Penulis: Benni Indo
Editor: Yuli
suryamalang.tribunnews 7 Okt 2018
Ulang tahunnya dimeriahkan dengan kumpul bersama dan bedah buku 60 Kali Oktober di kediamannya di Sawojajar, Kota Malang.
Keluarga, para koleganya yang beragam latar belakang hadir turut merayakan ulang tahun. Ada musisi, sastrawan, guru, dosen hingga wartawan.
“Peristiwa kelahiran bukanlah hal luar biasa. Kelahiran merupakan keniscayaan yang tak mungkin ditolak bagi yang hidup,” kata Tengsoe seperti yang tertulis di buku 60 Kali Oktober.
Tulisan itu mengawali sejumlah cerita dan puisi yang berada di dalam buku berhalaman 178 itu. Pria kelahiran Jember, 3 Oktober 1960 itu sengaja memilih konsep perayaan ulang tahun dengan diskusi. Lelaki yang tumbuh besar di Kabupaten Banyuwangi itu ingin bersyukur karena hingga usianya yang ke-60, banyak dilalui bersama keluarga dan kerabat dekatnya.
Diskusi yang dilakukan bersama kerabat dekatnya itu, selain menyambung tali silaturahmi, juga untuk menggelorakan semangat berkarya. Musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Anto Yunus menjadi momentum pembuka perayaan ulang tahunnya.
“Karena melampaui usia ini sebetulnya tidak mudah juga. Bentuk syukur bisa bermacam-macam. Karena saya ini kan banyak kawan dalam konteks berkesenian dan sastra. Maka bagus sekali beryukur bersama teman-teman,” ujar Tengsoe.
Dilanjutkan Tengsoe, secara batin, berkesenian, dan sosial mereka yang mendukungnya hingga seperti saat ini. Katanya, tanpa orang-orang terdekat yang mencintainya, ia tidak bisa menjadi seperti ini.
“Maka saya membuat buku, diisi oleh 87 penyair di Indonesia. Dengan tema waktu dan musim karena saya pikir hidup harus bercermin pada filosofi waktu dan musim,” tegasnya, Minggu (7/10/2018).
Sejumlah sastrawan yang juga teman dekat Tengsoe tampak hadir. Di antaranya ada Yusri Fajar, Abdul Mukhid, dan Eka Budianta. Selain diskusi, para tamu juga berkesempatan membaca puisi.
***
Tengsoe berharap, hadirnya sejumlah tamu undangan dari yang muda hingga tua bisa memberikan spirit berkarya khususnya karya sastra. Kata Tengsoe, dalam konteks bersastra tidak melihat batasan usia. Melainkan melihat kualitas karyanya.
“Di buku ini saja mencerminkan kekuatannya merata. Jadi masing-masing punya kekuatan. Masing-masing punya karakter. Tidak terbatas oleh usia,” paparnya.
Lelaki yang pernah mengajar Bahasa dan Sastra Indonesia di Hankuk University, Korea Selatan itu juga mengaku selalu menjaga nuansa usia muda dalam karya-karyanya. Tengsoe mengatakan bahasa dalam karyanya banyak terinspirasi dari para anak-anak muda yang dia ajak berdiskusi.
“Belajar dengan yang muda sehingga karyanya kelihatan muda. Kerendahan hati untuk belajar, meskipun kepada yang lebih muda itu juga penting,” katanya memberi saran.
Yusri Fajar, sastrawan yang juga rekan sejawat Tengsoe mengatakan ultah yang dikonsep dengan diskusi sastra mencerminkan kalau Tengsoe adalah seorang sastrawan.
“Saya pikir memang karena pak Tengsoe adalah sastrawan, ultah seperti ini lebih mengena. Dalam arti penulis, pegiat seni dan sastra sehingga mereka ikut serta merayakan. Dengan cara ini juga bisa mengekspresikan kesan mereka terhadap pak Tengsoe,” katanya.
Yusri mengenal Tengsoe sebagai sosok yang bisa bergaul dengan siapa saja. Bahka Yusri mengatakan kalau baginya Tengsoe adalah guru.
“Hal ini semakin membuat saya bersemangat. Saya pikir, pak Tengsoe juga akan terjaga spirit dan semangatnya karena rekan-rekannya ada untuk mendukung,” ungkpa Yusri.
Kata Yusri, menjadi sastrawan adalah sebuah kenikmatan yang tidak dibatasi usia. Tengsoe sudah membuktikan hal itu. Selain itu, pergaulan dengan komunitas juga mengantarkan banyak pengalaman dan cerita baru yang bisa menjadi insipirasi untuk membuat karya.
“Karena dengan komunitas kehidupan orang tidak sepi. Akan ada dialog dan diskusi. Kalau di komunitas itu kan bertemu di situ, intinya tua, muda giat berproses sehingga terlecut,” paparnya.
***
Di akhiri Yusri berharap Tengsoe tetap diberi kesehatan agar tetap terus berkarya dan mau menemani proses kreatif orang-orang yang peduli ataupun sedang belajar sastra.
Sekilas tentang Tengose seperti yang tertulis di buku 60 Kali Oktober, ia dilahirkan di Jember pada 3 Oktober 1958. Pada usia tiga tahun ia pindah ke Banyuwangi dan besar di sana.
Ia mengenyam pendidikan di SD Negeri Ngandong-Tegalsari, kemudian melanjutkan ke SMP Negeri Genteng. Setelah itu melanjutkan ke SPG Negeri Pandan 2 Genteng. Saat di SPG ini, Tengsoe mulai menyukai puisi.
Ia kerap menempelkan karya puisinya di mading sekolah. Para guru yang mengetahui bakat Tengsoe, menyarankan agar Tengsoe melanjutkan pendidikan di IKIP Malang yang kini menjadi Universitas Negeri Malang.
Dalam perjalanan karirnya, Tengsoe beberapa kali menjuarai lomba cipta puisi. Bahkan pada 2012 ia mendapat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur sebagai seorang seniman berprestasi. Buku puisinya Meditasi Kimchi memperoleh Anugerah Sutasoma pada 2017 lalu.
Ia juga pernah mengajar di Hankuk University, Korea Selatan sebagai dosen tamu.Saat ini, Tengsoe tengah menggelorakan sebuah aliran sastra baru yakni cerpen tiga paragraf yang populer disebut cerpen pentigraf.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar