Cucuk Espe *
Radar Surabaya, 14/10/2012
Aku temukan dia. Lelaki itu. Dia masih tetap duduk di atas batu besar yang menjorok ke sungai. Gagang pancing warna hitam terjepit di sela retakan bebatu. Tepat di depannya. Keduanya tidak bergerak meski terik terasa membelah ubun-ubun. Arus sungai yang tenang memang menjadi kesukaan ikan air tawar. Namun, sejak aku mengetahui lelaki itu memancing, belum satu pun ikan yang di dapat. Entah mengapa, dia tetap setia memancing, duduk bersila di atas batu. Ini adalah pemandangan yang ganjil. Ya, menurut kebanyakan orang –termasuk aku– lelaki itu menyuguhkan keganjilan yang sulit dimengerti.
Angin kering musim kemarau panjang, sedikit memberi kesejukan dan meluluhkan keringat yang mengguyur kening keriput lelaki itu. Jika aku boleh menebak, usia lelaki itu tidak muda lagi, sangat jauh di atasku. Barangkali dia pantas sebagai kakekku. Sebagian rambutnya memutih, terlihat sedikit karena tertutupi kopyah hitam kumal. Lelaki itu –aku masih mencoba mengingat namanya– duduk tak bergeming, hampir seharian penuh. Seharian? Mungkin lebih. Pertama kali aku melihat dia, pagi hari ketika aku melewati jembatan kecil tidak jauh dari gundukan bebatu empat kakek itu duduk. Tepatnya tiga hari yang lalu.
Betul! Sejak tiga hari lalu, lelaki tersebut duduk memancing di atas batu dan tidak seekor ikan pun menyambar mata pancingnya. Jujur saja, awalnya aku tidak peduli. Mungkin seperti anggapan banyak orang; lelaki itu adalah orang gila yang baru lepas dari kantor dinas sosial kota. Maklum, adalah hal yang lazim ketika selesai razia gelandangan dan pengamen (termasuk orang gila), dinas sosial kota hanya mendata, lantas dilepas lagi. Anggaran negara memang tidak mencukupi untuk membina orang gila yang jumlahnya terus meningkat. Dan lelaki itu adalah salah satunya, pikirku pada awalnya.
Namun rasa tidak peduli itu perlahan berubah penasaran, ketika hampir setiap hari aku melihat lelaki itu, tetap duduk di atas batu dan memancing. Anggapan bahwa dia orang gila segera aku tepis tergantikan oleh penasaran yang kian memuncak. Dan sore ini, aku penuhi rasa penasaranku itu sambil menuruni jembatan, menyapa lelaki tua itu.
“Belum dapat ikan juga, Pak?” sapaku pelan membuka percakapan. Dia tidak menjawab dan hanya menoleh ke arahku sambil sedikit tersenyum. Tidak ada gurat kesedihan sedikitpun terpancar dari mata cekungnya.
“Maaf, jika saya mengganggu,” lanjutku. Dia tersenyum lagi.
Justru aku yang seperti orang gila. Terus menyapa tanpa mendapat jawaban. Bosan juga rasanya melihat ekspresi lelaki itu yang hanya tersenyum. Entah apa maksudnya. Kalau memang benar prasangkaku, dia orang gila, maka celakalah aku. Antara yakin dan ragu, kondisi psikis lelaki itu, aku terus berusaha menyapa setiapsore. Saat matahari nyaris tenggelam, aku selalu turun ke jembatan, menghampiri dan menyodorkan sebungkus makanan. Dan selalu terulang, dia hanya menyambutku dengan senyum tanpa berkata sepatahpun. Aku tidak berani –dan berusaha menepis—ketika pikiran; Siapa yang gila? Mendadak muncul.
Hampir seminggu, aku memiliki rutinitas baru. Setiap pulang kerja, selalu mampir ke atas batu tempat lelaki itu memancing sambil membawa makanan. Ada perasaan lega, setiap melihat lelaki tua itu tersenyum menerima pemberianku. Senyum yang hingga saat ini belum bisa aku mengerti. Anehnya, hampir setiap malam pikiranku selalu tertuju pada senyum lelaki tua yang memancing di atas batu itu. Ketika aku ceritakan kepada istriku, dia malah memaki dan dianggap aku yang gila.
“Sudahlah, Mas…tidak perlu terlalu repot mengurus orang edan,” selorohnya.
Hal yang sama juga dilontarkan teman-temanku ketika aku ceritakan perihal lelaki di atas batu itu. Malah ada yang menyarankan agar segera menghentikan tingkah konyolku. Memberinya makanan setiap hari sama halnya dengan membuat lelaki itu ketagihan. Bahayanya, jika sampai aku bosan tidak memberi makan, besar kemungkinan akan melabrak ke rumah. Wah, celaka benar jika hal itu terjadi. Apa benar dia gila? Balasan senyum saat menerima bungkusan makanan dariku sama sekali tidak menyiratkan kondisi itu.
“Aku tidak peduli!” umpatku pada teman-teman.
***
Semalam aku mengigau, cerita istriku. Aku menceracau mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Benar tidak jelas atau memang istriku yang tergeragap mendengarnya, aku tidak peduli. Tapi yang membuat aku penasaran dengan igauanku adalah ketika istriku bilang aku berteriak;…ikan..ikan..ikan..! Apa ini ada hubungannya dengan lelaki di atas batu itu? Jika benar, aku patut curiga, ternyata dia terlalu jauh masuk alam bawah sadarku. Padahal sejak melihatnya, beberapa pekan lalu, hingga saat ini aku lupa namanya. Atau karena aku kurang sabar menghadapinya? Bisa jadi aku menggunakan bahasa yang keliru. Ah, pikiranku mulai tertuju kepada lelaki itu lagi.
Dan sore ini, aku kembali ke atas batu dimana lelaki itu masih terus duduk sambil memancing. Masih belum memperoleh ikan juga. Kali ini aku bawakan makanan berbeda, soto ayam khas Madura. Tiba-tiba saja aku ingin membelinya, sebab aroma bumbu khas Madura memicu rasa lapar. Aku pun berharap lelaki di atas batu itu makan dengan lahap.
“Belum bosan, Mas?” sapaku sambil duduk di sampingnya. “Aku membawa soto paling enak di kota ini,” lanjutku. Lelaki itu menoleh. Tersenyum. Dan kembali konsentrasi pada pancingannya. Sejenak aku ikut larut dan diam. Apa mungkin dia tidak doyan soto? Aku merasa bersalah.
Tiba-tiba dia kembali menoleh ke arahku. Cukup lama menatapku dan membuat aku clingukan menerjemahkan sorot mata lelaki itu. Sejenak aku teringat ucapan teman-teman, secepat kilat aku tepis.
“Terima kasih,” ucapnya pendek. Sungguh di luar dugaan, hampir tiga minggu, ketemu setiap hari dan baru hari ini aku mendengar suaranya. Ternyata dia bukan lelaki seperti prasangka teman-temanku. “Apa mas tidak merasa bosan?”
“Justru saya yang bertanya; apa mas tidak merasa bosan?” Lelaki itu tersenyum lagi. Ini yang membuat aku semakin penasaran.
“Sudah lama saya membuang rasa bosan itu,” jawabnya setengah melenguh.
Gemericik air sungai yang tenang membuat suasana senja semakin hening. Langit mulai muram. Aku dan lelaki tua itu tetap tak bergeming di atas batu.
“Sudah lama?” aku mulai dibelit penasaran.
“Betul. Ternyata penasaran itu membuat hidup saya tidak tenang,” jawabnya yang membuat aku semakin bingung menangkap arah pembicarannya.
“Bisa mas ceritakan jika tidak keberatan?” selorohku. Kembali dia tersenyum, kali ini dibarengi ekspresi wajah berbeda.
“Saya bosan bertemu dengan banyak orang.”
“Termasuk saya?” aku sedikit tersinggung. Dia tersenyum lagi dan lebih renyah.
“Saya belum tahu. Yang jelas, terlalu banyak orang tidak bisa dipercaya dan menyebabkan saya menjadi seperti ini.”
“Maksud mas?”
“Dulu saya bekerja di sebuah kantor pemerintahan, bukan pegawai negeri, masih honorer. Meski begitu saya bisa membangun rumah kecil untuk anak istri saya,” ucapnya lirih.
Aku mulai menangkap benang merah pembicaraannya. Meski agak kabur.
“Mereka semua dimana mas? Apa tidak mencari mas yang hampir setiap hari memancing di sini?” tanyaku sangat penasaran.
“Hilang.”
“Hilang? Kenapa?”
“Ketika lumpur makin tinggi, menenggelamkan seluruh harta kami,” jawabnya. “Rumah dan semuanya terpendam di sana?” lanjutnya sambil menunjuk ke suatu arah.
“Anak dan istri? Pekerjaan mas?”
“Sejak peristiwa itu, semua berubah. Anak dan istri saya pergi karena tidak betah tinggal di tenda pengungsian bersama penduduk lainnya. Mereka pergi. Saya pun meninggalkan pekerjaan begitu saja. Saya bosan. Untuk apa bekerja toh mereka semua telah pergi,” lelaki tua itu menunduk.
Dan matahari telah rebah di balik selimut merah cakrawala.
***
Kabar tentang semburan lumpur yang semakin menggila memang membuat frustrasi siapa saja. Tidak ada satu pun pihak yang bertanggung jawab dan ironisnya saling lempar kesalahan. Ketika ribuan rumah telah tenggelam dan ribuan keluarga kehilangan harkat kemanusiaannya, belum secuil pun niat baik –pemerinah—menyelesaikannya. Aku jadi berpikir, mungkinkah ini wilayah politik?Atau memang sengaja mereka yang rumahnya tenggelam itu dijadikan alat tawar kekuasaaan? Sungguh tidak berperikemanusiaan jika prasangkaku itu benar.
Lelaki tua itu, kini tidak memiliki apa-apa lagi. Yang dia miliki hanyalah sebongkah batu dan pancingan bekas milik anaknya dulu, yang entah sekarang berada dimana bersama ibunya. Batu dan mata pancing, itulah kekayaan paling berharga yang dia miliki.
“Lantas saya harus mencari apa lagi? Saya bosan terus berteriak tetapi tidak digubris. Sampai hari ini, saya semakin yakin bahwa setiap orang memang memiliki kebahagiaan yang berbeda,” ungkap lelaki di atas batu itu sangat filosofis.
“Bisa dijelaskan, Mas?”
“Mereka yang memiliki kuasa bisa bahagia manakala mampu menggunakan kekuasaan sesuai kepentingan hatinya. Dan orang seperti saya merasa bahagia manakala mampu menerima segala kepongahan kekuasaan,” Lelaki tua itu menghela napas panjang dan dalam.
Sore ini, sungguh aku menemukan dia sangat berbeda. Wajahnya bertambah kusam namun sorot matanya semakin bening. Dan sejak saat itu, aku merasakan ada kehidupan di atas batu kali itu. Ada obrolan yang mengundang trenyuh sekaligus amarah. Prihatin sekaligus egois. Semua membaur tanpa jelas batasnya.
“Harus dipaksa bahagia?” tanyaku.
“Tepatnya bukan bahagia tetapi menerima apapun yang terjadi. Dan jika saya masih memiliki rasa bosan, hidup saya pasti lebih sulit,” tukas lelaki itu mantap.
“Karena itu, mas membuang jauh rasa bosan?”
“Betul.”
Aku ceritakan semua itu kepada istriku, dia malah mengejekku. Dan menganggap aku sama sintingnya dengan lelaki di atas batu itu.
“Aku tidak mau punya suami yang pikirannya mulai ngawur!” nada bicaranya tinggi. Jujur saja, aku merasa tesinggung.
“Aku masih waras.”
“Kalau terlalu lama bicara dengan orang gila? Gila juga kan?” bantahnya.
“Dia tidak gila.”
“Itu menurut sampeyan, Mas?” istriku tetap ngotot.
“Bagiku dan mungkin kebanyakan orang di sini, dia itu tidak waras.”
“Dia seperti kita,” bantahku tidak mau kalah.
“Kita? Aku tidak mau dianggap gila,” seru istriku.
Sejak saat itu, aku selalu sembunyi-sembunyi jika datang ke tempat lelaki di atas batu itu. Hampir setiap sore, aku selalu menyempatkan diri mendatanginya dan mengajak berbagi tentang apa saja. Jujur saja, aku banyak memperoleh pelajaran hidup dari perjalanan nasib lelaki di atas batu itu. Pelajaran menyikapi hidup yang tidak anyak aku dapatkan dari teman-temanku.
“Di atas batu ini, aku merasa bahagia, Mas,” kataku suatu sore.
“Kenapa?”
“Mas, banyak bercerita tentang hal tidak aku ketahui,” jawabku lirih. Lelaki yang akhirnya kuingat bernama Tom itu hanya tersenyum. Senyum yang mirip seperti pertama kali aku menemukannnya. Senyum yang ganjil.
***
Samar-samar aku mendengar suara orang puluhan orang di atas jembatan. Mereka berteriak memanggil namaku. Itu istriku di tengah-tengah mereka, berjalan bergegas menuruti jalan setapak menuju ke atas batu. Tepat beberapa meter dari ujung batu, mereka berhenti. Istriku menangis.
“Itu suamimu,” kata salah serang penduduk. Istriku terjatuh dan terkulai begitu melihat lekat ke arahku. Aku bermaksud menolongnya tetapi dihadang oleh orang-rang di sekitarnya.
“Sudah berapa hari di sini?” kudengar ada yang berkata begitu.
“Dua hari…tiga hari. Oh bukan…lima hari!” teriak mereka tidak jelas.
Ya, lima hari terasa begitu cepat bersama lelaki di atas batu itu. Dan aku bisa menjadi diri sendiri dan menjadi manusia paling bahagia dengan menunggui mata pancing lelaki itu. Membunuh rasa bosan dan berdoa semoga Tuhan memberi seekor ikan sebagai tanda kemurahan-Nya. Melihat keributan itu, lelaki di atas batu itu sama sekali tidak bergeming. Dia tetap diam sambil menunggui mata pancingnya yang sedikit bergerak terbawa arus air kecoklatan.
“Aku ingin melihat istriku,” tanganku meronta karena dicegah menyentuh istriku sendiri.
Wajah-wajah –yang kukenal—para tetanggaku itu semakin beringas. Seolah mereka telah melupakan aku dan menganggap aku ini binatang liar yang membahayakan.
“Dia telah berubah.”
“Pikirannya menclek. Stres.”
“Suamimu frustrasi.”
Aku mendengar mereka mengumpatku dengan kata yang paling tidak sopan. Padahal aku baru saja belajar bagaimana menghadapi hidup dan menjadi manusia yang utuh. Utuh seperti diriku sendiri tanpa terpengaruh segala kepentingan dan kepongahan, seperti lelaki di atas batu itu.
Tiba-tiba istriku menyeruak dan berteriak.
“Aku tidak mau suamiku gila!” Lelaki yang selalu memancing di atas batu itu pun tersenyum ke arah istriku, juga aku. Senyum yang semakin ganjil. Akhirnya, kami berdua selalu duduk di atas batu dan memancing.
***
Jombang – Jakarta, 2012.
*) Cucuk Espe (lahir di Jombang, Jawa Timur, 19 Maret 1974) adalah seorang penyair, esais, cerpenis dan penulis naskah drama, juga aktor Indonesia yang dikenal sangat produktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia dan beberapa jurnal seni di luar negeri. Ia belajar Bahasa Indonesia di IKIP Malang. Setelah itu menjadi seniman adalah pilihan hidupnya dan mendirikan Teater Kopi Hitam Indonesia. Cucuk Espe pernah menjadi aktor teater terbaik pada Peksiminas III di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1995). Selanjutnya, ia mendirikan dan memimpin Teater Kopi Hitam Indonesia yang telah berpentas di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Kini aktivitasnya hanya berteater dan menulis. Juga bersama sejumlah pegiat kebudayaan di Jawa Timur menggagas Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI) yakni sebuah komunitas nirlaba yang bergerak di bidang kebudayaan (menuju masyarakat makin berbudaya). Sejumlah esainya sering dipublikasikan di Jawa Pos, Kompas, Republika, Media Indonesia, Lampung Post, Radar Surabaya, Bali Post, Banjarmasin Post, Surabaya Pagi, Harian Bhirawa, dan banyak Media Online.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar