Kamis, 03 Juli 2014

SETELAH ZIARAH KATA

Hawe Setiawan
http://pengajiansastra.wordpress.com

MAJELIS Sastra Bandung (MSB) mulai dibuka pada 25 Januari 2009. Forum ini diprakarsai oleh penyair dan wartawan Matdon, penyair Dedy Koral, penulis dan fotografer Aendra H. Medita, penulis Hermana HMT, aktivis Hanief, aktor Ayi Kurnia, dan dramawan Yusef Muldiana. Forum tersebut berbasis di Bandung, dan menyelenggarakan pertemuan bulanan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM)—bekas gedung landraad (pengadilan pribumi) zaman kolonial.

Sejak MSB mengawali kegiatannya, setiap bulan Matdon dan kawan-kawan mengundang dua hingga empat penyair untuk menghadirkan karya masing-masing dalam forum, yang kemudian dibahas oleh hadirin. Selain biasa bertemu muka dalam forum diskusi di GIM, para peserta forum ini biasa berbagi karya dan komentar seputar sajak melalui jejaring sosial facebook. Lebih kurang setahun sejak forum ini mulai dibuka, terbit antologi puisi Ziarah Kata (Majelis Sastra Bandung, 2010).

Ziarah Kata menghimpun 99 judul sajak dari 44 orang penyair. Para penyair yang karyanya dimuat dalam buku 110 halaman ini pada umumnya pernah diundang oleh MSB ke Bandung untuk membaca puisi dan berdiskusi. Sebagian besar di antaranya lahir pada dasawarsa 1970-an hingga 1980-an. Penyair “sulung” adalah Iwan Soekri Munaf yang lahir pada 1957, sedangkan penyair “bungsu” adalah Zulkifli Songyanan yang lahir pada 1990. Sebagian besar di antaranya kini tinggal di Bandung atau wilayah di dekatnya. Beberapa di antaranya sering mengumumkan sajak melalui forum atau media lain, seperti Bode Riswandi, Dian Hartati, Ratna Ayu Budhiarti, Toni Lesmana, dan Ujianto Sadewa. Nama baru cukup banyak.

Buku ini diterbitkan oleh MSB sendiri, dan merupakan buku pertama yang dihasilkan dari forum tersebut. Menurut Matdon, “Rois ‘Am” MSB, terbitnya antologi ini dapat “mempertegas bahwa MSB serius menjadi semacam ruang tadarusan puisi”.
***

UNGKAPAN “ziarah kata” bisa mendua makna. Pertama, upaya menghikmati atau menghormati kata sedemikian rupa, seakan kata adalah hal keramat. Kedua, laku kata yang menyerupai kegiatan berziarah, dalam arti bahwa kata-kata yang muncul dalam puisi dapat menghikmati kehidupan (atau kematian) dunia manusia. Mungkin, ungkapan itu sedikit banyak menyiratkan harapan tersendiri terhadap kreativitas yang selama ini diwadahi oleh MSB. Mudah-mudahan saja, ungkapan itu tidak berarti bahwa para penyair sedang menziarahi kematian kata, atau kata-kata sedang menziarahi kematian kreativitas penyair.

Sebagaimana komentar penyair Acep Zamzam Noor dalam jilid belakang antologi ini, pokok soal (subject matter) dan gaya pengucapan yang diperlihatkan oleh para penyair dalam buku ini, sudah pasti, beragam. Keragaman membentang, mulai dari puisi yang anteng memainkan bunyi, dengan sedikit kecenderungan ke arah puisi konkret, seperti karya Dave Sky (Davit Arianto), hingga puisi yang tidak membiarkan aku liriknya dibebani kemurungan atau permenungan, seperti karya Ratna Ayu Budhiarti. Ada puisi yang memuat perasaan keagamaan, misalnya karya Willy Sastra Basoilny, ada pula puisi yang mewadahi kritik sosial, misalnya karya Arry Syakir Gifari. Beberapa penyair lainnya tampak berkecenderungan melukiskan suasana atau mencatat peristiwa. Tak ketinggalan pula puisi-puisi yang mengandung alusi terhadap tokoh dalam sejarah, misalnya karya Asep Samboja dan B.F. Syarifudin. Dengan kata lain, Ziarah Kata tak ubahnya dengan bianglala.

Tentu saja, keragaman seperti itu tidak perlu dijadikan penghalang untuk membicarakan cara kata diperlakukan dalam puisi, dengan menjadikan Ziarah Kata sebagai referensinya.

Untuk membicarakan hal itu, dapat dikemukakan dua ilustrasi sederhana. Misalkan, pertama, kita kumpulkan sejumlah besar guntingan judul berita suratkabar atau majalah. Kemudian, kita gabungkan guntingan yang satu dengan guntingan yang lain, kita deretkan, dan kita bariskan sedemikian rupa, dengan tidak memperdulikan kemungkinan atau ketidakmungkinan arti kata atau kalimat yang ditimbulkannya. Hasilnya kita muat dalam rubrik atau antologi puisi. Pastilah yang terbaca kemudian adalah sebentuk puisi abstrak yang cukup gelap.

Misalkan lagi, sebagai ilustrasi kedua, kita gunting sebuah berita suratkabar atau majalah, misalnya tentang jatuhnya sebuah pesawat terbang yang mengangkut seorang presiden beserta ibu negara dan rombongannya. Kemudian kalimat-kalimat prosais dari berita itu kita penggal-penggal ke dalam sejumlah baris layaknya penggalan larik-larik puisi, misalnya dengan menekankan tegangan antarlarik yang hendak kita timbulkan. Hasilnya kita muat dalam rubrik atau antologi puisi. Pastilah yang terbaca kemudian adalah sebentuk puisi prosais yang cukup terang.

Dengan mengajukan kedua ilustrasi itu sama sekali tidak ada maksud untuk mengatakan betapa mudahnya menulis puisi. Kedua ilustrasi itu dikemukakan semata untuk mengatakan bahwa komposisi verbal, segelap atau seterang apapun isinya, dapat atau tidak dapat disebut puisi bergantung pada cara komposisi itu dibaca atau diperlakukan. Taruh kata, komposisi verbal baik yang dibuat dari guntingan kepala berita (headlines) maupun yang dibuat dari guntingan kisah berita (news story) tadi dimuat dalam rubrik puisi koran minggu. Pastilah pembaca akan memperlakukan komposisi-komposisi itu berdasarkan konvensi pembacaan puisi: misalnya bahwa suara si aku lirik mengacu pada situasi ujaran yang dibayangkan dan tidak perlu si aku lirik diidentikkan dengan penyair yang membuat komposisi itu; bahwa setiap kata, mulai dari judul hingga larik terakhir, membentuk suatu keseluruhan; bahwa dalam komposisi itu terdapat suatu pokok soal yang ditekankan; dan seterusnya.

Dari sudut kepentingan penyair sendiri, sudah tentu, ada upaya untuk menjadikan komposisi yang dibuatnya dapat diperlakukan sebagaimana layaknya puisi diperlakukan. Karena itu, pada dasarnya, ia pun membuat puisi dengan memperhatikan konvensi pembacaan puisi pula. Betapapun, saya sendiri berpendirian bahwa hal terpenting bukanlah apakah komposisi yang dibuat oleh penulis dapat atau tidak dapat disebut puisi, dan apakah penulis itu dapat atau tidak dapat disebut penyair. Hal terpenting, pada hemat saya, adalah sejauh mana penulis memperlakukan kata dalam komposisinya. Dengan kata lain, menghadirkan puisi dalam antologi bukanlah segalanya.
***

DENGAN segala hormat, sekadar untuk melangsungkan diskusi, perkenankan saya memetik salah satu puisi dari antologi ini:

Tubuh Yang Menjadi Gelombang

Kau akan menggulung lengan baju ketika hitam gelombang
merayap dari ujung-ujung jari. Sejenis selamat datang dengan
pecahan yang saling mencari. Apakah kau keping dari
ketidakberlangsungan keberadaan?
Seorang membasuh tangan
tapi sesuatu tidak terhapus dan riak air mengaduh oleh pekat
yang bergerak di permukaan. Suara-suara. Gelombang
menghantarkan pesan dari seorang yang terbenam ketika
tubuhnya terbungkus oleh manis keterhapusan. Memuai pada
hijau dasar laut. Lalu terhampar sisa percakapan yang tidak
pernah selesai. Mematung pada keabadian

Suara yang terdengar dalam puisi ini berasal dari seseorang yang berbicara kepada pembaca secara langsung, seperti dalam keadaan bersitatap. Pembaca dikondisikan untuk menjadi “kau”, dan membayangkan situasi diri ketika ujaran terhadapnya disampaikan. Hal yang dapat dibayangkan antara lain berupa permukaan laut dan dasarnya yang hijau, dan sesosok diri yang menggulung lengan baju dan mencelupkan jari-jarinya ke dalam air, hingga timbul riak-riak gelombang. Penggalan larik-larik puisi ini pun dibuat mengalun, memanjang, dan memang seperti gelombang. Terasa nikmat, sebetulnya, jika kita membaca baris-baris seperti itu, seperti yang dapat kita rasakan manakala kita terapung di atas sampan. Akan tetapi, lebih dari sekali alunan citraan itu seakan terbentur frase-frase abstrak dari kecenderungan berfilsafat: “apakah kau keping dari ketidakberlangsungan keberadaan?”; tubuh yang “terbungkus oleh manis keterhapusan”; juga tindak “mematung pada keabadian”. Selain itu, sudut pandang orang kedua yang menghasilkan lukisan situasi diri pada larik-larik awal, seakan tiba-tiba meloncat ke sudut pandang orang ketiga ketika aku lirik menggambarkan “seorang membasuh tangan…” Tidak mustahil pembaca sukar membayangkan “seorang yang membasuh tangan” (di permukaan gelombang?) sekaligus “seseorang yang terbenam”. (Ataukah ada dua orang yang sedang dibayangkan?). Siapa pula yang “mematung pada keabadian”? Kesukaran membaca juga timbul dari imaji-imaji yang seakan bertumpuk seperti “riak air mengaduh” atau “sisa percakapan” yang “terhampar”. Akhirnya, tidak mustahil, pembaca luput dari signifikansi pokok soal yang diangkat dalam puisi ini.

Kiranya, seperti itulah keadaannya apabila poetic persona cenderung dibebani oleh permenungan. Kata-kata yang dibuat memberat, dalam bentuk pasangan kata yang cenderung abstrak, bukan tidak mungkin malah mengganggu baris-baris sarat majas yang mendahului dan mengikutinya.

Permenungan itu sendiri, tentu saja, penting, tak terkecuali untuk diwadahi dalam puisi. Namun, ada kalanya permenungan itu justru tak tersampaikan sepenuhnya manakala kata-kata yang diandalkan untuk menghantarkan atau mewadahinya tampak seperti menjauh dari pengalaman konkret, dalam arti pengalaman yang dapat dibayangkan oleh manusia dalam hidup sehari-hari. Bukankah para sufi sendiri pada gilirannya mengandalkan idiom-idiom seperti “bulbul” dan “mawar” atau “cawan” dan “anggur”?

Pada titik ekstrem lainnya, permenungan penyair dibuat sedemikian gamblang, seperti dalam puisi berikut ini:
Di Angkutan Umum

Begitu angkuhnya kita
Bahkan mengalahkan keangkuhan
Para raja dan pujangga
Tak ada sapa tegur
Hanya mata yang berbicara
Yang diam-diam curi mencuri pandang
Mungkin juga saling curiga
Atau banding membandingkan
Seperti benda-benda di museum
Atau pameran

Di dalam angkutan umum
Kita seperti bukan manusia
Kita seperti bukan saudara

Sajak di atas jelas mempersoalkan ironi kebersamaan di lingkungan urban tempat interaksi justru tidak menimbulkan komunikasi. Dengan menggambarkan perilaku kolektif dalam angkutan umum, aku lirik menyesali, bahkan menggugat, kenyataan yang menunjukkan betapa orang hadir bersama tapi tidak bertegur sapa, seakan-akan mereka tidak mengenal persaudaraan di antara sesama manusia. Dalam hal menangkap gejala yang hendak diangkat sebagai pokok soal dalam sajak, kiranya sang penyair amat peka. Suasana sosial dalam angkutan umum memang representatif untuk dijadikan jendela amatan terhadap mendangkalnya kebersamaan. Hanya, barangkali, efek puitiknya yang terasa tak sempat terpikirkan sepenuhnya. Padahal, kiranya, efek itu mungkin tercapai sekiranya deskripsi tentang “keangkuhan”, “saling curiga”, atau “banding membandingkan” dicarikan gambaran konkretnya. Mungkin juga efek itu akan lebih kuat jika sedikit rasa humor dibubuhkan ke dalam ironi yang hendak digambarkan. Upaya-upaya seperti itu, kiranya, juga dapat mengatasi kemungkinan bertambahnya beban permenungan oleh kemurungan—meski, tentu saja, tidak ada yang salah dengan kemurungan.

Jangan-jangan, beban-beban seperti itu amat terpaut pada cara penyair berbicara, yang tentu saja menyiratkan caranya menyikapi persoalan yang hendak diangkat ke dalam sajak. Dalam puisi lain yang akan dikutip di bawah ini, kita dapatkan contoh yang kiranya cukup baik sehubungan dengan puisi yang dibuat supaya tidak jadi berat tapi tidak sampai luput dari potensinya untuk mewadahi kompleksitas pengalaman manusiawi. Baik kita kutip:

Pamit

Permisi…numpang tanya,
Dimana ya rasa yang kausimpan untukku dulu?
Aku lupa,
Barangkali kau ingat kapan terakhir kali
Kau hidangkan senyum termanismu
Di meja makan kita?

Hmmm…maaf ya,
Aku tidak bisa lama-lama bersama kamu
Mudah-mudahan tak keberatan jika esok lusa
Kau temukan secuil rasa yang tersisa,
Aku memintanya kembali
Untuk dihanyutkan ke sungai
Biarlah air yang menemani kenangan itu menuju laut

Sudah ya, aku pergi!
Calon suamiku sudah menunggu.
Sampai jumpa lain waktu.
***

Demikianlah sekelumit bahan perbincangan sehubungan dengan terbitnya Ziarah Kata. Di balik komentar ini terkandung harapan akan tercapainya puisi-puisi yang jauh lebih baik setelah Ziarah Kata kelak. Mohon maaf atas segala kekurangan komentar ini. Tiada sedikitpun maksud menggurui atau sok tahu. Selamat berkarya.
***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar