
Bernando J. Sujibto *
Kedaulatan Rakyat, 10 Okt 2017
MOMENTUM percobaan kudeta di Tuki 15 Juli 2016 menjadi titik tolak di balik langkah politik internal Turki yang makin mengkhawatirkan banyak pihak. Kekhawatiran tersebut adalah indikator semakin menguatnya absolute power di bawah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kekhawatiran baik dari kelompok oposisi ataupun oleh kalangan intelektual setempat bisa dipahami sebagai antisipasi hilangnya warisan-warisan negara modern, tradisi intelektual dan demokrasi Republik Turki. Yang telah menjadi jalan hidup bernegara sejak Kesultanan Usmani runtuh.
Secara gamblang, praktik represi struktur negara terjadi pada medio Desember 2013 ketika pemerintah Turki menyatakan ‘perang terbuka’ dengan kelompok Jamaah Gulen. Tuduhan sebagai parallel state atau state within state (kekuatan kelompok yang merongrong struktur negara dari dalam dan kemudian ditingkatkan menjadi Organisasi Teroris Gulen (FETO) bisa ditandai sebagai langkah krusial pemerintah Turki. Lembaga bisnis (sekolah, kursus, properti, rumah sakit, hotel, dll) yang berafiliasi dengan Gulen ditutup dengan berbagai cara.
Membangun Kesadaran
Setelah tragedi kudeta, saya bisa memastikan lebih dari 95 % rakyat Turki melawan Gulen demi menjaga demokrasi dan negara. Hingga berbulan-bulan setelah kudeta, rakyat Turki semakin menunjukkan sikap antipati dan perlawanan kepada Gulen. Momentum kudeta menjadi arena bagi rakyat untuk membangun kesadaran tentang jejaring parallel state di tubuh negara, menyadari adanya duri dalam daging.
Penyapihan terhadap kelompok Gulen seperti ‘mendapatkan izin ataupun sikap permisif’ dari mayoritas rakyat Turki. Mereka mendukung langkah negara untuk membersihkan kelompok tersebut hingga ke akar-akarnya. Sampai pertengahan tahun 2017 lebih dari 150 orang ditangkap, dipecat dan sebagian dari mereka, sekitar 8 ribu lebih, sudah dipenjara. Terhadap jejaring di atas, rakyat Turki satu suara.
Namun begitu, ada dua hal yang makin menandaskan sikap otoriter pemerintah Turki yang secara terbuka dilawan oleh kelompokkelompok opisisi. Pertama, penangkapan terhadap ratusan wartawan dan aktivis HAM dengan tuduhan ‘propaganda terorisme atau mendukung gerakan terorisme’. Kedua, gelombang dan tekanan pemecatan tersembunyi di internal pemerintahan. Pemecatan tersembunyi atau dalam bahasa lokal mereka ‘Erdogan istifasini istedi’ (Erdogan ingin yang bersangkutan mundur’) dari jabatannya bisa dibaca secara jeli sejak Perdana Menteri Ahmet Davutoglu meminta mundur pada 5 Mei 2016.
Kemunduran Davutoglu adalah misterius. Tapi kecurigaan bahwa dirinya diinginkan mundur oleh Presiden Erdogan akhirnya bisa dibaca secara tersirat dari pidato yang disampaikan saat pengunduran dirinya di depan publik. Dia menyatakan bahwa langkah pengunduran dirinya ‘sebagai keharusan’meski jabatannya tidak sampai tuntas empat tahun.
Kini
Mengejutkan 22 September silam, Walikota Istanbul Kadir Toptas secara mengejutkan menyatakan pengunduran dirinya di depan publik. Alasan kenapa mengundurkan diri dari jabatan penting tersebut juga dibiarkan misterius dan publik Turki pun tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan besar.
Baik Davutoglu ataupun Toptas mempunyai satu suara untuk partai yang mengangkat mereka, yaitu Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP), bahwa mereka tidak akan meninggalkan partai yang sudah mereka besarkan. Sikap legawa dua politisi di atas di waktu yang sama justru menampar kelompok oposisi dengan menunjukkan sikap elegan tanpa memperlihatkan kekecewaan dan perlawanan terhadap kekuatan internal di AKP.
Yang sedang gonjang-ganjing terkait tekanan pengunduran diri terjadi sejak 2 Oktober lalu di mana Erdogan dikabarkan meminta Walikota Ankara, Melih Gokcek mengundurkan diri. Isu gelombang tekanan pemecatan berlanjut dan hari ini sedang menjadi buah bibir di dalam negeri. Menurut media Kanal D Haber, Edogan juga meminta kepala daerah di Bursa, Bal?kesir, U?ak, Ni?de dan Nev?ehir untuk mengundurkan diri.
Manuver politik Erdogan di atas semakin memperkuat cara-cara otoriter dan power absolute yang tengah dipraktikkan di dalam pemerintahan Turki. Kepada daerah yang dipilih secara demokratis dan mendapatkan mandat dari rakyat di masing-masing daerah akan terancam dengan keinginan satu tokoh semata. Mereka yang nanti mengundurkan diri, partai AKP akan menempatkan pengganti mereka sesuai dengan skenario yang dipersiapkan.
***
Kedaulatan Rakyat, 10 Okt 2017
MOMENTUM percobaan kudeta di Tuki 15 Juli 2016 menjadi titik tolak di balik langkah politik internal Turki yang makin mengkhawatirkan banyak pihak. Kekhawatiran tersebut adalah indikator semakin menguatnya absolute power di bawah Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Kekhawatiran baik dari kelompok oposisi ataupun oleh kalangan intelektual setempat bisa dipahami sebagai antisipasi hilangnya warisan-warisan negara modern, tradisi intelektual dan demokrasi Republik Turki. Yang telah menjadi jalan hidup bernegara sejak Kesultanan Usmani runtuh.
Secara gamblang, praktik represi struktur negara terjadi pada medio Desember 2013 ketika pemerintah Turki menyatakan ‘perang terbuka’ dengan kelompok Jamaah Gulen. Tuduhan sebagai parallel state atau state within state (kekuatan kelompok yang merongrong struktur negara dari dalam dan kemudian ditingkatkan menjadi Organisasi Teroris Gulen (FETO) bisa ditandai sebagai langkah krusial pemerintah Turki. Lembaga bisnis (sekolah, kursus, properti, rumah sakit, hotel, dll) yang berafiliasi dengan Gulen ditutup dengan berbagai cara.
Membangun Kesadaran
Setelah tragedi kudeta, saya bisa memastikan lebih dari 95 % rakyat Turki melawan Gulen demi menjaga demokrasi dan negara. Hingga berbulan-bulan setelah kudeta, rakyat Turki semakin menunjukkan sikap antipati dan perlawanan kepada Gulen. Momentum kudeta menjadi arena bagi rakyat untuk membangun kesadaran tentang jejaring parallel state di tubuh negara, menyadari adanya duri dalam daging.
Penyapihan terhadap kelompok Gulen seperti ‘mendapatkan izin ataupun sikap permisif’ dari mayoritas rakyat Turki. Mereka mendukung langkah negara untuk membersihkan kelompok tersebut hingga ke akar-akarnya. Sampai pertengahan tahun 2017 lebih dari 150 orang ditangkap, dipecat dan sebagian dari mereka, sekitar 8 ribu lebih, sudah dipenjara. Terhadap jejaring di atas, rakyat Turki satu suara.
Namun begitu, ada dua hal yang makin menandaskan sikap otoriter pemerintah Turki yang secara terbuka dilawan oleh kelompokkelompok opisisi. Pertama, penangkapan terhadap ratusan wartawan dan aktivis HAM dengan tuduhan ‘propaganda terorisme atau mendukung gerakan terorisme’. Kedua, gelombang dan tekanan pemecatan tersembunyi di internal pemerintahan. Pemecatan tersembunyi atau dalam bahasa lokal mereka ‘Erdogan istifasini istedi’ (Erdogan ingin yang bersangkutan mundur’) dari jabatannya bisa dibaca secara jeli sejak Perdana Menteri Ahmet Davutoglu meminta mundur pada 5 Mei 2016.
Kemunduran Davutoglu adalah misterius. Tapi kecurigaan bahwa dirinya diinginkan mundur oleh Presiden Erdogan akhirnya bisa dibaca secara tersirat dari pidato yang disampaikan saat pengunduran dirinya di depan publik. Dia menyatakan bahwa langkah pengunduran dirinya ‘sebagai keharusan’meski jabatannya tidak sampai tuntas empat tahun.
Kini
Mengejutkan 22 September silam, Walikota Istanbul Kadir Toptas secara mengejutkan menyatakan pengunduran dirinya di depan publik. Alasan kenapa mengundurkan diri dari jabatan penting tersebut juga dibiarkan misterius dan publik Turki pun tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan besar.
Baik Davutoglu ataupun Toptas mempunyai satu suara untuk partai yang mengangkat mereka, yaitu Partai Pembangunan dan Keadilan (AKP), bahwa mereka tidak akan meninggalkan partai yang sudah mereka besarkan. Sikap legawa dua politisi di atas di waktu yang sama justru menampar kelompok oposisi dengan menunjukkan sikap elegan tanpa memperlihatkan kekecewaan dan perlawanan terhadap kekuatan internal di AKP.
Yang sedang gonjang-ganjing terkait tekanan pengunduran diri terjadi sejak 2 Oktober lalu di mana Erdogan dikabarkan meminta Walikota Ankara, Melih Gokcek mengundurkan diri. Isu gelombang tekanan pemecatan berlanjut dan hari ini sedang menjadi buah bibir di dalam negeri. Menurut media Kanal D Haber, Edogan juga meminta kepala daerah di Bursa, Bal?kesir, U?ak, Ni?de dan Nev?ehir untuk mengundurkan diri.
Manuver politik Erdogan di atas semakin memperkuat cara-cara otoriter dan power absolute yang tengah dipraktikkan di dalam pemerintahan Turki. Kepada daerah yang dipilih secara demokratis dan mendapatkan mandat dari rakyat di masing-masing daerah akan terancam dengan keinginan satu tokoh semata. Mereka yang nanti mengundurkan diri, partai AKP akan menempatkan pengganti mereka sesuai dengan skenario yang dipersiapkan.
***
*) Bernando J Sujibto. Peneliti politik dan kebudayaan Turki. Alumni Turki dan mengajar di FISHUM, UIN Sunan Kalijaga. https://www.krjogja.com/angkringan/opini/turki-menuju-otoritarianisme/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar