Malkan Junaidi
http://sastra-indonesia.com
Sebenarnya saya ingin membicarakan antologi puisi “Sulfatara” secara
keseluruhan, sebab menurut saya antologi yang diterbitkan komunitas
Pelangi Sastra Malang ini tergolong bisa dibicarakan. Alasan saya:
pertama, karena ia memuat tak lebih dari 20 nama;
kedua, dengan rata-rata 5 puisi per penyair membuatnya terasa cukup
representatif dan adil dalam sebuah usaha pelanskapan, tidak sebagaimana
antologi yang marak akhir-akhir ini, yang memuat lebih dari 50 penulis
tetapi masing-masing hanya diberi kesempatan menampilkan paling banyak 2
judul puisi.
Namun untuk sementara saya akan membatasi pembicaraan
hanya pada puisi-puisi Husen Arifin. Bukan karena puisi-puisinya lebih
saya sukai ketimbang yang lain atau sebaliknya paling tak saya sukai di
antara yang lain, tetapi, jujur, karena saya sudah berjanji kepada yang
bersangkutan untuk melakukan tinjauan, longokan,dan icipan atas
karya-karyanya dan memberikan ‘kritik’ ala kadarnya.
Di pengantar buku yang ditulis oleh Ketua Komite Sastra Dewan
Kesenian Jawa Timur, Mashuri, saya menemukan komentar-komentar atas para
penyair yang karyanya dimuat di antologi ini, termasuk tentunya
komentar atas Husen Arifin. Berikut saya kutipkan komentar tersebut:
“Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal
teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir. Yang ia butuhkan adalah
bagaimana ia memiliki gaya pribadi yang khas karena ia sudah memiliki
kemampuan menyajikan puisi dalam banyak gaya, yang satu di antara yang
lain kadang berbeda. Gaya-gaya ini, jika dibaca lebih jauh, memang
bertradisi pada perpuisian Indonesia kini. Jika ia memiliki pengucapan
pribadi, karena bagaimanapun puisi pada taraf tertentu adalah pengucapan
pribadi, tentu itu akan menunjukkan bahwa dia telah fasih dan canggih
mengolah gelisah dan gagasannya.”[sic]
Meski tidak mengerti dengan maksud “…bertradisi pada perpuisian Indonesia kini.”
(tradisi perpuisian Indonesia kini [mutakhir?] itu yang bagaimana?),
namun saya menggaris bawahi dua hal: (1) Husen Arifin sudah tak
bermasalah dengan teknik perpuisian, namun (2) Husen Arifin belum
memiliki pengucapan yang khas.
Husen Arifin lahir di Probolinggo, 23 tahun silam. 5 puisinya yang
dimuat di “Sulfatara” adalah karya dari tahun 2010, kecuali puisi
“Sebuah Petuah” berasal dari tahun 2011. Pemuda yang adalah alumnus
Fakultas Ekonomi Jurusan Manajemen UIN Maliki Malang ini karyanya banyak
muncul di antologi bersama dan konon ia pernah mendapat penghargaan
dalam sebuah lomba esai nasional. Pengatahuan biografis menyangkut umur,
jenis kelamin, status perkawinan, tempat lahir dan tempat tinggal,
pendidikan, dan sebagainya, menurut saya penting untuk pembicaraan yang
tak asal-asalan. Meski kesusasteraan bisa dipandang sebagai fakta
tekstual independen, lepas dari siapa penulisnya, juga motif dan
ideologi apa yang melatarbelakangi proses kreatif yang berlangsung,
namun tak jarang pembacaan dengan metode strukturalis semacam itu terasa
arogan dan simplifikatif. Sayang saya belum berkesempatan membaca
seluruh karya yang dikirimkan untuk antologi ini (kabarnya masing
penyair diminta mengirimkan 10 judul), jika sudah tentu lebih baik.
Setelah membaca puisi-puisinya yang tersuguh di halaman 52-57 dan
biografinya yang termaktub di halaman 137-138 saya menyimpulkan bahwa
tidak terdapat (ko)relasi signifikan antara fakta bahwa Husen Arifin
menggeluti ilmu manajemen dengan fakta tema dominan apa yang ditulisnya
di puisi-puisinya. Kelihatannya kuliah dan puisi bagi Husen Arifin
adalah dua hal yang berbeda, dua pilihan dengan dua alasan yang
berlainan, yang satu tak memengaruhi yang lain. Sebab itulah barangkali
tak satu puisinya di antologi ini membicarakan realitas perekonomian
kontemporer. Sebaliknya ia lebih asyik berbisik-bisik dengan entah apa
entah siapa, tentang hal-hal klise semacam kerinduan, kekhawatiran,
impian, dan kekaguman.
seribu ketakutanku
barangkali mengiringi mimpimu
atau menjadi kunang-kunang malam
mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.
o, tampak laut sudah keriput
hingga batas perihku akut
dan tak ada lagi halauan
tak ada tentang kasih berdekapan
bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.
mungkin aku dekat pada kesepianmu
pada malam paling tenang
untuk mengalihkan nyanyian dukamu
menjadi sebaris catatan pengantar rindu
rindumu yang nyaris terbawa seribu ketakutanku.[sic]
Kekaburan merupakan ihwal yang saya tangkap pertama kali dari puisi
berjudul “Seribu Ketakutan” di atas. Saya bertanya-tanya apa sebenarnya
yang ditakutkan oleh aku-lirik sampai-sampai frasa “seribu ketakutan”
disebutkan dua kali di puisi yang relatif pendek ini dan digunakan
sebagai judul pula? Adakah seribu ketakutan ini adalah (ihwal yang dipicu oleh) krisis yang tersirat di bait kedua: “laut sudah keriput”, “tak ada lagi halauan”[sic], dan “tak ada tentang kasih berdekapan”
itu? Mungkin saja. Husen Arifin ? tidak saja dalam puisi ini, namun
juga di 4 puisi yang lain? tampak keteteran dalam menjaga koherensi
antar bait, dan alih-alih mengatakan banyak hal dengan sedikit imaji, ia
menjibuni puisi-puisinya dengan macam-macam imaji yang namun malah
membingungkan saya perihal inti yang ingin disampaikan. Memang kata-kata
dalam puisi berfungsi bukan cuma sebagai jongos makna, sebaliknya
dipilih sedemikian rupa karena dianggap sanggup menghadirkan nuansa
tertentu, keindahan tertentu, dan itulah kenapa puisi tak bisa
diterjemahkan ke bahasa yang lain, karena proses penerjemahan tidak lain
merupakan proses pengungkaian makna, sedang makna bukanlah realitas
utama atau satu-satunya dari puisi. Namun jika sebuah puisi lebih
menonjolkan permainan bunyi, terlebih jika terjadi pergeseran kelas kata
(sebagaimana adjektiva payau yang bergeser menjadi nomina dalam bersama payau yang beriak ke dermaga kenangan.) yang dibarengi distorsi makna yang entah apa gunanya (apa atau siapa yang bersama payau itu? (ke)kasih (yang) berdekapan-kah? Jika iya, maka apa atau siapa yang ke dermaga kenangan? payau yang beriak atau (ke)kasih (yang) berdekapan? Lalu hingga batas perihku akut, apa atau siapa yang mencapai batas perihku, dan apa yang akut itu, perihku atau batas? Serba membingungkan.
Mungkin Husen Arifin ingin melakukan pemadatan teks, seperti yang
pernah dan sering dilakukan Chairil Anwar, dengan menghilangkan
bagian-bagian yang keabsenannya dianggap tak akan merusak atau bahkan
merubuhkan struktur semantis, malahan memperkayanya melalui ambiguitas
interpretatif. Jika benar, maka saya menilai usaha ini, setidaknya di
puisi “Seribu Ketakutan” tersebut, belum cukup berhasil, kalau tak boleh
disebut gagal total. Karena bukan multi-tafsir yang saya dapat dalam
pembacaan, namun multi-kebingungan. Bahkan usaha mendekati bait pertama
dengan metode parafrasa semisal “seribu ketakutanku barangkali mengiringi mimpimu atau menjadi kunang-kunang malam (yang) mengelabuhi tidurmu yang hampir kelam.”
tak menolong saya untuk lebih memahami maksud bait tersebut, apalagi
menikmatnya. Saya tak bisa membayangkan gambaran tidur-yang-dikelabuhi
itu bagaimana, terlebih tidur-yang-kelam. Orang mungkin akan menyanggah:
“Tapi Anda tak bisa memakai kebingungan Anda sebagai parameter
kegagalan puisi orang lain, sebab boleh jadi banyak orang tidak bingung
seperti Anda!”. Jika demikian mari kita lanjutkan ke puisi berikut.
kandang hatimu:
harimau meletakkan kakinya
ke bangku, menjadi seseorang paling
perkasa, membuka tabir tabir luka, gigi sebesar
jemari merekah dan meruncing sekali.
seperti celurit bermata. dan kau membisik padanya
merajuk pada tubuh angkuh, menyegerakan
membabat belulang sedihku
rapuh, merapuh ke segala riuh.
angin mengekal dan mengenggam
pada perih, pada lirih, pada ringkih
yang kurasakan dalam gembala
dan bermain dalam sirkus,
di harimau yang berulang menjelma malam
mengisyaratkan ingin melahap, mengungkap ingin merayap
ke gemuruh dadaku yang tak siap
kadang hatimu:
bagaimana kalau aku buat kandang baru?
berisikan rembulan, kelinci bergigi puisi,
dan gajah afrika
hingga membuatku tak ingat pada harimau
yang terlukis di dadamu,
mata harimau
mata cintamu
sebab itu aku cemburu.[sic]
Puisi di atas berjudul “Kandang Hatimu”, dan berdasarkan judul tersebut saya menganggap baris pertama bait kelima (kadang hatimu) dan baris kedua bait ketiga (…dan mengenggam)
sebagai salah ketik. Tidak sedikit salah ketik di Buku “Sulfatara” ini
memang. Saya tak tahu ini kesalahan pengirim naskah atau pengolah
naskah. Bahkan Mashuri di Pengantar menulis Britney Spears sebagai
“Bretney Spears”. Sebuah kecerobohan yang semestinya sudah tak terjadi
pada seorang yang notabene penulis senior seperti dia. Lepas dari itu,
menurut saya “Kandang Hatimu” relatif lebih mudah dipahami inti dan
arahnya dibanding “Seribu Ketakutan”. Puisi ini menggambarkan
konfrontasi aku-lirik dengan seseorang yang tampaknya memiliki hubungan
intim dengan aku-lirik tersebut. Bisa kekasih atau tokoh yang banyak
mem(p)engaruhi cara berpikir dan bersikap aku-lirik. Saya pribadi
memandang konfrontasi ini sebagai konfrontasi oedipal, di mana
bayang-bayang kemegahan seseorang menimbulkan hasrat ganda: meniru
sekaligus membantainya. Narasi lalu meruncing pada usaha konsolidasi
yang direpresentasikan oleh kalimat “bagaimana kalau aku buat kandang baru?” dan ditutup dengan baris “sebab itu aku cemburu” yang menegaskan adanya Kompleks Oedipus tadi.
Kecenderungan bermain bunyi jelas kentara di bait ketiga. Tentu saja
bermain bunyi bukan merupakan sebuah dosa, sebaliknya apabila dilakukan
secara proporsional, tidak berlebihan, akan menjadi sisi penguat
struktur puisi secara keseluruhan. Namun saya justru menganggap bait
ketiga tersebut sebagai “pengganggu”. Keberadaannya seperti kehadiran
seorang perempuan genit di sebuah warung kopi di mana saya tengah
melakukan percakapan serius dengan seorang pelanggan lain yang sudah
saya kenal baik. Perempuan itu menanyakan sesuatu yang saya tak tahu
jawabannya dan pertanyaannya menurut saya tak penting-penting amat baik
untuk dijawab ataupun dicari jawabannya. Saya terganggu dengan
kegenitannya dan sedikit marah karena ia menginterupsi percakapan saya.
Karena itulah saya pikir eliminasi terhadap bait ketiga ini tak akan
menimbulkan gangguan semantis yang serius, malah membuat tubuh puisi
“Kandang Hatimu” menjadi lebih ramping dan seksi, karena sesungguhnya
bait ketiga ini (di)hadir(kan) lebih sebagai akustika fonetis, terutama
dalam “rapuh, merapuh ke segala riuh” dan “pada perih, pada lirih, pada ringkih”.
bunga-bunga meninggikan tubuhnya
sampai diam-diam ke batas mataku
melebihi airmataku membuat sebidang rindu
ya, aku rindu malam penuh lelagu
ingin kupijakkan kenangan
bersama orang orang memahat rembulan
memahat jejak jejak yang kutitipkan
saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga
rupanya malam ini bukan lagi pujangga
aku bernafas sejenak, sejenak
untuk memintal sajak
mencari derai derai ombak
pada bunga bunga yang bergerak
karena malam ini bukan kita
yang menyertai cita cita
menuju singgasana surga
dan terlampau luka kubacakan doa
pada bunga bunga yang meninggikan tubuhnya
teratai teratai yang berduka
di tugu ibu aku temukan
telaga yang kering airmatanya [sic]
Saya tak tahu melalui puisi di atas Husen Arifin ingin membicarakan
apa sebenarnya. Judul “Tugu Ibu” yang disematkan meski tersusun bukan
dari imaji abstrak namun menurut saya gagal menjadi idiom yang
melahirkan makna segar. Secara garis besar puisi ini adalah pertunjukan
kesengkarutan dan inkonsistensi yang disembunyikan di balik tebalnya
bedak ritme dan rima. Baris “sampai diam-diam ke batas mataku” merupakan dislokasi sintaksis yang kalau ‘dikoreksi’ menjadi “diam-diam sampai ke batas mataku”
pun masih menyisakan tanya: apa itu batas mata? Saya mencoba membaca
ulang, kali ini dengan lebih santai, dan hasil pembacaan saya adalah:
ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya mencapai mata,
atau: ada bunga-bunga yang tumbuh secara diam-diam, tingginya sampai
pandangan tak sanggup menjangkaunya. Dari dua kemungkinan hasil
pembacaan ini dapat disimpulkan bahwa inti yang ingin dikatakan adalah
bunga-bunga yang diam-diam tumbuh makin tinggi.
Namun pembicaraan mengenai bunga ini lantas mandeg, aku-lirik berpindah membicarakan kerinduannya pada malam (yang) penuh lelagu, malam di mana aku-lirik bersama orang-orang memahat rembulan. Sayang, bagian yang menarik ini lalu disusuli tiga baris yang tak jelas juntrung maknanya: “memahat jejak jejak yang kutitipkan”,
dititipkan pada apa atau siapa? dan jika sudah dititipkan kenapa masih
dipahat? tidakkah logikanya seharusnya dipahat dulu baru dititipkan?
Saya pun curiga bahwa pada bagian “saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga/rupanya malam ini bukan lagi pujangga”
itu Husen Arifin hanya ingin menyihir pembaca dengan pesona resonansi
kata “berjelaga” dan “pujangga”, tak lain dan tak bukan. Kita bisa
memang dalam cara yang berbeda membaca lima baris terakhir bait pertama
tersebut sebagai sebuah kalimat independen: ingin kupijakkan kenangan, bersama orang-orang, memahat rembulan (dan) memahat jejak jejak yang kutitipkan (pada….?) saat aku masih menyisakan kata untuk berjelaga, (namun) rupanya malam ini (aku) bukan lagi pujangga,
dan dengan demikian maknanya menjadi cukup terlihat. Namun terdapat
kejanggalan: apa korelasi status kepujanggaan dengan keseluruhan runtut
makna dan peristiwa di bait pertama itu? juga jika memang malam ini (aku) bukan lagi pujangga, lantas kenapa aku bisa “memintal sajak” sebagaimana tersebut di bait berikutnya?
Inkonsistensi tidak saja terjadi di lapis makna, Husen Arifin juga
tampak tak konsisten dalam meniadakan tanda hubung, terbukti reduplikasi
pada kata “diam-diam” masih menggunakan tanda hubung. Adakah kata
“diam-diam” lebih istimewa dibanding kata ulang yang lain di seluruh
puisi tersebut? Entahlah. Puisi ini ditutup dengan baris “di tugu ibu aku temukan telaga yang kering airmatanya”.
Mungkin puisi “Tugu Ibu” memang dimaksudkan sebagai sejenis requiem
atas kematian ‘sosok’ ibu. Serakan imaji ‘nglangut’ semacam “airmata,
jelaga, luka, doa, dan duka” yang berusaha diklimakskan pada dua baris
terakhir adalah alasan utama penyimpulan tersebut. Mungkin Husen Arifin
di puisi ini lebih ingin membangun suasana ketimbang makna. Namun saya
pikir sulit suasana akan tercecap dan terhayati jika sebuah teks kental
dengan permainan bunyi.
Merdeka itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah ketika hatimu menjumpai airmata
dan tak sesedih itu. Bangkitlah, rayakan hari ini
sebuah merdeka yang bangkit dari kerasnya sesal.
Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis
yang esok kering, melainkan bertambah miris.
Bagikanlah Maut menyebar, agar sesekali
kematian menjadi resepsi.
Pesan cinta itu, kata perempuan separuh rembulan,
adalah malam yang menabur bintang, tapi rindumu
sebasah hujan meretas ke penggal pohon dan reranting
bergugur di antara mimpimimpi kenangan.
Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit
sehabis gelap.[sic]
Rembulan agaknya merupakan imaji favorit Husen Arifin. Semua puisinya
yang dimuat di “Sulfatara”, kecuali puisi “Seribu Ketakutan”,
mengandung kata ini. Imaji rembulan selalu mengingatkan kita pada imaji
malam. Sedang kehadiran rembulan sendiri di waktu malam adalah
romantisme setingkat dengan kehadiran fajar di pagi hari; harapan di
hadapan keputusasaan, keberanian di hadapan ketakutan, dan sebagainya.
Meski demikian tak mudah bagi saya memastikan maksud dari frasa “perempuan separuh rembulan”
di puisi yang berjudul “Sebuah Petuah” di atas. Jika seorang perempuan
digambarkan separuhnya berupa rembulan, maka mau tak mau kita
mempertanyakan yang separuhnya lagi berupa apa? Matahari? Sepertinya
hanya Husen Arifin saja yang tahu. Sebab kebebasan yang eksistensinya
diandaikan melalui frasa “the death of author” bukanlah jaminan bahwa
sebuah proses pembacaan akan selalu berhasil mencapai penafsiran. Tak
jarang keeksentrikan dalam membentuk jukstaposisi menjadi tabir yang tak
dapat ditembus kecuali oleh penulisnya sendiri.
Saya tak bisa berbohong mengatakan saya tidak kecewa melihat bahwa di
puisi yang tergolong paling anyar ini Husen Arifin belum juga ‘insyaf’
dan melakukan pembenahan atas ‘kesalahan-kesalahan’ kebahasaannya,
terutama menyangkut inkonsistensi gagasan. Betapa masih terlihat
ketidakistiqomahan itu di empat baris pertama; gagasan “kemerdekaan”
diagungkan, “bangkitlah, rayakan hari ini”, kemerdekaan dianggap identik dengan kebangkitan dan optimisme, namun segera gagasan itu dikhianatinya sendiri melalui “Sejak kemerdekaan terhampar, maka tak lagi tangis/yang esok kering, melainkan bertambah miris.”. Kenapa justru ketika kemerdekaan (sudah) terhampar, …tangis… (malah) bertambah miris?
Di puisi ini saya mendengar ajakan supaya orang membebasakan diri
mereka dari kesedihan yang berlebihan, untuk menghadapi kematian sebagai
kenyataan biasa, dan tak mendewakan emosi dan sentimentalitas. Namun
saya juga mendengar seruan untuk tindak masokis pada “Bagikanlah maut…, agar … kematian menjadi resepsi.”.
Ini aneh. Husen Arifin lalu melanjutkan ‘petuah’nya, kali ini tentang
cinta. Kita kembali disuguhi permainan bunyi, juga konjungsi “tapi” yang anehnya mempertentangkan pesona cinta dengan rindu yang basah, diakhiri dengan baris kontemplatif “Di surga, kita masih mengingat apa yang terbit sehabis gelap.”.
perempuan Tionghoa dua bola matanya
seperti bulan sabit
seolah olah aku menjadi burung pipit
mengerling dan menyunting malam
malam menepis daun-daun layu
menadah rindu-rindu di reranting pohon randu
aku menghapus mimpi-mimpi burukku
begitu dua bola matanya mengecup pada tidurku
pada senandung bayangku
dan aku melayari dua bola mata itu
tiap waktu tiap mau
meladang pada Tuhanku [sic]
Puisi terakhir yang saya kutip ini berjudul “Dua Bola Mata Perempuan
Tionghoa”, merupakan puisi yang paling saya sukai di antara puisi Husen
Arifin yang lain. Puisi ini relatif konsisten dan tak carut
konstruksinya. Kita bisa menyaksikan dari awal hingga akhir pembicaraan
mengenai perempuan Tionghoa ini tak mengalami interupsi destruktif. Saya
menghitung terdapat hanya dua kejanggalan, pertama (sekali lagi)
mengenai reduplikasi, kenapa kata “seolah olah” tak diberi
tanda hubung sementara tiga kata yang lain diberi tanda hubung? kedua,
(namun saya tak yakin semua pembaca bingung seperti saya) kenapa
aku-lirik menganalogikan dirinya sebagai “burung pipit”? dan apa
korelasinya dengan bulan sabit?
Jika Mashuri mengatakan “Puisi-puisi Husen Arifin memang tak lagi berkutat dengan ihwal teknik perpuisian, karena ia sudah cukup mahir.”,
maka saya sebaliknya mengatakan Husen Arifin masih sangat perlu
memperbaiki teknik menulisnya. Sebab saya melihat dia masih
terombang-ambing di antara romantisme ala Pujangga Baru dan
posmodernisme. Dia harus segera memutuskan hendak berdiri di sisi mana.
Romantisme berarti konvergensi, posmodernisme sebaliknya berarti
divergensi. Masing-masing melibatkan implikasi teknis yang nyaris
bertolak-belakang. Koherensi, fokus, dan konsistensi adalah contoh ihwal
teknis yang harus dibenahi jika ‘jalan’ romantisme yang diambil. Sedang
posmodernisme bisa dicapai dengan penghancuran secara sengaja atas
pilar-pilar romantisme tersebut. Atau tentu akan menggembirakan semua
pihak jika Husen Arifin mampu memunculkan isme yang betul-betul baru.
Melihat bahwa usianya belum sempurna 23 tahun saya percaya dengan usaha
yang militan semua itu bukan perkara yang mustahil. Semoga.
Blitar, 25 Desember 2012,
Malkan Junaidi, Penyair, Aktivis Facebook.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/01/sengkarut-struktur-semantis-telaah-singkat-atas-lima-puisi-husen-arifin/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar