Selasa, 30 Oktober 2012

Sensor dan Kebebasan

Nirwan Ahmad Arsuka *
Kompas, 27 Januari 2008

INDONESIA masih memerlukan sensor! Karena budaya masyarakat yang sangat beragam dan tingkat pendidikannya yang masih rendah, lembaga sensor masih perlu dipertahankan, bahkan sampai beberapa puluh tahun ke depan. Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik mengeluarkan pernyataan ini dalam sidang pengujian Undang-Undang Perfilman yang diajukan oleh Masyarakat Film Indonesia di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (9/1) lalu.

Pernyataan Menteri Jero Wacik itu ditimpali oleh penegasan para ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI), dan Persatuan Artis Sinetron Indonesia (PARSI). Mereka umumnya beranggapan bahwa tanpa sensor, bangsa Indonesia akan hancur berantakan, digerogoti oleh budaya asing. Banyak memang yang agaknya lupa bahwa media film dan sinetron, seperti halnya gagasan tentang republik dan Mahkamah Konstitusi (MK), adalah produk budaya asing—setidaknya, dirumuskan dan dikembangkan lebih awal oleh budaya asing itu. Sebelumnya, Lukman Hakim Syaefuddin, kuasa hukum DPR, menyatakan bahwa sensor adalah bentuk perlindungan negara pada masyarakat.

Dengan konteks yang berbeda, tapi dengan semangat yang mirip, pernyataan serupa pernah juga dikeluarkan di Tanah Air ini. Pernyataan itu datang dari Hendrikus Colijn, Ketua Anti Revolutionaire Partij, tokoh kolonial yang menjadi Menteri Urusan Daerah Jajahan lalu Perdana Menteri Kerajaan Belanda. Pada 1928, Colijn mengingatkan bahwa akan tiba masanya kaum inlander Hindia Belanda menuntut kemerdekaannya. Namun, kata Colijn, pemerintah kolonial harus berkata ”tidak” pada tuntutan itu. Bagi Colijn, rakyat tanah jajahan di Hindia Belanda itu belum cukup dewasa untuk merdeka dan memerintah dirinya. Kaum inlander berkulit coklat ini masih membutuhkan kekuasaan dan pemerintahan Kolonial Kerajaan Belanda, yang pusatnya yang mungil terletak jauh di separuh permukaan bumi. Kehadiran pemerintahan kolonial penting untuk kebaikan kaum inlander itu sendiri.

Meski terpaut oleh jarak hampir seabad, kedua gugus pernyataan di atas bertaut dalam sejumlah persamaan mendasar. Keduanya memandang bahwa masyarakat secara esensial lemah dan tak sanggup melindungi dirinya, dan bahwa kemerdekaan dan kebebasan hanya akan merusak kehidupan dan ketenteraman rakyat. Keduanya menganggap bahwa kebebasan dan tanggung jawab itu adalah dua zat yang mustahil bersenyawa, dan kehadiran yang satu akan dengan sendirinya memusnahkan yang lain.

Indonesia bisa menjadi sebuah bangsa dan tanah air, antara lain karena sejumlah orang, awalnya hanya segelintir, menampik pandangan penguasa seperti Hendrikus Colijn itu. Colijn menandaskan bahwa kesatuan Indonesia yang diperjuangkan oleh para inlander yang akan menuntut merdeka itu hanyalah konsep yang kosong melompong. Masing-masing pulau dan daerah di Hindia Belanda adalah etnis yang terpisah-pisah dan begitu beraneka ragam sehingga masa depan tanah jajahan ini tak mungkin terbentuk tanpa memecah dan membaginya dalam wilayah-wilayah. Kaum muda yang menentang pernyataan Colijn itu menjawab dengan mengorganisasi sebuah kongres yang melahirkan Sumpah Pemuda.

Ketika pernyataan Colijn ditampik dan Sumpah Pemuda diikrarkan, belum semua memang penduduk Hindia Belanda punya kesadaran kebangsaan yang siap bergerak melakukan perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan. Sejumlah petinggi pribumi sendiri bahkan mungkin tak sanggup membayangkan bahwa pemerintah kolonial yang tampak baik dan pelindung itu sebaiknya ditentang saja.

Kini pandangan politik ala Meneer Colijn telah menjadi bagian dari masa silam, dan kolonialisme telah jadi aib yang tak lagi bisa diterima di mana pun. Namun, tak berarti bahwa penjajahan dan pembatasan kebebasan tak akan lagi menjelma dalam bentuk yang baru. Pembatasan kebebasan dan peremehan terhadap kemampuan belajar masyarakat tetap bisa terjadi bahkan ketika kedaulatan politik telah diperoleh dan kita diperintah oleh bangsa sendiri. Pembatasan kebebasan dan peremehan kemampuan masyarakat juga bisa datang dari masyarakat itu, bahkan dari mereka yang dianggap sebagai wakil masyarakat itu sendiri.

Orde Baru dikenang antara lain oleh kebiasaannya melakukan sensor, yang bahkan bisa lebih keras dari sensor Belanda, dan oleh kemampuannya merekayasa isi kepala banyak orang untuk menerima bahwa sensor memang mutlak dibutuhkan—dan bahwa pencurian aset negara perlu dimaafkan. Bersama dengan tumbangnya Orde Baru oleh Gerakan Reformasi yang dipelopori mahasiswa, berbagai perangkat sensor mulai dibongkar. Pada 1988, Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) Nomor 1 Tahun 1984 tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dicabut. Tradisi panjang pemberangusan kebebasan pers yang berusia satu setengah abad dan ditanam Belanda sejak 1846 akhirnya dibongkar di republik ini dengan ditetapkannya UU No 40/1999 tentang Kebebasan Pers.

Mereka yang gerah pada kebebasan berekspresi orang lain dan ingin agar kebebasan itu dihambat kembali mungkin akan bertanya sengit: apa yang telah diperoleh dari kebebasan pers selama hampir satu dekade ini? Dari perjalanan kebebasan pers di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, sejumlah suara kerap mengeluh bahwa deregulasi media ternyata membawa akibat buruk berupa pendangkalan wacana publik, pembiakan bahasa yang kasar dan banal, dan pemujaan pada hal-hal yang sensasional dan miskin substansi. Dalam sejumlah kasus, pers yang bebas bahkan tampak sibuk menyiarkan berita yang memperkelam konflik etnis, religius, dan politik di sejumlah wilayah.

Berbagai gejala miring yang dikaitkan dengan pers bebas di atas memang sulit diingkari kehadirannya, tapi mereka muncul bukan karena diperolehnya kebebasan, tapi karena terlambatnya kebebasan itu diraih. Seluruh konflik etnik, religius, dan politik yang tampak kian rusuh oleh pemberitaan pers yang bebas berakar dari zaman ketika represi masih bekerja dan sensor masih tak terlawan. Andaikan saja kebebasan diperoleh lebih awal, disertai pelembagaan dan edukasi yang lebih baik, akan banyak sekali soal, jika bukan seluruhnya, yang tak perlu lagi muncul seperti sekarang. Pers yang bebas dan berusia panjang, seperti yang terlihat di Eropa Barat misalnya, telah menjadi salah satu komponen paling esensial dari masyarakat demokratis, pilar kokoh yang menopang perkembangan sosial dan ekonomi yang baik.

Di negeri-negeri yang telah lama melembagakan kebebasan, termasuk kebebasan pers, sejumlah pertanyaan yang kerap mengganggu kaum reformis dan intelektual publik kita tak lagi muncul mencemaskan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, meminjam rumusan David Celdran yang disampaikan dalam rangkaian acara The Asia-Europe Foundation (ASEF), antara lain adalah: mengapa kebebasan pers yang melonjak tak berjalan seiring dengan peningkatan berarti dalam partisipasi politik rakyat dan akuntabilitas para pemimpin mereka? Bagaimana mengukuhkan pers yang merdeka sembari melembagakan reformasi yang memungkinkan pers merdeka itu mengukuhkan diri secara terpercaya dalam ruang publik? Bagaimana pers bisa menjadi pengawas atas kekuasaan dalam lingkungan di mana tekanan pasar bersekutu dengan kekuatan ekonomi dan politik yang belum berkembang matang?

Kebebasan yang dikukuhkan oleh hukum yang taat asas adalah sarana ampuh untuk memecahkan berbagai soal dengan adil dan jernih, penopang penting masyarakat madani. Kritik terhadap tatanan hukum di Indonesia yang tak taat asas sudah lama dilontarkan, dan kian bertahan kesemrawutan itu kian sulit supremasi hukum ditegakkan. Sensor film adalah salah satu bentuk inkonsistensi itu. Alangkah lucu dan ngawur jika di satu sisi sensor pers sudah dicabut sejak satu dekade yang silam, sementara di sisi lain sensor film justru hendak diperkuat hingga beberapa puluh tahun ke depan. SIUPP mungkin memang tak persis sama dengan sensor film, tapi kemiripan keduanya sangat banyak sehingga jika institusi SIUPP dihilangkan, maka sensor film juga harus dihapuskan. LSF yang—secara sangat sepihak dan amat sulit diperkarakan—bisa menyensor, memotong-motong, bahkan melarang peredaran film memang harus segera direformasi.

Kesanggupan kita untuk menyelaraskan tatanan hukum di Tanah Air ditakar lewat kesungguhan mengikis dengan sistematis produk hukum yang inkonstitusional, yang secara jelas atau tersamar, melanggar hak-hak asasi dan kebebasan manusia yang telah ditetapkan oleh konstitusi. Dari sinilah memang, kita antara lain bisa berharap—meminjam rumusan tertulis misi MK republik ini—tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.
***

*) Nirwan Ahmad Arsuka, anggota MFI
http://cabiklunik.blogspot.com/2008/01/esai-sensor-dan-kebebasan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar