Sutardji
Calzoum Bachri
KATA-kata
bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan
air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.
Kalau
diumpamakan dengan kursi, kata adalah kursi itu sendiri dan bukan alat untuk
duduk. Kalau diumpamakan dengan pisau, dia adalah pisau itu sendiri dan bukan
alat untuk memotong atau menikam.
Dalam
kesehari-harian kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan
pengertian. Dianggap sebagai pesuruh untuk menyampaikan pengertian. Dan
dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian.
Kata-kata
harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas
menentukan dirinya sendiri.
Dalam
puisi saya, saya bebaskan kata-kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya
seperti kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan
masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene) serta penjajahan gramatika.
Bila
kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa
menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan
kemauannya sendiri. Pendadakan yang kreatif bisa timbul, karena kata yang
biasanya dianggap berfungsi sebagai penyalur pengertian, tiba-tiba, karena
kebebasannya bisa menyungsang terhadap fungsinya. Maka timbullah hal-hal yang
tak terduga sebelumnya, yang kreatif.
Dalam
(penciptaan) puisi saya, kata-kata saya biarkan bebas. Dalam gairahnya karena
telah menemukan kebebasan, kata-kata meloncat-loncat dan menari di atas kertas,
mabuk dan menelanjangi dirinya sendiri, mondar-mandir dan berkali-kali
menunjukkan muka dan belakangnya yang mungkin sama atau tak sama, membelah
dirinya dengan bebas, menyatukan dirinya sendiri dengan yang lain untuk
memperkuat dirinya, membalik atau menyungsangkan sendiri dirinya dengan bebas,
saling bertentangan sendiri satu sama lainnya karena mereka bebas berbuat
semaunya atau bila perlu membunuh dirinya sendiri untuk menunjukkan dirinya
bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang ingin dibebankan kepadanya.
Sebagai
penyair saya hanya menjaga –sepanjang tidak mengganggu kebebasannya- agar
kehadirannya yang bebas sebagai pembentuk pengertiannya sendiri, bisa
mendapatkan aksentuasi yang maksimal.
Menulis
puisi bagi saya adalah membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata
pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera.
Maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
O Amuk Kapak
Bandung, 30 Maret 1973.
(lihat kembali “Isyarat” Kumpulan Esai SCB, halaman 3-4, Indonesia
Tera 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar