Kamis, 04 Juli 2013

Labirin Kekejaman

Triyanto Triwikromo
Koran Tempo, 10 Juni 2012

Aku tahu ketika saat itu tiba kau akan mencariku. Mirip para penjelajah agung, kau akan menafsirkan setiap jejak yang kutinggalkan. Tidak gampang, karena bertahun-tahun aku bungkam, bertahun-tahun aku menyimpan riwayatku di keheningan lereng gunung, di kesunyian ujung tanjung. Mungkin kau tidak akan pernah menemukan aku.

Mungkin kau hanya akan memergoki jejak-jejak kaburku.

MEREKA, pada Oktober tanpa tipus atau desen tri, mengetuk pintu se tiap rumah di Alas, me nangkap, dan menciduk secara sembarangan orang-orang yang dianggap berkomplot membunuh para jenderal dalam Tarian Harum Bunga di Lubang Buaya. Para serdadu rahasia yang tidak pernah tercatat dalam kesatuan itu datang seperti wabah. Malam itu, mereka dengan dingin menembak siapa pun yang berlari ke hutan. Mereka juga dengan dingin menusukkan bayonet ke lambung orang-orang malang yang saat diinterogasi menjawab berbelit-belit segala pertanyaan yang merontokkan keberanian.

Jika kau tidak ingin merasakan kekejaman tiada tara, jangan pernah berharap bertemu mereka. Baiklah, jika kau tidak percaya, akan kuceritakan apa yang terjadi pada Magdalena Markini. Hanya karena tidak mau menunjukkan persembunyianku, Magda, kakak perempuanku, dibakar hidup-hidup, di halaman rumah.

Sungguh, sebelum dibakar, kusaksikan dari atas pohon rambutan, seorang serdadu menghajar kepala Magda dengan gagang senapan. Bukan hanya itu. Begitu tersungkur, serdadu yang lain menginjak kepala rapuh Magda dengan sepatu lars, sehingga hidung dan mulutnya penyok.

“Kau sembunyikan di mana Elisabet Rukmini, penari pembunuh itu?” Magda tidak menjawab. Ia membuat tanda salib dengan menempelkan ujung jari di kening, dada, dan kedua bahu, sambil berkomat-kamit.

“Jangan menipu kami dengan pura-pura berdoa!” seorang serdadu menghunjamkan sepatu lars ke dada Magda, “Bukankah telah lama Tuhan telah kalian bunuh? Kenapa sekarang pura-pura memuja-Nya?” Magda tetap bungkam dan sekali lagi berkomat-kamit. Mungkin dia berharap Kristus akan datang menyelamatkan dirinya pada saat tak seorang pun berani melawan para serdadu bengis itu. Dan Kristus memang telah terbunuh, sehingga tak mungkin turun ke bumi hanya untuk menyelamatkan Magda.

Karena itu, tak ada keajaiban ketika seorang serdadu tiba-tiba berjongkok dan menyundutkan rokok yang masih menyala ke mata Magda. Magda menjerit, tetapi tak satu penduduk kampung mendengar suaranya. Mungkin mereka sudah dibakar juga. Mungkin mereka telah pergi sebelum para serdadu pembunuh tiba.

“Sekali lagi… di mana kau sembunyikan Elisabet Rukmini? Kau tahu apa yang diperbuat adikmu pada 30 September?” Magda, yang disiksa hanya karena menjadi kakak seorang yang dianggap sebagai pembunuh para jenderal, menggeleng.

“Kau tahu hukuman orang yang menyembunyikan pengkhianat negara?” Magda tetap menggeleng.

“Baiklah. Sebentar lagi kau akan tahu apa hukuman yang pas untukmu…” Lalu seorang serdadu mengguyurkan minyak tanah ke tubuh Magda. Mereka membakar tubuh indah kakak perempuanku yang senantiasa merasa hidup sehati de

ngan Kritus, tetapi tak pernah mendapatkan pertolongan dari Putra Nazareth itu.

Sebenarnya saat melihat Magda berlari ke sana kemari dengan tubuh penuh nyala api itu, aku ingin menjerit. Aku ingin setidak-tidaknya bisa mengalihkan pandangan para serdadu agar mereka tidak terus-menerus menyiksa Magda.Tetapi niat itu kuurungkan. Aku harus hidup. Kelak aku harus mewartakan kekejaman para serdadu bengis itu. Aku tidak mungkin bisa menceritakan apa pun kepadamu jika mereka membunuhku saat itu.

Karena itu, apa boleh buat aku harus menyaksikan tubuh Magda pelan-pelan jadi abu dan debu. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu para serdadu pergi.

Sambil menunggu aku tidak berdoa untuk keselamatanku.Tubuh Magda yang pelan-pelan meleleh, mata yang tak bisa berteriak saat disundut rokok, atau bibir yang mengatup saat bayonet ditusukkan ke lam bung itu, bagiku cukup menjelaskan Kristus berada di pihak mana?

BULAN tidak menyala di ujung B hutan saat aku meninggalkan kampung yang terbakar itu.

Karena itu, setelah turun dari pohon rambutan, aku berlari menembus jalanan gelap yang berlawanan dari arah para serdadu pergi. Meskipun demikian, aku tahu ke mana harus melesat, ke mana harus mencari keselamatan.

Hanya, tidak mudah dalam kegelapan yang teramat pekat, aku menemukan tempat persembunyian.

Sebab untuk mencapai persembunyian teraman, yakni sebuah gereja di seberang desa, aku harus menembus puluhan kebun mawar penuh duri, menyeberang sungai cukup deras, dan menyusup ke gua penuh kelelawar.

Penderitaanku sepertinya melebihi kesakitan Kristus. Agar sampai ke tiang salib, tiang penyelamatan Allah untuk putra terindah, Kristus memang harus mengenakan mahkota duri. Tetapi aku? Seluruh tubuhku harus ditancap ribuan duri runcing agar sampai ke sungai itu.

Cukup lama aku harus terjebak dalam keindahan kebun mawar yang menyakitkan itu. Cukup lama karena setiap bisa menembus satu kebun, aku harus menembus kebun mawar yang lain.

Pada saat seperti itu, pikiranku sudah melesat ke gereja. Aku bertemu dengan Romo Sindhu dan segera memberi tahu segala hal yang telah terjadi pada Magda. Aku bilang pada paderi santun itu betapa Kristus tidak berkutik di hadapan para serdadu yang bengis dan begitu digdaya.

Akan tetapi, nyatanya, tubuhku masih terjepit di kebun mawar berduri. Jika beberapa saat lagi aku bisa melepaskan diri dari jebakan kesakitan dan keindahan ini, aku juga masih harus berenang di sungai deras dan dingin. Jika sungai itu bisa kutaklukkan, belum tentu aku bisa menyusup gua tanpa obor.

Jadi, memang rasanya mustahil mewartakan kekejaman serdadu kepada orang lain. Sebab jika bisa keluar dari jebakan gua, tidak mungkin para serdadu rahasia dari kesatuan lain membiarkan aku melenggang ke gereja Romo Sindhu.

Meskipun demikian, aku yakin Romo Sindhu menantiku dengan sabar. Romo Sindhu akan sabar pula mendengarkan seorang perempuan yang terluka mewartakan kabar tak menggembirakan tentang sebuah kampung yang terbakar dan puluhan warga yang dihajar serdadu dalam kegelapan.

KU terjun ke sungai tepat ketiA ka puluhan ular keluar dari lu bang persembunyian. Ular-ular itu hendak bermigrasi ke lubang-lubang lain. Aku tak bertanya kepada ular mengapa mereka harus berpindah dari hilir ke muara. Dan karena tidak ingin bersentuhan dengan ular-ular menjijikkan yang hanyut di permukaan air, aku memilih menyelam dan sesekali menongolkan kepala untuk menghirup udara.

Rupa-rupanya ular-ular itu tidak disusupi oleh iblis atau Lucifer, sehingga mereka tidak berhasrat menggoda keturunan Hawa. Bahkan karena pada saat sama mereka memiliki keinginan lain, sedikit pun mereka tidak berkehendak memagut atau membelit tubuh manusia yang telah terluka. Karena itu sambil menahan perih, aku terus menghanyutkan tubuh hingga mencapai ujung, hingga mencapai bibir gua.

Kau tahu, di bibir gua itu, air tak lagi mengalir dengan deras. Sungai di bawah gua juga tidak ganas. Ini memudahkan aku melewati jebakan terakhir dengan sedikit tenang.

Meskipun demikian, aku tidak boleh lengah. Di tengah gua yang dialiri sungai di bawah tanah itu, aku pernah mendengar dari para penjelajah, ada pusaran air yang bisa menyedot siapa pun hingga ke kedalaman 20 meter. Jika aku tidak beruntung, bukan tidak mungkin tubuhku akan tersedot dan akhirnya terjepit di gorong-gorong gua.

Hanya, kau pun tahu, gua tidak akan menyakiti siapa pun yang menjelajah rongga-rongga tubuhnya jika mereka patuh pada aturanaturan yang seakan-akan telah diguratkan di dinding-dindingnya.

Pertama, jangan pernah meneriakkan kata-kata konyol ketika berada di zona kegelapan abadi yang tepat berada di pusat gua. Kata-kata yang kemudian bergema berulang-ulang itu hanya akan membingungkan dan akhirnya berubah jadi dengung yang menyiksa telinga.

Jika telinga sudah tersiksa, kau akan bingung, dan akhirnya mencoba menghindar dengan menyusup ke kedalaman sungai di bawah tanah. Pada saat itulah kau tidak tahu pusaran air akan menyedot dan menenggelamkanmu.

Kedua, jangan pernah membunuh segala satwa yang ada di dalam gua.

Para satwa sangat peka dan tahu siapa yang berbuat jahat kepada mereka dan sanak saudara. Jika yang kausakiti seekor ular, ular itu akan menyimpan wajahmu di matanya. Sanak saudara ular akan bisa melihat wajahmu di mata ular yang terbunuh sehingga dalam waktu singkat mereka akan memburumu.

Ke ujung dunia kau pergi, ular-ular itu akan menguntitmu.

Ketiga, jangan membawa dan meninggalkan apa pun di dalam gua.

Kau jangan berhasrat memotong stalaktit atau stalakmit, karena pada saat sama batu-batu runcing itu akan berhasrat menusuk lambungmu.

Karena itu dengan rasa hormat pada segala yang hidup di dalam gua, aku berenang di sungai bawah tanah itu. Aku hafal lekuk liku gua karena sejak kecil bersama temanteman sebaya, telah berulang-ulang melintasi keindahan alam berjarak kurang lebih 350 meter itu untuk sampai ke gereja Romo Sindhu.

Pada waktu kecil, kami seperti menemukan surga ketika bisa menembus gua itu. Dan selalu sesudah itu Romo Sindhu bilang kepada kami, “Ya, kalian telah menemukan surga!”, sehingga kami berulangulang berlomba-lomba menuju ke gereja Romo Sindhu ketika hari Minggu tiba.

Apakah aku akan sampai di ujung gua? Aku tidak tahu. Aku hanya merasa Romo Sindhu dengan wajah berbinar menyambut kedatanganku.

DULU pada usia 12 tahunan, D setelah aku berhasil menyem bul dari sungai di bawah gua, Romo Sindhu bertanya kepadaku, “Apa saja yang telah kau lihat di dalam gua, Elisabet Rukmini?” “Aku tidak melihat apa-apa, Romo, kecuali kelelawar dan kegelapan?” “Kau tidak melihat pahatan tubuh Kristus tersalib?” “Aku tidak melihat tubuh Kris tus, Romo.”

“Kau tidak melihat tubuh Magda dewasa dibakar oleh para serdadu?” “Aku tidak melihat tubuh Magda, Romo.”

“Kau tidak melihat tubuh dewasamu diburu oleh para serdadu?” “Aku tidak melihat tubuhku, Romo.”

“Kau tidak melihat semua yang akan terjadi telah diguratkan di dinding gua?” “Aku tidak melihat semua yang akan terjadi tergurat di dinding gua, Romo.”

“Sungguh?” “Sungguh, Romo.”

Romo Sindhu tidak marah mendengar jawaban-jawabanku saat itu. Ia mengusap rambutku dan berbicara lirih sekali,”Kelak kau akan melihat semua yang telah tergurat di dinding gua jika waktunya telah tiba.”

ALU, apa yang sesungguhnya L kulihat di dalam gua pada Ok tober 1965 yang perih itu?

Mungkin karena halusinasi, aku seperti melihat tubuhku disalib oleh para serdadu bengis. Mereka beramai-ramai menusukkan bayonet ke lambung, hingga tubuhku terku lai, hingga aku tidak mampu berbuat apa pun.

Tidak kupedulikan pahatan-pahatan aneh itu. Aku hanya ingin segera bertemu Romo Sindhu, paderi yang tampak tidak pernah uzur itu.

Aku hanya ingin tersungkur di halaman gereja dan berharap Romo Sindhu membopongku sebagaimana Bunda Maria melakukan hal sama pada tubuh Kritus yang terkulai tak berdaya.

Akan tetapi, nyatanya, aku masih harus melewati sedotan air di zona kegelapan abadi. Sedotan itu sungguh tidak terhindarkan sehingga tidak ada gunanya mengingat apa pun yang layak kita sebut sebagai kehidupan. Pada saat kritis semacam itu, aku hanya percaya pada kata-kata ibuku: ngelia ning aja keli, ikutilah arus, tetapi jangan sampai hanyut.

Karena itu, aku tidak melawan pusaran air. Kubiarkan tubuhku disedot. Kubiarkan tubuhku dilemparkan ke permukaan. Kubiarkan arus yang tenang membawaku ke bibir gua, bibir yang mendekatkan aku pada gereja Romo Sindhu.

AKU merangkak untuk sampai A ke pintu gereja. Aku mengetuk keras-keras pintu itu agar Romo Sindhu bergegas membuka dan membopong tubuhku yang tidak berdaya. Akan tetapi seperti tak ada kehidupan di gereja itu. Seperti tak ada yang mendengar ketukanku di pintu yang telah rapuh itu.

“Romo, buka pintu! Tolong aku!” Tetap tidak ada sahutan dari dalam.

DI MANA paderi terindah itu D sekarang? Mengapa dia justru meninggalkan aku pada saat kubutuhkan? Sebagaimana Kristus meninggalkan Magda, mengapa Romo Sindhu juga meninggalkan aku pada saat aku begitu berhasrat memohon pertolongannya?

Jawabannya sungguh di luar dugaan. Begitu pintu yang ternyata tidak terkunci bisa kubuka, aku melihat kepala Romo Sindhu pecah berlumur darah. Matanya yang mendelik ke arahku seakan menahan kesakitan.

Aku tahu: beberapa orang pasti telah menghajar Romo Sindhu dengan sangat kejam. Darah juga mengucur dari lambung Romo. Itu berarti seseorang telah menusukkan semacam tombak atau bayonet atau lembing ke lambung Romo yang rapuh. Dada Romo juga hancur. Sese orang–mungkin lebih–pasti telah menginjak tubuh ramping Romo dengan hentakan sepatu lars yang keras.Yang mengejutkan zakar Romo juga dihabisi. Tampaknya ditembak dari jarak dekat, sehingga zakar itu kocar-kacir.

Kekejaman itu mungkin telah terjadi cukup lama sehingga begitu banyak lalat merubung mayat Romo Sindhu. Tentu saja aku kehilangan senyum Romo Sindhu. Mulutnya penyok. Giginya rompal.

Mayat Romo Sindhu memang belum membusuk. Akan tetapi siapa pun yang melihat, tidak akan sanggup menghindar dari kemualan yang menyodok-nyodok perut. Mayat itu begitu menjijikkan. Mungkin Kristus pun tidak akan sanggup menahan kematian yang mengenaskan itu karena para pembunuh menghabisi Romo Sindhu seperti membantai seekor kambing.

ENGKAU mungkin mengira paE ra iblis sengaja berkomplot menyerbu desa itu untuk membunuh Romo Sindhu. Aku tidak percaya sangkaan semacam itu. Aku punya kesimpulan lain. Mungkin sebagaimana Magda tidak mau membocorkan di mana persembunyianku, Romo juga tidak mau menun jukkan di mana umat-umat yang dicurigai terlibat sebagai pembunuh para jenderal itu berada. Dan karena Romo Sindhu bungkam, para serdadu itu membunuhnya. Ya, sesederhana itu perkiraanku.

Mungkin dugaanku salah. Akan tetapi jika melihat luka-luka di sekujur tubuh Romo Sindhu yang teramat mirip dengan luka-luka Magda, aku yakin pembunuh mereka berdua berasal dari kamp latihan yang sama. Itu berarti jika pembunuh Magda tak kurang dan tak lebih adalah para serdadu, maka pembunuh Romo Sindhu pun tak jauh-jauh amat dari lembaga ketentaraan.

Tentu saja jangan kau tanyakan dari kesatuan mana para serdadu itu. Kehadiran mereka yang bagai wabah jelas tidak tercatat di dokumen mana pun. Para pengadil kejahatan perang tak akan bisa menghukum para petinggi militer karena memang tidak ada satu catatan pun yang mampu melibatkan mereka sebagai otak pembunuhan paling keji di negeri ini.

Lalu, siapa yang membunuh Romo Sindhu? Saat itu tak seorang pun tergerak untuk menjawab. Jika tahu jawabannya pun, mereka tidak akan pernah mewartakan kabar pembunuhan itu kepada orang lain. Pengetahuan tentang pembunuhan, kau tahu, hanya akan berputar-putar di hati dan terkubur bagai mumi.

ADI apa yang bisa kulakukan J saat itu? Tak ada.Tindakan ajaib tidak pernah dimiliki oleh perempuan rapuh. Kemenangan dan kedigdayaan dikuasai oleh mereka yang mempunyai senapan dan sepatu lars, sehingga mustahil aku bisa mengubah dunia hanya bermodal keinginan untuk mewartakan kekejaman para serdadu kepada orang lain yang telah kehilangan telinga.

Karena itu lebih baik aku tidak perlu berbuat apa-apa. Aku akan pura-pura mati sehingga ketika para serdadu tiba, mereka tidak perlu capai-capai membunuhku.Ya ya, ini pilihan cerdas. Sebagaimana macan bodoh yang tak mengendus mangsa tak berdaya, para serdadu tidak akan menjamahku. Aku tahu para serdadu akan beringas jika mereka berhadapan dengan mangsa yang juga beringas.

Tetapi untuk pura-pura mati bukanlah pekerjaan gampang. Aku harus bisa mengatur napas agar tidak menimbulkan deru. Aku harus mengatur detak jantung agar tak seorang pun mendengarkan bunyinya yang gaduh.

Dan sial, sebisa-bisa kulakoni kepura-puraan itu tetap saja aku gagal menahan kentut. Entah akibat suara kentut atau memang telah lama para serdadu mengintip seluruh gerak-gerikku, mereka tiba-tiba muncul dari persembunyian dan beradu cepat mengepungku.

“Kau tidak perlu bersembunyi lagi! Kau tidak punya lagi kesempatan untuk lari!”

LARI? Ke mana harus berlari?

Pikiranku mungkin bisa berla ri, tetapi tubuhku mustahil digerakkan untuk sekadar merangkak. Karena itu, kuputuskan untuk diam saja. Aku yakin begitu aku mematung, para serdadu akan bergeming. Mereka tidak akan menusukkan bayonet ke lambungku. Mereka tidak akan menyundutkan rokok ke mataku. Mereka tidak akan menginjakkan sepatu lars ke wajah sehingga mulutku tidak penyok dan gigi tidak rompal.

“Namamu Elisabet Rukmini?” Aku diam.

“Namamu Elisabet Rukmini? Jangan sampai kami salah membunuh!” Aku tetap diam.

“Sekali lagi namamu Elisabet Rukmini? Kau tak ingin kami membunuhmu bukan? Ayo jawab?” Tak ada gunanya menjawab pertanyaan itu.Aku tahu mungkin mereka memang tidak diperintahkan membunuhku sehingga tidak perlu aku mematuhi gertak sambal sialan itu.

Pada saat-saat seperti itu aku justru punya kekuatan. Kekuatan meredam amarah. Kekuatan untuk tidak melawan kekejaman.

Apakah salah tidak melawan kekejaman?

Aku tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Dijawab atau tak dijawab tetap saja salah seorang serdadu menggebuk tengkukku dengan gagang senapan hingga aku pingsan, hingga aku tak tahu ke mana mereka mereka menyeret tubuhku.

Kekejaman telah menjelma kekuatan yang tidak bisa dilawan, sehingga akan sia-sialah siapa pun yang berusaha mencekik kedigdayaannya. Karena itu, setelah siuman, aku tak peduli lagi pada apa pun yang terjadi. Aku tak takut lagi pada senapan atau sepatu lars yang mengancam. Aku tak takut lagi pada tusukan bayonet di lambung.

Aku tak takut lagi apakah dalam semenit atau lima menit ke depan aku masih bisa bernapas atau memimpikan kebebasan.

Sungguh, saat itu aku benar-benar tak takut lagi mendengar hentakan sepatu lars dan senapan yang dikokang. Aku tak takut pada ketakutan.

Semarang, 20 Mei 2012
*) Triyanto Triwikromo bekerja sebagai wartawan dan dosen di Semarang, Jawa Tengah. Buku cerita pendeknya, Ular di Mangkuk Nabi (2009), yang beroleh Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa; dan buku puisinya, Pertempuran Rahasia (2010).
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/triyanto-triwikromo/labirin-kekejaman-koran-tempo-10-juni/10150937867304774

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar