Dr. Dewi Yuliati M.A.[1]
http://staff.undip.ac.id/
Abstract
This article presents the discussion about the position of Indonesian local culture among the global culture. The Indonesian local culture was always developed by the influences of global culture which entered Indonesia since the pre-history times until the modern era. The conclusion is that that there were many threats to the existence of the local culture, so the Indonesian people should strengthen their self confidences and national character.
Key words: budaya lokal, pengaruh global
1. Pendahuluan
Untuk membahas kebudayaan, ada suatu cakupan pengertian wujud dan isi kebudayaan yang telah dipaparkan secara jelas oleh Koentjaraningrat. Dalam menjelaskan isi kebudayaan, Koentjaraningrat merujuk pada konsepsi B. Malinowski[2] tentang unsur-unsur budaya universal (cultural universals), sebagai berikut: (1) bahasa, (2) teknologi, (3) sistem mata pencarian hidup atau ekonomi, (4) organisasi sosial, (5) sistem pengetahuan, (6) religi, dan (7) kesenian. Menurut Koentjaraningrat setiap unsur kebudayaan itu dapat mempunyai tiga wujud, yaitu:
(1) wujud kebudayaan sebagai kompleks gagasan, konsep, dan pemikiran manusia. (2) wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas.
(3) wujud kebudayaan sebagai benda.
Sebagai contoh, bahasa dapat berwujud sebagai sistem budaya (tata bahasa, norma-norma ujaran, dan aturan-aturan pemakaiannya); dapat berwujud sebagai suatu kompleks aktivitas (aktivitas manusia untuk bercakap-cakap, berkomunikasi dengan alat-alat komunikasi); dan dapat berwujud sebagai benda (tulisan di atas lontar, tulisan di atas kertas, di atas mikrofis, di atas mikrofilm, dan sebagainya).[3]
Untuk menulis artikel ini, saya terinspirasi oleh suatu buku berjudul Suicide or Survival? The Challenge of The Year 2000, yang diterbitkan oleh UNESCO pada tahun 1978. Buku tersebut telah diterjemahkan oleh Lembaga Studi Ilmu-ilmu Kemasyarakatan Yayasan Bhinneka Tunggal Ika dan diterbitkan oleh PT GUNUNG AGUNG, Jakarta, 1982.
Dengan membaca buku tersebut di atas, orang dapat memahami bahwa pada perempat terakhir abad ke-20, masyarakat intelektual di dunia telah merasa khawatir tentang ketidakmampuan masyarakat di negara-negara berkembang untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan lokal dalam konteks perluasan kebudayaan negara-negara maju, terutama Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni (IPTEKS).
Para cendekiawan Indonesia pun ikut mewaspadai pengaruh negatif kemajuan IPTEKS global itu terhadap eksistensi kebudayaan lokal. Di satu sisi, kemajuan IPTEKS memang telah mendorong masyarakat untuk memasuki suatu kondisi yang menyediakan kemudahan dan kenikmatan-kenikmatan tertentu. Akan tetapi di sisi lain, kemajuan IPTEKS itu juga telah menghimpit dan merusak kebudayaan lokal.[4]
Perkembangan teknologi komunikasi, informasi, dan jaringan transportasi, telah memperlancar kedatangan arus budaya global di Indonesia, dan kita pun sampai pada persoalan “apakah masyarakat Indonesia membiarkan kebudayaannya mati karena dilindas oleh budaya asing (luar negeri) atau mempertahankan serta mengembangkannya?” dan “bagaimana keluar dari himpitan budaya global yang tidak mengenal batas ruang dan waktu itu”?.
2. Globalisasi Tak Mengenal Ruang dan Waktu
Kedatangan arus kebudayaan global di Indonesia dapat dikatakan “tidak mengenal waktu dan ruang.” Kehadiran pengaruh-pengaruh kebudayaan global di Indonesia dapat ditelusuri dari masa ke masa sejak dari zaman pra sejarah sampai kedatangan pengaruh kebudayaan Barat.
Jika ditinjau dari segi waktu, dapat dikatakan bahwa pengaruh kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia sudah masuk di Indonesia sejak ribuan tahun sebelum Masehi.
Penelitian Madeleine Colani, seorang ahli prasejarah Perancis, menunjukkan bahwa di pegunungan Bacson dan daerah Hoabinh di Tonkin, terdapat pusat kebudayaan mesolithikum di Asia yang berupa pebbles (kapak Sumatera dan kapak pendek). Kebudayaan ini menyebar sampai ke Indonesia melalui Thailand dan Malaysia Barat.
Kebudayaan mesolithikum berlanjut dengan suatu masa kebudayaan yang disebut neolithikum yang masuk ke Indonesia kira-kira pada 2.000 sebelum Masehi. Von Heine Geldern menamakan kebudayaan pada zaman neolithik itu kebudayaan kapak persegi.Selain ditemukan di Indonesia (Sumatera, Jawa, dan Bali), kebudayaan kapak persegi juga terdapat di Malaysia Barat, India, sehingga disimpulkan bahwa kebudayaan tersebut berasal dari daratan Asia.
Zaman neolithik disusul oleh zaman logam atau perunggu yang meninggalkan warisan budaya berupa alat-alat yang dibuat dari perunggu. Kebudayaan perunggu di Asia Tenggara disebut juga kebudayaan Dongson, sesuai dengan nama tempat penyelidikan pertama di daerah Tonkin, Vietanam. Berdasarkan penyelidikan Von Heine Geldern, kebudayaan Dongson atau kebudayaan perunggu di Indonesia berasal dari tahun 300 sebelum Masehi.
Zaman pra sejarah disusul dengan zaman sejarah, yaitu suatu masa yang telah meninggalkan kebudayan tertulis. Bukti tertua tentang keberadaan kerajaan di Indonesia adalah tujuh buah prasasti yang berbentuk yupa (tugu peringatan upacara korban) di Kutei, Kalimantan Timur. Prasasti-prasasti yang berasal dari kira-kira tahun 400 Masehi itu menunjukkan bahwa pengaruh kebudayaan India telah nyata di Indonesia. Huruf yang digunakan dalam prasasti tersebut adalah huruf Pallawa dengan bahasa Sanskerta. Rajanya pun bergelar dengan nama India, Mulawarman, padahal ia adalah cucu dari seorang asli Kutei yang bernama Kundungga.
Masa pengaruh kebudayaan India di Indonesia berlangsung cukup lama, dari abad ke-5 sampai dengan abad ke-15. Pada akhir abad ke-15 sudah muncul kerajaan yang bercorak Islam di Jawa, Kerajaan Demak. Meskipun Demak baru berdiri pada akhir abad ke-15, pengaruh Islam sudah masuk di Indonesia sejak akhir abad ke-11. Ini dapat dibuktikan dengan melihat keberadaan makam seorang perempuan bernama Fatimah Binti Maimun di Leran, dekat Gresik, yang berangka tahun 1082 Masehi. Keterangan yang lebih nyata dapat diketahui dari catatan Marco Polo, seorang penjelajah yang berasal dari Italia. Ketika mengunjungi Perlak di Sumatera Utara pada tahun 1292, ia menjumpai banyak penduduk yang beragama Islam dan pedagang-pedagang Islam dari India yang aktif menyebarkan agama Islam. Marco Polo juga mengunjungi Samodra. Di daerah ini ia menjumpai batu nisan Sultan Samodra yang bernama Malik Al Saleh. Tulisan pada batu nisan itu menunjukkan bahwa Sultan Samodra telah wafat pada bulan Ramadhan tahun 676 sesudah Hijrah atau 1297 Masehi.
Pada abad ke-16, mulai muncul pengaruh kebudayaan Barat di Indonesia. Raja Mataram meniru cara berpakaian ala Belanda dengan memakai jaket kulit dan topi berbulu, kemudian juga diikuti oleh para kerabat istana. Inovasi teknik dalam bidang pengecoran logam untuk pembuatan senjata api juga merupakan bukti masuknya pengaruh kebudayaan Barat. Perubahan cepat terjadi sejak awal abad ke-20 yang ditandai dengan perluasan pendidikan ala Barat, khususnya di kalangan kaum muda di perkotaan. Baik dalam tingkah laku maupun dalam kehidupan spiritual, kaum muda Indonesia telah meniru model kehidupan Barat. Rasionalisme, individualisme, dan kebebasan berbicara diasimilasikan oleh kaum muda Indonesia secara mudah. Kemampuan berbahasa Belanda dan pengetahuan Barat dinilai sebagai prestise sosial yang tinggi, karena merupakan jembatan bagi mereka untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik dalam pekerjaan di lingkungan pemerintahan dan swasta.[5]
Mulai awal abad ke-20, pemerintah kolonial Belanda juga mengadakan perombakan sistem pemerintahan di Indonesia, dengan pembentukan gemeente (Kota praja), residentie (keresidenan), dan provintie (provinsi). Sampai sekarang, bangsa Indonesia masih melanjutkan sistem pemerintahan bentukan Belanda itu.
Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, kehadiran arus kebudayaan global semakin tak terbendung. Perluasan pengaruh kemajuan IPTEKS yang berasal dari Barat, Korea, dan Jepang memperoleh ladang subur di Indonesia. Pengaruh itu dapat disaksikan terutama pada penggunaan teknologi modern dalam bidang informasi, komunikasi, dan transportasi. Dengan pemanfaatan internet dan Hand phone, orang bisa memperoleh berbagai informasi di dunia dan bisa berkomunikasi antarbangsa. Semua itu bisa dilakukan pada jam berapa saja dan di mana saja. Dengan kemajuan teknologi dalam bidang transportasi (sepeda motor), banyak orang Indonesia berpaling dari kebiasaan naik sepeda, naik becak, atau berjalan kaki untuk kemudian mengganti kebiasaan itu dengan naik sepeda motor. Banyak orang menganggap bahwa naik sepeda motor lebih efisiensi waktu, ngirit, dan lebih bergengsi. Kondisi ini merupakan akses bagi perkembangan budaya membeli dengan sistem cicilan, karena kondisi pendapatan yang pas-pasan.
Jika ditinjau dari segi ruang, kepulauan Indonesia merupakan suatu wilayah yang terbuka untuk kedatangan pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari seluruh penjuru dunia; dari arah utara, selatan, barat, timur, barat laut, timur laut, barat daya, dan tenggara. Selain itu, tanah di kepulauan ini menyediakan berbagai komoditi (pertambangan dan pertanian) yang dicari oleh pasar internasional. Oleh karena itu, Indonesia menjadi tempat berkumpulnya hampir semua agama di dunia yang datang bersamaan dengan proses perdagangan. Agama Hindu dan Budha adalah pendatang yang paling awal, kemudian diikuti oleh Islam, Katolik, dan Protestan. Kong Fu Tse sebetulnya datang bersamaan dengan pendatang Cina ke Indonesia, tetapi paham ini tidak mendapat banyak pengikut di kalangan penduduk pribumi. Agama-agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha telah mengakar secara kuat di kalangan penduduk kepulauan Indonesia. Oleh Karena itu, dalam tingkatan tertentu sistem-sistem budaya agama tersebut telah kehilangan identifikasinya sebagai sistem budaya asing, meskipun tidak hilang sama sekali. Sebagai contoh, pada sistem budaya agama Islam terdapat pemakaian bahasa Arab sebagai alat komunikasi keagamaan, yang dihubungkan dengan peradaban Arab di negara-negara Timur-Tengah; sistem budaya agama Katolik masih berkaitan dengan Roma; sistem budaya Protestan masih berhubungan dengan Palestina Kuno dan negara-negara Protestan seperti Belanda, Jerman, dan Amerika; sistem budaya Hindu dan Budha masih berasosiasi dengan India.
Selain sistem kebudayaan agama, sistem kebudayaan keduniawian masuk juga ke Indonesia. Unsur-unsur kebudayaan keduniawian Belanda, Inggris, Amerika, Cina , Korea, Jepang, dan lain-lain tetap dikenal sebagai sistem budaya asing. Namun demikian, beberapa unsur dalam sistem budaya asing ini telah menjadi bagian dari sistem budaya nasional Indonesia, contohnya: Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni.
2. Pengikisan Rasa Bangga Terhadap Kebudayaan Indonesia
Seperti telah diterangkan di atas, kebudayaan memiliki pengertian yang sangat luas. Oleh karena itu, pembahasan difokuskan pada kebudayaan dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu bahasa dan kesenian. Kedua unsur kebudayaan itu diambil sebagai fokus pembahasan, karena mempunyai fungsi penting sebagai identitas kebudayaan lokal.[6] Berikut ini dibahas kondisi unsur-unsur kebudayaan itu dalam kaitannya dengan desakan arus kebudayaan global.
2.1. Pengikisan Rasa Bangga Untuk Berbahasa Daerah dan Indonesia
Kedatangan bangsa-bangsa asing di Indonesia yang telah berlangsung sejak puluhan abad silam, telah berpengaruh terhadap kehidupan bahasa-bahasa daerah di Indonesia serta terhadap perkembangan bahasa Indonesia. Ketika bangsa India datang dengan sistem kebudayaan agamanya, para raja atau pemegang kekuasaan politik di suatu wilayah tertentu merasa perlu untuk menggunakan nama yang berkarakter India, seperti: Mulawarman, raja Kutei, tidak menggunakan nama asli Kutei, padahal ia keturunan Kundungga, orang asli Kutei. Ketika sistem kebudayaan agama Islam datang, Suta Wijaya, raja Kerajaan Mataram I, menggunakan gelar Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama, dan sebagainya. Gejala ini menunjukkan bahwa pada waktu itu terjadi suatu anggapan bahwa nama asli daerahnya tidaklah cukup untuk berposisi sejajar dengan mitra pergaulan antarbangsa, sehingga identitas diri perlu dirubah agar komunikasi menjadi setara. Demikian juga, ketika pengaruh kebudayaan Barat dengan sistem kebudayaan agama Kristennya masuk ke Indonesia, banyak orang Indonesia yang mengambil nama atau nama baptis yang bernuansa Barat atau Kristen, seperti: Angelina, Tabita, Maria, Johanes, Christian, dan lain-lain.
Pada era tahun 1970-an, di kalangan etnis Jawa muncul fenomena baru dalam ranah bahasa. Banyak keluarga mendidik putera-puterinya untuk berkomunikasi dengan bahasa Indonesia sejak mereka belajar berbicara. Fenomena ini merupakan salah satu bentuk proses demokratisasi dan modernisasi yang nota bene berasal dari Barat. Bahasa Jawa dianggap berkonotasi feodal dan kuno. Sikap feodal ini antara lain tercermin dalam komunikasi berbahasa Jawa yang mengandung stratifikasi penggunaan terhadap siapa seseorang berbicara, yaitu: Kromo Inggil untuk berbicara dengan orang-orang yang harus dihormati, Kromo madya untuk berbicara dengan orang-orang yang berstatus sejajar; dan ngoko untuk berbicara dengan orang-orang yang statusnya sejajar atau lebih rendah.
Gejala perlawanan terhadap feodalisme dan keinginan untuk menjadi modern itu memunculkan pengingkaran terhadap bahasa Jawa, contohnya:
(1) komunikasi antara pembantu dan majikan tidak lagi menggunakan bahasa Jawa, tetapi dengan bahasa Indonesia.
(2) Sikap demikian juga terjadi pada komunikasi antara orang tua dan anak; Sebutan papa dan mama atau papi dan mami menggantikan sebutan bapak dan ibu. Gejala ini juga terjadi di kalangan rakyat jelata yang sebelumnya menggunakan sebutan simbok dan pakné untuk menyebut ayah dan ibunya. Sebutan papa dan mama atau papi dan mami menunjukkan bahwa pemakai sebutan itu ingin menjadi modern, tidak terkesan kuno dan ndeso. Gejala ini sekaligus menunjukkan bahwa bahasa-bahasa Barat (Inggris dan Belanda) dianggap lebih modern dan bergengsi.
(3) Bahasa Jawa kromo inggil dan kromo madya hampir tidak lagi dipergunakan dalam pergaulan sehari-hari, kecuali bahasa Jawa ngoko, karena dianggap demokratis dan menunjukkan kesejajaran.
(4) Banyak orang Jawa yang tidak lagi menggunakan nama-nama Jawa, karena lebih memilih nama-nama yang bernuansa Islam atau Arab, Kristen atau Barat, dan Hindu atau India.
Meskipun bahasa Jawa mengandung nuansa feodal, sesungguhnya juga berisi nilai-nilai positif untuk memperkuat kualitas hidup, contohnya: tata krama kepada orang tua dan orang-orang yang harus dihormati, kehalusan budi, sopan-santun, serta identitas etnis.
Sebagai akibat dari globalisasi dewasa ini, bahasa Indonesia juga mengalami pengingkaran. Banyak orang sering mengganti kata-kata bahasa Indonesia dengan kata-kata serapan dari bahasa Inggris, ketika mereka sedang berbicara dengan bahasa Indonesia, meskipun sering terjadi kesalahan ucapan, contohnya: mawas diri diganti dengan intropeksi (seharusnya: introspeksi), perundingan diganti dengan negoisasi (seharusnya: negosiasi), bersifat wanita diganti dengan feminim (seharusnya: feminin), dan lain-lain. Salah ucap ini justru sering dilakukan oleh public figure, sehingga sebagian masyarakat yang melakukan kesalahan serupa justru mendapat pembenaran dari contoh-contoh itu. Ada kesan bahwa kemampuan menggunakan bahasa asing dianggap lebih intelek dan bergengsi dari pada hanya menggunakan bahasa sendiri.
2.2. Pengikisan Kebanggaan terhadap Seni Arsitektur Lokal
Gejala pengikisan kebanggaan masyarakat Indonesia terhadap seni arsitektur lokal dapat disimak antara lain pada pernyataan Totok Roesmanto yang dimuat pada Semarang Metro, tanggal 4 Mei 2007, sebagai berikut:
Kehidupan konsumerisme masyarakat bisa menimbulkan kecenderungan menyukai model baru. Hal itu berlaku dalam banyak hal, termasuk pemilihan desain bangunan. Seiring perkembangan informasi, masyarakat juga makin mudah mengikuti perkembangan arsitektur dunia. Di satu sisi, hal itu membawa dampak positif, karena pengetahuan yang dimiliki bisa berkembang. Tapi tidak menutup kemungkinan itu justru akan menggeser potensi arsitektur lokal. Saat ini kecenderungannya seperti itu, sehingga menyebabkan makin menipisnya pemahaman dan kebanggaan terhadap potensi arsitektur Indonesia. Masyarakat pun sering kurang peduli terhadap potensi lokal daerahnya.[7]
Pernyataan Totok Roesmanto itu mencerminkan keprihatinan yang mendalam akan kepunahan kebudayaan lokal, terutama dalam bidang seni arsitektur. Sekarang, sangat sulit untuk melihat bangunan-bangunan baru yang bernuansa lokal. Banyak bangunan yang bercorak lokal tradisional rusak atau punah, sedangkan bangunan baru sudah bernuansa global (terutama arsitektur Barat). Sebagai contoh, Kota Semarang memiliki warisan arsitektur tradisional lokal berupa rumah tradisional Semarang yang terletak di kampung-kampung di sekitar Kota Lama (Kampung Kulitan, Kampung Malang, Kauman, Mertojoyo, dan sebagainya). Karena tidak ada pemahaman dan pengetahuan penduduk atau penghuni tentang nilai historis dan budaya, banyak rumah tradisional yang sudah sirna atau dibangun kembali dengan arsitektur modern, padahal nilai-nilai tradisional itu memiliki arti penting sebagai identitas budaya dan aset kepariwisataan.
3. Keluar dari Himpitan Kebudayaan Global
Sebagai akibat proses pembangunan, masyarakat mengalami peningkatan dinamika dengan gejala-gejala yang menyertainya, seperti mobilitas penduduk, media komunikasi modern (media cetak, televisi, komputer), peningkatan jumlah komoditi sebagai hasil teknologi mutakhir, peningkatan pelayanan dan kemudahan, dan lain-lain. Semua gejala itu menimbulkan perubahan sosial budaya. Dalam masa perubahan itu, individu sering kehilangan orientasi, dan bahkan sering pula mengalami krisis identitas. Untuk mengatasi persoalan identitas tersebut, diperlukan upaya-upaya yang serius untuk memperkuat kebudayaan nasional.
Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa di antara unsur-unsur kebudayaan, bahasa memiliki fungsi yang penting untuk memperkuat identitas nasional, karena beberapa alasan, yaitu: (1) bahasa mencerminkan gaya dan etos peradaban; (2) bahasa mengekspresikan jiwa kebudayaan, serta mengungkapkan kepribadian bangsa; (3) bahasa berfungsi sebagai media komunikasi; (4) bahasa dapat mengungkapkan perasaan estetis; (5) bahasa merupakan media untuk membangun ide, kesadaran, pikiran, memori, dan imaginasi manusia.[8]
Mengingat pentingnya fungsi bahasa itu, upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk keluar dari “pengikisan bahasa lokal” (bahasa Indonesia dan bahasa daerah) adalah sebagai berikut:
(1) Meningkatkan kualitas dan intensitas komunikasi dalam keluarga dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
(2) Meningkatkan kualitas kemampuan guru-guru dan dosen-dosen pengajar Bahasa Indonesia serta bahasa daerah masing-masing secara rutin dan berkesinambungan, misalnya: menyelenggarakan pelatihan-pelatihan atau kursus-kursus yang berkaitan dengan pengajaran bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
(3) Meningkatkan kualitas para siswa dan mahasiswa untuk mengekspresikan kemampuan berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah, baik secara lisan maupun tertulis.
(4) Mempergiat penelitian terhadap bahasa-bahasa daerah agar dapat dihasilkan lebih banyak tata bahasa, kamus, dan buku pelajaran bahasa daerah.
(5) Menyelenggarakan sayembara penulisan dan pembacaan puisi, drama, dan penulisan karya sastra serta ilmiah, baik berbahasa Indonesia maupun berbahasa daerah di tingkat nasional dan daerah.
(6) Meningkatkan kualitas komunikasi antara guru dan siswa atau antara dosen dan mahasiswa dengan menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah berdasarkan kaidah-kaidah bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang benar.
(7) Mengajarkan bahasa-bahasa daerah di kampus-kampus atau di sekolah-sekolah dalam muatan lokal.
Selain bahasa, kesenian juga merupakan unsur budaya yang memiliki potensi penting sebagai identitas kebudayaan nasional. Baik Sartono Kartodirdjo[9] maupun Koentjaraningrat[10] menyatakan bahwa kesenian merupakan unsur kebudayaan yang paling dapat menunjukkan sifat khas dan mutu kepada masyarakat global, dan sekaligus dapat menunjukkan karakter atau kepribadian bangsa, serta menjadi media pemersatu bangsa-bangsa. Melalui berkesenian (seni tari, seni busana, seni suara, seni pahat, seni rupa, dan seni arsitektur), orang dapat mengekspresikan rasa, karsa, dan cipta yang sesuai dengan kepribadian individu, identitas budaya masyarakat atau daerahnya masing-masing. Melalui penikmatan kesenian, dapat tumbuh rasa kagum, gembira, bahagia, dan apresiasi terhadap karya seni. Bahkan, melalui berkesenian, dapat juga digalang persahabatan antarbangsa.
Mengingat nilai penting kesenian dalam lingkup kebudayaan global itu, perlu selalu diupayakan pengembangan kesenian-kesenian daerah dan penguatan nilai-nilai lokal dalam kesenian, dengan cara-cara sebagai berikut:
(1) Pemerintah memberikan fasilitas atau subsidi secara rutin dalam jumlah tertentu kepada perkumpulan-perkumpulan kesenian yang memerlukannya dan cukup bermutu. Bantuan ini dimaksudkan untuk meningkatkan prestasi para pengelola kesenian dalam penciptaan karya seni dan untuk merangsang inovasi ke arah pengembangan kesenian nasional yang meliputi seni tari, seni musik, sepi drama, seni busana, seni rupa, seni bangunan (arsitektur), dan sebagainya.
(2) Semua pemangku kepentingan (stake holders: pemerintah, seniman/seniwati, pengelola kesenian, masyarakat peminat seni, dan media massa) dapat melakukan diseminasi karya-karya seni melalui media elektronik, media cetak, dan pertunjukan-pertunjukan atau pameran-pameran.
(3) Semua pemangku kepentingan (stake holders) harus giat untuk meningkatkan gerakan apresiasi kesenian, contohnya melalui kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah dan di kampus-kampus, mengadakan berbagai lomba kesenian di sekolah-sekolah, di kampus-kampus, dan di lingkup kelurahan, kecamatan, dan seterusnya, pada acara-acara tertentu.
(4) Semua pemangku kepentingan dapat melakukan gerakan revitalisasi dan pembudayaan kembali kesenian yang kini sudah hampir punah atau sudah punah, contohnya: pertunjukan wayang orang, wayang kulit, ketoprak, ludruk, seni kerawitan, musik kulintang, musik angklung, Kesenian Gambang Semarang, seni bangunan (arsitektur) lokal, dan sebagainya.
4. Simpulan
Sepanjang sejarah, bangsa Indonesia tidak pernah luput dari pengaruh kebudayaan asing, dan kini banyak pihak sering meratapi kepunahan kebudayaan lokal sebagai akibat desakan kebudayaan global.
Kecemasan akan kemunduran kebudayaan lokal oleh kebudayaan global itu tidak perlu terjadi, jika diperhatikan dan dilaksanakan prinsip-prinsip sebagai berikut.
Tiap kebudayaan yang akan diwariskan kepada generasi penerus tidak bisa dibiarkan hidup secara pasif.
Nilai-nilai lama suatu kebudayaan yang diwariskan itu harus dikaji, dianalisis, dan diberi spirit baru yang sesuai dengan jiwa zaman, sehingga tetap dapat bertunas serta hidup subur di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Untuk itu, diperlukan kegiatan mencipta yang dapat memberi jiwa baru kepada suatu kebudayaan sesuai dengan keadaan masyarakat yang telah berubah dengan nilai-nilai serta ukuran-ukuran baru.
Jika tidak ada kegiatan mencipta seperti itu, niscaya kebudayaan akan “hidup segan mati pun tak hendak” atau bahkan benar-benar mati.
DAFTAR PUSTAKA
Malinowski, B., A Scientifcis Theory of Culture and Other Essays , Chapel Hill: University of North Caroline Perss, 1944.
Alfian (ed.), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan, Jakarta: PT Gramedia, 1985.
Darmanto JT dan Sudharto PH, Mencari Konsep Manusia Indonesia Suatu Bunga Rampai , Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986.
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan , Jakarta: PT Gramedia, 1974.
Sartono Kartodirdjo, Kebudayaan pembangunan dalam Perspektif Sejarah, Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Press, 1987.
SEMARANG METRO Suara Merdeka, Jumat, 4 Mei 2007.
Wertheim W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Kajian Perubahan Sosial, terjemahan dari Indonesian Society in Transition, A Study Of Social Change, Yogya: PT Tiara Wacana, 1999.
[1] Dewi Yuliati adalah dosen di Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro.
[2] B. Malinowski, A Scientifcis Theory of Culture and Other Essays (Chapel Hill: University of North Caroline Perss, 1944).
[3] Koentjaraningrat, “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional”, dalam Alfian (ed.), Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan (Jakarta: PT Gramedia, 1985), hlm. 100-105.
[4] Satjipto Rahardjo, “Gambaran Tentang Manusia dari Sudut sosialogi”, dalam Darmanto JT dan Sudharto PH, Mencari Konsep Manusia Indonesia Suatu Bunga Rampai (Jakarta: Penerbit Erlangga, 1986), hlm. 69.
[5] W.F. Wertheim, Masyarakat Indonesia dalam Transisi, Kajian Perubahan Sosial, terjemahan dari Indonesian Society in Transition, A Study Of Social Change, (Yogya: PT Tiara Wacana, 1999),hlm.230, 236, 237.
[6] Koentjaraningrat, 1985, op. cit., hlm. 114.
[7] SEMARANG METRO Suara Merdeka, Jumat, 4 Mei 2007.
[8] Sartono Kartodirdjo, Kebudayaan pembangunan dalam Perspektif Sejarah (Yogyakarta: Gadjah Mada Univerity Press, 1987), hlm. 17-18.
[9] Sartono Kartodirdjo, op. cit., hlm. 19.
[10] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan (Jakarta: PT Gramedia, 1974), hlm. 107-108.
*) Disajikan dalam Dialog Budaya Daerah Jawa Tengah, diselenggarakan oleh Departemen Pendidikan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, di Semarang tanggal 9-10 Mei 2007.
Dijumput dari: http://staff.undip.ac.id/sastra/dewiyuliati/2010/07/30/kebudayaan-lokal-versus-global/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar