Rahmat Sularso Nh *
Radar Mojokerto, 18 Nov 2012
Persoalan pembelajaran sastra di sekolah memang sudah bukan baru lagi. Sudah banyak praktisi pendidikan ataupun juga penggiat kesenian khususnya sastra menyinggung tentang pembelajaran sastra disekolah yang masih dengan situasi lama dan mempunyai perubahan yang berarti. Wacana baru-baru ini pun yang sedang digodok oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud mengenai penyederhanan mata pelajar Bahasa dan Sastra Indonesia juga akan menjadi sangat riskan.
Artinya kemungkinan semakin menjauhkan pembelajaran sastra di sekolah utamanya kepada anak didik. Perlu adanya langkah nyata dalam hal ini agar tidak semakin menenggelamkan Sastra Indonesia. Apalagi sudah banyak juga sastra terjemahan yang beredar namun masih sedikit yang mengetahui bahwa itu sebagai referensi nimat. Sejauh ini pembelajaran sastra di sekolah kadang menarik jika menghadirkan langsung pelakunya. Upaya tersebut bukan berarti pelaku sastra sangat narsis atau ingin di undang. Melainkan adalah sebagai dorongan membentuk atmosfir baru yang jauh lebih mengenal dan dekat karena pengalaman serta panjangnya proses kreatif yang sudah dilakukan mampu menjadi ditularkan kepada anak didik sebagai energi yang istimewa.
Peran guru juga masih penting, selain terus menjadi pendamping yang aktif dan mampu memprovokasi anak didiknya supaya terus melanjutkan pembelajaran sastra tersebut secara mandiri setelah mendatangkan preaktisi secara langsung. Jelas tujuannya untuk mendatangkan pelakunya berbagi pengalaman dan memberikan pembelajaran yang sederhana tentang Sastra Indonesia dan mengenalkan pada kebeharuan Sastra Indonesia akan memberikan keuntungan kepada anak didik. Mereka mengetahui sejauh mana proses membaca dan menulis sebenarnya yang lebih mudah. Walaupun tidak menutup kemungkinan banyak yang menjawab atau menyela tidak mempunyai kegemaran membaca dan menulis. Tetapi kalau dibiarkan terus menerus seperti itu maka akan semakin tenggelam Sastra Indonesia diantara masyarakatnya sendiri musabab tidak ada lagi siapa yang hendak meneruskannya.
Pengalaman yang banyak serta berbagai peristiwa yang sudah pernah dilalui anak didik sudah menjadi bahan berharga dalam membuat tulisan. Mereka belajar merangkai kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi paragraf demi paragaf akhirnya menjadi sebuah tulisan. Kesampingkan dulu sementara ikhwal teknis kepenulisan ataupun ketatabahasaan yang biasanya masih sangat lugas dimunculkan oleh anak didik. Mereka bercerita dan masih mengawali menuliskan kisahnya sendiri.
Selain pada sisi teknis kepenulisan ada bagian lain yang seringkali menjadi pertanyaan pada pelatihan menulis yakni keyakinan dan kepercayaan dirinya. Mereka masih malu-malu kucing sekedar menunjukan tulisannya kepada teman sebayanya atau saudaranya sendiri. Hal yang wajar jika itu terjadi sehingga butuh pelita semangat untuk mereka agar yakin bahwa karyanya itu patut untuk dibaca atau diketahui khalayak. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah bisa mulai membenahi tatanan kalimat dan bahasa yang digunakan anak didik saat menulis agar lebih elok.
Langkah berikutnya secara bergantian sesama teman sebaya di dalam satu kelas bisa membacakan tulisannya tersebut di muka kelas kemudian diapersiasi. Semua anak didik diberikan kebebasan menanggapi hasil tulisan temannya sendiri namun sebelumnya mereka harus mambaca terlebih dahulu karya temannya yang akan membacakan. Harapannya adalah mengetahui seperti apa tulisan dari temannya itu dan mampu memberikan tanggapan yang membangun. Peranan guru disana hanya sebagai penengah bukan menghakimi atau memberikan keputusan. Anak didik akhirnya benar-benar mandiri dan bebas belajar sastra di sekolah.
Belum cukup disitu saja untuk memotivasi anak didik untuk terus merambah belajar Sastra Indonesia guru perlu menyediakan ruang kreatif atau media selanjutnya guna mengumpulkan semua karya anak didik agar tidak terdiam di sela-sela tugas lainnya. Misalnya membuatkan madding di kelas atau di sekolah bahkan tidak menutup kemungkinkan membukukan secara sederhana dan rapi kemudian dibagikan kepada anak didik serta wali anak didik sehingga menjadi nilai tambah dari hasil belajar yang tidak sebatas pada nilai tetapi juga terdapat hasil nyata. Kebanggaan anak didik yang sudah menuliskan dan wali anak didik pun akan mengembang seraya terus mendukung anak mereka agar terus membuka potensi mereka dalam belajar sastra lebih jauh.
*) Pimpinan Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat Jombang dan Anggota Komite Sastra Dekajo
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/menguntit-kemandirian-belajar-sastra-di-sekolah/
Radar Mojokerto, 18 Nov 2012
Persoalan pembelajaran sastra di sekolah memang sudah bukan baru lagi. Sudah banyak praktisi pendidikan ataupun juga penggiat kesenian khususnya sastra menyinggung tentang pembelajaran sastra disekolah yang masih dengan situasi lama dan mempunyai perubahan yang berarti. Wacana baru-baru ini pun yang sedang digodok oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atau Kemendikbud mengenai penyederhanan mata pelajar Bahasa dan Sastra Indonesia juga akan menjadi sangat riskan.
Artinya kemungkinan semakin menjauhkan pembelajaran sastra di sekolah utamanya kepada anak didik. Perlu adanya langkah nyata dalam hal ini agar tidak semakin menenggelamkan Sastra Indonesia. Apalagi sudah banyak juga sastra terjemahan yang beredar namun masih sedikit yang mengetahui bahwa itu sebagai referensi nimat. Sejauh ini pembelajaran sastra di sekolah kadang menarik jika menghadirkan langsung pelakunya. Upaya tersebut bukan berarti pelaku sastra sangat narsis atau ingin di undang. Melainkan adalah sebagai dorongan membentuk atmosfir baru yang jauh lebih mengenal dan dekat karena pengalaman serta panjangnya proses kreatif yang sudah dilakukan mampu menjadi ditularkan kepada anak didik sebagai energi yang istimewa.
Peran guru juga masih penting, selain terus menjadi pendamping yang aktif dan mampu memprovokasi anak didiknya supaya terus melanjutkan pembelajaran sastra tersebut secara mandiri setelah mendatangkan preaktisi secara langsung. Jelas tujuannya untuk mendatangkan pelakunya berbagi pengalaman dan memberikan pembelajaran yang sederhana tentang Sastra Indonesia dan mengenalkan pada kebeharuan Sastra Indonesia akan memberikan keuntungan kepada anak didik. Mereka mengetahui sejauh mana proses membaca dan menulis sebenarnya yang lebih mudah. Walaupun tidak menutup kemungkinan banyak yang menjawab atau menyela tidak mempunyai kegemaran membaca dan menulis. Tetapi kalau dibiarkan terus menerus seperti itu maka akan semakin tenggelam Sastra Indonesia diantara masyarakatnya sendiri musabab tidak ada lagi siapa yang hendak meneruskannya.
Pengalaman yang banyak serta berbagai peristiwa yang sudah pernah dilalui anak didik sudah menjadi bahan berharga dalam membuat tulisan. Mereka belajar merangkai kata menjadi kalimat dan kalimat menjadi paragraf demi paragaf akhirnya menjadi sebuah tulisan. Kesampingkan dulu sementara ikhwal teknis kepenulisan ataupun ketatabahasaan yang biasanya masih sangat lugas dimunculkan oleh anak didik. Mereka bercerita dan masih mengawali menuliskan kisahnya sendiri.
Selain pada sisi teknis kepenulisan ada bagian lain yang seringkali menjadi pertanyaan pada pelatihan menulis yakni keyakinan dan kepercayaan dirinya. Mereka masih malu-malu kucing sekedar menunjukan tulisannya kepada teman sebayanya atau saudaranya sendiri. Hal yang wajar jika itu terjadi sehingga butuh pelita semangat untuk mereka agar yakin bahwa karyanya itu patut untuk dibaca atau diketahui khalayak. Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah bisa mulai membenahi tatanan kalimat dan bahasa yang digunakan anak didik saat menulis agar lebih elok.
Langkah berikutnya secara bergantian sesama teman sebaya di dalam satu kelas bisa membacakan tulisannya tersebut di muka kelas kemudian diapersiasi. Semua anak didik diberikan kebebasan menanggapi hasil tulisan temannya sendiri namun sebelumnya mereka harus mambaca terlebih dahulu karya temannya yang akan membacakan. Harapannya adalah mengetahui seperti apa tulisan dari temannya itu dan mampu memberikan tanggapan yang membangun. Peranan guru disana hanya sebagai penengah bukan menghakimi atau memberikan keputusan. Anak didik akhirnya benar-benar mandiri dan bebas belajar sastra di sekolah.
Belum cukup disitu saja untuk memotivasi anak didik untuk terus merambah belajar Sastra Indonesia guru perlu menyediakan ruang kreatif atau media selanjutnya guna mengumpulkan semua karya anak didik agar tidak terdiam di sela-sela tugas lainnya. Misalnya membuatkan madding di kelas atau di sekolah bahkan tidak menutup kemungkinkan membukukan secara sederhana dan rapi kemudian dibagikan kepada anak didik serta wali anak didik sehingga menjadi nilai tambah dari hasil belajar yang tidak sebatas pada nilai tetapi juga terdapat hasil nyata. Kebanggaan anak didik yang sudah menuliskan dan wali anak didik pun akan mengembang seraya terus mendukung anak mereka agar terus membuka potensi mereka dalam belajar sastra lebih jauh.
*) Pimpinan Sanggar Belajar Bareng Gubug Liat Jombang dan Anggota Komite Sastra Dekajo
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2012/11/menguntit-kemandirian-belajar-sastra-di-sekolah/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar