Sabtu, 28 Juni 2014

Lelaki yang Selalu Memancing di Atas Batu

Cucuk Espe *
Radar Surabaya, 14/10/2012

Aku temukan dia. Lelaki itu. Dia masih tetap duduk di atas batu besar yang menjorok ke sungai. Gagang pancing warna hitam terjepit di sela retakan bebatu. Tepat di depannya. Keduanya tidak bergerak meski terik terasa membelah ubun-ubun. Arus sungai yang tenang memang menjadi kesukaan ikan air tawar. Namun, sejak aku mengetahui lelaki itu memancing, belum satu pun ikan yang di dapat. Entah mengapa, dia tetap setia memancing, duduk bersila di atas batu. Ini adalah pemandangan yang ganjil. Ya, menurut kebanyakan orang –termasuk aku– lelaki itu menyuguhkan keganjilan yang sulit dimengerti.
Angin kering musim kemarau panjang, sedikit memberi kesejukan dan meluluhkan keringat yang mengguyur kening keriput lelaki itu. Jika aku boleh menebak, usia lelaki itu tidak muda lagi, sangat jauh di atasku. Barangkali dia pantas sebagai kakekku. Sebagian rambutnya memutih, terlihat sedikit karena tertutupi kopyah hitam kumal. Lelaki itu –aku masih mencoba mengingat namanya– duduk tak bergeming, hampir seharian penuh. Seharian? Mungkin lebih. Pertama kali aku melihat dia, pagi hari ketika aku melewati jembatan kecil tidak jauh dari gundukan bebatu empat kakek itu duduk. Tepatnya tiga hari yang lalu.

Betul! Sejak tiga hari lalu, lelaki tersebut duduk memancing di atas batu dan tidak seekor ikan pun menyambar mata pancingnya. Jujur saja, awalnya aku tidak peduli. Mungkin seperti anggapan banyak orang; lelaki itu adalah orang gila yang baru lepas dari kantor dinas sosial kota. Maklum, adalah hal yang lazim ketika selesai razia gelandangan dan pengamen (termasuk orang gila), dinas sosial kota hanya mendata, lantas dilepas lagi. Anggaran negara memang tidak mencukupi untuk membina orang gila yang jumlahnya terus meningkat. Dan lelaki itu adalah salah satunya, pikirku pada awalnya.

Namun rasa tidak peduli itu perlahan berubah penasaran, ketika hampir setiap hari aku melihat lelaki itu, tetap duduk di atas batu dan memancing. Anggapan bahwa dia orang gila segera aku tepis tergantikan oleh penasaran yang kian memuncak. Dan sore ini, aku penuhi rasa penasaranku itu sambil menuruni jembatan, menyapa lelaki tua itu.

“Belum dapat ikan juga, Pak?” sapaku pelan membuka percakapan. Dia tidak menjawab dan hanya menoleh ke arahku sambil sedikit tersenyum. Tidak ada gurat kesedihan sedikitpun terpancar dari mata cekungnya.
“Maaf, jika saya mengganggu,” lanjutku. Dia tersenyum lagi.

Justru aku yang seperti orang gila. Terus menyapa tanpa mendapat jawaban. Bosan juga rasanya melihat ekspresi lelaki itu yang hanya tersenyum. Entah apa maksudnya. Kalau memang benar prasangkaku, dia orang gila, maka celakalah aku. Antara yakin dan ragu, kondisi psikis lelaki itu, aku terus berusaha menyapa setiapsore. Saat matahari nyaris tenggelam, aku selalu turun ke jembatan, menghampiri dan menyodorkan sebungkus makanan. Dan selalu terulang, dia hanya menyambutku dengan senyum tanpa berkata sepatahpun. Aku tidak berani –dan berusaha menepis—ketika pikiran; Siapa yang gila? Mendadak muncul.

Hampir seminggu, aku memiliki rutinitas baru. Setiap pulang kerja, selalu mampir ke atas batu tempat lelaki itu memancing sambil membawa makanan. Ada perasaan lega, setiap melihat lelaki tua itu tersenyum menerima pemberianku. Senyum yang hingga saat ini belum bisa aku mengerti. Anehnya, hampir setiap malam pikiranku selalu tertuju pada senyum lelaki tua yang memancing di atas batu itu. Ketika aku ceritakan kepada istriku, dia malah memaki dan dianggap aku yang gila.
“Sudahlah, Mas…tidak perlu terlalu repot mengurus orang edan,” selorohnya.

Hal yang sama juga dilontarkan teman-temanku ketika aku ceritakan perihal lelaki di atas batu itu. Malah ada yang menyarankan agar segera menghentikan tingkah konyolku. Memberinya makanan setiap hari sama halnya dengan membuat lelaki itu ketagihan. Bahayanya, jika sampai aku bosan tidak memberi makan, besar kemungkinan akan melabrak ke rumah. Wah, celaka benar jika hal itu terjadi. Apa benar dia gila? Balasan senyum saat menerima bungkusan makanan dariku sama sekali tidak menyiratkan kondisi itu.
“Aku tidak peduli!” umpatku pada teman-teman.
***

Semalam aku mengigau, cerita istriku. Aku menceracau mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas. Benar tidak jelas atau memang istriku yang tergeragap mendengarnya, aku tidak peduli. Tapi yang membuat aku penasaran dengan igauanku adalah ketika istriku bilang aku berteriak;…ikan..ikan..ikan..! Apa ini ada hubungannya dengan lelaki di atas batu itu? Jika benar, aku patut curiga, ternyata dia terlalu jauh masuk alam bawah sadarku. Padahal sejak melihatnya, beberapa pekan lalu, hingga saat ini aku lupa namanya. Atau karena aku kurang sabar menghadapinya? Bisa jadi aku menggunakan bahasa yang keliru. Ah, pikiranku mulai tertuju kepada lelaki itu lagi.

Dan sore ini, aku kembali ke atas batu dimana lelaki itu masih terus duduk sambil memancing. Masih belum memperoleh ikan juga. Kali ini aku bawakan makanan berbeda, soto ayam khas Madura. Tiba-tiba saja aku ingin membelinya, sebab aroma bumbu khas Madura memicu rasa lapar. Aku pun berharap lelaki di atas batu itu makan dengan lahap.

“Belum bosan, Mas?” sapaku sambil duduk di sampingnya. “Aku membawa soto paling enak di kota ini,” lanjutku. Lelaki itu menoleh. Tersenyum. Dan kembali konsentrasi pada pancingannya. Sejenak aku ikut larut dan diam. Apa mungkin dia tidak doyan soto? Aku merasa bersalah.

Tiba-tiba dia kembali menoleh ke arahku. Cukup lama menatapku dan membuat aku clingukan menerjemahkan sorot mata lelaki itu. Sejenak aku teringat ucapan teman-teman, secepat kilat aku tepis.

“Terima kasih,” ucapnya pendek. Sungguh di luar dugaan, hampir tiga minggu, ketemu setiap hari dan baru hari ini aku mendengar suaranya. Ternyata dia bukan lelaki seperti prasangka teman-temanku. “Apa mas tidak merasa bosan?”
“Justru saya yang bertanya; apa mas tidak merasa bosan?” Lelaki itu tersenyum lagi. Ini yang membuat aku semakin penasaran.
“Sudah lama saya membuang rasa bosan itu,” jawabnya setengah melenguh.

Gemericik air sungai yang tenang membuat suasana senja semakin hening. Langit mulai muram. Aku dan lelaki tua itu tetap tak bergeming di atas batu.

“Sudah lama?” aku mulai dibelit penasaran.
“Betul. Ternyata penasaran itu membuat hidup saya tidak tenang,” jawabnya yang membuat aku semakin bingung menangkap arah pembicarannya.

“Bisa mas ceritakan jika tidak keberatan?” selorohku. Kembali dia tersenyum, kali ini dibarengi ekspresi wajah berbeda.
“Saya bosan bertemu dengan banyak orang.”
“Termasuk saya?” aku sedikit tersinggung. Dia tersenyum lagi dan lebih renyah.
“Saya belum tahu. Yang jelas, terlalu banyak orang tidak bisa dipercaya dan menyebabkan saya menjadi seperti ini.”
“Maksud mas?”
“Dulu saya bekerja di sebuah kantor pemerintahan, bukan pegawai negeri, masih honorer. Meski begitu saya bisa membangun rumah kecil untuk anak istri saya,” ucapnya lirih.

Aku mulai menangkap benang merah pembicaraannya. Meski agak kabur.
“Mereka semua dimana mas? Apa tidak mencari mas yang hampir setiap hari memancing di sini?” tanyaku sangat penasaran.

“Hilang.”
“Hilang? Kenapa?”
“Ketika lumpur makin tinggi, menenggelamkan seluruh harta kami,” jawabnya. “Rumah dan semuanya terpendam di sana?” lanjutnya sambil menunjuk ke suatu arah.

“Anak dan istri? Pekerjaan mas?”
“Sejak peristiwa itu, semua berubah. Anak dan istri saya pergi karena tidak betah tinggal di tenda pengungsian bersama penduduk lainnya. Mereka pergi. Saya pun meninggalkan pekerjaan begitu saja. Saya bosan. Untuk apa bekerja toh mereka semua telah pergi,” lelaki tua itu menunduk.
Dan matahari telah rebah di balik selimut merah cakrawala.
***

Kabar tentang semburan lumpur yang semakin menggila memang membuat frustrasi siapa saja. Tidak ada satu pun pihak yang bertanggung jawab dan ironisnya saling lempar kesalahan. Ketika ribuan rumah telah tenggelam dan ribuan keluarga kehilangan harkat kemanusiaannya, belum secuil pun niat baik –pemerinah—menyelesaikannya. Aku jadi berpikir, mungkinkah ini wilayah politik?Atau memang sengaja mereka yang rumahnya tenggelam itu dijadikan alat tawar kekuasaaan? Sungguh tidak berperikemanusiaan jika prasangkaku itu benar.

Lelaki tua itu, kini tidak memiliki apa-apa lagi. Yang dia miliki hanyalah sebongkah batu dan pancingan bekas milik anaknya dulu, yang entah sekarang berada dimana bersama ibunya. Batu dan mata pancing, itulah kekayaan paling berharga yang dia miliki.

“Lantas saya harus mencari apa lagi? Saya bosan terus berteriak tetapi tidak digubris. Sampai hari ini, saya semakin yakin bahwa setiap orang memang memiliki kebahagiaan yang berbeda,” ungkap lelaki di atas batu itu sangat filosofis.

“Bisa dijelaskan, Mas?”
“Mereka yang memiliki kuasa bisa bahagia manakala mampu menggunakan kekuasaan sesuai kepentingan hatinya. Dan orang seperti saya merasa bahagia manakala mampu menerima segala kepongahan kekuasaan,” Lelaki tua itu menghela napas panjang dan dalam.

Sore ini, sungguh aku menemukan dia sangat berbeda. Wajahnya bertambah kusam namun sorot matanya semakin bening. Dan sejak saat itu, aku merasakan ada kehidupan di atas batu kali itu. Ada obrolan yang mengundang trenyuh sekaligus amarah. Prihatin sekaligus egois. Semua membaur tanpa jelas batasnya.

“Harus dipaksa bahagia?” tanyaku.
“Tepatnya bukan bahagia tetapi menerima apapun yang terjadi. Dan jika saya masih memiliki rasa bosan, hidup saya pasti lebih sulit,” tukas lelaki itu mantap.
“Karena itu, mas membuang jauh rasa bosan?”
“Betul.”

Aku ceritakan semua itu kepada istriku, dia malah mengejekku. Dan menganggap aku sama sintingnya dengan lelaki di atas batu itu.

“Aku tidak mau punya suami yang pikirannya mulai ngawur!” nada bicaranya tinggi. Jujur saja, aku merasa tesinggung.

“Aku masih waras.”
“Kalau terlalu lama bicara dengan orang gila? Gila juga kan?” bantahnya.
“Dia tidak gila.”
“Itu menurut sampeyan, Mas?” istriku tetap ngotot.
“Bagiku dan mungkin kebanyakan orang di sini, dia itu tidak waras.”
“Dia seperti kita,” bantahku tidak mau kalah.
“Kita? Aku tidak mau dianggap gila,” seru istriku.

Sejak saat itu, aku selalu sembunyi-sembunyi jika datang ke tempat lelaki di atas batu itu. Hampir setiap sore, aku selalu menyempatkan diri mendatanginya dan mengajak berbagi tentang apa saja. Jujur saja, aku banyak memperoleh pelajaran hidup dari perjalanan nasib lelaki di atas batu itu. Pelajaran menyikapi hidup yang tidak anyak aku dapatkan dari teman-temanku.

“Di atas batu ini, aku merasa bahagia, Mas,” kataku suatu sore.
“Kenapa?”
“Mas, banyak bercerita tentang hal tidak aku ketahui,” jawabku lirih. Lelaki yang akhirnya kuingat bernama Tom itu hanya tersenyum. Senyum yang mirip seperti pertama kali aku menemukannnya. Senyum yang ganjil.
***

Samar-samar aku mendengar suara orang puluhan orang di atas jembatan. Mereka berteriak memanggil namaku. Itu istriku di tengah-tengah mereka, berjalan bergegas menuruti jalan setapak menuju ke atas batu. Tepat beberapa meter dari ujung batu, mereka berhenti. Istriku menangis.

“Itu suamimu,” kata salah serang penduduk. Istriku terjatuh dan terkulai begitu melihat lekat ke arahku. Aku bermaksud menolongnya tetapi dihadang oleh orang-rang di sekitarnya.

“Sudah berapa hari di sini?” kudengar ada yang berkata begitu.
“Dua hari…tiga hari. Oh bukan…lima hari!” teriak mereka tidak jelas.

Ya, lima hari terasa begitu cepat bersama lelaki di atas batu itu. Dan aku bisa menjadi diri sendiri dan menjadi manusia paling bahagia dengan menunggui mata pancing lelaki itu. Membunuh rasa bosan dan berdoa semoga Tuhan memberi seekor ikan sebagai tanda kemurahan-Nya. Melihat keributan itu, lelaki di atas batu itu sama sekali tidak bergeming. Dia tetap diam sambil menunggui mata pancingnya yang sedikit bergerak terbawa arus air kecoklatan.

“Aku ingin melihat istriku,” tanganku meronta karena dicegah menyentuh istriku sendiri.

Wajah-wajah –yang kukenal—para tetanggaku itu semakin beringas. Seolah mereka telah melupakan aku dan menganggap aku ini binatang liar yang membahayakan.

“Dia telah berubah.”
“Pikirannya menclek. Stres.”
“Suamimu frustrasi.”

Aku mendengar mereka mengumpatku dengan kata yang paling tidak sopan. Padahal aku baru saja belajar bagaimana menghadapi hidup dan menjadi manusia yang utuh. Utuh seperti diriku sendiri tanpa terpengaruh segala kepentingan dan kepongahan, seperti lelaki di atas batu itu.

Tiba-tiba istriku menyeruak dan berteriak.
“Aku tidak mau suamiku gila!” Lelaki yang selalu memancing di atas batu itu pun tersenyum ke arah istriku, juga aku. Senyum yang semakin ganjil. Akhirnya, kami berdua selalu duduk di atas batu dan memancing.
***

Jombang – Jakarta, 2012.

*) Cucuk Espe (lahir di Jombang, Jawa Timur, 19 Maret 1974) adalah seorang penyair, esais, cerpenis dan penulis naskah drama, juga aktor Indonesia yang dikenal sangat produktif menulis di berbagai media cetak nasional di Indonesia dan beberapa jurnal seni di luar negeri. Ia belajar Bahasa Indonesia di IKIP Malang. Setelah itu menjadi seniman adalah pilihan hidupnya dan mendirikan Teater Kopi Hitam Indonesia. Cucuk Espe pernah menjadi aktor teater terbaik pada Peksiminas III di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1995). Selanjutnya, ia mendirikan dan memimpin Teater Kopi Hitam Indonesia yang telah berpentas di hampir seluruh kota besar di Indonesia. Kini aktivitasnya hanya berteater dan menulis. Juga bersama sejumlah pegiat kebudayaan di Jawa Timur menggagas Lembaga Baca-Tulis Indonesia (LBTI) yakni sebuah komunitas nirlaba yang bergerak di bidang kebudayaan (menuju masyarakat makin berbudaya). Sejumlah esainya sering dipublikasikan di Jawa Pos, Kompas, Republika, Media Indonesia, Lampung Post, Radar Surabaya, Bali Post, Banjarmasin Post, Surabaya Pagi, Harian Bhirawa, dan banyak Media Online.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar