Triyanto Triwikromo
Koran Tempo, 10 Juni 2012
Aku tahu ketika saat itu tiba kau akan mencariku. Mirip para penjelajah agung, kau akan menafsirkan setiap jejak yang kutinggalkan. Tidak gampang, karena bertahun-tahun aku bungkam, bertahun-tahun aku menyimpan riwayatku di keheningan lereng gunung, di kesunyian ujung tanjung. Mungkin kau tidak akan pernah menemukan aku.
Mungkin kau hanya akan memergoki jejak-jejak kaburku.
MEREKA, pada Oktober tanpa tipus atau desen tri, mengetuk pintu se tiap rumah di Alas, me nangkap, dan menciduk secara sembarangan orang-orang yang dianggap berkomplot membunuh para jenderal dalam Tarian Harum Bunga di Lubang Buaya. Para serdadu rahasia yang tidak pernah tercatat dalam kesatuan itu datang seperti wabah. Malam itu, mereka dengan dingin menembak siapa pun yang berlari ke hutan. Mereka juga dengan dingin menusukkan bayonet ke lambung orang-orang malang yang saat diinterogasi menjawab berbelit-belit segala pertanyaan yang merontokkan keberanian.
Jika kau tidak ingin merasakan kekejaman tiada tara, jangan pernah berharap bertemu mereka. Baiklah, jika kau tidak percaya, akan kuceritakan apa yang terjadi pada Magdalena Markini. Hanya karena tidak mau menunjukkan persembunyianku, Magda, kakak perempuanku, dibakar hidup-hidup, di halaman rumah.
Sungguh, sebelum dibakar, kusaksikan dari atas pohon rambutan, seorang serdadu menghajar kepala Magda dengan gagang senapan. Bukan hanya itu. Begitu tersungkur, serdadu yang lain menginjak kepala rapuh Magda dengan sepatu lars, sehingga hidung dan mulutnya penyok.
“Kau sembunyikan di mana Elisabet Rukmini, penari pembunuh itu?” Magda tidak menjawab. Ia membuat tanda salib dengan menempelkan ujung jari di kening, dada, dan kedua bahu, sambil berkomat-kamit.
“Jangan menipu kami dengan pura-pura berdoa!” seorang serdadu menghunjamkan sepatu lars ke dada Magda, “Bukankah telah lama Tuhan telah kalian bunuh? Kenapa sekarang pura-pura memuja-Nya?” Magda tetap bungkam dan sekali lagi berkomat-kamit. Mungkin dia berharap Kristus akan datang menyelamatkan dirinya pada saat tak seorang pun berani melawan para serdadu bengis itu. Dan Kristus memang telah terbunuh, sehingga tak mungkin turun ke bumi hanya untuk menyelamatkan Magda.
Karena itu, tak ada keajaiban ketika seorang serdadu tiba-tiba berjongkok dan menyundutkan rokok yang masih menyala ke mata Magda. Magda menjerit, tetapi tak satu penduduk kampung mendengar suaranya. Mungkin mereka sudah dibakar juga. Mungkin mereka telah pergi sebelum para serdadu pembunuh tiba.
“Sekali lagi… di mana kau sembunyikan Elisabet Rukmini? Kau tahu apa yang diperbuat adikmu pada 30 September?” Magda, yang disiksa hanya karena menjadi kakak seorang yang dianggap sebagai pembunuh para jenderal, menggeleng.
“Kau tahu hukuman orang yang menyembunyikan pengkhianat negara?” Magda tetap menggeleng.
“Baiklah. Sebentar lagi kau akan tahu apa hukuman yang pas untukmu…” Lalu seorang serdadu mengguyurkan minyak tanah ke tubuh Magda. Mereka membakar tubuh indah kakak perempuanku yang senantiasa merasa hidup sehati de
ngan Kritus, tetapi tak pernah mendapatkan pertolongan dari Putra Nazareth itu.
Sebenarnya saat melihat Magda berlari ke sana kemari dengan tubuh penuh nyala api itu, aku ingin menjerit. Aku ingin setidak-tidaknya bisa mengalihkan pandangan para serdadu agar mereka tidak terus-menerus menyiksa Magda.Tetapi niat itu kuurungkan. Aku harus hidup. Kelak aku harus mewartakan kekejaman para serdadu bengis itu. Aku tidak mungkin bisa menceritakan apa pun kepadamu jika mereka membunuhku saat itu.
Karena itu, apa boleh buat aku harus menyaksikan tubuh Magda pelan-pelan jadi abu dan debu. Aku juga tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu para serdadu pergi.
Sambil menunggu aku tidak berdoa untuk keselamatanku.Tubuh Magda yang pelan-pelan meleleh, mata yang tak bisa berteriak saat disundut rokok, atau bibir yang mengatup saat bayonet ditusukkan ke lam bung itu, bagiku cukup menjelaskan Kristus berada di pihak mana?
BULAN tidak menyala di ujung B hutan saat aku meninggalkan kampung yang terbakar itu.
Karena itu, setelah turun dari pohon rambutan, aku berlari menembus jalanan gelap yang berlawanan dari arah para serdadu pergi. Meskipun demikian, aku tahu ke mana harus melesat, ke mana harus mencari keselamatan.
Hanya, tidak mudah dalam kegelapan yang teramat pekat, aku menemukan tempat persembunyian.
Sebab untuk mencapai persembunyian teraman, yakni sebuah gereja di seberang desa, aku harus menembus puluhan kebun mawar penuh duri, menyeberang sungai cukup deras, dan menyusup ke gua penuh kelelawar.
Penderitaanku sepertinya melebihi kesakitan Kristus. Agar sampai ke tiang salib, tiang penyelamatan Allah untuk putra terindah, Kristus memang harus mengenakan mahkota duri. Tetapi aku? Seluruh tubuhku harus ditancap ribuan duri runcing agar sampai ke sungai itu.
Cukup lama aku harus terjebak dalam keindahan kebun mawar yang menyakitkan itu. Cukup lama karena setiap bisa menembus satu kebun, aku harus menembus kebun mawar yang lain.
Pada saat seperti itu, pikiranku sudah melesat ke gereja. Aku bertemu dengan Romo Sindhu dan segera memberi tahu segala hal yang telah terjadi pada Magda. Aku bilang pada paderi santun itu betapa Kristus tidak berkutik di hadapan para serdadu yang bengis dan begitu digdaya.
Akan tetapi, nyatanya, tubuhku masih terjepit di kebun mawar berduri. Jika beberapa saat lagi aku bisa melepaskan diri dari jebakan kesakitan dan keindahan ini, aku juga masih harus berenang di sungai deras dan dingin. Jika sungai itu bisa kutaklukkan, belum tentu aku bisa menyusup gua tanpa obor.
Jadi, memang rasanya mustahil mewartakan kekejaman serdadu kepada orang lain. Sebab jika bisa keluar dari jebakan gua, tidak mungkin para serdadu rahasia dari kesatuan lain membiarkan aku melenggang ke gereja Romo Sindhu.
Meskipun demikian, aku yakin Romo Sindhu menantiku dengan sabar. Romo Sindhu akan sabar pula mendengarkan seorang perempuan yang terluka mewartakan kabar tak menggembirakan tentang sebuah kampung yang terbakar dan puluhan warga yang dihajar serdadu dalam kegelapan.
KU terjun ke sungai tepat ketiA ka puluhan ular keluar dari lu bang persembunyian. Ular-ular itu hendak bermigrasi ke lubang-lubang lain. Aku tak bertanya kepada ular mengapa mereka harus berpindah dari hilir ke muara. Dan karena tidak ingin bersentuhan dengan ular-ular menjijikkan yang hanyut di permukaan air, aku memilih menyelam dan sesekali menongolkan kepala untuk menghirup udara.
Rupa-rupanya ular-ular itu tidak disusupi oleh iblis atau Lucifer, sehingga mereka tidak berhasrat menggoda keturunan Hawa. Bahkan karena pada saat sama mereka memiliki keinginan lain, sedikit pun mereka tidak berkehendak memagut atau membelit tubuh manusia yang telah terluka. Karena itu sambil menahan perih, aku terus menghanyutkan tubuh hingga mencapai ujung, hingga mencapai bibir gua.
Kau tahu, di bibir gua itu, air tak lagi mengalir dengan deras. Sungai di bawah gua juga tidak ganas. Ini memudahkan aku melewati jebakan terakhir dengan sedikit tenang.
Meskipun demikian, aku tidak boleh lengah. Di tengah gua yang dialiri sungai di bawah tanah itu, aku pernah mendengar dari para penjelajah, ada pusaran air yang bisa menyedot siapa pun hingga ke kedalaman 20 meter. Jika aku tidak beruntung, bukan tidak mungkin tubuhku akan tersedot dan akhirnya terjepit di gorong-gorong gua.
Hanya, kau pun tahu, gua tidak akan menyakiti siapa pun yang menjelajah rongga-rongga tubuhnya jika mereka patuh pada aturanaturan yang seakan-akan telah diguratkan di dinding-dindingnya.
Pertama, jangan pernah meneriakkan kata-kata konyol ketika berada di zona kegelapan abadi yang tepat berada di pusat gua. Kata-kata yang kemudian bergema berulang-ulang itu hanya akan membingungkan dan akhirnya berubah jadi dengung yang menyiksa telinga.
Jika telinga sudah tersiksa, kau akan bingung, dan akhirnya mencoba menghindar dengan menyusup ke kedalaman sungai di bawah tanah. Pada saat itulah kau tidak tahu pusaran air akan menyedot dan menenggelamkanmu.
Kedua, jangan pernah membunuh segala satwa yang ada di dalam gua.
Para satwa sangat peka dan tahu siapa yang berbuat jahat kepada mereka dan sanak saudara. Jika yang kausakiti seekor ular, ular itu akan menyimpan wajahmu di matanya. Sanak saudara ular akan bisa melihat wajahmu di mata ular yang terbunuh sehingga dalam waktu singkat mereka akan memburumu.
Ke ujung dunia kau pergi, ular-ular itu akan menguntitmu.
Ketiga, jangan membawa dan meninggalkan apa pun di dalam gua.
Kau jangan berhasrat memotong stalaktit atau stalakmit, karena pada saat sama batu-batu runcing itu akan berhasrat menusuk lambungmu.
Karena itu dengan rasa hormat pada segala yang hidup di dalam gua, aku berenang di sungai bawah tanah itu. Aku hafal lekuk liku gua karena sejak kecil bersama temanteman sebaya, telah berulang-ulang melintasi keindahan alam berjarak kurang lebih 350 meter itu untuk sampai ke gereja Romo Sindhu.
Pada waktu kecil, kami seperti menemukan surga ketika bisa menembus gua itu. Dan selalu sesudah itu Romo Sindhu bilang kepada kami, “Ya, kalian telah menemukan surga!”, sehingga kami berulangulang berlomba-lomba menuju ke gereja Romo Sindhu ketika hari Minggu tiba.
Apakah aku akan sampai di ujung gua? Aku tidak tahu. Aku hanya merasa Romo Sindhu dengan wajah berbinar menyambut kedatanganku.
DULU pada usia 12 tahunan, D setelah aku berhasil menyem bul dari sungai di bawah gua, Romo Sindhu bertanya kepadaku, “Apa saja yang telah kau lihat di dalam gua, Elisabet Rukmini?” “Aku tidak melihat apa-apa, Romo, kecuali kelelawar dan kegelapan?” “Kau tidak melihat pahatan tubuh Kristus tersalib?” “Aku tidak melihat tubuh Kris tus, Romo.”
“Kau tidak melihat tubuh Magda dewasa dibakar oleh para serdadu?” “Aku tidak melihat tubuh Magda, Romo.”
“Kau tidak melihat tubuh dewasamu diburu oleh para serdadu?” “Aku tidak melihat tubuhku, Romo.”
“Kau tidak melihat semua yang akan terjadi telah diguratkan di dinding gua?” “Aku tidak melihat semua yang akan terjadi tergurat di dinding gua, Romo.”
“Sungguh?” “Sungguh, Romo.”
Romo Sindhu tidak marah mendengar jawaban-jawabanku saat itu. Ia mengusap rambutku dan berbicara lirih sekali,”Kelak kau akan melihat semua yang telah tergurat di dinding gua jika waktunya telah tiba.”
ALU, apa yang sesungguhnya L kulihat di dalam gua pada Ok tober 1965 yang perih itu?
Mungkin karena halusinasi, aku seperti melihat tubuhku disalib oleh para serdadu bengis. Mereka beramai-ramai menusukkan bayonet ke lambung, hingga tubuhku terku lai, hingga aku tidak mampu berbuat apa pun.
Tidak kupedulikan pahatan-pahatan aneh itu. Aku hanya ingin segera bertemu Romo Sindhu, paderi yang tampak tidak pernah uzur itu.
Aku hanya ingin tersungkur di halaman gereja dan berharap Romo Sindhu membopongku sebagaimana Bunda Maria melakukan hal sama pada tubuh Kritus yang terkulai tak berdaya.
Akan tetapi, nyatanya, aku masih harus melewati sedotan air di zona kegelapan abadi. Sedotan itu sungguh tidak terhindarkan sehingga tidak ada gunanya mengingat apa pun yang layak kita sebut sebagai kehidupan. Pada saat kritis semacam itu, aku hanya percaya pada kata-kata ibuku: ngelia ning aja keli, ikutilah arus, tetapi jangan sampai hanyut.
Karena itu, aku tidak melawan pusaran air. Kubiarkan tubuhku disedot. Kubiarkan tubuhku dilemparkan ke permukaan. Kubiarkan arus yang tenang membawaku ke bibir gua, bibir yang mendekatkan aku pada gereja Romo Sindhu.
AKU merangkak untuk sampai A ke pintu gereja. Aku mengetuk keras-keras pintu itu agar Romo Sindhu bergegas membuka dan membopong tubuhku yang tidak berdaya. Akan tetapi seperti tak ada kehidupan di gereja itu. Seperti tak ada yang mendengar ketukanku di pintu yang telah rapuh itu.
“Romo, buka pintu! Tolong aku!” Tetap tidak ada sahutan dari dalam.
DI MANA paderi terindah itu D sekarang? Mengapa dia justru meninggalkan aku pada saat kubutuhkan? Sebagaimana Kristus meninggalkan Magda, mengapa Romo Sindhu juga meninggalkan aku pada saat aku begitu berhasrat memohon pertolongannya?
Jawabannya sungguh di luar dugaan. Begitu pintu yang ternyata tidak terkunci bisa kubuka, aku melihat kepala Romo Sindhu pecah berlumur darah. Matanya yang mendelik ke arahku seakan menahan kesakitan.
Aku tahu: beberapa orang pasti telah menghajar Romo Sindhu dengan sangat kejam. Darah juga mengucur dari lambung Romo. Itu berarti seseorang telah menusukkan semacam tombak atau bayonet atau lembing ke lambung Romo yang rapuh. Dada Romo juga hancur. Sese orang–mungkin lebih–pasti telah menginjak tubuh ramping Romo dengan hentakan sepatu lars yang keras.Yang mengejutkan zakar Romo juga dihabisi. Tampaknya ditembak dari jarak dekat, sehingga zakar itu kocar-kacir.
Kekejaman itu mungkin telah terjadi cukup lama sehingga begitu banyak lalat merubung mayat Romo Sindhu. Tentu saja aku kehilangan senyum Romo Sindhu. Mulutnya penyok. Giginya rompal.
Mayat Romo Sindhu memang belum membusuk. Akan tetapi siapa pun yang melihat, tidak akan sanggup menghindar dari kemualan yang menyodok-nyodok perut. Mayat itu begitu menjijikkan. Mungkin Kristus pun tidak akan sanggup menahan kematian yang mengenaskan itu karena para pembunuh menghabisi Romo Sindhu seperti membantai seekor kambing.
ENGKAU mungkin mengira paE ra iblis sengaja berkomplot menyerbu desa itu untuk membunuh Romo Sindhu. Aku tidak percaya sangkaan semacam itu. Aku punya kesimpulan lain. Mungkin sebagaimana Magda tidak mau membocorkan di mana persembunyianku, Romo juga tidak mau menun jukkan di mana umat-umat yang dicurigai terlibat sebagai pembunuh para jenderal itu berada. Dan karena Romo Sindhu bungkam, para serdadu itu membunuhnya. Ya, sesederhana itu perkiraanku.
Mungkin dugaanku salah. Akan tetapi jika melihat luka-luka di sekujur tubuh Romo Sindhu yang teramat mirip dengan luka-luka Magda, aku yakin pembunuh mereka berdua berasal dari kamp latihan yang sama. Itu berarti jika pembunuh Magda tak kurang dan tak lebih adalah para serdadu, maka pembunuh Romo Sindhu pun tak jauh-jauh amat dari lembaga ketentaraan.
Tentu saja jangan kau tanyakan dari kesatuan mana para serdadu itu. Kehadiran mereka yang bagai wabah jelas tidak tercatat di dokumen mana pun. Para pengadil kejahatan perang tak akan bisa menghukum para petinggi militer karena memang tidak ada satu catatan pun yang mampu melibatkan mereka sebagai otak pembunuhan paling keji di negeri ini.
Lalu, siapa yang membunuh Romo Sindhu? Saat itu tak seorang pun tergerak untuk menjawab. Jika tahu jawabannya pun, mereka tidak akan pernah mewartakan kabar pembunuhan itu kepada orang lain. Pengetahuan tentang pembunuhan, kau tahu, hanya akan berputar-putar di hati dan terkubur bagai mumi.
ADI apa yang bisa kulakukan J saat itu? Tak ada.Tindakan ajaib tidak pernah dimiliki oleh perempuan rapuh. Kemenangan dan kedigdayaan dikuasai oleh mereka yang mempunyai senapan dan sepatu lars, sehingga mustahil aku bisa mengubah dunia hanya bermodal keinginan untuk mewartakan kekejaman para serdadu kepada orang lain yang telah kehilangan telinga.
Karena itu lebih baik aku tidak perlu berbuat apa-apa. Aku akan pura-pura mati sehingga ketika para serdadu tiba, mereka tidak perlu capai-capai membunuhku.Ya ya, ini pilihan cerdas. Sebagaimana macan bodoh yang tak mengendus mangsa tak berdaya, para serdadu tidak akan menjamahku. Aku tahu para serdadu akan beringas jika mereka berhadapan dengan mangsa yang juga beringas.
Tetapi untuk pura-pura mati bukanlah pekerjaan gampang. Aku harus bisa mengatur napas agar tidak menimbulkan deru. Aku harus mengatur detak jantung agar tak seorang pun mendengarkan bunyinya yang gaduh.
Dan sial, sebisa-bisa kulakoni kepura-puraan itu tetap saja aku gagal menahan kentut. Entah akibat suara kentut atau memang telah lama para serdadu mengintip seluruh gerak-gerikku, mereka tiba-tiba muncul dari persembunyian dan beradu cepat mengepungku.
“Kau tidak perlu bersembunyi lagi! Kau tidak punya lagi kesempatan untuk lari!”
LARI? Ke mana harus berlari?
Pikiranku mungkin bisa berla ri, tetapi tubuhku mustahil digerakkan untuk sekadar merangkak. Karena itu, kuputuskan untuk diam saja. Aku yakin begitu aku mematung, para serdadu akan bergeming. Mereka tidak akan menusukkan bayonet ke lambungku. Mereka tidak akan menyundutkan rokok ke mataku. Mereka tidak akan menginjakkan sepatu lars ke wajah sehingga mulutku tidak penyok dan gigi tidak rompal.
“Namamu Elisabet Rukmini?” Aku diam.
“Namamu Elisabet Rukmini? Jangan sampai kami salah membunuh!” Aku tetap diam.
“Sekali lagi namamu Elisabet Rukmini? Kau tak ingin kami membunuhmu bukan? Ayo jawab?” Tak ada gunanya menjawab pertanyaan itu.Aku tahu mungkin mereka memang tidak diperintahkan membunuhku sehingga tidak perlu aku mematuhi gertak sambal sialan itu.
Pada saat-saat seperti itu aku justru punya kekuatan. Kekuatan meredam amarah. Kekuatan untuk tidak melawan kekejaman.
Apakah salah tidak melawan kekejaman?
Aku tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Dijawab atau tak dijawab tetap saja salah seorang serdadu menggebuk tengkukku dengan gagang senapan hingga aku pingsan, hingga aku tak tahu ke mana mereka mereka menyeret tubuhku.
Kekejaman telah menjelma kekuatan yang tidak bisa dilawan, sehingga akan sia-sialah siapa pun yang berusaha mencekik kedigdayaannya. Karena itu, setelah siuman, aku tak peduli lagi pada apa pun yang terjadi. Aku tak takut lagi pada senapan atau sepatu lars yang mengancam. Aku tak takut lagi pada tusukan bayonet di lambung.
Aku tak takut lagi apakah dalam semenit atau lima menit ke depan aku masih bisa bernapas atau memimpikan kebebasan.
Sungguh, saat itu aku benar-benar tak takut lagi mendengar hentakan sepatu lars dan senapan yang dikokang. Aku tak takut pada ketakutan.
Semarang, 20 Mei 2012
*) Triyanto Triwikromo bekerja sebagai wartawan dan dosen di Semarang, Jawa Tengah. Buku cerita pendeknya, Ular di Mangkuk Nabi (2009), yang beroleh Penghargaan Sastra dari Pusat Bahasa; dan buku puisinya, Pertempuran Rahasia (2010).
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/triyanto-triwikromo/labirin-kekejaman-koran-tempo-10-juni/10150937867304774
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 04 Juli 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar