Zainuddin
Sugendal *
Radar Jombang, 16 Okt 2016.
Sebelum
hujan sering mengguyur kota Jombang, sekitar duapuluh empat hari yang lalu, dua
pertemuan sastra digelar di kota ini. Gejalanya terus merambat dan terus
merambat. Naskah kumpulan puisi Mazmur dari Timur: Sehimpun Puisi Epik karya
Aditya Ardi N dibahas di warung Boenga Ketjil daerah Parimono dan besok
paginya, Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati karya Sujiwo Tejo diseminarkan
di auditorium kampus UNIPDU. Keduanya mengiringi bulan-bulan hujan yang dingin
di Jombang.
Di
awal perbincangan di warung Boenga Ketjil itu, seperti biasa si pemilik warung
membacakan naskah secara monolog dengan bodylanguage ala
kaum teater, namun ketika ia membaca puisi sampai pada judul ke tujuhbelas,
lidahnya tiba-tiba tercekat, lantaran judul kedua setelahnya dirasa tidak
terduga. Si pemilik warung itu kemudian menghitung-hitung keimanannya.
Mazmur
dari Timur adalah kumpulan puisi yang dibagi ke dalam dua bab, bagian pertama
memuat duapuluh lima judul puisi sedangkan bagian kedua memuat duabelas judul
puisi yang kesemuanya terikat dalam model tersina yakni satu judul memuat tiga
larik. Para pembincang yang hadir antara lain Penulis naskah Mazmur dari Timur
Aditya Ardi N, Penyair Binhad Nurrohmat, Kritikus Sastra Robin al-Kautsar,
Sastrawan muda dari Mojokerto Dadang Ari Murtono, Pustakawan Indra T Kurniawan,
dua orang suster dari gereja Bethany Jombang, dan hadirin yang lain termasuk
saya sebagai moderator. Binhad Nurrohmat menyebut puisi Mazmur dari Timur
adalah puisi mini epik, pandangannya ini muncul sebab melihat cara si pengarang
memilih judul serta pada isi puisi yang merangkum sejarah panjang kekristenan
dari Eropa sampai ke Nusantara dengan alur yang tetap terjaga. “Naskah ini
tampaknya serius digarap. Judul Mazmur yang diambil dari nama kitab kanon. Di
Islam menyebutnya zabur, semacam kidung yang diturunkan kepada Nabi Daud.
Seorang nabi yang juga biduan.” Katanya.
“Puisi
Mazmur dari Timur ini mencoba membangun suatu nuansa kenasranian yang dikonsep
dalam bentuk puisi. Konsep ini ditawarkan mulai dari judul, pemilihan tiga
baris perjudul, atau penempatan babnya, serta pemilihan diksi-diksinya. Si
pengarang meracik satu judul dengan hanya memuat tiga baris yang itu ada unsur
trinitas, sedangkan pembagian dua bab yang bagian pertama ada duapuluh lima
puisi dan bagian kedua ada duabelas puisi, itu sebagai kias dari ultahnya
Yesus. Seperti halnya pupuh-pupuh yang terdapat dalam Negarakretagama Mpu
Prapanca, yang kalau dihitung itu adalah tahun berdirinya Majapahit tetapi
penulisannya dibalik yaitu 1293 menjadi 3921. Konsep ini menarik karena sudah
jarang diangkat oleh sastra-sastra modern yang lebih mengedepankan sesuatu yang
tidak simbolik semacam ini.” Lanjutnya.
Bagi
Dadang Ari Murtono, keketatan bentuk puisi dan perimaan yang rapi memiliki
resiko beberapa diksi yang dipaksakan untuk masuk ke dalam teks, meskipun dalam
pemilihan puisi berpola semacam itu memang menjadi tantangan besar pengarang
“Tentu bukan hal mudah membuat puisi dengan muatan yang besar ke dalam beberapa
baris puisi dan bentuknya ketat pula. Ini seperti apa yang dikatakan Chairil
Anwar, “dunia yang menjadi”. Termasuk di naskah Mazmur dari Timur ini berani
menggunakan diksi-diksi campuran dalam satu judul puisi dari bahasa yang
berbeda-beda ejaannya. Seperti kata synagoge yang masih menggunakan ejakan Latin
asli, padahal sudah ada kata serapan Indonesianya, jadi ini menunjukkan
keberanian seorang pengarang dalam mencampur diksi dari barbagai bahasa dari
Eropa sampai Asia,” ungkap Dadang sambil merokok.
Pembahasan
malam itu baru menemui titik ruwet ketika muncul pertanyaan-pertanyaan seperti
kata “Timur” pada judul utama dan kata “Epik” pada anak judul, serta dalam
menggolongkan apakah kumpulan puisi Mazmur dari Timur adalah puisi kekristenan
atau bukan, dan terutama mengenai sepak terjang sosok Coolen dalam menyebarkan
agama Kristen di Ngoro yang disinggung di dalamnya?
Maka
bagi Robin al-Kautsar setelah mendengar penjelasan Aditya Ardi N mengenai kata
“Timur” yang dimaksud adalah Jawa Timur, dianggap dapat menimbulkan ambiguitas
atau bermakna ganda, sebab agama Kristen sendiri awalnya muncul dari daerah
kawasan timur. “Kalau memang yang dimaksud Mazmur dari Timur adalah Jawa Timur
maka kenapa itu hanya sekilas tentang horog, tidak ada penekanan-penekanan yang
membantu menjelaskan kalau timur di situ adalah Jawa Timur, sedangkan Mazmur
sendiri memang awalnya turun di daerah Timur, yaitu Yarusalem. Kemudian tentang
epik, Maman S Mahayana menyebut bahwa epik adalah kata sifat dan epos kata
bendanya. Sedangkan epos zaman dahulu; ada tokohnya, ada karakternya dan bisa
melakukan hal-hal yang luar biasa. Di naskah ini tidak ditemui nuansa seperti
Mahabarata, Ramayana, Hikayat Prang Sabi dan lain-lain. Menurut saya perlu
ditinjau kembali, apakah betul puisi Mazmur dari Timur ini adalah puisi epik?.”
Penjelasan
epik dari Robin Al-Kautsar inilah yang segera mendapat respon dari Binhad
Nurrohmat yang menganggap epik tidak selalu terpaku pada problematisir kisah,
menurutnya bisa juga disebut epik kalau di sana ada mengandung beberapa hal;
ada kosmologi, fisiologi dan nilai-nilai di dalamnya seperti Epik Gilgames dari
Sumeria, seperti juga karya-karya Homeros yang menceritakan bagaimana Yunani
memandang alam dan kemanusiaan, dan Negarakretagama yang menggambarkan
kemajapahitan secara kompleks, dengan beragam khasanah di zaman itu, suasana,
kuliner, perilaku masyarakat, dunia agrarianya dan lain sebagainya. “Naskah
Mazmur dari Timur juga mengarah ke sana, seperti ingin mengarak kepada areal
yang sangat luas, baik yang sifatnya lahiriah maupun batiniah. Tapi yang paling
bisa diidentifikasi dari puisi epik adalah tidak menampakkan unsur akulirik. Ia
lebih cenderung menerangkan tentang sesuatu yang berada di luar dirinya. Itu
hal awal untuk mengklasifikasikan puisi epik atau bukan? Saya pikir untuk ranah
puisi, Mazmur dari Timur ini adalah nuansa baru sebagai genre puisi epik, tidak
seperti prosa yang sudah banyak digarap. Homerus dengan Iliad dan Odyssey,
Mahabarata, Ramayana, Negarakretagama, Arus balik, Hikayat Prang Sabi dari Aceh
atau La Galigo dari Bugis dan lain sebagainya.”
Memang
di dalam Naskah Mazmur dari Timur, teknik penyampaian informasinya terkesan
imagis tetapi justeru oleh Binhad Nurrohmat dianggap menarik. Bagaimana dunia
yang besar diramu dalam bentuk yang puitik, dan tidak dibuat senaratif
karangan-karangan seperti Negarakretagama yang nerasinya kuat sekali. Kalaupun
ada perbedaan antara Mazmur dari Timur dan Negarakretagama yang mencolok ialah
dalam lingkup geografisnya, kalau Negarakretagama membaca dalam lingkup asing
wilayah Asia, sedangkan Mazmur dari Timur membaca Eropa sampai ke Ngoro
Jombang, diaduk menjadi satu naskah dengan jarak masa yang juga panjang, Yesus
abad satu sedangkan Coolen sekitar abad 19.
Dalam
perbincangan sastra malam itu, menjadi berhati-hati ketika mencoba
mengklasifikasikan apakah naskah Mazmur dari Timur termasuk puisi kekeristenan
atau bukan. Menurut Robin al-Kautsar, kurang tepat jika dikategorikan sebagai
puisi kekristenan, karena tidak ada penilaian dari si pengarang terhadap apa
yang dia tulis, misalkan penggalan bait malaikat dengan pakaian
berkilauan, kemudian seringai mata bangsa
Eropa. Apa penilaian atas semua itu kecuali sebatas menunjukkan
bahwa si penulis lebih cenderung imagis.
Dalam
pandangan Robin ada beberapa kalimat yang menunjukkan tentang kegelisahan si
penulis terhadap kekeristenan di Indonesia walaupun tidak terjelaskan dengan
detail kegelisahan itu, karena penulis lebih memilih mengarang dengan puisi
terikat. “Maka kalau penulis punya kegelisahan dengan masa lalu kekristenan di
Indonesia, itu bisa dibenarkan dengan melihat beberapa judul di dalam naskah
ini tapi kalau kegelisahan itu dijadikan sebagai ukuran masuk dalam kategori
puisi kekeristenan maka itu yang menurut saya tidak bisa. Jauh lebih dulu, kita
harus mengenal JE Tatengkeng, Mangasa Sotarduga Hutagalung. Pada karya-karya
mereka ada nilai-nilai kekeristenan di dalamnya, ada intensitas pula di sana
walaupun memasukkan kosa kata sebanyak-banyaknya tetapi mereka tetap sebagai
proklamator puisi kekeristenan itu.”
Sedangkan
menurut Dadang Ari Murtono, berbicara puisi kekristenan di Indonesia, bisa
langsung menghubungkannya dengan Mario F Lawi. Bagaimana pertentangan nilai di
dalam karyanya begitu kuat. Seperti salah satu puisi Mario yang bercerita
tentang kakeknya yang baru dibaptis tapi sebelum akhir hayatnya si kakek
merindukan agama sebelumnya. Di puisi Mario ada pertentangan nilai, sedangkan
di puisi Mazmur dari Timur tidak begitu terasa adanya pertentangan itu. “tapi
penulis Mazmur dari Timur menggarap kekristenannya dengan nuansa yang berbeda
dengan Mario yang justeru membuat Mazmur dari Timur bisa berkelit dari
kekristenannya Mario, misalkan puisi Riyaya Undhuh-Undhuh yang isinya tidak
bisa ditemukan di puisinya Mario.”
Sebelum
diskusi sastra malam itu usai, pemilik warung Boenga Ketjil kembali membacakan
naskah puisi Mazmur dari Timur yang tersisa dan sengaja melewatkan dua judul
puisi yang diawal diskusi membuat lidahnya kelu. Lampu warung kembali redup,
suara si pemilik warung lantang memecah malam. Selesai dia membaca, lampu
warung kembali terang, dan para pembincang bercerita tentang Coolen. Coolen
adalah salah satu nama yang terdapat di dalam naskah Masmur dari Timur. Ia
adalah sosok guru dari Kiai Sadrah. Kiai Sadrah sebagai misionaris asli Jawa,
dia punya hubungan erat dengan kekristenan di daerah Ngoro yang dalam
berpenampilan ia tidak memakai sepatu dan celana, tetapi memakai sarung
sebagaimana orang Jawa pada umumnya hingga ia dikenal di kalangan Islam dengan
panggilan kiai dan di kristenpun dipanggil kiai. Jejaknya terbaca mulai dari
Ngoro Jombang sampai Semarang.
Serat Tripama dan Ritme
al-Quran
“Bersama waktu, pingsan ada selesainya. Bersama waktu, capek juga
ada selesainya.”
Pagi
hari setelah malamnya diskusi sastra di warung Boenga Ketjil, seminar sastra
dengan pembicara Sujiwo Tejo digelar di auditorium kampus UNIPDU Jombang,
seminar ini terlaksana dengan semarak. Panggung seminar tertata rapi dihiasi
para pemain musik dan para penonton dibawa antusias. Sujiwo Tejo duduk sopan di
atas panggung sebelum menampilkan performanya.
Pembahasan
dimulai mengenai buku Serat Tripama: Gugur Cinta di Maespati karya Sujiwo Tejo.
Buku ini bercerita tentang tokoh Sumantri dan adiknya Sukasrana, yang diganggu
oleh suara-suara yang datang dari langit dan membuat keduanya terus berlari
mencari tempat persembunyian, sejauh mereka berlari suara-suara itu terus
mengganggu. Maka dalam ketertekanan itu Sumantri memutuskan untuk melawan para
raksasa yang menakutinya. Dan tak dapat disangka, ternyata dirinya mampu
mengalahkan mereka.
Kemudian
Ayah Sumantri menyuruhnya pergi ke atas langit menuju ke Maespati yang dipimpin
oleh Prabu Arjuna Sasrabahu, tetapi sebelum Sumantri melewati pintu terakhir
untuk masuk Maespati, datang kepadanya perintah dari Sang Prabu supaya ia Pergi
ke Negeri Magada dan merebut Dewi Citrawati untuk dijadikan permaisuri di
Maespati. Sumantri menyetujui titah itu dan oleh karenanya ia menghadapi banyak
tantangan peperangan termasuk bertarung melawan Prabu Darma Wisesa yang
sebelumnya sudah dinyatakan sebagai pemenang. Tapi akhirnya Sumantri berhasil memenangkan
peperangan dan Dewi Citrawati diboyong menuju Maespati. Dalam perjalanan menuju
Maespati itulah sebenarnya peperangan besar telah dimulai, Sumantri dan Dewi
Citrawati jatuh cinta dan kemudian membuat Sumantri berani menantang Sang Prabu
Arjuna Sasrabahu .
Pada
seminar buku Serat Tripama, Sujiwo Tejo tidak hanya membahas tentang
pernaskahan bukunya tapi juga keterkaguman pribadinya pada ritme musik yang dia
dapatkan melalui al-Quran. Sebagaimana surah al-Jin telah mengesankan hatinya,
dan ayat-ayat al-Quran yang lain membuat bias terhadap lagu-lagu gubahannya.
Menurut dia, di dalam al-Quran tidak ada yang luput dari pola musik, perhuruf,
perlafadz dan perkalimat, semuanya membentuk pola. Dia menyangka pandangannya
ini didasarkan pada dirinya yang seorang dalang, musisi, dan lulusan
matematika.
Contoh
yang disampaikan oleh Tejo adalah surah al-Jin, dia bercerita bagaimana ketika
mendengar surah tersebut membawa hayalannya berada di padang Sahara dengan
angin berhembus ringan. Dia menggambarkan banyak note musik terbang di atas
kepalanya dan dirinya ikut terbang seperti layaknya Jin. Musik-musiknya
meskipun berbahasa Jawa diakui terilhami ayat-ayat al-Quran seperti surah
an-Nas, kemudian akhir surah al-Baqorah, surah Yasiin, dan detak-detak huruf
pada Asmaul Husna.
Sujiwo
merasa asik dengan lagu dan irama yang ditemukan di dalam bunyi ayat-ayat
al-Quran, seperti menghentak-hentak dalam tempo yang berpola, Hubungan
huruf dengan hurufnya, hubungan lafadz dengan lafadz yang lain. Meski variasi
musik yang dia pahami tidak diajukan sebagai sebuah pakem tersendiri dari
pelafalan al-Quran tapi dia memahami bahwa dari variasi lagu itu menimbulkan
efek-efek yang berbeda pula. “Siapa yang menemukan pertanda itu?” tanyanya
kepada penonton. “Rasanya kita bisa membacanya dengan lidah jiwa kita
masing-masing,” Ucap Tejo dengan suara berat. []
*) Zainuddin Sugendal,
Mahasiswa Sastra Inggris UNIPDU Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar