Sunlie Thomas Alexander
Waktu merangkak kadang kelewat cepat. Kita sering tak menyadarinya dan kadang terkaget-kaget ketika menyadari sebuah momen telah tertinggal jauh di belakang dan kita mulai beranjak menua.Keponakanku ini, Khansa Arifah Adila, kini sudah berusia 20 tahun. Sudah jadi mahasiswi Sastra Inggris, Unand di Padang. Sudah mulai mempublikasikan puisi, cerpen, dan esainya di media.
Aku senang dan bangga? Tentu.
Aku mengenalnya sejak ia masih berada dalam perut buncit mamanya Ira Esmiralda. Tahun 2000, di gedung Societet Stannium (Krida Stannia), Belinyu, bayi dalam kandungan ini dulu dibawa sang ibu membaca puisi "dengan berapi-api" dalam acara apresiasi sastra bertajuk "Suara Kota Utara Pulau Timah" yang kami selenggarakan.
Lalu ia lahir, tumbuh besar bersama buku-buku dan diskusi-diskusi sastra, pembacaan puisi dan pentas teater. Juga lukisan-lukisan almarhum sang kakek, putra seorang tokoh masyhur di Bangka yang namanya bisa kita temukan dalam arsip-arsip kolonial di Nationaal Archief, Denhaag, Belanda.
Ira Esmiralda seniman sejati juga seorang ibu yang baik. Ia menekuni sastra dan teater dengan totalitas. Kendati belakangan sudah kian jarang menulis, tetapi di Sungailiat--ibukota Kabupaten Bangka--ia masih terus mengorbankan banyak energi dan waktunya yang berharga untuk melatih anak-anak sekolah baca puisi dan bermain teater.
Pada jaman keji Orde Baru, tamatan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sriwijaya, Palembang ini pernah bolak-balik ke kantor Kodim saban hari hanya demi menyelesaikan skripsinya tentang Novel Tetralogi Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer. Ia juga aktivis pro-demokrasi yang meledak-ledak, garang di atas podium orasi sejak sebelum demo besar 98. Bersama sejumlah kawan, Ira mendirikan Teater Gabi yang sampai sekarang menjadi "teater kampus" Universitas Sriwijaya.
Ketika lahir, Lala (begitulah ia disapa) diberi nama Tegas Arifah Adila oleh mamanya. Namun karena ia sempat sakit, nama "Tegas" ini kemudian diganti menjadi "Khansa". Ini merupakan bagian dari tradisi kepercayaan yang lazim di Pulau Bangka, di kalangan Melayu maupun Tionghoa.
Papa Lala, Erianto, berasal dari Bukit Tinggi. Lulusan Teknik Sipil Unsri. Urang Minang dengan naluri bisnis yang tinggi dan cenderung religius. Kepala Dinas PU Kabupaten Bangka yang sudah bergelar Bang Haji ini menurut Lala rada pelit, namun demikian toh sejak dulu--sebagaimana yang aku tahu--selalu saja mendukung minat dan aktivitas anak-istrinya.
"Lala dibelikan banyak buku, dibayarin kursus-kursus menulis, diberikan kebebasan penuh menekuni hobi," begitu cerita sang ibu kemarin malam.
Dan aku merasa makin gembira mendengar itu.
Yang perlu dilakukan oleh Lala saat ini kukira adalah terus belajar menulis, membaca lebih banyak, dan tentu saja lebih serius menyiapkan mentalnya. Ia harus mampu memahami bukan saja sastra sebagai sebuah disiplin ilmu yang ketat serta ragam corak estetika dan aliran pemikiran, tetapi juga politik sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar