Sabrank Suparno **
sastra-indonesia.com
1.1. Puisi
Antologi puisi tunggal Kidung Jaran Dawuk menyembulkan tanya bagi
Tosa Poetra. Mengapa masih menulis puisi? Apa sekedar berniat menggayuh
eksistensi keajegan melahirkan karya agar disebut penyair? Atau, memang
belum punya pilihan karya dalam bentuk lain? Misal esai atau cerpen. Sedang
kadar puisi Kidung Jaran Dawuk belum melompat setapak dari antologi
sebelummnya, yakni Jalanan Di Kotaku yang terbit Agustus 2010.
Se-pengamatan saya, permasalahan mendasar puisi-puisi Tosa Poetra
belum menemukan konsep yang jelas, dari dan kemana puisi akan dibawa,
serta dari mana asalnya, sehingga terputuslah akar sejarah lahirnya
sebuah puisi. Perlu diketahui bahwa ibarat anak, puisi mempunyai riwayat
hidup, kenapa satu judul puisi harus dirampungkan? Ia mempunyai
sejarahnya sendiri. Dalam hal ini, dari rahim siapa genosa sebuah puisi
terbuai, tumbuh kemudian berkembang menjadi embrio yang akhirnya lahir
berupa jabang bayi. Puisi-puisi Tosa Poetra belum menunjukkan ciri khas
ke-Tosa-an bahwa Kidung Jaran Dawuk adalah anak kandung yang dilahirkan
dari pedalaman kaki bukit Jaran Dawuk, Trenggalek. Artinya puisi Tosa
masih dilahirkan hasil pemerkosaan massal para penyair Indonesia.
Cara paling fulgar untuk memblejeti sebuah puisi adalah obrolan di
luar forum resmi (jagongan nyentrik). Di sanalah keluar komentar perihal
penilaian puisi, “ah, puisi jelek, puisi kosong, puisi kerupuk, puisi
belajaran,” dll. Tentu saja komentar berdasarkan cocote penilai
atas jarak pandang dengan pribadinya, cocok atau bersinggungan dengan
ideologi dan konsep yang dianutnya. Penilai kemudian menetralisir
kritiknya dengan ucapan, “yang perlu diacungi jempol dari penyair yang
sudah menuliskan dan menerbitkan karyanya adalah jiwa militansi terhadap
dunia perpuisian yang digeluti.”
Atau, jalan demikian memang dipilih Tosa, bahwa berkarya tidak perlu
memperhatikan konsep, ideologi atau panutan pada penyair sebelumnya.
Tosa seperti menawarkan gagasan baru setelah jenuh mengamati ulah
sesepuh sastra Indonesia yang terus menerus sibuk bengkerekan royokan apik, royokan bender, royokan tuwek hingga mengeluarkan KTP. Dalam hal ini Tosa bersikap adil bahwa ia dilahirkan oleh Lekra, Lesbumi dan Menikebu bahkan aliran Mbah Sangkil
(aliran lain yang tidak terdeteksi). Atau, Tosa justru bersikap lebih
tua dari kemampuan empat anak yang dilahirkan oleh sejarah perpuisian
Indonesia. Bahwa baik Lekra, Manikebu, Lesbumi dan Mbah Sangkil adalah
anak-anaknya yang harus diopeni secara adil. Tiap anak
mempunyai karakter dan fungsi tertentu pada saat tertentu pula. Bagi
Tosa yang urgen sebagai penyair adalah membikin puisi, dan bukan sibuk
membikin Deklarasi Hari Puisi Indonesia yang diprasastikan berdasar hari
lahir Chairil Anwar, 26 Juli. Betapa rampaknya hari bersejarah di
Indonesia, sementara tanggal 27 Juli Hari Kudatuli memperingati gugurnya
mahasiswa Trisakti sebagai pahlawan reformasi. Berikutnya tanggal 28,
29 dan 30 Juli saya sematkan sebagai Hari Nissing Nasional.
Jika bertemu Agus R. Sarjono, Tosa akan dihimbau untuk meluruskan puisi sebagaimana sebelum sholat meluruskan shof dulu (sauwi sufufakum min tamami sholah).
Makin lurus makin baik. Puisi yang lurus melatih penulisnya untuk
meluruskan niat, meluruskan pikirtan, meluruskan jiwa dan ketajaman pena
(kalau sempat baca Horison edisi Januari 2013, halaman 34). Cak Agus R. Sarjono tidak menyukai puisi yang bermetafora, kembangan atau hiasan yang tidak perlu. Ia juga tidak sependapat dengan Cak Michlel Riffatere dalam Semeotic of Poetri yang mengatakan bahwa puisi adalah “says onething and means another (ngunu yo ngunu ning ojo ngunu)”. Dalam hal ini Agus R. Sarjono akan menyukai puisi Surat Buat Presiden (halaman 27). Hanya dua baris kalimat pendek: BBM Naik! // Kau Turun!. Jelas. Padat. Gamblang. Tanpa basa-basih. Begitu juga puisi Lelaki Di Balik Jeruji Besi (hal, 22), sejenis Puisi Balada yang menceritakan panjang lebar tentang Gayus [seharusnya bukan Gayus Tambunan, tapi Novel
Basweda, sebab Tosa menyukai puisi yang mengampanyekan bahwa Novel
telah tertangkap keparatannya. Semoga yang tertangkap berikutnya bukan
Dian Sastro Wardoyo yang mengindikasikan buruknya Sastra].
Lain lagi jika Tosa Poetra bertemu dengan Adonis (Ali Ahmad Said),
salah satu dari sepuluh besar penyair Arab setelah Perang Dunia II yang
direkomendasi mendapat Nobel Sastra Dunia 2012[Hanya direkomendasikan
dan pasti tidak mendapatkan. Sebab, Eropa sebagai penggagas Nobel Sastra
akan pikir-pikir untuk memberikan ke warga Arab, apalagi Indonesia.
Kecuali jika ada angin politik yang mendukung perekonomian negara
barsangkutan. Maka, bagi penyair Indonesia jangan berharap dianugerahi
Nobel Sastra. Kalau terpaksa mendapat Nobel Sastra, tolaklah dengan
mengatakan,”gak oleh Nobel Sastra gak patek en]. Adonis akan
menyarankan agar Tosa mencipta puisi yang sarat dengan estetika muatan
(nilai). Bahwa keberadaan puisi adalah mencipta ulang realitas, bukan
menerima apa adanya. Dengan kata lain, puisi merupakan perubahan dan
bukan penafsiran. Ilmu menafsirkan, sementara puisi mengubah. Ilmu
menempatkan manusia berhadapan dengan realitas itu sendiri, sementara
puisi menempatkan manusia berhadap-hadapan dengan gambaran tentang
realitas (Adonis Jilid I, hal 195, LkiS 2007). Dalam Antologi tunggal
Kidung Jaran Dawuk, Adonis sepakat dengan puisi Harusnya Kutulis Opini (hal, 10): “Bunda,
mengapa ulat bulu merajalela di Negara Kita?”// “Agar kau menjadi
penyair nak, dan kelak ketika ulat bulu itu telah menjelma kupu-kupu
menghias langit, ketika itu jadikan negri ini puisi yang tak diduduki
Ulat Bulu//. Nilai filsafat Tosa Poetra cukup mencengangkan dalam larik //Wahai debur ombak yang menyapa pantai dan menyeret pasir, hapus rindu yang kemarin sempat terukir, jika rindu cuma milikku//. Dengan kasadaran segenap rasa, Tosa berani meng-aku-i bahwa yang menjadi miliknya tak akan lenyap walau dihapus zaman.
Adonis akan mesam-mesem membaca dua puisi Kidung Jaran Dawuk yang berjudul Abimanyu Gugur (hal 12), Bisma Gugur dan Tembang Cinta Kamboja (hal
28-29). Ketiga puisi tersebut berjenis epos yang mengisahkan puncak
dari segala kepahlawanan adalah ‘mati’di medan laga. Khusus puisi Tembang Cinta Kamboja,
Tosa berlarat-larat memilukan nasib TKW yang berujung pulang tinggal
baju dan nama. Meski tidak persis, puisi tersebut seperti melihat film Minggu Pagi di Vicktoria Park garapan Novia Kolopaking dkk, yang menggambarkan Taman Vicktoria di jantung kota Hong Kong menjadi kampung pelepas kangen
para TKW terhadap kampung halaman. Puisi TCK menghantarkan pemahaman
bahwa berpuisi tak sekedar teoritis semata, melainkan peristiwa. Tosa
tidak puas hanya dengan nilai semata, tetapi juga mengalaminya.
Ketiga puisi di atas memperkenalkan bahwa petualangan dan ksatria
mendapatkan makna dan arti penting, sebab petualangan menciptakan
peristiwa lain ke tataran nilai tertinggi dalam hidup, bahkan pengalaman
lebih penting dari hidup itu sendiri. Dalam perspektif demikian,
ke-mati-an tidak lagi sia-sia, tetapi menguatkan kehidupan agar lebih
sempurna. Meski tragis, sejatinya kehidupan memangku kematian dan
mewujudkannya dalam gerak hingga mendapatkan kemenangan ketika ia kalah
sekalipun. Kematian yang tidak menegasikan kehidupan dan mengagetkan
manusia. Kematian yang tidak mengakhiri hidup, hanyalah mematikan
sementara dalam hidup. Kematian ksatria tidak mengalahkan manusia
lantaran mati. Dengan kata lain, kematian sebenarnya adalah kemiskinan,
sikap rendah diri, berpangku tangan dan hina. Kondisi remuk jiwalah yang
sebenarnya kematian dingin dalam kehidupan.
Paling gampang jika Tosa Poetra bertemu saya, cukup nyeruput kopi sambil jedat-jedut
rokok eceran [kadang ngutang] di warkop angkringan. Sembari memutar
ulang jawaban beberapa mahasiswa atau penulis pemula tentang bagaimana
cara membuat puisi yang baik, saya menggambarkan proses bertani,
bagaimana mereka membabat rumput dan membakarnya, membajak, menata
parit, menanam, memupuk, mencabuti gulma rerumputan agar tanaman panen
sempurna dan tidak rugi. Atau proses pencitak boto, bagaimana ia mengulet tanah sedemikian rupa agar menghasilkan bata yang kenthing dan
tidak patah. Atau lihatlah tukang roti goreng, bagaimana ia mengulat
adonan tepung hingga dibanting-banting sampai kenyal. Bahkan keringat si
tukang roti goreng bercucuran [kadang diusapkan sebagai campuran adonan
agar rasanya lebih sreng. Kendati demikian tidak perlu menuding roti
tidak higienis, toh dalam tubuh manusia juga gembol
tai]. Demikian juga tukang puisi, bagaimana ia memilih kata, menyusun
dan merampingkan kalimat, menggali ide, menempatkan rima dan irama, dll.
Supaya puisi yang dihasilkan terasa nyamleng, semriwing dan nyess jika dibaca. Menurut orang Jombang, puisi yang bagus adalah yang mampu membuat pembaca misuh “diancok puisi iki rek!” Kalau kadar puisinya sangat baik, kadar misuhnya juga makin mandes “Si Mbokne Hancok [tidak sekedar ‘dancok, tetapi mbahnya yang berinisial ‘Si mBokne Dancok’.
Dancok merebak saat perang 45, lantaran diucapkan pasukan gerilya
sebagai kode pembakar semangat. Dancok berasal dari bahasa Arab:
da’syuk, dari fiil madhi (kata dasar) da’a, yadu’u=mencegah dan kata
syuk=jelek/buruk. Kata Da’syuk kemudian digampangkan menjadi Dancok yang
berfungsi melegakan kenggrundelan / nglegakno ati setara istighfar. Kode ‘mencegah hal yang buruk yang dimaksud adalah Belanda]. Di antara medium Dancok dan Si mBokne Hancok inilah puisi Tosa berkadar. Sedang puisi yang tidak jelas jluntrungnya berada di wilayah pisuan ringan Hancurit.
1.2. Posisi
Posisi yang saya maksudkan adalah letak geografis Tosa Poetra.
Sewaktu saya dan Nurel Javissyarqi menginjakkan kaki di rumah Tosa dalam
rangka Blakraan Sastra, saya merasakan logikanya dari tempat
sehening bukit Jaran Dawuk akan tercipta karya dahsyat yang menggema.
Saya mempunyai catatan mengenai Bukit Jaran Dawuk:
Catatan Jaran Dawuk
Ketika waktu bertanya, kemana jejak kaki melangkah?
Bediding di antara dua musim. Bila randu mulai mengapuk. Ia kan
berhamburan tertiup angin. Melayang. Menyusuri sawah jurang dan lembah.
Di pelataran padang perdu ilalang Mataraman. Berkelebat sesosok
pengembara pelana kuda. Apakah jejak Ki ageng Mangir? Atau Pangeran
Diponegara? Ksatria wibawa di medan laga.
Wahai pujangga. Dalam persembunyian tanahmu. Berbalut kabut di balik
bebukitan senja. Kaki Jaran Dawuk. Pertapa memasuki lorong sunyi
berkawan ular dan kuda putih. Sedang bersemadi mengintip sejarah. Bukit
tegar tugu termenung. Berfikir sepanjang abad. Seperti hendak berkisah
tentang seribu makna. Hari ini dan masa lampau, hendak bermuara di mana?
Kabut lembut dan kesejukan. Terus membuai dedaunan bertumbuhan silih berganti. Antara datang dan pergi.
Bebukitan sekitar kota. Tak tega. Segera menjemput langit senja
sebelum tiba. Sepertinya hendak menyimpan burai matahari dan segera
mengisahkan cahaya dari kegelapan. Sebab ketersembunyian kerap menjadi
hal yang tak terduga. Trenggalek. Terangnya prasangka.
Ingin ia membelai rambutmu wahai ilalang. Sebelum hijau royo menjadi
santapan Kanguru. Pada pucuk nan bergoyang meliuk tertiup angin.
Tapal kuda menjejakkan kaki di sekitaran mawar dan kamboja. Menghias
kuncup-kuncup bermekaran. Semerbakmu, ditunggu belahan dunia.
Jika setiap lontar berbicara. Pejalan jauh tapaknya menjadi tinta.
Tidur di goa-goa dan sesudahnya, bergegas memburu langit senja. Sekedar
demi kesetiaan. Ia menuruni jalan setapak dan bukit terjal. Bertegursapa
pada bukit-bukit tanggung. Langkahnya terhenti pada pertarungan singa
dan merak betina. Pertempuran abadi yang tak kan usai.
Kuda putih meringkik lelah. Temali tertambat. Di tepian Kali Keyang.
Gemercik alir mencandai bebatuan Jengking. Sang pengembara sejenak
membasuh muka, dan selanjutnya menuntaskan seribu tanya: getaran alam
macam apa? Hingga gaungnya ke cakrawala.
Tentu tidak hendak menyaingi. Kecuali menziarai peletak sejarah:
Ronggowarsito, Kiai Hasan Besari. Berputar melingkari sekitar. Menjamah
jernih sumber pancoran Joresan.
Dan selanjutnya, bergegas mengeja keakanan.
Trenggalek-Ponorogo (Joresan 5-7 Juni 2011).
Catatan Jaran Dawuk adalah gambaran saya mengenai tanah kelahiran
Tosa. Maghrib hingga lepas, saya berdiri lama di teras rumah Tosa sambil
memandangi bukit Jaran Dawuk. Saat itulah saya merekam detail bagaimana
bukit besar perlahan hilang diselimuti malam. Mula-mula tampak hitam
kekar seperti hantu besar sedang menunggui desa-desa sekitar bukit.
Selanjutnya raksasa besar itu lenyap berganti denging binatang malam dan
kemerecek Walang Kekek.
Waktu pagi, terpaan kuat sinar mentari menyorot bukit Jaran Dawuk
pada bagian tebing sebelah timur. Tampak samar bagian dinding kapur yang
tidak ditumbuhi belukar persis lukisan pangeran menunggang kuda putih.
Itulah sebabnya dinamakan bukit Jaran Dawuk yang artinya Kuda Putih.
Di kabupaten Trenggalek itu pula, pada 5 Juni 2011, saya mengamati
geliat sastra di Jawa Timur pesisir selatan. Saya dan Nurel mengikuti
diskusi sastra di STKIP Trenggalek bersama Misbahus Surur dan Nurani
Soyomukti. Rutinan diskusi sastra yang bernama Kuantum Mitra Sastra
(KMS) tersebut Nurani sempat membaca puisinya berjudul Kucium Ujung Lancipmu.
Hari berikutnya saya meneruskan langkah ke Negeri Dadak Merak, Reog
Ponorogo untuk menyelami tempat Ronggowarsito menulis di atas Watu
Jengking, Kali Keyang (seratus meter Pondok Tegalsari asuhan Kiai Hasan
Besari), dst.
Sisi tanah kelahiran ini, puisi Tosa tidak mendominasi. Bahkan puisi Kidung Jaran Dawuk
sendiri yang pernah dibaca penulisnya bersama saya di acara Lawatan
Budaya Mojowarno, Jombang, pada Juni 2011, tidak mencukupi gambaran
mengenai mitos Jaran Dawuk, apalagi potret masyarakat setempat.
Seandainya Tosa sedang jagongan di gardu sambil teplek
dengan tetangga, lantas ditanya, “apakah persoalan kami kau suarakan
dalam puisimu?” Ada banyak kegelisahan masyarakat sekitar Jaran Dawuk:
padi diserang wereng, kekurangan pasokan pengairan, was-was kalau bukit
pecah dan longsor, dll. Kalau puisi Tosa tidak srawung dengan masyarakat, ia akan bernasib sama dengan Emha Ainun Nadjib sebagai penyair kesepian. Ulasan Emha mengenai aksentuasi person penyair dan aksentuasi masyarakat
menggambarkan betapa erat hubungan karya sastra dengan potret sosial
(baca Menerba Budaya Tanding, hal,153, Emha, Pustaka Pelajar, 1995).
Puisi Tosa terburu me-nasional. Padahal yang disebut Nasional
terbentuk dari kepingan kekuatan lokal. Bahasa ekstrimnya, Indonesia
tidak perlu ada asal tanah kelahiran sejahtera dan tidak musnah.
Artinya, kalau terlanjur membikin komunitas besar yang bernama Negara
Indonesia, mari menciptakan lokalitas yang makmur-kemar-kemur.
Untuk tujuan tersebut, satrawan memainkan peranan penting menawarkan
pesan masyarakat setempat. Maman S. Mahayana menjelentrehkan khusus
hubungan pengarang dengan sosio-kultural (baca: 9 Jawaban Sastra
Indonesia, hal. 42, Maman S. Mahayana, Agustus, 2005).
1.3. Oposisi
Puisi, bagaimanapun juga makomnya adalah oposisi. Kidung Jaran Dawuk
menduduki tempat merata sebagai oposisi atas lawannya: (agamis
>azali>ila yaumil kiyamah). Jangan mengira bahwa sastrawan
(seniman) adalah makhluk berjiwa lembut, melainkan bibirnya putih namun
dada dan kepalanya mengangah api bara. Saya setuju jika Tosa beroposisi
dengan penulis ‘Dancuk-an’, yakni penulis yang mempersembahkan karyanya
agar dibaca, diapreseasi, diakui citranya oleh senior. Melainkan menulis
agar diminati rakyat yang paling jelata sekalipun. Meski kampanye
pemberantasan buta huruf bertujuan menjual produk industrialisasi.
*) Catatan makalah Bedah Buku Antologi Tunggal Kidung Jaran Dawuk
karya Tosa Poetra, pada 9 Pebruari, 2013, di Kedai Baca Suket/Rumah
Pintar Srikndi, jalan Kusuma Bangsa 54, Jombang.
**) Sabrank Suparno. Peserta Temu Sastra Jawa Timur 2011. Bergiat di
Lincak Sastra Jombang. Beralamat di: RT/RW:08/02, Dowong-Plosokerep,
Sumobito, Jombang.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/02/kidung-jaran-dawuk-antara-hancurit-dan-si-mbokne-hdancok-puisi-posisi-dan-oposisi/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar