya Sastra].

Lain lagi jika Tosa Poetra bertemu dengan Adonis (Ali Ahmad Said), salah satu dari sepuluh besar penyair Arab setelah Perang Dunia II yang direkomendasi mendapat Nobel Sastra Dunia 2012[Hanya direkomendasikan dan pasti tidak mendapatkan. Sebab, Eropa sebagai penggagas Nobel Sastra akan pikir-pikir untuk memberikan ke warga Arab, apalagi Indonesia. Kecuali jika ada angin politik yang mendukung perekonomian negara barsangkutan. Maka, bagi penyair Indonesia jangan berharap dianugerahi Nobel Sastra. Kalau terpaksa mendapat Nobel Sastra, tolaklah dengan mengatakan,”gak oleh Nobel Sastra gak patek en]. Adonis akan menyarankan agar Tosa mencipta puisi yang sarat dengan estetika muatan (nilai). Bahwa keberadaan puisi adalah mencipta ulang realitas, bukan menerima apa adanya. Dengan kata lain, puisi merupakan perubahan dan bukan penafsiran. Ilmu menafsirkan, sementara puisi mengubah. Ilmu menempatkan manusia berhadapan dengan realitas itu sendiri, sementara puisi menempatkan manusia berhadap-hadapan dengan gambaran tentang realitas (Adonis Jilid I, hal 195, LkiS 2007). Dalam Antologi tunggal Kidung Jaran Dawuk, Adonis sepakat dengan puisi Harusnya Kutulis Opini (hal, 10): “Bunda, mengapa ulat bulu merajalela di Negara Kita?”// “Agar kau menjadi penyair nak, dan kelak ketika ulat bulu itu telah menjelma kupu-kupu menghias langit, ketika itu jadikan negri ini puisi yang tak diduduki Ulat Bulu//. Nilai filsafat Tosa Poetra cukup mencengangkan dalam larik //Wahai debur ombak yang menyapa pantai  dan menyeret pasir, hapus rindu yang kemarin sempat terukir, jika rindu cuma milikku//. Dengan kasadaran segenap rasa, Tosa berani meng-aku-i bahwa yang menjadi miliknya tak akan lenyap walau dihapus zaman.

Adonis akan mesam-mesem membaca dua puisi Kidung Jaran Dawuk yang berjudul Abimanyu Gugur (hal 12), Bisma Gugur  dan Tembang Cinta Kamboja (hal 28-29). Ketiga puisi tersebut berjenis epos yang mengisahkan puncak dari segala kepahlawanan adalah ‘mati’di medan laga. Khusus puisi Tembang Cinta Kamboja, Tosa berlarat-larat memilukan nasib TKW yang berujung pulang tinggal baju dan nama. Meski tidak persis, puisi tersebut seperti melihat film Minggu Pagi di Vicktoria Park garapan Novia Kolopaking dkk, yang menggambarkan Taman Vicktoria di jantung kota Hong Kong menjadi kampung pelepas kangen para TKW terhadap  kampung halaman. Puisi TCK menghantarkan pemahaman bahwa berpuisi tak sekedar teoritis semata, melainkan peristiwa. Tosa tidak puas hanya dengan nilai semata, tetapi juga mengalaminya.

Ketiga puisi di atas memperkenalkan bahwa petualangan dan ksatria mendapatkan makna dan arti penting, sebab petualangan menciptakan peristiwa lain ke tataran nilai tertinggi dalam hidup, bahkan pengalaman lebih penting dari hidup itu sendiri. Dalam perspektif  demikian, ke-mati-an tidak lagi sia-sia, tetapi menguatkan kehidupan agar lebih sempurna. Meski tragis, sejatinya kehidupan memangku kematian dan mewujudkannya dalam gerak hingga mendapatkan kemenangan ketika ia kalah sekalipun. Kematian yang tidak menegasikan kehidupan dan mengagetkan manusia. Kematian yang tidak mengakhiri hidup, hanyalah mematikan sementara dalam hidup. Kematian ksatria tidak mengalahkan manusia lantaran mati. Dengan kata lain, kematian sebenarnya adalah kemiskinan, sikap rendah diri, berpangku tangan dan hina. Kondisi remuk jiwalah yang sebenarnya kematian dingin dalam kehidupan.

Paling gampang jika Tosa Poetra bertemu saya, cukup nyeruput kopi sambil jedat-jedut rokok eceran [kadang ngutang] di warkop angkringan. Sembari memutar ulang jawaban beberapa mahasiswa atau penulis pemula tentang bagaimana cara membuat puisi yang baik, saya menggambarkan proses bertani, bagaimana mereka membabat rumput dan membakarnya, membajak, menata parit, menanam, memupuk, mencabuti gulma rerumputan agar tanaman panen sempurna dan tidak rugi. Atau proses pencitak boto, bagaimana ia mengulet tanah sedemikian rupa agar menghasilkan bata yang kenthing dan tidak patah. Atau lihatlah tukang roti goreng, bagaimana ia mengulat adonan tepung hingga dibanting-banting sampai kenyal. Bahkan keringat si tukang roti goreng bercucuran [kadang diusapkan sebagai campuran adonan agar rasanya lebih sreng. Kendati demikian tidak perlu menuding roti tidak higienis, toh dalam tubuh manusia juga gembol tai]. Demikian juga tukang puisi, bagaimana ia memilih kata, menyusun dan merampingkan kalimat, menggali ide, menempatkan rima dan irama, dll. Supaya puisi yang dihasilkan terasa nyamleng, semriwing dan nyess jika dibaca. Menurut orang Jombang, puisi yang bagus adalah yang mampu membuat pembaca misuhdiancok puisi iki rek!” Kalau kadar puisinya sangat baik, kadar misuhnya juga makin mandes “Si Mbokne Hancok [tidak sekedar ‘dancok, tetapi mbahnya yang berinisial ‘Si mBokne Dancok’. Dancok merebak saat perang 45, lantaran diucapkan pasukan gerilya sebagai kode pembakar semangat. Dancok berasal dari bahasa Arab: da’syuk,  dari fiil madhi (kata dasar) da’a, yadu’u=mencegah dan kata syuk=jelek/buruk. Kata Da’syuk kemudian digampangkan menjadi Dancok yang berfungsi melegakan kenggrundelan / nglegakno ati setara istighfar. Kode ‘mencegah hal yang buruk yang dimaksud adalah Belanda]. Di antara medium Dancok dan Si mBokne Hancok inilah puisi Tosa berkadar. Sedang puisi yang tidak jelas jluntrungnya berada di wilayah pisuan ringan Hancurit.

1.2. Posisi

Posisi yang saya maksudkan adalah letak geografis Tosa Poetra. Sewaktu saya dan Nurel Javissyarqi menginjakkan kaki di rumah Tosa dalam rangka Blakraan Sastra, saya merasakan logikanya dari tempat sehening bukit Jaran Dawuk akan tercipta karya dahsyat yang menggema. Saya mempunyai catatan mengenai Bukit Jaran Dawuk:

Catatan Jaran Dawuk

Ketika waktu bertanya, kemana jejak kaki melangkah?
Bediding di antara dua musim. Bila randu mulai mengapuk. Ia kan berhamburan tertiup angin. Melayang. Menyusuri sawah jurang dan lembah. Di pelataran padang perdu ilalang Mataraman. Berkelebat sesosok pengembara pelana kuda. Apakah jejak Ki ageng Mangir? Atau Pangeran Diponegara? Ksatria wibawa di medan laga.

Wahai pujangga. Dalam persembunyian tanahmu. Berbalut kabut di balik bebukitan senja. Kaki Jaran Dawuk. Pertapa memasuki lorong sunyi berkawan ular dan kuda putih. Sedang bersemadi mengintip sejarah. Bukit tegar tugu termenung. Berfikir sepanjang abad. Seperti hendak berkisah tentang seribu makna. Hari ini dan masa lampau, hendak bermuara di mana?

Kabut lembut dan kesejukan. Terus membuai dedaunan bertumbuhan silih berganti. Antara datang dan pergi.
Bebukitan sekitar kota. Tak tega. Segera menjemput langit senja sebelum tiba. Sepertinya hendak menyimpan burai matahari dan segera mengisahkan cahaya dari kegelapan. Sebab ketersembunyian kerap menjadi hal yang tak terduga. Trenggalek. Terangnya prasangka.

Ingin ia membelai rambutmu wahai ilalang. Sebelum hijau royo menjadi santapan Kanguru. Pada pucuk nan bergoyang meliuk tertiup angin.
Tapal kuda menjejakkan kaki di sekitaran mawar dan kamboja. Menghias kuncup-kuncup bermekaran. Semerbakmu, ditunggu belahan dunia.

Jika setiap lontar berbicara. Pejalan jauh tapaknya menjadi tinta. Tidur di goa-goa dan sesudahnya, bergegas memburu langit senja. Sekedar demi kesetiaan. Ia menuruni jalan setapak dan bukit terjal. Bertegursapa pada bukit-bukit tanggung. Langkahnya terhenti pada pertarungan singa dan merak betina. Pertempuran abadi yang tak kan usai.

Kuda putih meringkik lelah. Temali tertambat. Di tepian Kali Keyang. Gemercik alir mencandai bebatuan Jengking. Sang pengembara sejenak membasuh muka, dan selanjutnya menuntaskan seribu tanya: getaran alam macam apa? Hingga gaungnya ke cakrawala.

Tentu tidak hendak menyaingi. Kecuali menziarai peletak sejarah: Ronggowarsito, Kiai Hasan Besari. Berputar melingkari sekitar. Menjamah jernih sumber pancoran Joresan.
Dan selanjutnya, bergegas mengeja keakanan.

Trenggalek-Ponorogo (Joresan 5-7 Juni 2011).

Catatan Jaran Dawuk adalah gambaran saya mengenai tanah kelahiran Tosa. Maghrib hingga lepas, saya berdiri lama di teras rumah Tosa sambil memandangi bukit Jaran Dawuk. Saat itulah saya merekam detail bagaimana bukit besar perlahan hilang diselimuti malam. Mula-mula tampak hitam kekar seperti hantu besar sedang menunggui desa-desa sekitar bukit. Selanjutnya raksasa besar itu lenyap berganti denging binatang malam dan kemerecek Walang Kekek.

Waktu pagi, terpaan kuat sinar mentari menyorot bukit Jaran Dawuk pada bagian tebing sebelah timur. Tampak samar bagian dinding kapur yang tidak ditumbuhi belukar persis lukisan pangeran menunggang kuda putih. Itulah sebabnya dinamakan bukit Jaran Dawuk yang artinya Kuda Putih.

Di kabupaten Trenggalek itu pula, pada 5 Juni 2011, saya mengamati geliat sastra di Jawa Timur pesisir selatan. Saya dan Nurel mengikuti diskusi sastra di STKIP Trenggalek bersama Misbahus Surur dan Nurani Soyomukti. Rutinan diskusi sastra yang bernama Kuantum Mitra Sastra (KMS) tersebut Nurani sempat membaca puisinya berjudul Kucium Ujung Lancipmu. Hari berikutnya saya meneruskan langkah ke Negeri Dadak Merak, Reog Ponorogo untuk menyelami tempat Ronggowarsito menulis di atas Watu Jengking, Kali Keyang (seratus meter Pondok Tegalsari asuhan Kiai Hasan Besari), dst.

Sisi tanah kelahiran ini, puisi Tosa tidak mendominasi. Bahkan puisi Kidung Jaran Dawuk sendiri yang pernah dibaca penulisnya bersama saya di acara Lawatan Budaya Mojowarno, Jombang, pada Juni 2011, tidak mencukupi gambaran mengenai mitos Jaran Dawuk, apalagi potret masyarakat setempat. Seandainya Tosa sedang jagongan di gardu sambil teplek dengan tetangga, lantas ditanya, “apakah persoalan kami kau suarakan dalam puisimu?” Ada banyak kegelisahan masyarakat sekitar Jaran Dawuk: padi diserang wereng, kekurangan pasokan pengairan, was-was kalau bukit pecah dan longsor, dll. Kalau puisi Tosa tidak srawung dengan masyarakat, ia akan bernasib sama dengan Emha Ainun Nadjib sebagai penyair kesepian. Ulasan Emha mengenai aksentuasi person penyair dan aksentuasi masyarakat menggambarkan betapa erat hubungan karya sastra dengan potret sosial (baca Menerba Budaya Tanding, hal,153, Emha, Pustaka Pelajar, 1995).

Puisi Tosa terburu me-nasional. Padahal yang disebut Nasional terbentuk dari kepingan kekuatan lokal. Bahasa ekstrimnya, Indonesia tidak perlu ada asal tanah kelahiran sejahtera dan tidak musnah. Artinya, kalau terlanjur membikin komunitas besar yang bernama Negara Indonesia, mari menciptakan lokalitas yang makmur-kemar-kemur. Untuk tujuan tersebut, satrawan memainkan peranan penting menawarkan pesan masyarakat setempat. Maman S. Mahayana menjelentrehkan khusus hubungan pengarang dengan sosio-kultural (baca: 9 Jawaban Sastra Indonesia, hal. 42, Maman S. Mahayana, Agustus, 2005).

1.3. Oposisi

Puisi, bagaimanapun juga makomnya adalah oposisi. Kidung Jaran Dawuk menduduki tempat merata sebagai oposisi atas lawannya: (agamis >azali>ila yaumil kiyamah). Jangan mengira bahwa sastrawan (seniman) adalah makhluk berjiwa lembut, melainkan bibirnya putih namun dada dan kepalanya mengangah api bara. Saya setuju jika Tosa beroposisi dengan penulis ‘Dancuk-an’, yakni penulis yang mempersembahkan karyanya agar dibaca, diapreseasi, diakui citranya oleh senior. Melainkan menulis agar diminati rakyat yang paling jelata sekalipun. Meski kampanye pemberantasan buta huruf bertujuan menjual produk industrialisasi.

*) Catatan makalah Bedah Buku Antologi Tunggal Kidung Jaran Dawuk karya Tosa Poetra, pada 9 Pebruari, 2013, di Kedai Baca Suket/Rumah Pintar Srikndi, jalan Kusuma Bangsa 54, Jombang.
**) Sabrank Suparno. Peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011. Bergiat di Lincak Sastra Jombang. Beralamat di: RT/RW:08/02, Dowong-Plosokerep, Sumobito, Jombang.
Dijumput dari:  http://sastra-indonesia.com/2013/02/kidung-jaran-dawuk-antara-hancurit-dan-si-mbokne-hdancok-puisi-posisi-dan-oposisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar