Gus Sabri, siapa yang tidak kenal beliau? Setiap kali nama itu disebut, seperti ada kekaguman yang tak kan habis diceritakan mengenai daya linuwih putra bungsu almarhum Kiai Ridwan Sholeh, pendiri pondok pesantren Pringkuning Kesamben. Di antara kelima saudaranya, Gus Sabri yang paling santer dibicarakan.
Bukan tanpa alasan jika nama Gus Sabri menjadi kondang baik di kalangan para santri maupun warga sekitar. Selain penampilannya yang nyentrik yang membuatnya berbeda dari keluarga ndalem yang lain, juga disebabkan karena tingkah dan ucapannya yang suka nganeh-nganehi dan cenderung tidak bisa dinalar akal.
Di mata para santri sendiri, Gus Sabri adalah seorang pendekar pilih tanding. Semacam tokoh di dunia persilatan yang diceritakan di dalam buku komik atau film silat yang tenar di tanah air tempo dulu. Kadang mereka membayangkan Gus Sabri adalah Jaka Sembung yang dikenal mempunyai tubuh yang kebal senjata tajam dan peluru dari para kompeni, atau Angling Dharma yang bisa menghilang dengan aji halimunannya. Bagi para santri, Gus Sabri adalah ikon Pesantren Pringkuning.
Perawakannya tinggi besar. Rambut panjang ikal terurai sebahu serta kumis dan jenggot yang dibiarkan tak terawat menambah kesan sangar roman muka Gus Sabri. Baju hitam tak berkerah, kopyah beludru yang sudah berwarna kemerah-merahan karena saking lawasnya menjadi ciri khas penampilan beliau selain sarung cingkrang yang di balut ikat pinggang kulit yang lebar. Selain dari segi pakaian, Beliau juga punya kebiasaan yang unik. Jika bepergian kemanapun, Gus Sabri tidak pernah naik kendaraan dan selalu berjalan telanjang kaki.
Ada sebuah kisah yang sering dituturkan oleh para santri secara tutur tinular dan sudah banyak diketahui para warga sekitar dusun kesamben tentang kesaktian Gus Sabri. Ini terjadi pada masa gencar-gencarnya teror ninja terhadap para Kiai di Indonesia akhir tahun ’98 an. Pesantren Pringkuning pun tak luput dari ancaman. Pada saat itu, Kiai yang mengasuh pesantren adalah abang dari Gus Sabri, Kiai Musthofa Ridwan atau biasa dipanggil Kiai Mus. Kharisma dan kealiman beliau sudah dikenal luas di masyarakat luas hingga ke wilayah luar daerah Jawa Timur.
Suatu ketika, ketika malam sedang diliputi kegelapan penuh karena cahaya bulan tertutup mendung. Ada segerombolan penyusup yang masuk ke area pondok. Tak seorang pun yang mengetahuinya karena pada saat itu para santri sudah banyak yang pulang karena bertepatan dengan libur hari raya. Suasana pesantren lenggang. Para penyusup berpakaian serba hitam yang berjumlah lima orang itu menjadi sangat mudah menjangkau rumah tempat tinggal Kiai Mus.
Namun sebuah keanehan terjadi. Langkah gerombolan pembunuh itu tercekat ketika melewati pintu pagar ndalem. Mereka mendadak tidak bisa bergerak. Berdiri mematung di halaman rumah. Jangankan melangkah, berbicara pun para penyusup itu tidak mampu. Hanya mata liar mereka yang masih bisa berkedip-kedip penuh kecemasan. Keberanian mereka lenyap seketika. Dan yang membuat mereka dicekam ketakutan adalah karena ada seorang berbadan tegap tinggi besar yang menghampiri dengan rambut panjang terurai, yang anehnya, juntaian rambut itu menyerupai kobaran api yang menjilat-jilat ganas. Hal itulah yang menelan keberanian dan kebengisan para gerombolan penyusup dan membuatnya tergeletak tanpa daya bagai tubuh tak bertulang.
Para penyusup itu tidak bisa beranjak dari tempatnya sampai bunyi kokok ayam jantan bersahutan. Paginya, betapa kaget Kiai Mus dan keluarga ndalem lainnya ketika melihat lima orang berpakaian seperti ninja itu tergeletak di halaman. Sementara Gus Sabri, adik Kiai Mus terlihat masih nyenyak tidur di sofa teras rumah. Akhirnya para penyusup dilaporkan ke pihak yang berwajib. Maka selamatlah keluarga ndalem dari ancaman pembunuhan.
Tidak hanya itu saja cerita tentang kelebihan Gus Sabri. Beliau juga dikenal sebagai orang yang waskita. Dalam istilah Jawa disebut weruh sakdurunge winarah, bisa mengetahui hal-hal yang bersifat ghaib yang belum terjadi. Seperti yang dituturkan oleh salah satu abdi ndalem pesantren, Kang Parmin. Ketika itu Kang Parmin sedang bekerja membantu Kiai Mus mengurus sawah milik pesantren. Ketika sedang sibuk mencangkul, lewatlah Gus Sabri di depannya. Dengan nada yang santai, tanpa ada referensi pembicaraan sebelumnya, tiba-tiba Gus Sabri menyuruh Kang Parmin pulang ke rumahnya.
“Min, besok pulang min!” seloroh Gus Sabri.
“Lho, wonten nopo, Gus?” Jawab kang Parmin setengah keheranan.
“Sudah, kamu pulang saja besok. Ndak kangen sama bapakmu ta min?” terang Gus Sabri sambil berlalu dari Kang Parmin.
Kang Parmin masih terbengong diliputi kebingungan. Sejenak berhenti dari aktifitas mencangkulnya. Mungkin Gus Sabri sedang bergurau, pikir Kang Parmin sambil melanjutkan kerjanya. Kejadian itu masih menyisakan tanda tanya di benak Kang Parmin hingga pada keesokan harinya, di suatu pagi ia dijemput keluarganya dari desa untuk diajak pulang karena bapaknya baru saja meninggal dunia. Padahal menurut keterangan tetangganya bapaknya Kang Parmin terlihat sehat wal afiat bahkan paginya masih sholat Shubuh berjamaah di langgar kampung. Sejak kejadian itu, Kang Parmin menyimpulkan bahwa ternyata Gus Sabri juga mempunyai ilmu kasyaf.
Perbincangan mengenai kelebihan yang dimiliki Gus Sabri tidak hanya terhenti di lingkup pesantren saja. Para warga, khususnya para alumni dan orang-orang tua yang pernah bersinggungan dengan Gus Sabri maupun pesantren juga sering membuka perbincangan. Bahkan mereka sering membumbuinya dengan cerita rekaan mereka sendiri.
“Jalur keturunan keluarga Kiai Ridwan memang bukan dari orang sembarangan.” Lek Jo mengawali cerita di warung kopi pojok kampung. “Tidak heran jika dari keluarga ndalem akan muncul putra-putra beliau yang mempunyai daya linuwih.” Lanjut Lek Jo sambil menyeruput kopi.
“Bukan orang sembarangan bagaimana lek?” Tanya Wak Jan, pemilik warung kopi.
“Abahnya dulu itu salah satu Kiai penggembleng kanuragan laskar rakyat yang berperang melawan para penjajah. Nah, pondok Pringkuning itu sebagai pusat latihannya.” Lek Jo begitu gamblang menerangkan karena ia adalah alumni pesantren ketika masih di asuh oleh Kiai Ridwan dulu..
Dari sebuah fakta menyebutkan. Jika diruntut, nasab keturunan keluarga Kiai Ridwan, akan sampai pada keturunan ke sekian dari tokoh yang menjadi sentral pada jaman kerajaan islam setelah Demak Bintara berkuasa. Hal ini yang membuat orang-orang sangat hormat dan segan kepada keluarga ndalem. Selain karena tersohor kealiman ilmunya juga karena masih memiliki trah darah biru.
***
Hari itu keluarga besar pondok pesantren Pringkuning punya gawe. Haul yang ke tujuh belas almaghfurlah Kiai Ridwan Sholeh, pendiri pesantren, akan dilaksanakan. Sejak jauh-jauh hari semua telah dipersiapkan. Para abdi ndalem dan santri semua terlibat dalam kepanitiaan. Termasuk yang paling sibuk adalah Kang Parmin. Bisa dikatakan ia adalah abdi ndalem yang paling senior diantara yang lain. Kang Parmin mendapat mandat dari Kiai Mus sebagai ketua panitia. Meskipun tiap tahun acara haul ini diadakan, kabarnya kali ini acara haul akan di helat lebih besar-besaran. Pasalnya ada donatur dari para pejabat penting di negeri ini yang akan membantu membiayai acara.
Biasanya, pada saat seperti ini. Putra putri dari Kiai Ridwan Sholeh akan hadir semua. Putra sulung Kiai Ridwan, yaitu Kiai Ahmad sudah datang tadi pagi. Beliau menjadi pengasuh di salah satu pesantren yang berada di pesisir daerah Jawa Tengah. Sedangkan Ibu Nyai Nuriyah bahkan sudah datang dari kemarin bersama suaminya, Kiai Basyuni yang mengasuh pesantren di daerah Madura. Putra ketiga Kyai Ridwan adalah Kiai Mustofa yang mewarisi pesantren Pringkuning peninggalan ayahandanya.
Acara haul sudah dimulai sekitar jam delapan malam. Namun ada yang kurang. Bukan karena jumlah hadirin yang sedikit. Bukan. Bahkan panitia kewalahan menyediakan akomodasi untuk tamu undangan yang membludak. Kang Parmin sebagai penanggung jawab acara pun merasakan ada yang belum lengkap. Iya. Gus Sabri. Seorang yang fenomenal ini tidak terlihat sama sekali di acara.
Tengah malam, acara barulah purna. Selepas acara, nampaknya sesuai perkiraan Kang Parmin. Ia mendapat perintah langsung dari Kiai Mustofa untuk mencari keberadaan Gus Sabri. Tengah malam itu juga Kang Parmin segera melaksanakan dawuh untuk mencari Gus Sabri. Hampir di tiap sudut pondok sudah diperiksanya. Di gubuk sawah tempat yang biasanya dipakai Gus sabri mujahadah malam juga kosong tidak berpenghuni. Kang Parmin mencari Gus Sabri hingga ke perkampungan warga. Hasilnya juga nihil. Kang Parmin nyaris putus asa.
Malam terus beranjak. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga pagi. Kang Parmin masih bertahan di jalanan. Tiba-tiba ia seperti mendapat ilham. Nalurinya menuntun Kang Parmin pada pesarean keluarga ndalem Kiai Ridwan berada di sebelah utara pos jaga keamanan pesantren. Biasanya Gus Sabri selain bermalam di gubuk persawahan, beliau juga sering berada di pesarean. Tanpa berfikir panjang. Kang parmin segera meluncur ke tempat yang ia perkirakan tersebut.
Area pesarean tampak sepi. Hanya suara gemerisik serangga malam yang bersahutan memecah keheningan. Cahaya bulan sempurna bersinar. Sorotnya menembus hingga ke sebuah cungkup makam. Kang Parmin tertegun melihat seseorang tersedu di sana. Dialah Gus Sabri. Beliau berpakaian serba putih dan tidak nampak seperti biasanya. Gus sabri terlihat sedang duduk bertafakur di depan pesarean almarhum Kiai Ridwan. Kang Parmin belum berani memanggil. Ia hanya berdiri di belakang Gus Sabri dengan menyimpan serentetan pertanyaan. Namun seperti sudah mengetahui siapa yang datang. Gus Sabri menyapa Kang parmin.
“Min, kamu nanti bilang sama Kiai Mus. Saya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu di kawatirkan.”
“Engge Gus,” Kang Parmin menyahut singkat.
“Kamu tahu, Min, mengapa aku tidak bisa ikut menghadiri acara haul di pesantren?” Gus Sabri seperti sudah tahu apa yang menjadi pertanyaan Kang Parmin.
“Mboten semerap, Gus,” jawab Kang Parmin singkat.
“Karena tamu-tamu dari kota besar itu lho, Min. Yang duduk di barisan depan, berjas dan berdasi,” terang Gus Sabri.
“Oh…Mereka para donator, Gus. Orang penting dari kota besar katanya. Ada apa dengan mereka, Gus?” Tanya Kang Parmin.
“Awalnya aku berniat hadir pada acara tadi malam, Min. Namun aku urungkan. Kamu tahu, Min? Aku melihat hampir semua tamu itu, meskipun tidak semuanya, yang katamu tadi orang penting itu, semua berkepala Anjing. Menyeringai dengan liur yang berseleweran menetes dari mulut mereka. Seketika juga, aku pergi menjauh, Min. Tak sudi aku berada bersama orang-orang seperti itu.” Gus Sabri Nampak serius bercerita.
Kang parmin tercengang mendengar cerita Gus Sabri. Ia jadi teringat, di salah satu media memberitakan ihwal tentang kasus-kasus yang menyerempet para kaum elit tersebut. Namun ujung-ujungnya ketika di proses, mereka masih bisa lolos dari jerat hukum. Kang Parmin percaya bahwa penglihatan Gus Sabri benar adanya. Memang di dunia ini ada hal lain yang tidak bisa dinalar, termasuk kelebihan yang dimiliki Gus Sabri.
“Sudah, Min. Bilang sama Kiai Mus. Untuk sementara ini aku akan pergi. Kemana kakiku akan melangkah, biarlah mengikuti kata hati. Nanti jika pesantren kembali bercahaya. Aku akan kembali,” ucap Gus Sabri.
Kang Parmin mengangguk dan hanya bisa diam. Sebuah pelajaran amat berharga ia dapatkan. Setelah pamit undur diri, Kang Parmin segera kembali ke pesantren. Dengan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Ia memutuskan akan memberanikan diri menyampaikan cerita dari Gus Sabri pada Kiai Mus. Kang Parmin yakin, Kiai akan dengan sangat arif menanggapi permasalahan ini. Dari kejadian ini, Allah telah membuka setitik rahasia yang tersembunyi pada orang-orang yang berhati putih seperti Gus Sabri. Seorang yang punya tingkat keikhlasan dan ketawadhuan yang benar-benar murni. Kelebihan yang beliau miliki sejatinya adalah titipanNya. Menjadi sebuah karunia atau ujian? Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Sampai cerita ini ditulis, Gus Sabri belum pernah sekalipun tampak kembali ke pesantren. Lalu, di manakah beliau berada? Wallahu a’lam bisshowab.
Gresik, 5 November 2018
*) Jadid Al Farisy, lahir di bantaran Bengawan Solo, Desa Kendal, Sekaran, Lamongan. Menulis puisi, cerpen, esai, geguritan. Beberapa karyanya tersiar di media Republika, Radar Bojonegoro, Iqro.id, Alif.id, Pesantren.id. Puisi dan cerpennya bisa dijumpai dalam antologi bersama: Bocah Luar Pagar, Ini Hari Sebuah Masjid Tumbuh di Kepala, Hikayat Daun yang Jatuh dan Muhasabah Warna. Buku tunggalnya: Kopi Kang Santri (cerpen), Aku Membacamu, Kekasih (puisi), Dialektika Akar Rumput (esai), Kawula Mung Saderma (geguritan). Pendidik di SMA Unggulan BPPT Al Fattah Lamongan, dan MI Ma’arif NU Islamiyah Kendal. http://sastra-indonesia.com/2021/01/sirri-gus-sabri/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar