Sebelum perempuan dengan mata, lengan, dan dada lebam itu hadir di hadapan saya, tak pernah terbayangkan oleh saya mengenai kekerasan pada perempuan. Saya menganggap setiap manusia pada dasarnya baik, dan akan selalu berbuat baik, terutama kepada orang yang ia sayangi. Dan tak masuk dalam logika saya, jika ada seorang lelaki yang mencintai perempuan tetapi sekaligus menjadikannya sasaran pukulan.
Saat perempuan itu datang, di matanya tampak keraguan, dan saya melihat ada percikan rasa bersalah di sana. Iya, betul. Ia merasa bersalah datang ke ugd dan menunjukkan luka-lukanya, seolah-olah dengan menunjukkan bercak ungu kehitaman itu, sama dengan ia membeberkan aib keluarga yang seharusnya ia simpan rapat-rapat di bawah bantal.
Ia menanyakan bagaimana cara membuat visum. “Hanya sekadar berjaga-jaga jika dibutuhkan,” ucapnya gugup. Saya katakan, saya tidak bisa memberikan visum jika tidak ada SPVR dari kepolisian. Saya tawarkan kepadanya untuk meneleponkan unit PPA. Wajahnya yang sudah pucat semakin pucat. Ia menggeleng. “Tidak,” ucapnya, “saya tidak ingin melaporkan suami saya. Sebetulnya, ia baik. Mungkin ia hanya sedang banyak masalah saja.” Ia semakin gugup, seolah-olah kedatangannya untuk memeriksakan luka-luka, lebih buruk daripada apa yang dilakukan suaminya.
Sebagaimana saya menganggap setiap orang pada dasarnya baik, saya juga beranggapan tidak ada orang yang dengan sukarela menjadi korban. Namun, ternyata saya salah. Dengan mengusung pengabdian dan ketaatan pada norma ataupun dogma, dengan sukarela mereka menjadi sansak hidup yang rela dipukul kapan saja. Etika moral yang ditanamkan di kepala mereka—bahwa perempuan harus menjaga aib keluarga, bahwa perempuan harus tunduk, bahwa perempuan harus patuh—menjadi hakim sekaligus sipir di dalam kepala mereka. Etika moral itu memenjarakan diri mereka sehingga mereka tidak berani bangkit dan meraih kebebasannya.
Hal ini dibahas oleh Simone de Beauvoir dalam Etika Ambiguitas. Perilaku perempuan yang menjadi korban ini dibatasi, juga dinilai menggunakan norma (harus menjaga aib, harus patuh dan tunduk kepada kepala keluarga) yang ditetapkan sebelum mereka. Mereka menjadikan kepasrahan dan keberserahan sebagai bekal yang akan menyelamatkan mereka kelak setelah kematian. Namun, begitu ada kemungkinan pembebasan—misalnya saat saya tawarkan untuk menghubungkan ia dengan petugas unit PPA—mereka tak memanfaatkan kemungkinan kebebasan itu karena adanya penjara yang sudah terbangun di kepala mereka.
Gerakan Feminisme, misalnya yang diusung oleh Simone de Beauvoir, sering disalahartikan, bahkan ditentang oleh kaum perempuan sendiri, padahal feminisme sendiri lebih berfokus pada perjuangan untuk membebaskan hak-hak perempuan yang tergadaikan dan membebaskan perempuan dari penjara-penjara norma yang membuat mereka takut meraih kebebasan mereka sendiri. Saat membaca Etika Ambiguitas karya Simone de Beauvoir, saya jadi lebih memahami mengapa keterpenjaraan perempuan terjadi, dan mengapa mereka menolak kebebasan yang ditawarkan kepada mereka walaupun mereka telah menjadi korban. Meskipun saya percaya bahwa itu semua merupakan pilihan bebas masing-masing orang, terutama perempuan, tetapi saya tidak ingin terjadi lagi seperti yang dialami perempuan dengan mata, lengan, dan dada yang lebam. Saya ingin bertemu lagi dengannya dengan wajah, dada, dan lengannya bebas lebam, bukannya menemukan wajahnya di koran dalam kolom dukacita.
*) Sasti Gotama, seorang dokter umum kelahiran Malang yang tinggal di Cilacap. Beberapa cerpennya dimuat di media Kompas, Minggu Pagi, Fajar Makassar, Detik, Ideide, dll. Karya terjemahannya; “Bagaimana Berdebat dengan Kucing”, “Narsisme” (Circa). Buku antologi bersama; “Mimpi-mimpi Erina” (Cerpen dan Puisi Nomine Anugerah Sastra Ideide.id 2020), “Pandemi” (ProsaDiRumahAja, Indonesia Kaya, 2020), “Hanya Cinta yang Kita Punya untuk Mengatasi Segalanya” (2020), “Gagak, Kelelawar, dan Firasat-firasat” (2020). Buku antologi tunggalnya; “Penafsir Mimpi” (2019), “Mengapa Tuhan Menciptakan Kucing Hitam?” (2020). http://sastra-indonesia.com/2021/02/penjara-dalam-kepala/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar