S. Jai
Majalah Seni Budaya ALUR, Edisi 05 Juli 2012
PADA prinsipnya manusia adalah homo festivus—makluk yang suka berpesta—dan mula sebuah pesta adalah upacara. Pada muasalnya festival itu sebuah pesta (dari kata bahasa latin festa yang berarti pesta besar peringatan atau perayaan sesuatu).
Novel Korrie Layun Rampan, upacara mengungkap upacara suku pedalaman dayak balian tetap dipersiapkan walaupun hasil panen agak merosot. Sementara, gambaran primitive tentang upacara bisa ditangkap pula dari film arahan sutradara Mel Gibson, Apochalypto—kisah tentang kehidupan keluarga suku Maya di Amerika Latin. Di sana ada hajatan upacara korban untuk sang Dewa Matahari.
Dalam film itu dikisahkan, ketika terjadi gerhana matahari, suku yang belum mengenal fenomena alam tersebut, menyangka gerhana adalah pertanda dewa telah menerima persembahannya. Karena itu penguasa yang berkomplot dengan saman mencukupkan korbannya.
Sangkaan itu, takdir baik bagi sisa sebuah keluarga keturunan terakhir suku Maya yang selamat sebagai korban persembahan upacara sesat kelompok suku yang jahat. Artinya, pada zaman bahuela, penguasa suku yang kejam, yang suka menjual wanita, menyiksa, menjadikan budak dan membantai suku lain, dengan disokong oleh para saman, pun rajin menggelar upacara.
Begitulah mula suatu festival pun sebetulnya upacara keagamaan untuk menghormati Tuhan atau Dewa di banyak agama. Liturgi Kristen mengenal Pesta Kelahiran Tuhan, Hari Raya Kebangkitan. Liturgi Anglikan mengenal peringatan Kudus, Peristiwa Suci. Di negeri ini, kita mengenal Grebeg Suro, Grebeg Maulid. Dengan kata lain festival lebih sering merujuk sebuah festival keagamaan, ketimbang misalnya; sebuah festival seni.
Memang, mitologi Yunani mengenal Dewa Seni, Muses (musik). Karena itu pesta seni adalah pemujaan pada “dewa seni muses.” Konon festival seni yang tertua di Inggris pada 1589 yang diperuntukkan kepentingan gereja, yakni Three Choirs Festival kemudian mentradisi sebagai festival musik.
Karena itulah sebagaimana diakui Halim HD, yang sering ambil bagian dalam kegiatan festival di pelbagai kota termasuk Surabaya dan Makasar, festival sangat mungkin dimanipulasi. “Sayangnya, makna festival sebagai kebersamaan dan saling berbagi begitu banyak dimanipulasi,” ungkap networker kebudayaan asal Solo itu kepada ALUR, akhir pekan lalu.
Terhadap fenomena festival di Surabaya, menurut pandangan Halim, Surabaya itu mirip dengan Makassar: Terperangkap ke dalam sejarah masa lampau. hampir rata-rata terperangkap ke dalam sejenis nasionalisme etnis budaya arek akan tetapi sudah kehilangan basis sosialnya. “Mereka bicara seolah-olah arek, tapi pikiran dan sikapnya sangat tergantung pada hal di luar dirinya,” tandas periset Melacak Strategi Kebudayaan Mandar itu.
Tahun 2004 dalam suatu tulisannya Halim pernah mengungkap; sebuah festival dalam masyarakat tradisi memiliki kekuatan ikatan sosial dari waktu ke waktu, yang juga berhubungan erat dengan tata ruang wilayah permukiman mereka, yang selalu memiliki ruang berlatar amba (terbuka) atau alun alun—sebagai ruang pertemuan sosial, yang mengikat hubungan batin antarwarga dari berbagai lapisan sosial ekonomi.
“Sebuah peristiwa festival dalam masyarakat tradisi kita terasa akrab. Pada sisi lainnya, mekanisme kehidupan ekonomi kalangan bawah juga ikut terlibat, misalnya dengan munculnya warung makanan atau bahkan berbagai jenis produk tradisional alat rumah tangga, pakaian, dan sebagainya yang banyak digelar selama festival itu berlangsung. Erau dan Sekaten bisa menjadi bukti dari suatu festival tradisi yang sangat melekat dan dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya,” demikian tulis lelaki kelahiran Serang 25 Juli 1952 itu.
Sebaliknya, pada festival di wilayah masyarakat perkotaan yang diselenggarakan oleh kalangan seniman modern cenderung merupakan kegiatan kesenian atau festival di wilayah yang dianggap elitis. “Pusat kesenian dengan politik birokrasi yang ketat demikian sering menampilkan jenis kuratorial sepihak yang menciptakan selera estetika tertentu,” lanjut pria yang pernah kuliah di jurusan Filsafat UGM itu.
Kehilangan Tema
LEBIH sepuluh tahun kemudian, ketika festival-festival tumbuh subur seperti jamur di musim hujan, Halim HD masih lantang mengingatkan pentingnya menggali spirit lama dalam tradisi festival. Yaitu secara prinsip dalam setiap festival tentu harus ada konteks yang menempatkan posisi dan fungsi warga, orang kebanyakan terlibat secara langsung.
“Selama ini yang ada festival seniman. Alias antar seniman. Sebetulnya nggak apa-apa. Menjadi masalah karena biasanya antar seniman itu lebih berkaitan dengan proyek. Lalu makna festivalnya menjadi ambruk. Tema menjadi hilang dan justru yang muncul isu tentang pendanaan,” ujar Halim.
Makna festival menurut Halim pada dasarnya sangat ideal. Meskipun idiomnya datang dari wilayah lain dari bahasa Spanyol, ketika memasuki ruang kultural kita, semestinya festival berkaitan dengan tradisi, dengan pesta warga. Di sini kandungan makna tradisi dan pesta warga. Kita bisa membandingkannya dengan sejenis ruwatan atau slametan di lingkungan sosial kita. “Dalam konteks itulah, tradisi dan pesta warga karena di sana kandungan berbagi dan bersama menjadi nilai utamanya. Makna festival sebagai makna kebersamaan, saling berbagi. Hanya saja, sayangnya di Indonesia begitu banyak seniman yang memanipulasinya,” ungkap pria yang sempat mengajar bahasa Indonesia di Annarborg University Ameriaka Serikat itu.
Makna yang demikian itu, menurut Halim, terwujud dalam keterbukaan. Bukan cuma spirit, tetapi kehadiran warga juga secara populis serta secara fisik warga kebanyakan mesti hadir terlibat. Halim mempertegas makna festival secara terbuka dan bukan dalam pengertian utuh. “Artinya festival yang maknanya terbuka itu makanya selalu direvisi, selalu dinilai ulang dan tidak ada yang utuh. Pikiran soal utuh itu cenderung pikirannya seniman—seniman yang nggak paham kondisi dan kontek sosial festival,” tandasnya.
Dalam pengertiannya yang terbuka dan penting untuk selalu direvisi, oleh karena sebuah festival berangkat dari kebutuhan warga. Jika seniman memang mau terlibat, maka mesti paham kebutuhan warga. Kebutuhan itu musti diketahui melalui riset. “Harus ada riset. Melakukan pelacakan kembali dan menafsirkan kembali. Pelacakan serta penafsirannya itu mesti bersama,” kata Halim.
Dalam konteks perlunya festival Surabaya, misalnya, riset dan pelacakan kembali harus dimulai dari semua arah. “Dan yang terpenting, duduk bersama, membuka pikiran. Selama ini masih tertutup oleh kepentingan faksi-faksi seniman masing masing,”
Bukankah pemahaman ‘pokoknya ramai dan semua terlibat’ mengandung pengertian yang bias dalam penyelenggaraan festival? Jawab Halim: “Tidak ada bias. Bias itu (terjadi) karena senimannya kayak gerombolan, tak memiliki individualitas. Lalu mereka masuk ke dalam faksi faksi dan menjadi gerombolan atas nama kesenian dan kebudayaan.
Ruang dan Kerja Alternatif
KARENA itu dalam sebuah festival, tepatnya festival seni kata kuncinya, menurut Halim HD adalah konsep seni back to basic—menentukan seni yang mana dan lingkungan sosial yang mana. Halim mengingatkan bahwa warga dan masyarakat itu beragam. Karena itu, kapasitas untuk mempertemukan keberagaman itulah yang diuji. Jadi kata kuncinya kapasitas dialogis semua elemen kesenian yang mencari makna kebersamaan. “Festival itu bukan hanya milik seniman dan kesenian, tetapi juga (festivalnya) tukang becak, tukang parkir, polantas, warung warung, jurnalis, pengamat. Semuanya. Ingat, semuanya!”
Halim membenarkan keberadaan kebanyakan penyelenggara festival belakangan ini yang cenderung menjadi objek dan bukan menjadi subjek. Sehingga tidak memiliki nilai tawar. Posisi tawar itu menurut Halim sudah lama hilang. Konkretnya, Halim menyebut festival hanyalah menjadi proyek. Proyek dari birokrat, seniman, maupun petualang. “Makanya yang tepat festival menjadi objek-objekan. Karena sudah tak memiliki tema, tak memiliki prinsip kerja bersama. Masing masing saling berlomba untuk menjegal,” tandas pria yang pernah bekerja sebagai asisten research di Cornell Modern Indonesian Project Amerika itu.
Menjawab pertanyaan perihal eksistensi Festival Seni Surabaya, Halim berpendapat, jika memang hendak dilanjutkan, FSS musti back to basic dimulai dari hal-hal kecil yang ada di sekitar. “Tapi wis kadung melambung. Akhirnya yang ada cuma mimpi. Sambil ngintip,.ana pira nang kana haa..haa..haa. bagaimana pun, seharusnya musti ada yang bisa dan berani melacak lebih jauh dan menguak lebih dalam, lalu mempublikasikannya.”
Menangani sebuah festival menurutnya membutuhkan orang-orang dengan pikiran terbuka dan penciptaan ruang alternatif. Halim menegaskan banyak komunitas telah melakukan hal itu: kerja alternatif. Mereka selama belasan tahun dan bahkan ada yang sudah tigapuluh tahunan melakukan kerja alternatif seperti itu.
“Prinsip mereka menarik—sependek pengetahuan saya berkenalan dan terlibat bersama mereka. Bahwa mereka sadar benar pada posisi sosial mereka, yakni, sebagai warga sipil dan ingin mewujudkan kebudayaan madani. Repotnya di Surabaya, kebanyakan kebudayaannya ‘medeni’….hehehehe…..” imbuhnya.
Selebihnya bergantung pada kemauan untuk menciptakan ruang dan kerja alternatif itu. Termasuk kemungkinannya tumbuh di Surabaya. Halim membeberkan ada sejumlah festival yang layak sebagai bahan pembelajaran. Diantaranya Festival Lima Gunung. Lalu membandingkan dengan Rumah Dunia Banten dengan Jatiwangi Art Factory di Cirebon CCL atau Celah Celah Langit di Kampung Ledeng Bandung, atau seperti yang dikerjakan oleh Thompson HS dengan opera Bataknya di Pematang Siantar sejak 1990-an.
Festival Lima Gunung berangkat dari warga di gunung Merapi, Merbabu, Andong, Menoreh, Sumbing dan ada satu keluarga pendukung yang kuat yang memiliki akar sejarah tradisi. Seniman Sutanto Mendut memiliki komitmen yang kuat di festival ini dengan mengajak para petani—yang biasanya ke sawah—untuk menari, melukis dan bermain musik bersama.
Jatiwangi Art Factory berangkat dari konteks lingkungannya, kaum perupa yang menerobos ruang dan disiplin seni lainnya membangun ruang dan kerja alternatif bersama warga. Di sini ada ruang kampung dimana Imam Sholeh, aktor keren itu membikin kegiatan bersama tetangganya. Rumah Dunia Banten, segelinir anak-anak muda membangun ruang kerja alternatif dengan tema menulis dan membaca yang pada akhirnya melahirkan jaringan komunitas dan festival penulis sejak awal tahun 2000-an. Meraka telah memulai bergiat sejak tahun 1995-an.
“Semuanya berangkat dari kapasitas mereka. Tanpa mengemis kepada siapapun juga. Tanpa menyodor-nyodorkan proposal kepada bupati, walikota atau gubernur,” tandas Halim.
Warga Pemilik Sah Kebudayaan
HENDAKNYA, festival menurut Halim, diletakkan pada posisi dan fungsi kebutuhan warga sebagai bentuk rasa kebersamaan yang didasarkan dari keprihatinan dan rasa syukur dari warga sebagai pemilik sah khasanah tradisi dan karya senibudaya. Festival bukan milik penguasa atau pemda, dan warga hanya sekedar pengikut serta belaka.
Kemiripan yang terjadi pada Surabaya dan Makasar, yang terperangkap ke dalam sejarah masa lampau, tak lain disebabkan kebutuhan warga tidak diletakkan sebagaimana posisi dan fungsinya dalam kebersamaan. Beruntung, luar kondisi itu, masih ada energi-energi ultimate concern dari masyarakat yang keukeuh mencipta ruang dan kerja alternatif.
Di Makasar ada beberapa pribadi yang menarik, seperti Komunitas Ininnawa, Teater Kala, dan beberapa komunitas perupa. Lainnya menjadi penggerutu karena tak mendapat jatah proyek dari Pemkot. Di Tinambung, Mandar, ada anak muda, drop out dari fakultas perikanan, tapi sekarang menjadi periset dan penggerak penelitian kebudayaan bahari Mandar. Dia sudah menulis 5-6 buku. “Namanya Muhammad Ridwan Alimuddin. Dialah sekarang yang banyak menjadi penggerak bagi rekan-rekannya, lalu menciptakan jaringan sosialnya,” cetus Halim.
Lantas, di Palu, ada komunitas antar kaum muda yang studi tentang perubahan tata kota berkaitan dengan kegiatan senibudaya, mereka arsitek, perupa, orang teater dan lain lainnya. Sedang di Jawa Timur, Halim mengaku jarang menemukan seniman atau kaum muda yang benar-benar mandiri.
“Mungkin ada satu dua oranglah. Seperti halnya, apa yang dikerjakan Fahrudin Nasruloh dengan Komunitas Lembah Pring dalam kegiatan sastra dan riset pribadinya sangat menarik,” tukas Halim.
Dijumput dari: http://tanahapikata.blogspot.com/2012/09/entertainment.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar