ruangbaca.com
Sejak Sabtu, 25 November 2000, beroperasi situs Ceritanet yang dibangun wartawan BBC Seksi Indonesia di London, Liston P. Siregar. Di sana terpampang tiga sajak Arya Gunawan, satu cerpen Liston (Daging Rendang di 36G), esai “Apa Pentingnya Politik Cina” oleh I. Wibowo, laporan Lenah Susianty, “Membawa Taiwan ke Peta Dunia”; dan cuplikan awal novel Dokter Zhivago karya Boris Pasternak yang diterjemahkan Trisno Sumardjo (Djambatan, 1960).
Apakah cerpen Liston, sajak-sajak Arya, dan novel Pastenak, yang diniatkan untuk mengembangkan “gaya tulis internet”–seperti termaktub pada halaman depan situs–dengan demikian termasuk dalam kategori sastra internet? Atau, dengan menggunakan istilah yang lebih netral: sastra elektronik? (Untuk selanjutnya saya akan menyebut sastra elektronik sebagai “sasel”–mengacu pada surat elektronik yang disebut “surel”–sebagai padanan dari “electracy” (electronic literacy), istilah yang diperkenalkan Gregory L. Ulmer, profesor sastra Inggris di University of Florida).
Dalam pandangan N. Katherine Hayles, profesor sastra Inggris dan seni media di UCLA, karya sastra cetak yang sudah terbit dan baru belakangan dibuatkan versi digitalnya tak bisa disebut sebagai sasel, mengingat karakter utama yang harus dimiliki sasel adalah “lahir digital”. Definisi yang diberikan Hayles dengan demikian membuat Dokter Zhivago versi Ceritanet tak termasuk dalam sasel, sementara sajak Arya dan cerpen Liston secara teknis termasuk di dalamnya.
The Electronic Literature Organization (ELO), organisasi yang memiliki misi untuk “mempromosikan penulisan, penerbitan dan pembacaan karya sastra di media elektronik” memberi rumusan lebih lentur dengan menyatakan sasel sebagai karya dengan dua ciri, yaitu diciptakan dengan dan ditampilkan melalui media digital, “maupun karya yang diciptakan dengan komputer, namun diterbitkan dalam bentuk cetakan.”
Ciri pertama yang dikemukakan ELO membuat puisi-puisi pendek, bahkan satu kata, yang diciptakan di layar telpon seluler, dan dikirimkan ke penerima lain yang membacanya juga di layar ponsel masing-masing, bisa digolongkan sebagai sasel (electracy), seperti halnya sajak tujuh huruf Aram Saroyan “lighght”–yang pernah merupakan kontroversi besar di akhir era 1960-an/awal 1970-an–dipandang merupakan warga resmi dunia literer.
Problem yang lebih serius muncul dari ciri kedua karena pengertian “diciptakan” di sini bukan sekadar ditulis/diketik seperti dalam aktivitas rutin seorang penulis, melainkan dengan memanfaatkan kode-kode komputasi atau peranti lunak yang lebih canggih, baik dilakukan sendiri atau bekerja sama dengan orang lain.
Namun, Hayles menyadari adanya persoalan lebih mendasar dari sekadar problematika teknis. Sasel, sebagai keturunan langsung dari perkawinan sastra dan teknologi, adalah mutasi antarspesies yang hasilnya bisa mengagetkan seperti Minotaur pada masyarakat pecinta legenda, atau mengerikan seperti replicants pada masyarakat dystopia (seperti di film Blade Runner).
Sebagai “anak blasteran” dari keunggulan naratif sastrawi dan kecepatan komputasi teknologi, malangnya, sasel nyaris menjadi yatim (boleh juga disebut piatu) sejak awal kelahirannya akibat klaim para pendukung masing-masing “orang tua” yang berkeras bahwa warisan genetis pihaknya saja yang merupakan faktor terpenting dalam perkembangan sasel, sembari menafikan kontribusi pihak lainnya.
Kritikus-teoritikus seperti Espen J. Aarseth terang-terangan memicingkan mata pada kontribusi literer dengan menyatakan “orang tua sejati” dari sasel adalah game komputer. Ia memperkenalkan terminologi, sekaligus distingsi, antara scripton (“string yang muncul di layar pembaca sebagai teks”), dan texton (“string yang dibaca mesin sebagai teks”). Lewat pembedaan itu Aarseth menyimpulkan bahwa cybertext, yang menjadi fondasi utama sasel, pada hakikatnya adalah “texton yang mengalami proses kalkukasi menjadi scripton.”
Cara pandang Aarseth berbeda diametral dengan George Landow, salah seorang perintis awal studi hypermedia. Lewat serangkaian studi atas karya-karya sasel di akhir era 1980-an yang berbasis struktur link seperti Patchwork Girl (Shelley Jackson), atau afternoon: a story (Michael Joyce), Landow mempopulerkan istilah “lexia” untuk karya sasel yang “mengedepankan dominasi teks dengan tampilan grafis, animasi, dan musik yang terbatas”. Karya-karya lexia ini pada umumnya menggunakan program hypertext Storyspace, sehingga muncul istilah mazhab Storyspace (Storyspace school).
Pada konteks ini, penjelasan Loss Pequeno Glazier, pendiri Electronic Poetry Center (EPC), yang merumuskan bahwa sasel sebaiknya dipahami sebagai “kelanjutan dari eksperimentasi sastra cetak” bisa dipahami. Dunia maya dilihat Glazier lebih sebagai medium yang “meminjamkan tubuhnya untuk eksperimentasi disruptif atas kelaziman subyektivitas yang ajek serta wacana-wacana egosentris”. Dengan kata lain, hypertext menjadi “kelanjutan” (bisa juga “perlawanan”) terhadap dominasi teks (cetak) yang sebelumnya mutlak dikendalikan si pencipta.
Seorang penulis-programmer lain, Talan Memmott, memberikan kontribusi bagi pengembangan konsep lexia yang dikenalkan Landow sebelumnya dan menyebutnya sebagai “perplexia”, sebuah hibrida antara bahasa (dalam hal ini bahasa Inggris) dengan ekspresi bahasa pemrograman, seperti Perl. Hasilnya adalah kata-kata dengan makna yang bisa dipahami dalam bahasa Inggris, namun dalam bentuk penulisan “broken code” seperti “exe.change”, “exe.streams”.
Kecenderungan konjungsi antara “bahasa dan “kode”, seperti dilakukan Memmott, dengan cepat menarik minat para penulis sasel untuk eksodus dari zaman hypertext, dengan tujuan menciptakan karya-karya yang disebut Nick Montfort sebagai fiksi interaktif (interactive fiction). Asisten profesor kuliah media digital di MIT ini termasuk pionir fiksi interaktif dengan menciptakan Winchester’s Nightmare, yang menggabungkan kekayaan dunia literasi dengan aspek hiburan permainan digital.
Tanpa pemahaman yang memadai mengenai metafor atau alusi-alusi literer, Winchester’s Nightmare tak akan bisa dimainkan oleh penggemar video/computer game biasa. Itulah sebabnya, kendati fiksi interaktif ini terpilih sebagai finalis PC game terbaik 1999, namun kandungan literernya yang cukup tinggi membuat Winchester’s Nightmare berada di luar 100 besar permainan favorit para gamers.
Terobosan yang dihela Montfort dan para penyokong fiksi interaktif seperti Jon Ingold (All Roads, 2001), Emily Short (Savoir-Faire, 2002) atau Donna Leishman (The Possession of Christian Shaw, 2003), seakan-akan membuktikan kebenaran prediksi Markku Eskelinen pada Konferensi Budaya dan Seni Digital (Digital Arts and Cultural Conference, 1999) yang mengumumkan, “Hypertext is dead. Cybertext killed it”.
Enam tahun kemudian, melalui sebuah analisis terhadap karya monumental Aarseth, Cybertext: Perspectives on Ergodic Literature, Montfort mengeluarkan manifestonya sendiri yang mendukung punahnya “spesies” hypertext lewat pernyataannya yang terkenal: “Cybertext Killed the Hypertext Star”.
Dalam perkembangannya kemudian, karya sasel tak lagi berpuas diri dengan hanya menyajikan ruang virtual di depan pembaca, melainkan menghadirkan langsung ruang tiga dimensi yang sesungguhnya (seperti kota besar), atau melakukan kombinasi terhadap keduanya, seperti dilakukan Janet Cardiff melalui Missing Voice (Case Study B) dan Her Long Black Hair.
Pada Missing Voice (1996), yang merupakan prototipe Her Long Black Hair (2005), pembaca mendapatkan sebuah CD yang harus diputar dengan walkman. CD harus didengar untuk mendapatkan informasi tentang pusat kota London, melacak rute satu demi satu tempat tertentu. Jika seluruh proses dijalani, pembaca akan mendapatkan pemahaman baru akan sebuah “teks naratif” yang menyelinap keluar dari layar komputer masing-masing.
Dengan melihat sekilas perjalanan sejarah sasel yang sesungguhnya jauh lebih rumit dalam praktiknya–karena setidaknya ada delapan genre sasel yang disebutkan kritikus yakni (1) hypertext fiction, (2) network fiction, (3) interactive fiction, (4) locative narratives, (5) installation pieces, (6) codework, (7) generative art, dan (8) flash poem–akan membantu kita dalam melihat perkembangan sasel di tanah air.
Lima Ciri Sasel Indonesia
Apa yang disebut “sastra internet”, “sastra digital”, atau “sastra dunia maya”, dalam perbincangan komunitas sastra di tanah air, selama ini biasanya secara longgar mengacu kepada karya-karya yang dibuat di, dan terutama dipublikasikan oleh, situs-situs sastra. Melalui situs-situs seperti itulah mulai mengalir wacana tentang eksistensi sastra dunia maya.
Tetapi, baru pada Mei 2001 melalui Graffiti Gratitude: Sebuah Antologi Puisi Cyber (YMS, 2001), kata “puisi cyber” digunakan sebagai terminologi baru yang memperkaya terma sastra Indonesia. Pelabelan seperti ini bukannya tak mengandung resiko. Persis saat antologi itu diluncurkan, Sutardji Calzoum Bachri mengkritik keras mutu sajak-sajak yang ada di dalam Graffiti Gratitude. Sementara sastrawan Ahmadun Yosi Herfanda, yang juga redaktur budaya di harian Republika, mengibaratkan “puisi cyber” produksi YMS ini sebagai “tong sampah”.
Tanpa bermaksud merekonstruksi ulang polemik yang terjadi antara pendukung “puisi cyber” di satu pihak versus para pengkritik–yang sebetulnya lebih menyoroti kualitas isi antologi itu–seperti Sutardji atau Ahmadun di lain pihak, karakterisasi dari apa yang disebut “puisi cyber” itu sendiri memang terlampau longgar. Bahkan, untuk sekadar memenuhi kualifikasi dari para “narator konservatif” seperti George Landow tentang lexia, yang meskipun tetap memfokuskan pada dominasi teks, namun sejatinya memberikan sejumput ruang untuk penampilan grafis, animasi, bahkan musik. Ringkasnya, fitur-fitur yang bisa disediakan oleh hypertext.
Namun, Graffiti Gratitude tak sendirian di sini. Hampir semua situs dan mailing-list sastra Indonesia yang ada, atau pernah aktif, didominasi oleh karya-karya yang saya golongkan sebagai fiksi pre-hypertext, untuk tak menyebutnya sebagai “sastra cetak di internet”. Dalam konteks yang sedikit berbeda, Rita Raley mengklasifikasikan karya-karya periode ini sebagai “early computer-mediated fiction” dengan karya-karya Judy Malloy sebagai contoh (Its Name Was Penelope atau l0ve 0ne).
Gejala seperti ini berbeda dengan yang terjadi di komunitas sasel global yang lebih menekankan pada eksperimentasi dan eksplorasi individual. Tengoklah perbandingan ini. Sementara Liston Siregar memilih untuk mempublikasikan ulang Dokter Zhivago terjemahan Indonesia dalam sekumpulan serial selama lima tahun di situs Ceritanet, pada saat hampir bersamaan Natalie Bookchin justru mengkonstruksi ulang karya-karya Jorge Luis Borges dan meramunya dalam sebuah fiksi interaktif yang diberi judul The Intruder. Karya-karya Borges tak cuma ditakar Bookchin dari gen “ibu-literer”-nya, melainkan disisipkan pula secara imbang dengan gen “ayah-teknologi”-nya.
Ciri kedua sasel Indonesia adalah minimnya keterlibatan komunitas kampus dalam mendirikan pusat-pusat kajian media digital. Baik yang terintegrasi ke dalam struktur formal pengajaran kampus dan mewujud sebuah silabus, atau ke dalam bentuk dukungan informal pendirian lembaga-lembaga seperti ELO atau EPC yang masing-masing didukung oleh UCLA dan SUNY Buffalo. Kalau pun pusat-pusat kajian seperti itu ternyata sudah berdiri di (beberapa) universitas di Indonesia, hasil kajian mereka masih belum terpublikasi luas, apalagi bisa dijadikan sebagai acuan untuk menelaah profil sasel Indonesia.
Bahaya dari minimnya kajian media digital seperti ini adalah digunakannya istilah-istilah yang sesungguhnya sudah baku dalam komunitas teknologi internasional, namun diterapkan dengan tidak tepat oleh sebagian komunitas sastra di sini. Kesalahan yang paling mendasar dan umum ditemui adalah sebutan cyborg sebagai kata ganti bagi “orang-orang yang aktif di dunia cyber, khususnya aktivis sastra cyber.”
Kenaifan seperti ini sangat mengkhawatirkan mengingat sudah luas diketahui bahwa cyborg adalah kependekan dari cybernetic organism, istilah yang pertama kali diciptakan Manfred Clynes dan Nathan Kline untuk merujuk pada organisme yang mengintegrasikan sistem natural dan artifisial dalam metabolisme tubuhnya. Anakin Skywalker/Darth Vader dari film Star Wars adalah contoh cyborg paling terkenal dari budaya populer.
Ciri ketiga adalah tidak terdeteksinya minat para akademisi, dalam hal ini para guru besar sastra, atau para kritikus sastra Indonesia, untuk terlibat dalam sebuah perbincangan konstruktif tentang sasel. Agak sulit membayangkan di Indonesia akan bisa terjadi sebuah diskusi hangat yang mencerahkan antara figur-figur di kubu narratology semacam George Landow atau Katherine Hayles di satu pihak yang khatam ilmu sastra era Victoria namun juga intens mengamati perkembangan sastra digital, menghadapi para guru besar (dan calon guru besar) di kubu ludology yang berada di usia 40-an seperti Espen Aarseth atau Nick Montfort, yang melewatkan masa remaja mereka bersama Lara Croft dari Tomb Raider.
Ciri keempat adalah “catastrophe-driven”. Setiap kali bencana alam besar terjadi, karya-karya baru cepat terkumpul dan dikompilasi dalam sebuah antologi, dengan mailing-list memikul peran terdepan untuk publikasi dan pengumpulan karya.
Ciri kelima menunjukkan kecenderungan para penggemar sasel, melalui mailing-list masing-masing, untuk menerbitkan sebuah antologi karya anggota. Bahkan tak jarang dengan sekaligus merangkap sebagai penerbit bagi antologi atau kompilasi karya itu.
Namun, cukup ramainya karya bersama dari para aktivis sasel ini masih tetap belum menunjukkan adanya bentuk-bentuk pengucapan baru yang lebih sesuai dengan perkembangan sasel sendiri, karena output akhirnya yang masih berorientasi pada sastra cetak. Kondisi ini belum beranjak jauh dari keadaan tujuh tahun silam–rentang waktu yang terbilang pendek dalam standar hidup manusia normal, tapi lumayan panjang untuk dimensi waktu digital.
Pada simposium budaya internasional mengenai budaya media di Universitas Leiden yang diselenggarakan atas prakarsa Verbal Art in the Audio-Visual Media of Indonesia (VA-AVMI), April 2001, Veven Sp. Wardhana menorehkan catatan sebagai berikut: “Maknanya, harus ada kreativitas untuk menyiasati media yang berbeda. Dalam bahasa Faruk, sastra di internet harus berbeda dengan sastra cetak yang konvensional karena medianya juga berlainan. Yang ada selama ini sebatas memindahkan sastra cetak ke sastra internet.”
Itu berarti potret sasel di Indonesia terlihat seperti putri duyung yang meronta. Separuh wujudnya sudah menunjukkan tanda-tanda modernitas (karena penggunaan peranti digital), separuh tubuh lainnya masih berada dalam tahap “purbawi”, hasil evolusi berabad-abad tanpa henti (watak dunia cetak konvensional). Putri duyung yang terlempar dari “samudera sastra” tempatnya berasal, namun belum juga sepenuhnya mampu beradaptasi dengan habitatnya sekarang.
***
*) Artikel ini disarikan dari makalah “Putri Duyung yang Meronta: Potret Awal Sastra Elektronik Indonesia”, yang disampaikan penulis pada diskusi “Menilik Sastra Dunia Maya” di Teater Utan Kayu, 12 Maret 2008.
**) Wartawan Tempo.
http://sastra-indonesia.com/2009/12/putri-duyung-yang-meronta/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar