Hilmi Abedillah *
Setiap pencari ilmu wajib menghormati ilmu dengan cara takzim pada hardware-nya: guru dan kitab. Di zaman mutakhir, muncul hardware ilmu baru, yaitu smartphone. Lalu, bagaimana perlakuan sang pencari ilmu padanya?
Guru adalah pendidik yang menjadi sumber ilmu dan moral. Tak ada satu pun referensi kitab adab yang menganggap remeh takzim pada guru. Guru bahkan diposisikan seolah sebagai raja atau nabi yang maksum. Pencari ilmu mesti mencium tangannya ketika salaman, tidak menduduki singgasananya, bahkan menghormati anaknya yang meski masih bocah atau dugal.
Buku adalah mata air ilmu. Perlakuan pencari ilmu kepadanya tidak seperti perlakuan terhadap benda-benda pada umumnya. Buku tidak boleh ditaruh di bawah, tidak boleh meletakkan pulpen di atasnya, dan tidak boleh meremas-remasnya hingga rusak. Semua tindakan itu dengan harapan agar pencari ilmu mendapatkan ilmu yang manfaat.
Bencana bagi orang yang ilmunya tidak manfaat ialah ilmu itu menjadi senjata makan tuan. Ilmu itu menerkamnya seperti hiu. Kuwalat dan tidak berkah. Kira-kira begitu keyakinan kaum pesantren dalam mempelajari tata krama islami.
Penggunaan smartphone menjalar ke semua lapisan masyarakat. Mereka membaca artikel, mendowload kitab pdf, dan menjadikannya sebagai sarana belajar online. Selain itu, beberapa pencari ilmu menginstal aplikasi al-Quran, kutubus sittah, dan semacamnya. Maka, tak bisa ditampik bahwa smartphone merupakan hardware ilmu.
Tapi, dalam keadaan layar mati kan tidak ada tulisan ilmu tersebut?
Pertanyaan ingkar itu tak cukup kuat. Saat tidur, guru pun tidak bicara ilmu. Apakah kalau otaknya dibelah ada tulisannya juga?
Keperluan takzim pada smartphone merupakan ide yang tak lazim. Tidak diketahui ilmu yang kian melejit tanpa diiringi akhlak dewasa ini, apakah akibat kuwalat pada smartphone atau tidak. Bagaimana kalau ternyata iya?
Kira-kira pertimbangan apa yang membuat masyarakat menolak takzim pada smartphone? Apa jangan-jangan hanya karena belum ada yang merumuskan tata kramanya? Atau mungkin yang kita peroleh dari smartphone selama ini bukan ilmu, tapi hanya 'mirip' ilmu?
~Abede, 5 Oktober 2020
*) Hilmi Abedillah,
penulis novel “Lain Waktu”, Elex Media Komputindo 2019, yang kini bekerja di
Majalah Tebuireng, Jombang, Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar