Mashuri *
Pada tanggal 11 Desember 2002, hari Rabu, bersamaan dengan terjadi banjir
bandang di pemandian air panas di Pacet, Mojokerto, yang mewafatkan 20 orang
lebih, saya mendatangi makam Eyang Sawunggaling di Lidah Wetan Surabaya. Saya
mendapat tugas dari redaktur harian tempat saya kerja, yang berkantor di Jalan
Pahlawan, untuk meliput makam sesepuh Surabaya legendaris yang bernama asli
Jaka Berek, tapi kondang dengan nama Sawunggaling.
Sebagai anak buah, saya sami'na wa atho'na. Usai dhuhur saya menuju Lidah
Wetan dari mangkal saya di Jalan Airlangga. Sesampai di TKP, sekitar pukul
16.00. Dari langgar di samping makam, terdengar azan asar. Juru kunci makam,
Mbah Badrun, ada di sana. Saya pun menunggu Mbah Badrun, yang menjalankan
shalat ashar. Usai ashar plus wiridan, yang cukup panjang, Mbah Badrun baru
kelihatan batang hidungnya.
Saya menyalaminya. Sejurus kemudian, saya terkejut dengan sambutan pria
70-an tahun yang dahsyat. Saya dimarahi habis-habisan, padahal saya belum
memperkenalkan diri.
“Kalau menulis Eyang Sawunggaling itu yang benar, jangan seenaknya,” sergah
dia.
“Maksudnya, Mbah?” tutur saya.
“Kamu menulis Eyang seperti menulis orang tidak penting. Remeh. Jelek. Suka
mendatangkan keburukan pada masyarakat. Sejarahnya juga keliru dan ngawur,”
sambar dia. Saya diam sejenak. Berusaha menganalisis situasi.
“Saya mohon maaf. Beginilah anak muda, sering kebat-kliwat. Sering sok
tahu. Maaf, nggih, Mbah!” tutur saya, meskipun saya tidak paham kesalahan yang
telah saya perbuat.
“Jangan diulangi lagi!” seru dia.
“Inggih, Mbah,” tutur saya, serendah-rendahnya. “Mohon izin untuk masuk
cungkup, Mbah. Mau berdoa, lalu mengambil gambar untuk bahan tulisan besok,”
lanjut saya.
Tanpa memberi jawaban, dia langsung membuka kunci pintu ruangan tempat
makam Eyang Sawunggaling, yang berornamen ayam jago. Ketika dia menengok saya,
saya sengaja memasukkan Rp 20.000 ke kotak amal. Hitung-hitung sebagai penebus
kesalahan, yang saya sendiri tidak tahu apa yang telah saya perbuat dan membuat
juru kunci kebakaran jenggot, meskipun dia tidak berjenggot. Mbah Badrun, yang
kini, sudah almarhum, lalu mempersilahkan saya masuk.
Mbah Badrun masuk lebih dulu. Ia menyalakan lampu ruangan dari saklar dekat
pintu, karena suasana di dalam ruang makam remang-remang menjelang senja, dan
menyalakan damar di pojok ruangan. Saya sendiri tidak tahu fungsinya. Setelah
melepas sepatu, saya ikut masuk ke ruang tertutup berukuran 4 x 8 meteran. Ada
lima makam di sana. Masing-masing ada tulisan namanya. Selain makam Eyang
Sawunggaling di tengah, ada Dewi Sangkrah, Buyut Suruh, Dewi Pandansari, dan
kusir setia Eyang Sawunggaling.
Setelah itu, saya ditinggal sendirian. Begitu Mbah Badrun menutup pintu
makam, saya masih menangkap sisa bersungut-sungut di wajahnya. Saya berjanji
pada diri saya sendiri untuk minta maaf lagi, nanti. Setelah itu, saya mengucap
salam kepada semua ahli kubur dengan tetap berdiri dekat pintu. Lalu, umik-umik
sebentar. Setelah itu, saya mengambil gambar semua makam di sana. Ada yang satu
persatu, ada yang secara keseluruhan. Biar redaktur nanti yang memilihnya
sendiri.
Begitu merasa cukup mendapatkan hasil jepretan, saya pun menuju makam Eyang
Sawunggaling, yang posisinya agak di tengah dan paling megah. Saya bersila
untuk membaca doa sebisanya tepat di atas nisan sirah Eyang Sawunggaling yang
banyak bunga sekarnya, ada mawar, kenanga, kantil, melati, dan lainnya. Sebuah
perilaku kurang adab sebenarnya, karena saya tak pernah melakukannya.
Ketika sedang berusaha khusyu' berdoa, mengingat kembali doa-doa yang
pernah saya pelajari dulu di langgar dusun, bunga-bunga di dekat nisan dekat
dinding utara tepat bagian di atas sirah Eyang Sawunggaling, bergerak-gerak.
Semakin lama semakin cepat seperti diaduk-aduk dari bawah. Saya tercekat
dahsyat.
Namun, otak saya yang sok waras lekas mengaitkannya dengan perilaku juru
kunci barusan. Ini pasti ulah si juru kunci tua, yang memasang benang di balik
tembok makam, lalu ditarik-tarik dari luar. Saya pun langsung membongkar
kembang sekar berdasar prasangka buruk saya. Ternyata, tidak ada tali di
bawahnya. Akhirnya saya merapikannya lagi, dan meneruskan doa yang belum
selesai.
Tak seberapa lama, kembang sekar itu bergerak-gerak lagi. Kali ini pikiran
saya menuduh adanya semacam serangga yang menggerakkannya. Saya pun membongkar
susunan bunga kembali dan mencari serangga. Ternyata, tak ada serangga, bahkan
semut pun nihil. Saya kembali menata ulang kembang agar rapi.
Ketika saya meneruskan umik-umik, kembang sekar kembali bergerak-gerak.
Kali ini gerakannya semakin keras dan berputar-putar seperti ada gasing di
bawahnya. Bahkan membentuk sebuah susunan, dengan puncak berupa kembang kantil.
Otak saya yang asalnya sok waras pun tak lagi dapat mempertahankan
kewarasannya. Namun, sejurus kemudian, refles saya keluar. Saya langsung
menyambar kembang kantil tersebut, lalu secepat kilat menghambur ke pintu dan
keluar dengan nafas memburu seperti copet dikejar massa satu pasar!
Begitu sudah di luar, saya berusaha tampil setenang mungkin. Saya mengatur
nafas. Saya melihat Mbah Badrun sedang menyapu pendopo. Untunglah, dia tidak
menghadap ke arah saya dan melihat raut wajah saya saat keluar dari pintu makam
barusan.
“Sudah, Nak?” seru dia, dari pendopo. Ternyata dia tahu kalau saya sudah
keluar, mungkin karena dia terus memperhatikan pintu masuk makam.
“Sudah, Mbah,” tutur saya, sambil mendatanginya.
Sambil menenangkan hati yang masih blingsatan, saya duduk di atas tikar,
yang sudah disediakan. Begitu pula Mbah Badrun. Kami langsung ngobrol terkait
dengan sosok Eyang Sawunggaling. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Selain
waktu sudah menjelang magrib, saya tidak begitu mendengar penuturan sang juru
kunci, karena sibuk menata dada saya yang masih berdegup keras seperti
gelandangan yang diobrak petugas tatib.
“Saya pamit dulu, Mbah! Sudah hampir magrib,” seru saya, menyalami tangan
tuanya yang keriput, sambil menyelipkan lembaran dua puluh ribu.
“Terima kasih, Nak. Kalau nulis yang benar ya!” seru dia.
“Inggih, Mbah. Maaf bila ada kesalahan. Anak muda memang banyak salahnya.
Minta doanya mudah-mudahan lancar,” tutur saya sambil menyalakan mesin motor
keluaran tahun 2000. Saya pun langsung ngebut di jalanan Surabaya, sambil
sesekali meraba kembang kanthil di saku jaket. Tidak sampai setengah jam, saya
sudah sampai di kantor. Lalu berusaha menulis 'riwayat' Eyang Sawunggaling yang
baik dan benar.
Malamnya, begitu di kosan, sendirian, saya mengeluarkan kembang kantil dari
saku. Tidak ada yang aneh, kecuali harumnya yang semakin semerbak. Entah
kenapa, saya begitu butuh pada puisi. Saya sempat membaca beberapa puisi Dylan
Thomas, tetapi hati saya semakin cemas. Saya pun lalu menyalakan komputer dan
menulis sebuah puisi. Mungkin puisi ini berspirit surrealisme karena waktu itu,
saya dan kawan-kawan di komunitas sedang mendalaminya.
Repotnya, saya merasa puisi ini tidak mewakili ‘kengerian’ saya di makam
Eyang Sawunggaling, tetapi berbicara tentang Surabaya adalam arti yang lebih
luas: tanahnya. Waktu itu, saya membuat puisi dengan tujuan untuk tetap menjaga
sok waras saya dalam menghadapi hal-ihwal di luar nalar, yang seringkali
beraura hingar dan sangar.
RAHIM TANAHKU
rahim tanahku maut
segala lahan dimangsa gulma
cacing berpesta dalam daging
bergelambir
gerak udara perut
kumparkan kutuk
: lebih busuk dari bangkai dan jasad
liang indraku cacat, dilumat-lumat
hitam semut
inikah duniaku
kebaruan yang tertangkap gelap jiwa
serupa runcing bambu dihunus
lurus ke anus
ah, keindahan yang papa
seperti darah dilukis di mata
perih dan percuma
inikah duniaku
kesesatan mewaktu lebihi tugu
peringatan ditegakkan untuk diragukan
seperti perawan bunting yang kadung
disunting
angin galak berpusing
di tengkorakku
otakku pesing
--penuh kencing koran dan buku-buku
hama pikiran mencakar-cakar
liar, kesunyianku pun terbakar
kerna kini kesesatan
lebih berjiwa dari dewa-dewa,
aku berpusar di pusatnya
lebih hitam dari kiblat,
lebih bernyawa dari segala bangsat...
degupku belatung
hidup
o sang jantung yang menyimpan
segala gaung
izinkanlah kurenggut riuh maut
dari calon jasadku,
kusirnakan sekat tubuh
di tungku batu-batu
o yang berdetak di tiap detik
muksalah, yang muksa!
o api kremasi nan suci, lahaplah putih
belulang dan sumsumku
yang berbilur biru
jadikan ajalku berabu...
kelak ketika abu disebar di latar
hidupku nan samar
‘kan kusapa malam di gerbang garba
purba,
kutanam hujan di lintasan kenangan
agar ia tak jemu menjemput ingatan
rintik, musik
di rahim tanahku
agar jernih berdegup
ke hatiku
yang berisik...
2002
Yeah, itu adalah peziarahan saya pertama ke Makam Eyang Sawunggaling. Meski
saya sudah menginjakkan kaki dan tinggal di Surabaya, sejak 1994, saya baru
pertama kali itu ke sana. Hal itu karena selama itu, saya terlalu khusyu’
dengan wacana-wacana modernitas dan posmodernitas. Apalagi pada saat itu,
wacana yang mutakhir itu sedang hangat-hangatnya dan ngehits di berbagai sumber
pengetahuan, baik itu buku, jurnal dan koran harian.
Kisah Eyang Sawunggaling pun menghuni ruang lain dalam pergulatan saya di
Surabaya. Apalagi sosok Sawunggaling hadir dalam pergaulan lebih sebagai sosok
mistis, daripada historis. Meski kehadirannya yang historis dibuktikan dengan
keberadaan makamnya di Lidah Wetan, yang baru ditemukan pada tahun 1901, tetapi
ia lebih hidup di cerita-cerita ludruk, tradisi lisan, dongeng, dan sekian
kepercayaan lain yang menyebar.
Mungkin yang menarik dari sosok ini adalah soal nama. Jarang yang tahu
bahwa nama kebesarannya itu diambil dari nama ayam jago peliharaannya. Awalnya,
saya juga tidak tahu tentang itu. Bahkan, awalnya, saya mempersepsi
Sawunggaling murni sebagai pahlawan rakyat, seperti Branjang Kawat, Sarip Tambak
Oso, Sakera, Sogol Sumur Gemuling, dan lainnya. Sosok-sosok yang hidup dalam
seni panggung rakyat. Namun, dari penulusuran sejarah yang dilakukan
pihak-pihak tertentu, ternyata ia diduga berdarah biru dan dikaitkan dengan
penguasa Surabaya tempo doeloe, bahkan raja Jawa.
Terlepas soal itu, karena ada project menghimpun cerita rakyat Surabaya,
dua belas tahun kemudian, tepatnya tahun 2014, saya ke makam Eyang Sawunggaling
lagi. Kali ini saya bersua dengan Muhammad Baidlowi (40 tahun), kuncen makam
pengganti Mbah Badrun yang sudah wafat. Saya pun mengorek ulang terkait dengan
sosok Sawunggaling, terutama kaitannya dengan ayamnya. Apalagi di lokasi
makamnya sudah banyak berubah. Banyak gambar ayam jago sebagai hiasan.
Dengan tegas, juru kunci itu menyebut bahwa keberadaan gambar ayam jago di
makam Sawunggaling memang tak bisa dibantah, karena nama Sawunggaling sendiri
asalnya adalah nama ayam. Sang pemilik sendiri tidak bernama demikian.
“Sawunggaling itu nama ayamnya. Beliau sendiri bernama asal Jaka Berek,” tegas
lelaki yang karib disapa Dlowi itu.
Hmmm. Memang, ayam jago Sawunggaling demikian legendaris. Selama ini,
Surabaya selalu identik dengan ikan dan buaya sesuai lambang kota. Bisa jadi
ayam jago bisa menjadi hewan alternatif sebagai lambang kota mirip dengan
lambang negeri Perancis, yaitu ayam jago. Bayangkan saja, di komplek makam
Sawunggaling, dihiasi dengan lima gambar jago Sawunggaling. Dua berupa lukisan
yang terpajang di dinding. Pada ukiran pintu masuk makam, dan sebuah lagi di
gerbang makam.
“Ayam jago itu hanya lambang,” tegas Dlowi. “Ayam ini hanya alat untuk
menunjukkan jati diri Jaka Berek yang semestinya. Setelah ia menang adu jago
melawan ayahnya, maka namanya lebih disebut sebagai Raden Sawunggaling,” lanjut
dia.
Namun, berbicara soal ayam, sebenarnya di Surabaya, ayam termasuk hewan
mitologis nan seksis. Bukan saja ayam Jago Sawunggaling, ada pula ayam lainnya
yang bling-bling. Tentu bukan ayam kampus. Ups! Ayam lain ini diyakini terkait
dengan Prabu Jayanegara, raja kedua Majapahit. Tak lain dan tak bukan adalah si
Cindelaras. Pertanyaannya, bagaimana bisa ada situsnya di Surabaya?
Begini ceritanya. Beberapa waktu lalu, saya lupa tahunnya, saya nyasar di
Dusun Balas, Kelurahan Balas Klumprik, termasuk Surabaya selatan. Di sana,
terdapat sebuah gunduk tanah mirip rumah rayap berpasir, dan dibalut mori
putih. Situs itu berada di sebuah cungkup yang dinaungi tiga pohon besar. Kisah
tutur yang beredar unik dan menarik. Tempat itu diyakini sebagai petarangan
Cindelaras, alias kandang Cindelaras.
Namun, namanya juga cerita tutur, ada yang menyebutnya sebagai tempat
pemandian Cindelaras. Entah mana yang benar, saya tidak tahu, apalagi ada yang
mengaitkannya dengan Makam Eyang Sawunggaling di Kampung Lidah, yang juga
terkait dengan mitos ayam. Apalagi dari makam Sawunggaling, lokasi tersebut
dapat dikatakan hanya sepelemparan batu.
“Banyak juga yang menyebut bukan petilasan ayam raja Majapahit, tetapi
ayamnya Eyang Sawunggaling,” tutur seorang tokoh kampung Balas.
Pokoknya, soal ayam, ternyata Surabaya basisnya. Termasuk mie ayam, ayam
geprek, soto ayam, ayam… Ah, sudahlah. Mendengar penuturan yang ajib tersebut,
saya hanya manggut-manggut saja di depan beberapa warga, yang sebagian besar
adalah pendatang, alias urban. Uniknya, terkuaknya situs tersebut terkait
Cindelaras berawal dari peristiwa kesurupan yang menimpa seorang perempuan tua,
yang akhirnya perempuan itulah yang menjadi juru kuncinya.
Sayangnya, sekarang perempuan itu sudah wafat dan digantikan anaknya.
Kejadiannya sendiri sudah lampau sih, sekitar awal tahun 1970-an. Buntut dari
kesurupan itu panjang. Sebagaimana tempat sakral di wilayah agraris, di tempat
ini seringkali diadakan acara sedekah bumi. Uniknya, acara itu tidak tiap tahun
digelar. Konon, bila sing mbaurekso punden minta, entah dengan jalan dan media
apa, digelarkan ritual. Biasanya berupa tayuban, semalam suntuk. Begitu
mendengarnya, sebenarnya saya punya ide jos, yaitu mengganti tayuban dengan
dangdut koplo. Ada sawerannya. Ups! Ngawur, Cak!
Adapun dalam cerita rakyat Jawa Timur dituturkan bahwa Cindelaras adalah
ayam jago raja Majapahit kedua yang berjuluk Kalagemet, alias Prabu Jayanegara
(1294-1328 M), yang memerintah 1309-1328 M, ketika ia melakukan penyamaran
sebelum menduduki tahta. Nama samarannya adalah Panjilaras. Selama ini, situs
yang diyakini sebagai makam ayam jago Cindelaras berada di desa Lebak Jabung,
kecamatan Jatirejo, Mojokerto.
Selain soal petarangan Cindelaras, ada yang menyebut bahwa gunduk tanah itu
sebenarnya adalah batu, berupa tugu peringatan gugurnya tentara Tartar yang
diserang oleh bala tentara Majapahit yang didukung tentara Madura, pimpinan
Arya Ranggalawe. Hanya saja, di sana tidak ditemukan bukti tertulis, juga tak
ada tuturan warga setempat terkait dengan itu. Saya mendengarnya dari warga
desa tetangganya, Kebraon.
Sementara itu, berdasarkan penelusuran toponim, Dusun Balas berasal dari
padanan kata ‘mbah’ dan ‘alas’. Artinya: alas tua. Bisa jadi, dulu kawasan ini
adalah hutan belantara yang dianggap tua. Bisa juga di sana adalah tempat orang
tua penunggu hutan, dulu. Mengenai mana yang tepat, tak ada warga yang mampu
memastikannya, apalagi saya. Namun, melihat lokasinya, sangat mungkin kawasan
itu masih terkait dengan Eyang Sawunggaling. Tentu, petarangannya bukan Cindelaras,
tetapi petarangan ayam jago Sawunggaling.
Kembali ke makam Eyang Sawunggaling. Menurut juru kunci Baidlowi, selain
ayam jago, sisi lain yang menarik dari sosok Eyang Sawunggaling adalah sodor
atau sodoran, semacam panah, serta suluk, yaitu sebuah lengkingan suara
Sawunggaling ketika pamit pada ibundanya, Eyang Ayu Dewi Sangkrah untuk ikut
sayembara yang diadakan oleh raja Mataram. Pada waktu itu, raja Mataram memang
sedang mengadakan sayembara memanah umbul-umbul untuk dijadikan sebagai Adipati
Surabaya.
“Sebelum ikut memanah, beliau bersuluk dulu pada ibunya, pamit ikut lomba
agar ia bisa menjadi adipati mewakili Tumenggung Jayengrono, Kedua saudaranya
yang sah yang lain ikut, tetapi tidak bisa memanah, sedangkan Eyang
Sawunggaling bisa. Namanya, umbul-umbul Tunggul Yudo,” tegas Baidlowi.
Oleh karena itu pada acara sedekah bumi, biasanya digelar acara ‘gelar doa
dan angkat budaya, dengan menggelar lomba sodoran dan suluk. Acaranya sendiri
dipadu dengan istighosah, wayang kulit dan ceramah agama. Waktu itu, acara itu
direncakan digelar setiap tahun. Adapun, yang hingga kini masih lestari adalah
tradisi tumpengan pada hari Kamis Pahing di makam Eyang Sawunggaling. Pada hari
itu bisa sampai 50 tumpeng datang dan berasal dari masyarakat sekitar dan luar kota.
“Diyakini pada hari itu adalah hari lahirnya beliau,” tegas Baidlowi.
Sebenarnya, selain ayam jago, binatang lain yang juga terkait dengan sosok
Eyang Sawunggaling adalah kuda. Bahkan, terdapat tempat-tempat yang legendaris
yang terkait dengan kuda tersebut. Meski kuda yang dimaksud tidak seperti kuda
Ronggowale dan Aryo Penangsang, yang bernama Nila Umbara dan Gagak Rimang,
tetapi kuda ini juga menyeret beban kisah-kisah yang cukup panjang di beberapa
situs di Surabaya. Di antaranya adalah sebuah sumur di Kampung Gadel, petilasan
di Darmo, Permai, Jurang Kuping dan lainnya. Dalam tradisi cangkeman, sumur tua
di Gadel diyakini menyimpan tilas kaki kuda Sawunggaling, sedangkan petilasan
di Darmo Permai, dianggap sebagai tempat pertapaan dan mendapatkan kesaktian
dan kuda.
“Jurang Kuping diyakini sebagai tempat beliau memandikan kudanya,” tegas
Baidlowi.
Sepanjang ingatan, saya pernah menelusuri beberapa lokasi di Surabaya yang
dikaitkan dengan kuda Eyang Sawunggaling. Saya kira ada dua tempat yang menarik
dan pernah saya rambah awal tahun 2003-an, yaitu Jurang Kuping di Benowo, dan
Sumur Windu di Kampung Gadel Tandes. Keduanya termasuk Surabaya barat.
Dulu, Jurang Kuping dianggap sebagai wisata alam yang benar-benar alami.
Dinamakan Jurang Kuping karena dalam cerita cangkeman di masyarakat bahwa
tempat itu dulu menjadi tempat pembuangan kuping orang-orang Belanda. Hal itu
karena beberapa anak buah Eyang Sawunggaling, gemar mengambil kuping musuhnya,
meskipun menurut kuncen makam Eyang Sawunggaling menyatakan bahwa telaga di
sana sebagai tempat memandikan kuda. Begitu saya ke sana, sekitar tahun 2003,
saya hanya menemukan sebuah telaga, dengan kondisi alam yang masih asli. Banyak
tumbuhan liar. Banyak belukar. Beberapa warung berdiri di sana. Selain menjual
camilan, nasi, tetapi banyak warung yang menjual arak!
“Saya tidak tahu kaitannya dengan Eyang Sawunggaling, Mas, tetapi di sini
memang banyak ularnya. Banyak ular kecilnya, juga ada ular yang sangat besar,
sebesar pohon kepala,” terang seorang pemilik warung, perempuan muda, dengan
dandanan agak sedikit menor. Sayangnya, saya lupa namanya.
Mungkin karena terpengaruh, aura Surabaya barat yang asolole, setelah dari
Jurang Kuping, saya membuhul kenangan itu dalam sebuah puisi, berjudul
“Istidroj” Puisi tahun 2003 pernah saya revisi beberapa lariknya, juga
judulnya, pada tahun 2013. Sayangnya, saya lupa judul aslinya.
ISTIDROJ
bila namamu adalah daun
kuingin membaca guratmu di simpang
gairah mesin hasratku,
membenam diri dalam cairan
hijau,
larut ke kambium
seperti zat yang melezat di lidah
ketika lafad-lafad itu menjelma madah
tapi ulat hati masih menawanku ke jeruji
mimpi:
karnaval tubuh dengan tubuh
perayaan gelap ke genap setubuh
merayap daun-daun ranum
dengan gerigi cadas tak kenal alum
kelak bila namamu merindang
dalam sintuh bianglala
kusebut sebagai surga
ruang terindah buat yang pergi-pulang
kembali
mengaji lambang-lambang yang terjanji
menguji sunyi lidah sendiri
sambil menembang dan bergoyang:
“buka sedikit, jos!”
selepas dinihari, nafasku berapi
sarungku basah
oleh hujan laki-laki
ketika detik bergegas memburu pagi
tak ada yang terbuka
kecuali daun jendela
yang menghadap
sungai
gelap
sendiri
Surabaya, 2003/Sidoarjo, 2013
Memang, tidak ada tradisi setempat yang mengikat antara Jurang Kuping dan
Eyang Sawunggaling. Tradisi di Surabaya, yang dimungkinkan masih terkait dengan
Eyang Sawunggaling adalah tradisi sedekah bumi di Kampung Gadel, yang secara
administratif termasuk Kecamatan Tandes. Secara toponim kampung Gadel berasal
dari nama tanaman gadel yang bernama Latin tinospora crispa dan termasuk
tumbuhan husada. Di tempat lain tanaman ini disebut dengan brotowali, putrawali
atau andawali. Pahitnya luar biasa dan menjadi ukuran pahitnya sesuatu.
“Dinamakannya Kampung Gadel karena pada masa itu di sini tumbuh banyak
tanaman gadel,” tandas tokoh setempat, yang saya lupa namanya.
Ketika saya telusuri, di kampung Gadel terdapat cerita tutur yang menarik
terkait dengan tokoh sejarah masa lampau. Sedekah bumi pun terpelihara dengan
baik. Namun, yang menarik tradisi itu berakar pada tradisi cukup lama. Apalagi,
asal-usul kampung Gadel cukup panjang. Tak heran yang tertinggal di kalangan
warga adalah kisah yang beredar turun-temurun, dan Eyang Sawunggaling ‘hanya’
salah satu tokoh di antaranya.
Sayangnya tak ada catatan tertulis yang mengabadikan sejarahnya,
sebagaimana nama-nama kampung di Surabaya. Dari kisah tutur ini diperoleh
informasi bahwa yang membuka kampung pertama kali adalah Mbah Joyo Singosari.
Menurut tradisi cangkeman, Mbah Joyo Singosari berasal dari Bawean. Ia pergi
dari pulau yang masuk wilayah kabupaten Gresik itu karena di daerahnya terjadi
konflik, tetapi tak diketahui hal itu terjadi pada tahun berapa dan konflik
tentang apa.
Yang jelas, Mbah Joyo Singosari adalah seorang pembesar dan dikenal
menguasai ilmu-ilmu kesaktian. Ia membuka hutan gadel untuk menetap di tempat
itu dan menghindari permusuhan dengan orang-orang di Bawean. Ia tidak ingin
pertumpahan darah terjadi. Setelah ia menetap, selanjutnya banyak pendatang yang
menemaninya menghuni kawasan baru tersebut, sehingga terciptalah kampung
seperti sekarang ini.
“Saya tidak tahu tahun berapa, tetapi yang jelas, sudah ratusan tahun
lampau,” tegas tokoh tersebut.
Warga begitu menghormati Mbah Joyo Singosari tidak hanya pada saat
hidupnya, tetapi sesudah ia berpulang ke alam keabadian. Buktinya, hingga kini
petilasan dan pesareannya pun masih bisa terpelihara dengan baik, berada di
Gadel Sari Timur II. Selain itu, sebagai bentuk pernghormatan dan kirim doa,
dulu hampir tiap tahun diadakan acara sedekah bumi. Acara ini sudah berlangsung
sejak dulu dan turun temurun. Acaranya dengan mengarak tumpeng keliling
kampung.
Pada titik tertentu, arak-arakan berhenti untuk ‘ngudari kupat’ yaitu
mengurai kupat yang berisi beras kuning dan uang logam. Tujuannya minta pada
Tuhan agar dijauhkan dari balak. Ritual ‘ngudari kupat’ diyakini sebagai upaya
tolak balak. Selanjutnya, arak-arakan berhenti di sumur tua, yang disebut Sumur
Windu, ada pula yang menyebutnya Sumur Gadel. Diyakini sumur lama yang
berdiameter sekitar tiga meter lebih itu sebagai petilasan Mbah Joyo Singosari.
“Katanya, sumur itu petilasan Mbah Joyo Singosari. Beliau yang membuatnya,”
tegas tokoh tersebut.
Lalu bagaimana hubungannya dengan Eyang Sawunggaling? Memang, muncul pula
anggapan bahwa Sumur Windu atau Sumur Gadel itu berhubungan dengan sosok
legendaris Surabaya, yaitu Eyang Sawunggaling. Sumber cangkeman menyebut, sumur
itu tempat Sawunggaling memandikan kudanya.
“Banyak yang menghubungkan Sumur Gadel itu dengan Eyang Sawunggaling.
Katanya, untuk memandikan dan memberi minum kudanya,” kata tokoh kampung Gadel.
“Bahkan ada yang ekstrim menyebut bahwa di dalamnya terdapat telapak kaki kuda
Sawunggaling,” lanjutnya.
Melihat rentang waktu kedua tokoh ini cukup jauh, bisa jadi, Sumur Windu
itu yang membuat adalah Mbah Joyosingosari, kemudian pada masa Eyang
Sawunggaling berjuang melawan Belanda, sekitar tahun 1700-an, ia singgah di
sumur yang berair jernih dan melimpah itu untuk memandikan dan memberi air pada
kudanya yang kehausan. Bahkan, bisa jadi Eyang Sawunggaling juga ikut nyeruput
air sumur yang menyegarkan itu.
Tentu saja, simpulan tersebut berdasar logika sejarah. Namun, ihwal
sejarah, saya tidak tahu apakah sejarah Eyang Sawunggaling kini sudah tersusun
dengan baik. Menurut juru kunci Baidlowi yang saya temui pada 2014, ia dan
timnya sedang menyusun sebuah buku sejarah tentang Eyang Sawunggaling. Dari
penelusuran sementara, ternyata Sawunggaling memiliki hubungan darah dengan
Sultan Hamengkubuwana I, raja Kasultanan Yogyakarta. Dengan kata lain,
kelahiran Sawunggaling diyakini setelah tahun 1755, ketika perjanjian Giyanti
ditandatangani dan kerajaan Mataram dibagi dua, Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta.
“Eyang Ayu Dewi Sangkrah itu masih keturunan Sultan Hamengkubuwana I,”
tandas Baidlowi. “Tetapi penelusuran sejarahnya belum selesai,” lanjut dia.
Saya berharap penelusuran dan penulisan sejarahnya cepat selesai, meskipun
harapan saya ini membutuhkan pengendusan sumber sejarah yang piawai, karena bahan-bahan
tentang Eyang Sawunggaling lebih banyak terekam dalam cerita lisan, legenda,
daripada catatan tertulisnya. Terlepas soalan itu, tentu saja saya tidak
mengabaikan penelusuran oleh-oleh kembang kantil dari makam Eyang Sawunggaling,
sehingga saya pun berikhtiar menelusurinya untuk mengobati rasa penasaran saya.
Keesokan harinya, setelah ziarah pertama saya ke Eyang Sawunggaling, tepat
pada Kamis 12 Desember 2002, saya diajak seorang Gus di Sidoarjo, untuk
mendatangi lokasi bencana di pemandian air panas, Pacet, Mojokerto. Kebetulan
si gus ini dikenal sebagai orang yang peduli, ahli soal 'dalaman' dan mengasuh
padepokan yang memiliki murid cukup banyak. Sungguh kebetulan yang ciamik soro.
Karena itu, kepadanya, saya menceritakan pengalaman saya sehari sebelumnya.
“Saya bantu melek, Mas. Jenengan di dalam, saya dan anak-anak di luar,”
seru dia.
“Maksud jenengan, Gus?” tanya saya.
“Sampeyan mau diberi tombak oleh beliau,” seru dia.
“Wow! Terus?” tanya saya.
“Jenengan bisa mengambilnya, cuma perlu melekan semalam suntuk di sana, dan
harus sendirian,” tutur dia.
“Apa?!” seru saya, dengan mulut menganga.
Ambyar! Bagaimana saya mampu melekan di dalam makam, lha wong, melihat
kembang sekar bergerak-gerak saja, saya sudah lari tunggang-langgang, seperti
maling diburu orang satu kampung Gedangan. Ngacir, Gus!
Terkait dengan pengalaman embongan berbau urban legend jadul tersebut,
meskipun berusaha dibuhul dengan puisi modern, izinkanlah saya menutup ngablak
ini dengan sebuah parikan yang berbau serem, tapi lucu.
mlaku-mlaku golek kodok nang Lidah
barang oleh akeh lali ragawa cempolong
bengi-bengi weruh arek wedok mlumah
barang dicedaki tiba'e gegere bolong
MA, On Sidoarjo, 2021
*Jago di makam Eyang Sawunggaling dan Petarangan Cindelaras. http://sastra-indonesia.com/2021/08/kembang-kantil-dari-makam-eyang-sawunggaling/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar