Abid Rohmanu *
Kekerasan atas nama agama menjadi problem laten dalam sejarah kemanusiaan.
Agama yang hadir untuk mewujudkan kedamaian menjadi justifikasi konflik dan
peperangan. Serentetan kasus bom bunuh diri di Surabaya beberapa waktu yang
lalu, kekerasan wacana antar agama dan kelompok keagamaan di media sosial dalam
bentuk hoaxdan ujaran kebencian adalah bukti konkrit terjadinya pergeseran
peran agama. Agama menjadi titik sumbu pertikaian. Rudolf Peters menyatakan
bahwa kekerasan atas nama agama telah mengalami perluasan spektrum. Doktrin
jihad menjadi justifikasi melakukan kekerasan tidak saja kepada nonmuslim,
tetapi juga sesama muslim yang berbeda mazhab dan pandangan teologis. Ini
dilakukan dalam bentuk pengafiran dan pemurtadan terhadap “yang lain”.
***
Buku Aksin Wijaya, Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia:
Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekerasan, adalah wujud kegelisahan dan respon
terhadap fakta sosial keberagamaan di atas. Buku ini bermaksud menyingkap
berbagai argumen mengapa kelompok-kelompok Islam puritan (yang menganut
absolutisme berpikir) merasa absah melakukan kekerasan atas nama agama.
Sebagaimana kelompok-kelompok puritan dalam melakukan gerakan tidak lepas dari
tokoh inspirator, argumen justifikatif kekerasan disingkap dari nalar keislaman
sang tokoh. Ada beberapa tokoh yang diungkap nalar keislamannya dalam buku ini,
yakni Muhammad bin Abdul Wahab sebagai inspirator gerakan Islam
Khawariji-salafi dan Khawariji-Wahabi, al-Maududi dan Sayyid Qutb sebagai
inspirator gerakan islamisme.
Aksin menyebut kelompok pertama sebagai Khawariji-Salafi dan
Khawariji-Wahabi karena menurutnya telah terjadi perkawinan antara paham
Khawarij yang kaku dan intoleran dengan paham salafisme dan wahabisme yang
literalis-takfiris. Sementara itu, paham salafisme sendiri yang pada awalnya
berorientasi modernis-liberal telah berhasil dibelokkan oleh Abdul Wahab untuk
menkampanyekan wahabisme. Salafisme yang dimunculkan oleh para reformis
(Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha untuk menyebut
sebagian) dengan doktrin “kembali ke al-salaf al-shalih” dijadikan sebagai
topeng untuk menarik simpati masyarakat. Khaled Abou El Fadl menyebut
perkawinan antara salafisme dan wahabisme sebagai “salafabisme”. Ia bukan
sebagai mazhab pemikiran, tetapi orientasi teologis yang intoleran. Sementara
itu kelompok kedua islamisme, selain bernalar literalisme-takfirisme, mempunyai
ciri politis, yakni penciptaan tatanan politik yang diyakini beremanasi dari
Tuhan. Islam menurut kelompok ini mengatur semua aspek kehidupan dan politik
menjadi garda depan gerakan.
Menurut Aksin, yang dominan dari nalar keislaman kelompok-kelompok puritan
di atas adalah penciptaan kategori “oposisi biner” (binary opposition):
halal-haram, akal-wahyu, manusia-Tuhan, benar-salah, hitam-putih, dan yang
semisal. Aksin menyebutnya sebagai metode berpikir dialektis-dikotomis. Dengan
model berpikir ini mereka menciptakan polarisasi antara “kita” dengan “yang
lain” (yang berbeda mazhab, aliran, dan agama). Kaum puritan juga menciptakan
polarisasi antara doktrin al-hakimiyyah al-ilahiyyah (kedaulatan Tuhan) dan
al-hakimiyyah al-basyariyah (kedaulatan manusia). Dengan dikotomisasi ini kaum
puritan melawan segala bentuk kreasi kemanusiaan semisal demokrasi,
sekularisme, dan nasionalisme. Perlawanan ini diyakini sebagai bagian dari
jihad fi sabilillahmelawan thagut.
Selain menampilkan secara analitis dan mengkritik nalar agamaisasi kekerasan, buku Aksin juga mengelaborasi wajah Islam pluralis: Islam subtantif Sa’id al-Asymawi, Islam universal Muhammad Abu al-Qasim Haj Hammad, dan Islam imani Muhammad Syahrur. Inilah titik pijak yang diinginkan Aksin untuk melakukan transformasi paradigmatis nalar keberagamaan, yakni dari paradigma teosentris ke antroposentris, dari membela Tuhan ke membela manusia, dari agamaisasi kekerasan ke agamaisasi kedamaian, dan dari al-hakimiyyah al-ilahiyyah ke al-hakimiyyah al-basyariyyah. Tidak berhenti di sini, Aksin pada penghujung bukunya mencoba menerapkan tesisnya tentang transformasi paradigmatis nalar keberagamaan dalam bingkai kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Indonesia.
***
Berdasar cuplikan buku Aksin di atas, buku yang bersifat
akademis ini penting untuk dibaca oleh khalayak. Buku ini menjadi counter
narasi wacana keagamaan kaum puritan yang semakin hegemonik di ruang-ruang
publik. Ia bisa menjadi oasis di tengah keringnya literasi keberagamaan
masyarakat. Masyarakat , karena pengaruh kaum puritan, cenderung tidak menarik
garis demarkasi antara agama dengan pemikiran keagamaan, antara agama dan nalar
keagamaan. Nalar keagamaan disucikan dan diideologisasikan sehingga memicu
terjadinya klaim kebenaran dan kekerasan atas nama agama.
Sebagai catatan penutup, tentu kita tidak sekedar reaktif terhadap nalar
dialektis-dikotomis kaum puritan. Kritik terhadap nalar oposisi biner
diupayakan tidak membawa kita pada model penalaran yang serupa. Persoalannya
tidak semudah kita melakukan transformasi dari teosentrisme ke
antroposentrisme. Titik temu (kalimat al-sawa’) bukan dalam makna memilih
kutub-kutub ekstrim. Maka, paradigma teoantroposentrisme (berpusat pada Tuhan
dan manusia) diharapkan lebih akomodatif terhadap kompleksitas agama dan
kehidupan keagamaan yang berporos pada ruang privat dan publik. Ini selaras
dengan kritik Levi-Strauss terhadap nalar oposisi biner yang cenderung
afirmatif terhadap dominasi. Menurutnya, alam dan realitas tidak bisa dibagi
dalam kategori mutlak yang berlawanan, tetapi merupakan kontinua analogis. Ada
proses kontinual antara halal dan haram, antara akal dan wahyu, antara
kedaulatan Tuhan dan kedaulatan manusia. Inilah kategori anomalus yang
multimakna dan secara teoritik kuat karena mengawinkan karakteristik dari dua
kutub oposisi biner.‘Ala kulli hal, selamat membaca buku yang menantang ini!
*) Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Ponorogo
https://www.facebook.com/al.mizan.5/posts/2207782905960284
Tidak ada komentar:
Posting Komentar