Misbahus Surur
sastra-indonesia.com
Ada dua model belajar di pondok selama yang saya alami dahulu.
Seingat saya dan yang paling terkesan kala itu adalah kentalnya hafalan di
berbagai mata pelajaran yang nyaris menyiksa, dan kajian kitab dari berbagai
wacana pengetahuan agama dengan teknik memberi syarh menggunakan huruf Pegon
alias makna gandhul dengan bahasa Jawa.
Mbah Kyai membacakan makna (syarh) dari
isi kitab tertentu, sementara para santri—sembari duduk di lantai, klesotan dan
ada pula yang tengkurap—mendengarkan dengan seksama keterangan seorang Kyai
sambil mencatatnya (memberi makna gandhul) pada kitab yang sedang dikaji. Di
sini, ada sebagian Kyai yang cukup telaten, di samping memaknai juga memberi
penjelasan dan uraian mendetail, namun sebagian yang lain cukup dengan secara
formal membaca, dan santri mencatat makna-makna (memberi syarh) kitab dengan
huruf Pegon, yang secara mayor—sebagaimana yang juga saya lakukan—menggunakan
khat riq’i.
Saat belajar di pondok dulu, seingat saya, belajarnya terjadwal
secara padat. Saya masih ingat pembagiannya sudah dimulai sejak sehabis subuh:
pertama dengan ngaji weton (ngaji komunal) hingga sekitar jam 6 pagi, dan
sementara jam 7 hingga sekitar jam 2 siang adalah jadwal untuk sekolah
formal/reguler. Pulang sekolah, santri beristirahat sembari menunggu asar, yang
kadang diisi dengan bermain sepak bola atau mencuci pakaian. Sehabis asar,
santri dijadwal lagi mengaji weton hingga mendekati maghrib. Sehabis magrib
adalah waktunya santri untuk belajar di sekolah diniyah hingga mendekati isya.
Sehabis isya, santri di-sunah-kan mengikuti ngaji weton lagi, meski sebagian
santri juga menyibukkan diri dengan belajar berbagai pelajaran di sekolah
formal pagi. Kegiatan santri tidak berhenti di situ, sebab pada setiap sore di
hari Jumat, para santri masih di-ajeg-kan untuk berziarah kubur ke makam-makam
kyai (para pendiri pesantren) yang berada persis di barat masjid pondok. Dan
sementara pada malam harinya di hari yang sama, tepatnya sehabis isya, para
santri diwajibkan mengikuti kegiatan dibaiyah sholawatan (barzanji). Di
samping, pada hari-hari tertentu dalam seminggu terdapat hari khusus untuk
kegiatan ber-muhadharah (berlatih pidato dalam berbagai bahasa) yang—sekali
lagi—diwajibkan untuk semua santri yang bermukim di pondok. Nah, kegiatan
mengaji kitab santri tersebut akan meningkat ketika tiba bulan Ramadhan. Sebab,
hampir setiap habis sholat lima waktu, kegiatan para santri difokuskan secara
penuh-padat untuk mengaji kitab kuning. Apalagi karena kitab-kitab itu sudah
harus khatam sebelum bulan Ramadhan disudahi Hari Raya.
Adapun kitab-kitab yang dikaji-ajarkan di pondok dulu adalah
kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu fiqih, ilmu alat (bahasa) dan ilmu
akhlak, yang paling dominan untuk satu-dua tahun pertama. Sementara kitab-kitab
dalam babakan etika (akhlak) yang berkelindan dengan babakan aqidah dan
tasawuf, kian intensif dikaji kelak oleh para santri senior. Biasanya dalam
babakan akhlak dan tauhid kitabnya satu jenis; karena kedua bidang ini memang
kerap beririsan di awal diajarkan untuk santri. Kitab Aj-Jurumiyah karangan
Syech Sonhaji misalnya adalah kitab alat pertama yang seingat saya, paling
sering dipakai untuk belajar ilmu bahasa (tata-bahasa) dan sekaligus digunakan
untuk belajar memaknai (mempraktikkan membaca kitab gundul berbahasa Arab dengan
terjemah bahasa Jawa khas pesantren). Sementara di sekolah formal/reguler pagi,
cukup menggunakan kitab Nahwu Wadhih 1, 2 hingga 3. Kitab At-Tarqib (Fathul
Qorib) karangan Al-Qodhi Abu Syuja’ Ahmad bin Husain bin Ahmad Al-Ashfahaniy
adalah kitab yang dipakai untuk mengkaji fiqih (hukum), selain dibaca dan kaji,
biasanya juga dipakai santri untuk berlatih membaca kitab gundhul. Untuk kitab
akhlak/etika tentu saja menggunakan kitab Ta’limul Muta’alim sebagai
rujukannya, yang di samping mendapat materinya di pondok, juga diulang-kaji di
sekolah formal pagi. Sepertinya, ingatan mengaji ketiga kitab dasar(an) di
atas, khususnya bagi saya, adalah yang paling berkesan dan meninggalkan ingatan
yang cukup mendalam dibanding kitab-kitab pesantren yang lain. Dan nyatanya
memang ketiga kitab tersebut hampir selalu dibacakan. Tentu saja ketiga kitab
ini juga paling banyak saya punya daripada kitab-kitab yang lain. Dipastikan
hampir tiap tahun, ketiga kitab itu mesti dibeli versi barunya, oleh karena
kitab-kitab yang lama—sebagai akibat seringnya dipakai ngaji wetonan—padat
dengan makna gandhul, meski belum tentu mampu membacanya.
Selain kitab termasyhur versi saya di atas, para santri juga
mengaji beberapa kitab dasaran lain dari berbagai bidang. Sedikitnya seperti Qomiut
Thugyan, Usfuriyyah, dua kitab ini adalah kita seputar akhlak yang beririsan
dengan kajian-kajian fiqih dan tauhid. Cukup banyak cerita dan riwayat-riwayat
unik di kedua kitab tersebut dan cukup menarik kalau dicermati saat sekarang.
Kelak ngaji babakan fiqih pun tidak cuma berhenti di Fatkhul Qorib, tapi juga
berlanjut ke kitab pertengahan seperti Fathul Muin, dan seterusnya. Selain itu,
dulu di pondok cukup sering juga mengaji kitab-kitab tafsir Al-quran maupun
kitab-kitab hadist, seperti sedikitnya Tafsir Jalalain, Tafsir surat Fatihah,
Tafsir Surat Yasin dan Bulughul Maram. Kitab-kitab alat pun tidak berhenti di
Aj-Jurumiyah, tapi juga meningkat ke Nadham Imritiy dan kajian bait-bait kitab
Alfiyah karangan Ibn Malik yang fenomenal itu. Dua kitab alat terakhir, kalau
diperhatikan sekarang adalah kajian dalam tataran yang bukan sekadar tata
bahasa (qawaid), melainkan sudah setingkat wacana kebahasaan (linguistik).
Karena di dalam, baik kitab Imrity maupun Alfiyah, secara mayor santri belajar
ihwal pendapat sekian ulama nahwu dan shorof mengenai seluk-beluk kebahasaan,
lingkup balaghoh juga analisis kebahasaan yang beraneka. Kajian tauhid sebagai
dasarannya, di antaranya santri mengaji kitab Kifayatul Awam. Kelak semakin ke
belakang, kitab-kitab yang dikaji di pondok sudah berdasarkan disiplin-disiplin
keilmuan tertentu dengan kitab yang sudah beragam.
Saya rasa saat di pondok, selain kitab fiqih dan alat (bahasa),
kitab-kitab akhlak (etika) pada akhirnya—terlebih saat di pondok sudah lebih
dari dua atau tiga tahun—adalah kitab-kitab yang paling sering dikaji oleh
santri-santri lawas. Kitab-kitab akhlak (tasawwuf) adalah kitab yang paling
dominan dikaji, di samping kitab tauhid (ushuluddin). Kita lihat saja, selain
Usfuriyah, Qomiut Thugyan, kifayatul Atqiyak (tasawuf), kitab-kitab akhlak
meningkat dengan dikajinya kitab-kitab seperti Bidayatul Hidayah (masih kitab
dasar), meningkat lagi ke kitab Al-Hikam, Ihya Ulumuddin sedikit di antaranya
adalah kitab-kitab yang paling favorit dibaca-kaji saat di pondok itu.
Kitab-kitab fiqih juga sudah mulai beragam, tak hanya Fathul Qorib tapi juga
berlanjut ke kitab dasaran yang lain seperti Sullam at Taufiq, Safinatun Naja,
Sullam al Munajah (karangan Syech Nawawi Al-Bantani di bidang fiqh) juga Uqud
Lujain dan Kasyifatus Saja. Di ranah tauhid, selain Tijan Darary, ada Al-Hikam
tadi, Qathr Ghais (tauhid), Simtu Adzurar, Kitab Dasuqi, Bidayatul Mujtahid
(kitab Fiqh-nya Ibn Rusyd). Maka, di sini, sebetulnya pengajaran dan
pembelajaran di pesantren sangat sejalan bagi pemenuhan pembelajaran kemantapan
iman dalam Islam yang di antaranya berkait dengan penguatan aqidah,
pembelajaran etika juga pembelajaran ibadah atau ber-syariat (amaliyah kita
sehari-hari).
Kita tahu, pendidikan pesantren adalah model pendidikan yang paling
memasyarakat di Indonesia, sebelum kelak diperkenalkan pendidikan modern oleh
Belanda. Setidaknya, sejak permulaan abad ke-19, atau jauh sebelum itu, pondok
pesantren bisa dibilang satu-satunya lembaga pendidikan yang paling banyak
dikenal masyarakat. Dahulu pesantren-pesantren itu adalah salah satunya
dirintis oleh para prajurit Diponegoro pasca Perang Jawa. Sedikitnya, sebagai
contoh, di beberapa tempat di Trenggalek, ada sekian tempat yang pada awalnya
dijadikan lokasi berdirinya masjid di tengah masyarakat yang masih menganut
agama Hindu-Budha, sebelum kemudian turut pula didirikan pondok di samping
masjid yang dirintis oleh bekas prajurit Diponegoro tersebut. Bahkan pada
permulaan abad ke-19 itu—sebagaimana dicatat oleh Steenbrink (1984)—para santri
dari pondok pesantren banyak memelopori pengolahan tanah-tanah kosong untuk
pertanian dan bahkan memioneri gerakan transmigrasi. Santri-santri yang mengaji
di rumah seorang kyai atau guru-guru mereka, mengupah pengajaran untuk
guru-kyainya dengan bekerja secara cuma-cuma di sawah-sawah milik gurunya
(kyai). Dari situ, kemudian disinyalir pesantren-pesantren baru dibuka dan
bertumbuh, oleh—salah satunya—tujuan mempersiapkan tanah baru: membuka tempat
baru untuk pertanian.
Secara jamak, pesantren merupakan—selain tempat menggembleng
diri dengan ilmu agama dan sosial-kemasyarakatan—juga menjadi tempat belajar
para santri bagaimana hidup secara mandiri, belajar mengembangkan ketrampilan
atau skill santri. Pesantren-pesantren ini dari zaman dulu telah memberikan
gambaran yang cukup representatif: bagaimana mengajar lebih ke suatu contoh
konkrit tentang suasana hidup yang cukup baik di lingkungan pesantren, yang
sengaja diciptakan sebagaimana gambaran prototipe atau pola bagi suatu
masyarakat kecil. Sedikitnya di sana, terdapat seorang lurah pondok dan warga
pondok. Ada bagian keamanan dan seterusnya, yang secara khusus menggembleng
santri menjadi anggota masyarakat pondok dengan peran masing-masing. Dari situ,
para santri dididik di pondok selain untuk mengaji ilmu, sebetulnya juga dengan
sengaja dipersiapkan untuk ”hidup” di masyarakat. Di samping hidup di pesantren
yang nota bene berlokasi di pedesaan, khususnya sesuai pengalaman saya di
Joresan, santri punya ikatan yang baik dan kental dengan masyarakat sekitar
pondok. Hubungan itu dijaga seolah-olah masyarakat sekitar turut memiliki
pesantren, dan sementara santri juga merasa bahwa masyarakat setempat adalah
bagian yang tak terpisahkan dengan (kultur) santri dan pesantren sendiri.
Semasa saya pertama mondok dulu di area pondok benar-benar saya
sempat melihat dan memasuki kamar-kamar santri sepuh yang berupa pondokan:
mereka membuat kamar atau rumah-rumahan panggung dengan atap dari
pelepah-pelepah ijuk dan papan-tembok dari bilah-bilah bambu dan kayu dengan
beberapa modifikasi almari yang berada di dalamnya. Di samping beberapa rumah
panggung itu, terdapat musholla cukup tua yang di sekitarnya dibuat kamar-kamar
oleh para santri. Meski ketika saya mondok, saya sudah terhitung—sebagaimana
generasi se-angkatan saya saat itu tahun 1997—telah berada di asrama meski
secara kultur tidak se-modern seperti sekarang. Bukankah istilah pondok sendiri
yang disinyalir berasal dari kata Arab funduq berarti semacam tempat tinggal
yang terbuat dari bambu. Bahkan dari beberapa literatur yang saya baca, istilah
pondok alias model tempat tinggal dari bambu yang berupa rumah panggung semacam
genjot itu adalah kultur khas Nusantara dari semenjak masa-masa Hindu-Budha
dulu. Di sinilah saya kira Islam dengan baik mampu ber-akulturasi dengan budaya
lokal—atau yang biasa dalam ushul fiqh disebut urf (tradisi atau budaya
lokal)—secara arif dan adaptif, dengan tetap mempertahankan tradisi tempat
tinggal bagi pendidikan keagamaan yang yang telah ada: khas Nusantara. Tidak
berniat menghilangkan sama sekali, tapi meleburnya sebagai bagian dari, salah
satunya, teknik memperkaya tradisi. Di zaman Hindu-Budha kita mengenal istilah
mandala atau karsyan (situs pertapaan dan pendidikan ajaran agama) dari masa
lampau. Selain tempat tinggal santri yang di-asimilasi sedemikian rupa, kalau
kita perhatikan tata cara mengajar sistem wetonan atau bandongan itu juga tidak
jauh dari model yang berkembang di Nusantara pada masa Hindu-Budha tersebut.
Kelak kedatangan kolonialis Belanda yang membawa perubahan,
tidak hanya di sektor administrasi pemerintahan, tapi juga di segala bidang
termasuk ranah pendidikan, dengan diperkenalkannya pendidikan yang berbeda dari
yang selama ini dipakai pesantren: yang mulai diperkenalkannya sistem
pendidikan modern, yang kemudian hari memunculkan kekagetan: dikotomi baru
tentang bagaimana pelajaran agama dikaji dalam cara pandang modern, sementara
di sisi lain, sebagaian besar masyarakat masih kuat berpegang pada—menerapkan
sistem—pendidikan tradisionalis-klasik yang pelaksanaannya sebagaimana sejak
dulu bisa kita saksikan di pondok-pondok pesantren salaf tersebut. Di masa
kini, selain sistem pendidikan modernis yang dulu dipelopori Muhammadiyah,
pendidikan modern yang paling terkini pun adalah sistem pendidikan yang selalu berhadap-hadapan
alias bersifat oposan dengan sistem pendidikan tradisional ini. Kendati
sebetulnya masing-masing model ini selalu bisa dikonvergensi.
Saya ambil contoh, ihwal perkembangan Islam di Trenggalek sangat
dipengaruhi oleh didirikannya masjid dan tumbuhnya pondok untuk belajar agama
Islam. Kemunculan tokoh yang mulai mendirikan masjid dan pondok—yang merupakan
dua elemen dasar pondok pesantren—itu sedikitnya seperti Mbah Nur Jalifah.
Tokoh ini sebagai dicatat Team Sejarah Trenggalek (1983: hlm. 50) sempat
merintis mendirikan pondok salaf di Trenggalek. Mbah Nur Jalifah nota bene
adalah salah seorang bekas prajurit Untung Suropati yang lari ke daerah
Trenggalek pasca gugurnya Untung Suropati. Kelak, pasca Perang Jawa atau Perang
Diponegoro, para prajurit Pangeran Diponegoro sebagian juga ada yang lari
menuju timur dan menetap di Trenggalek. Prajurit-prajurit itu kemudian banyak
yang mendirikan masjid dan pondok. Pondok-pondok tersebut antara lain adalah
pondok pesantren Karanggayam, didirikan oleh seorang Mubalig, yang merupakan
putra dari seorang prajurit Diponegoro. Pesantren ini berdiri di era Bupati
Mangunnegoro I. Bahkan ia sempat diangkat oleh bupati menjadi hakim Agama
Islam. Meski pada masa Bupati Mangundiredjo masjid di pondok Karanggayam ini
kemudian baru dibangun yakni sekitar tahun 1861 M.
Di daerah Parakan juga sempat pernah terdapat pondok pesantren
yang didirikan oleh Kyai Mesir. Ia adalah putra dari Kyai Yahuda yang merupakan
pendiri pesantren Lorok di Pacitan. Dari Parakan Kyai Mesir kemudian sempat
pindah ke Durenan dan juga mendirikan pondok pesantren di sana. Bupati
Mangunnegoro I saat itu bahkan sempat mengangkat Kyai Mesir sebagai naib
pertama di Durenan. Kemudian pada awal abad ke-20, pondok-pondok di Trenggalek
(Team Sejarah Kabupaten Trenggalek, 1983: hlm. 51) kian berkembang hingga
muncul banyak pesantren seperti pondok Sumbergayam di Sumbergedong, Trenggalek.
Lalu pondok Keningaran di Surodakan, Trenggalek. Pondok Gondang di Kecamatan
Tugu; pondok Jonegaran di Ngantru; pondok Desa Karangan; pondok di Sukorame,
Gandusari; pondok Sumbergayam; pondok Kedung Lurah di Pogalan dan pondok Kebun
Agung di Kecamatan Panggul.
Dalam penuturan sastra Jawa klasik mengenai kemunculan pesantren
itu memang segendang sepenarian dengan semacam kisah yang dituturkan dalam
sedikitnya Serat Centini, Serat Cabolek. Dalam tuturan dua karya sastra ini,
paling tidak sejak permulaan abad ke-16 telah banyak pesantren masyhur yang
menjadi pusat-pusat pendidikan Islam. Pesantren-pesantren tersebut mengajarkan
berbagai pengetahuan Islam di berbagai bidang seperti jurisprudensi, teologi
dan tasawuf.
Ketika memasuki bulan Ramadhan, betapa saya selalu rindu untuk
duduk mengaji mendengarkan uraian dan penjelasan seorang kyai lagi. Saya kangen
ikut mengaji kilatan saat Ramadhan. Kerinduan itu sering kambuh setiap bulan
puasa tiba. Dan ketika bulan Ramadhan sudah sampai pada detik-detik
terakhirnya, keinginan ikut ngaji kitab lagi itu pun luntur ditelan aktivitas
lain. Saya ingat pada saat mondok satu-dua tahun dulu, pada saat mengaji
mengikuti beberapa kitab yang berulangkali dibaca semisal kitab Taqrib,
Jurumiyah atau Bidayatul Hidayah, saya ingat betapa saya selalu tertarik dengan
cover-cover kitab terbitan Beirut yang dari sisi estetika lebih menarik dipandang
ketimbang cover-cover kitab dari percetakan lokal. Itu mungkin salah satu dari
sedikit keisengan sewaktu mondok: pilah-pilih kitab dari desain cover yang
lebih estetis, dan tak mau membeli kitab yang desain covernya buruk lagi tak
menarik bagi mata.
Terakhir, tahun ini ada sebuah novel yang sangat baik dalam
memanfaatkan ranah tradisi keagamaan, konflik sosial-budaya yang dilatari
agama, tentang keseharian di pedesaan pada masa lampau, tak ketinggalan seluk
beluk sejarah desa dan lokalitasnya ikut tergarap sebagai latar atau persoalan
yang diangkat. Terselip pula mengenai dunia pesantren yang akrab dengan
pedesaan dan beberapa nama kitab yang sempat saya akrabi, juga disebut di
lembar-lembar novel itu. Novel ini sekali lagi mengingatkan saya akan kehidupan
di pondok dulu. Novel tersebut adalah pemenang pertama sayembara novel DKJ
tahun 2014 kemarin, berjudul Kambing & Hujan (Bentang, Yogyakarta: 2015)
karangan Mahfud Ikhwan. Saya ingat 9 tahun lalu saya pernah membaca novel atau
roman dengan latar pesantren karya senior saya di Madrasah Al-Islam, Joresan,
Ponorogo, berjudul Love in Pesantren (Matapena, Yogyakarta: 2006). Membaca
halaman-halaman novel Kambing & Hujan, mengingatkan saya pada novel
Shachree M. Daroini, senior saya itu. Dan sekaligus mengingatkan saya pada
hari-hari ketika saya masih mondok dan belajar di Joresan dulu. Selamat Hari
Santri 22 Oktober.
*) Santri pondok pesantren Darul Hikam, Joresan, Ponorogo
(1997-2003) asal Trenggalek. Malang, Juli 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar