Senin, 29 April 2013

Halim HD: “Makna Kebersamaan Sering Dimanipulasi”

S. Jai
Majalah Seni Budaya ALUR, Edisi 05 Juli 2012

PADA prinsipnya manusia adalah homo festivus—makluk yang suka berpesta—dan mula sebuah pesta adalah upacara. Pada muasalnya festival itu sebuah pesta (dari kata bahasa latin festa yang berarti pesta besar peringatan atau perayaan sesuatu).

Novel Korrie Layun Rampan, upacara mengungkap upacara suku pedalaman dayak balian tetap dipersiapkan walaupun hasil panen agak merosot. Sementara, gambaran primitive tentang upacara bisa ditangkap pula dari film arahan sutradara Mel Gibson, Apochalypto—kisah tentang kehidupan keluarga suku Maya di Amerika Latin. Di sana ada hajatan upacara korban untuk sang Dewa Matahari.

Dalam film itu dikisahkan, ketika terjadi gerhana matahari, suku yang belum mengenal fenomena alam tersebut, menyangka gerhana adalah pertanda dewa telah menerima persembahannya. Karena itu penguasa yang berkomplot dengan saman mencukupkan korbannya.

Sangkaan itu, takdir baik bagi sisa sebuah keluarga keturunan terakhir suku Maya yang selamat sebagai korban persembahan upacara sesat kelompok suku yang jahat. Artinya, pada zaman bahuela, penguasa suku yang kejam, yang suka menjual wanita, menyiksa, menjadikan budak dan membantai suku lain, dengan disokong oleh para saman, pun rajin menggelar upacara.

Begitulah mula suatu festival pun sebetulnya upacara keagamaan untuk menghormati Tuhan atau Dewa di banyak agama. Liturgi Kristen mengenal Pesta Kelahiran Tuhan, Hari Raya Kebangkitan. Liturgi Anglikan mengenal peringatan Kudus, Peristiwa Suci. Di negeri ini, kita mengenal Grebeg Suro, Grebeg Maulid. Dengan kata lain festival lebih sering merujuk sebuah festival keagamaan, ketimbang misalnya; sebuah festival seni.

Memang, mitologi Yunani mengenal Dewa Seni, Muses (musik). Karena itu pesta seni adalah pemujaan pada “dewa seni muses.” Konon festival seni yang tertua di Inggris pada 1589 yang diperuntukkan kepentingan gereja, yakni Three Choirs Festival kemudian mentradisi sebagai festival musik.

Karena itulah sebagaimana diakui Halim HD, yang sering ambil bagian dalam kegiatan festival di pelbagai kota termasuk Surabaya dan Makasar, festival sangat mungkin dimanipulasi. “Sayangnya, makna festival sebagai kebersamaan dan saling berbagi begitu banyak dimanipulasi,” ungkap networker kebudayaan asal Solo itu kepada ALUR, akhir pekan lalu.

Terhadap fenomena festival di Surabaya, menurut pandangan Halim, Surabaya itu mirip dengan Makassar: Terperangkap ke dalam sejarah masa lampau. hampir rata-rata terperangkap ke dalam sejenis nasionalisme etnis budaya arek akan tetapi sudah kehilangan basis sosialnya. “Mereka bicara seolah-olah arek, tapi pikiran dan sikapnya sangat tergantung pada hal di luar dirinya,” tandas periset Melacak Strategi Kebudayaan Mandar itu.

Tahun 2004 dalam suatu tulisannya Halim pernah mengungkap; sebuah festival dalam masyarakat tradisi memiliki kekuatan ikatan sosial dari waktu ke waktu, yang juga berhubungan erat dengan tata ruang wilayah permukiman mereka, yang selalu memiliki ruang berlatar amba (terbuka) atau alun alun—sebagai ruang pertemuan sosial, yang mengikat hubungan batin antarwarga dari berbagai lapisan sosial ekonomi.

“Sebuah peristiwa festival dalam masyarakat tradisi kita terasa akrab. Pada sisi lainnya, mekanisme kehidupan ekonomi kalangan bawah juga ikut terlibat, misalnya dengan munculnya warung makanan atau bahkan berbagai jenis produk tradisional alat rumah tangga, pakaian, dan sebagainya yang banyak digelar selama festival itu berlangsung. Erau dan Sekaten bisa menjadi bukti dari suatu festival tradisi yang sangat melekat dan dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya,” demikian tulis lelaki kelahiran Serang 25 Juli 1952 itu.

Sebaliknya, pada festival di wilayah masyarakat perkotaan yang diselenggarakan oleh kalangan seniman modern cenderung merupakan kegiatan kesenian atau festival di wilayah yang dianggap elitis. “Pusat kesenian dengan politik birokrasi yang ketat demikian sering menampilkan jenis kuratorial sepihak yang menciptakan selera estetika tertentu,” lanjut pria yang pernah kuliah di jurusan Filsafat UGM itu.

Kehilangan Tema

LEBIH sepuluh tahun kemudian, ketika festival-festival tumbuh subur seperti jamur di musim hujan, Halim HD masih lantang mengingatkan pentingnya menggali spirit lama dalam tradisi festival. Yaitu secara prinsip dalam setiap festival tentu harus ada konteks yang menempatkan posisi dan fungsi warga, orang kebanyakan terlibat secara langsung.

“Selama ini yang ada festival seniman. Alias antar seniman. Sebetulnya nggak apa-apa. Menjadi masalah karena biasanya antar seniman itu lebih berkaitan dengan proyek. Lalu makna festivalnya menjadi ambruk. Tema menjadi hilang dan justru yang muncul isu tentang pendanaan,” ujar Halim.

Makna festival menurut Halim pada dasarnya sangat ideal. Meskipun idiomnya datang dari wilayah lain dari bahasa Spanyol, ketika memasuki ruang kultural kita, semestinya festival berkaitan dengan tradisi, dengan pesta warga. Di sini kandungan makna tradisi dan pesta warga. Kita bisa membandingkannya dengan sejenis ruwatan atau slametan di lingkungan sosial kita. “Dalam konteks itulah, tradisi dan pesta warga karena di sana kandungan berbagi dan bersama menjadi nilai utamanya. Makna festival sebagai makna kebersamaan, saling berbagi. Hanya saja, sayangnya di Indonesia begitu banyak seniman yang memanipulasinya,” ungkap pria yang sempat mengajar bahasa Indonesia di Annarborg University Ameriaka Serikat itu.

Makna yang demikian itu, menurut Halim, terwujud dalam keterbukaan. Bukan cuma spirit, tetapi kehadiran warga juga secara populis serta secara fisik warga kebanyakan mesti hadir terlibat. Halim mempertegas makna festival secara terbuka dan bukan dalam pengertian utuh. “Artinya festival yang maknanya terbuka itu makanya selalu direvisi, selalu dinilai ulang dan tidak ada yang utuh. Pikiran soal utuh itu cenderung pikirannya seniman—seniman yang nggak paham kondisi dan kontek sosial festival,” tandasnya.

Dalam pengertiannya yang terbuka dan penting untuk selalu direvisi, oleh karena sebuah festival berangkat dari kebutuhan warga. Jika seniman memang mau terlibat, maka mesti paham kebutuhan warga. Kebutuhan itu musti diketahui melalui riset. “Harus ada riset. Melakukan pelacakan kembali dan menafsirkan kembali. Pelacakan serta penafsirannya itu mesti bersama,” kata Halim.

Dalam konteks perlunya festival Surabaya, misalnya, riset dan pelacakan kembali harus dimulai dari semua arah. “Dan yang terpenting, duduk bersama, membuka pikiran. Selama ini masih tertutup oleh kepentingan faksi-faksi seniman masing masing,”

Bukankah pemahaman ‘pokoknya ramai dan semua terlibat’ mengandung pengertian yang bias dalam penyelenggaraan festival? Jawab Halim: “Tidak ada bias. Bias itu (terjadi) karena senimannya kayak gerombolan, tak memiliki individualitas. Lalu mereka masuk ke dalam faksi faksi dan menjadi gerombolan atas nama kesenian dan kebudayaan.

Ruang dan Kerja Alternatif

KARENA itu dalam sebuah festival, tepatnya festival seni kata kuncinya, menurut Halim HD adalah konsep seni back to basic—menentukan seni yang mana dan lingkungan sosial yang mana. Halim mengingatkan bahwa warga dan masyarakat itu beragam. Karena itu, kapasitas untuk mempertemukan keberagaman itulah yang diuji. Jadi kata kuncinya kapasitas dialogis semua elemen kesenian yang mencari makna kebersamaan. “Festival itu bukan hanya milik seniman dan kesenian, tetapi juga (festivalnya) tukang becak, tukang parkir, polantas, warung warung, jurnalis, pengamat. Semuanya. Ingat, semuanya!”

Halim membenarkan keberadaan kebanyakan penyelenggara festival belakangan ini yang cenderung menjadi objek dan bukan menjadi subjek. Sehingga tidak memiliki nilai tawar. Posisi tawar itu menurut Halim sudah lama hilang. Konkretnya, Halim menyebut festival hanyalah menjadi proyek. Proyek dari birokrat, seniman, maupun petualang. “Makanya yang tepat festival menjadi objek-objekan. Karena sudah tak memiliki tema, tak memiliki prinsip kerja bersama. Masing masing saling berlomba untuk menjegal,” tandas pria yang pernah bekerja sebagai asisten research di Cornell Modern Indonesian Project Amerika itu.

Menjawab pertanyaan perihal eksistensi Festival Seni Surabaya, Halim berpendapat, jika memang hendak dilanjutkan, FSS musti back to basic dimulai dari hal-hal kecil yang ada di sekitar. “Tapi wis kadung melambung. Akhirnya yang ada cuma mimpi. Sambil ngintip,.ana pira nang kana haa..haa..haa. bagaimana pun, seharusnya musti ada yang bisa dan berani melacak lebih jauh dan menguak lebih dalam, lalu mempublikasikannya.”

Menangani sebuah festival menurutnya membutuhkan orang-orang dengan pikiran terbuka dan penciptaan ruang alternatif. Halim menegaskan banyak komunitas telah melakukan hal itu: kerja alternatif. Mereka selama belasan tahun dan bahkan ada yang sudah tigapuluh tahunan melakukan kerja alternatif seperti itu.

“Prinsip mereka menarik—sependek pengetahuan saya berkenalan dan terlibat bersama mereka. Bahwa mereka sadar benar pada posisi sosial mereka, yakni, sebagai warga sipil dan ingin mewujudkan kebudayaan madani. Repotnya di Surabaya, kebanyakan kebudayaannya ‘medeni’….hehehehe…..” imbuhnya.

Selebihnya bergantung pada kemauan untuk menciptakan ruang dan kerja alternatif itu. Termasuk kemungkinannya tumbuh di Surabaya. Halim membeberkan ada sejumlah festival yang layak sebagai bahan pembelajaran. Diantaranya Festival Lima Gunung. Lalu membandingkan dengan Rumah Dunia Banten dengan Jatiwangi Art Factory di Cirebon CCL atau Celah Celah Langit di Kampung Ledeng Bandung, atau seperti yang dikerjakan oleh Thompson HS dengan opera Bataknya di Pematang Siantar sejak 1990-an.

Festival Lima Gunung berangkat dari warga di gunung Merapi, Merbabu, Andong, Menoreh, Sumbing dan ada satu keluarga pendukung yang kuat yang memiliki akar sejarah tradisi. Seniman Sutanto Mendut memiliki komitmen yang kuat di festival ini dengan mengajak para petani—yang biasanya ke sawah—untuk menari, melukis dan bermain musik bersama.

Jatiwangi Art Factory berangkat dari konteks lingkungannya, kaum perupa yang menerobos ruang dan disiplin seni lainnya membangun ruang dan kerja alternatif bersama warga. Di sini ada ruang kampung dimana Imam Sholeh, aktor keren itu membikin kegiatan bersama tetangganya. Rumah Dunia Banten, segelinir anak-anak muda membangun ruang kerja alternatif dengan tema menulis dan membaca yang pada akhirnya melahirkan jaringan komunitas dan festival penulis sejak awal tahun 2000-an. Meraka telah memulai bergiat sejak tahun 1995-an.

“Semuanya berangkat dari kapasitas mereka. Tanpa mengemis kepada siapapun juga. Tanpa menyodor-nyodorkan proposal kepada bupati, walikota atau gubernur,” tandas Halim.

Warga Pemilik Sah Kebudayaan

HENDAKNYA, festival menurut Halim, diletakkan pada posisi dan fungsi kebutuhan warga sebagai bentuk rasa kebersamaan yang didasarkan dari keprihatinan dan rasa syukur dari warga sebagai pemilik sah khasanah tradisi dan karya senibudaya. Festival bukan milik penguasa atau pemda, dan warga hanya sekedar pengikut serta belaka.

Kemiripan yang terjadi pada Surabaya dan Makasar, yang terperangkap ke dalam sejarah masa lampau, tak lain disebabkan kebutuhan warga tidak diletakkan sebagaimana posisi dan fungsinya dalam kebersamaan. Beruntung, luar kondisi itu, masih ada energi-energi ultimate concern dari masyarakat yang keukeuh mencipta ruang dan kerja alternatif.

Di Makasar ada beberapa pribadi yang menarik, seperti Komunitas Ininnawa, Teater Kala, dan beberapa komunitas perupa. Lainnya menjadi penggerutu karena tak mendapat jatah proyek dari Pemkot. Di Tinambung, Mandar, ada anak muda, drop out dari fakultas perikanan, tapi sekarang menjadi periset dan penggerak penelitian kebudayaan bahari Mandar. Dia sudah menulis 5-6 buku. “Namanya Muhammad Ridwan Alimuddin. Dialah sekarang yang banyak menjadi penggerak bagi rekan-rekannya, lalu menciptakan jaringan sosialnya,” cetus Halim.

Lantas, di Palu, ada komunitas antar kaum muda yang studi tentang perubahan tata kota berkaitan dengan kegiatan senibudaya, mereka arsitek, perupa, orang teater dan lain lainnya. Sedang di Jawa Timur, Halim mengaku jarang menemukan seniman atau kaum muda yang benar-benar mandiri.

“Mungkin ada satu dua oranglah. Seperti halnya, apa yang dikerjakan Fahrudin Nasruloh dengan Komunitas Lembah Pring dalam kegiatan sastra dan riset pribadinya sangat menarik,” tukas Halim.

Dijumput dari: http://tanahapikata.blogspot.com/2012/09/entertainment.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar