Mardi Luhung
Kompas, 31 Okt 2010
I
Akhirnya, aku memang percaya, jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Dengan kata lain, ada orang yang sakit, bahkan yang parah sekalipun, tetapi tak mati-mati. Dan sebaliknya, ada yang kelihatannya sehat, segar dan lincah, tetapi tiba-tiba kleplek-kleplek mati. Mati tanpa pesan. Tanpa amanat. Apalagi tanpa tanda-tanda awal yang dapat dibaca oleh yang ada di sekitarnya. Tanda-tanda awal yang bergerak seperti kelebat burung gagak di malam hari. Kelebat bagi siapa saja yang akan dijemput oleh mati.
Jadinya, segalanya seperti memang alamiah. Dan sepertinya memang sudah digariskan dari sono-nya. Tak ada yang bisa menerka. Apalagi meramalkan. Karenanya, terus terang, aku lebih percaya jika urusan mati ya urusan mati sendiri. Dan sakit ya urusan sakit sendiri. Dan meski ada yang bilang: ”Jika sakit adalah bagian dari pembuka jalan bagi mati, aku tetap saja merasa itu bukan hal yang benar. Tapi hal yang kebetulan benar saja. Jadi bisa benar bisa tidak.”
”Bisa benar bisa tidak?”
”Ya, begitulah!”
Dan itu dapat dilihat dari diriku sendiri. Diri yang kini sudah berumur hampir 70 tahun ini. Diri yang tetap bisa mandi, makan, jalan-jalan, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh. Diri, yang waktu umur 27 tahun, telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Tapi nyatanya? Hmmm, masih saja bertahan sampai kini. Bahkan, masih sanggup untuk menikmati apa saja yang enak-enak. Rawon, tempe penyet, hamburger, nasi kuning, martabak. Atau menonton siaran sepak bola dini hari.
Diri yang dianggap oleh orang-orang yang ada di sekitar sebagai orang yang lebih kuat dari mati. Orang yang mungkin punya nyawa rangkap. Dan orang yang dianggap tenggorokannya buntu. Dan karena buntu itu, maka nyawanya cuma memantul-mantul di rongga dadanya. Tak bisa keluar. Atau dikeluarkan. Ha-ha-ha, anggapan yang agak aneh. Anggapan yang kerap membuat aku tersenyum simpul. Ya, barangkali aku memang lebih kuat dari mati. Dan barangkali pula itu yang membuat aku ingin menulis cerita ini.
II
Seperti yang aku katakan, ketika umurku 27 tahun, aku telah divonis oleh si dokter cuma bisa hidup 3 bulan. Katanya, aku mengidap penyakit ganas. Penyakit yang sudah menjalar ke seluruh tubuh. Bahkan, kata si dokter lagi, mulai hari itu juga apa yang menjadi keinginan dan hasratku harus dituruti. Tentu saja, keluargaku menjadi sedih. Adik perempuanku menangis. Ibuku juga menangis. Dan ayahku, ya, ayahku, meski tak kelihatan menangis, tapi matanya tampak merah. Seperti menahan sesuatu. Sesuatu yang dijaga oleh karang yang kokoh. Tapi aku yakin, pasti sesekali, tanpa sepengetahuanku diambrolkannya juga.
”Istirahatlah, Nak,” begitu kata ayahku.
”Jangan terlalu berpikir yang macam-macam,” sambung ibuku.
Dan sergah adik perempuanku: ”Iya, Mas, harus istirahat. Jika sudah sembuh bisa jalan-jalan sama Mbak Ninuk lagi.”
Ninuk? Akh, Ninuk. Pacarku yang tersayang. Pacarku yang akan aku nikahi 2 tahun lagi. Pacarku yang cantik, manis dan berambut keriting. Pacarku yang telah aku cium sebanyak 4 kali. Sekali di beranda rumahku. Dua kali di alun-alun kota. Dan sekali lagi di rumahnya. Sewaktu rumahnya kosong. Ditinggal oleh keluarganya kondangan di kelurahan. Dan karena ciuman sebanyak 4 kali inilah, aku pun berbisik padanya:
”Kau harus kontrol, Nuk?”
”Kontrol?”
”Iya. Siapa tahu kau ketularan penyakitku?”
Dan deg, Ninuk pun menutup mulutnya. Wajahnya memerah. Ada ketakutan dan kegelisahan di wajah itu. Ketakutan dan kegelisahan yang tak diduga. Yang muncul ketika semuanya telah terjadi. Ya, memang, ketika kita sudah di depan pacar, kita sudah tak lagi berpikir: ”Apakah pacar kita punya penyakit dalam atau tidak. Menular atau tidak. Yang penting ciuman dan ciuman. Mumpung ada kesempatan. Kesempatan yang kelak akan mencelakakan atau tidak? Siapa yang peduli? Jiahh….”
Dan dua bulan kemudian (setelah kontrol dan ternyata tak tertular), Ninuk pun memutuskan untuk pergi dari sisiku. Sebagai pacar yang berpenyakit. Yang hidupnya sudah divonis cuma 3 bulan, tentu saja aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan meski semangatku sedikit ambruk, tapi aku tetap bertahan. Dan tetap merasa jika kepergian Ninuk adalah hal yang baik. Sebab, apa yang bisa diharapkan dari seorang pacar yang punya kondisi seperti diriku ini. Paling-paling cuma akan merumitkan masa depannya saja.
III
Waktu berlalu. Tiga bulan dari waktu yang divonis si dokter tinggal seminggu lagi. Rasanya rumahku jadi ramai. Tetangga dan keluarga jauhku berdatangan. Menjenguk diriku. Ada yang menghibur. Ada yang basa-basi. Dan ada pula yang malah mengajari aku untuk bersabar. Sambil membocorkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan kubur. Siapa Tuhanmu? Siapa nabimu? Apa kitabmu? Yang kesemuanya selalu diakhiri dengan tangisan. Tangisan yang juga kerap membuat aku turut terharu. Dan berpikir: ”Apakah benar aku akan mati? Dan apakah semua orang yang datang ini cuma ingin mengantar diriku mati?” Aku tak bisa menjawabnya. Aku cuma merasa jika memang mati ya matilah! Mati ya matilah!
Tapi, ahai, ternyata, seperti yang terjadi aku tidak mati. Dan meski 3 bulan telah lewat. Diganti 5, 6, sampai 7 bulan. Terus setahun. Dan sekian puluh tahun (meski kerap kumat dan drop), aku tetap tak mati-mati. Tetap hidup. Bahkan, malah-malah sempat datang ke perayaan pernikahan Ninuk dengan lelaki yang punya usaha penggilingan daging. Dan itu terjadi setahun setelah Ninuk memutuskan untuk pergi dari sisiku. Juga aku pun sempat melihat bagaimana kotaku dibangun. Lalu terterjang macet. Dibangun lagi. Terterjang lagi. Dibangun lagi. Lagi. Lagi. Dan lagi. Seperti tak ada hentinya. Tak ada lelahnya. Seperti sebuah persilangan yang tak tahu mana ujungnya. Yang hasilnya tetap saja ruwet. Dan macet melulu.
Macet yang makin lama makin mengancam. Macet yang seperti hidup. Bisa berpikir. Dan bisa menentukan sikap. Jika dibuka yang sebelah sini, akan memacetkan sebelah sana. Dan jika sebelah sana yang dibuka, wah, wah, akan ngeloyor ke sebelah yang lain lagi. Yang lain lagi. Dan yang lain lagi. Dan itu membuat siapa saja saling tuding. Saling melemparkan kesalahan. Juga tanggung jawab yang tak diketahui bagaimana mesti menjawabnya. Cuma ada gontok-gontokan. Yang disertai dengan sekian ribu alasan. Dan juga sekian ribu teori. Teori yang sepertinya tulus dan ikhlas. Tapi nyatanya malah seperti permainan cilukba.
Dan yang lebih tak masuk akal, tepat 3 bulan dari vonis hidupku itu, ternyata si dokterlah yang justru mati duluan. Kabarnya, dia terjungkal di kamar mandi. Gegar otak dan tak tertolong. Dan setelah itu giliran tetangga dan keluarga jauhku (yang pernah menjengukku) yang bersusulan mati. Emak Icih yang menyusul pertama. Emak Icih mati karena kaget ketika ada suporter di kotaku ngamuk. Ngamuk gara-gara tim sepak bola kesayangan mereka kalah telak. Seluruh pot di jalanan diguling. Warung-warung disatroni. Bahkan beberapa lampu-lampu jalan yang ada dipecahi. Dan kota pun seperti dalam siaga berat.
Lalu Kang Pardi mati karena jatuh dari atap sewaktu hujan deras. Bayu tertabrak sepeda motor. Wely terpeleset di trotoar sekolahannya. Terus Joko, Mbak Sol, dan Takin yang mati tanpa sakit. Dan yang lebih menggegerkan adalah matinya Mas Karyo. Mas Karyo mati karena tabung gas di warung kopinya meledak. Banyak yang menjadi korban. Termasuk juga Suaib dan Wak Ipin yang sedang asyik main catur di warung itu. Yang setelah kejadian itu, sebagian tangan dan dada mereka berdua terbakar berat. Terbakar dengan kulit gosong. Mengeriput dan kasar. Kasar dengan bentuk-bentuk yang begitu menggiriskan. Seperti bentuk-bentuk yang kerap aku temui saat penyakitku sedang kumat atau drop. Ada yang lonjong. Ada yang bundar. Ada yang segi tak beraturan. Juga lurus lancip menukik.
Ya, ya, satu per satu hampir semuanya bersusulan mati. Juga ayah dan ibuku pun mati. Dan keduanya mati hampir berbarengan. Dan itu persis ketika aku berumur 40 tahun. Tepat ketika adikku perempuan telah menikah hampir 7 tahun dengan seorang pemilik peternakan marmut. Seorang yang biasa aku panggil dengan nama: Adik War. Dan ketika ayah dan ibuku ini mati, aku benar-benar merasa kehilangan. Dunia yang aku pijak pun seakan longsor. Dan itu cukup lama aku tanggung. Aku tanggung!
IV
”Pak De, mau ke mana?”
”Ikut?”
”Tidak. Kata ibu jangan terlalu lama. Juga jangan lupa minum obat.”
Nah, itulah percakapanku dengan Sasi, putri tunggal adik perempuanku, di suatu pagi. Memang, sejak ayah dan ibuku itu mati, aku tinggal bersama keluarga adikku. Dan semua keperluanku ditanggung oleh mereka. Keperluan seseorang yang telah berumur hampir 70 tahun dan tidak menikah ini. Seseorang yang pernah divonis cuma bisa hidup 3 bulan di umur ke-27 tahunnya. Dan seseorang yang ternyata tetap tak mati-mati. Dan tetap saja bisa mandi, makan, jalan kaki, nonton TV dan sesekali membaca ini-itu yang mungkin remeh-temeh.
Dan setiap orang yang melihatku kini, setiap orang, dari anak-anak para tetangga dan kerabat jauhku yang lebih dulu mati dibandingkan aku itu, selalu memanggilku: ”salah satu pak tua yang tersisa”, Pak tua yang punya nyawa rangkap. Pak tua yang punya tenggorokan buntu (sehingga nyawanya tak bisa keluar atau dikeluarkan). Pak tua yang setiap pagi berkeliling kampung. Pak tua yang baru semingguan ini mendapat kabar. Jika Ninuk, bekas pacarnya dulu, juga telah mati. Tanpa sebab-sebab yang jelas. Akh!
”Baiklah. Paling sebelum jam 9, Pak De sudah pulang….”
V
Nah, itulah cerita yang aku tulis. Cerita (seperti yang aku katakan), berhubungan dengan kepercayaanku. Jika antara sakit dan mati tak ada hubungannya. Melainkan berdiri sendiri-sendiri. Dan punya urusan sendiri-sendiri. Mati ya urusan mati sendiri. Sakit (separah apa pun) juga begitu. Dan setelah kepercayaanku ini terbukti, apakah lantas aku senang? Ternyata tidak. Malahan, aku merasa waswas. Sebab, bagaimana tidak waswas. Jika ternyata nanti aku benar-benar akan jadi lebih kuat dari mati. Dan umurku makin lebih panjang. Mungkin menginjak 80, 90, atau 100 tahun lebih. Tentu aku akan lebih banyak menyaksikan: ”Bagaimana orang-orang yang aku kenal, baik yang lama ataupun yang baru, selalu mati satu demi satu. Dan bagaimana pula kotaku, yang jatuh bangun melawan macet, selalu kalah. Dan kalah!”
Hmmm, siapa yang lebih kuat dari mati….
(Gresik, 2010)
Dijumput dari: http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/10/31/lebih-kuat-dari-mati/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar