Maman S. Mahayana *
Multikulturalisme adalah
sebuah filosofi liberal dari pluralisme budaya demo-kratis. Multikulturalisme
didasarkan pada keyakinan bahwa semua kelompok budaya secara sosial dapat
diwujudkan, direpresentasikan, dan dapat hidup berdampingan. Selain itu,
diyakini pula bahwa rasisme dapat direduksi oleh penetapan citra positif
keanekaragaman etnik dan melalui pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain.
Dalam kaitannya dengan
hal tersebut, pengetahuan kebudayaan-kebudayaan lain itu, tentu saja penting
artinya dalam rangka pembukaan ruang interaksi antaretnis, antarsuku bangsa dan
antarbudaya. Dari sanalah pemahaman adanya perbedaan budaya dapat ditempatkan
dalam posisi yang setara, sehingga ia dapat diapresiasi masing-masing etnis dan
suku bangsa dengan keanekaragamannya. Secara ideologis, multikulturalisme
sangat mengagungkan adanya perbedaan budaya yang mengakui dan mendorong
terwujudnya pluralisme budaya sebagai sebuah corak kehidupan kemasyarakatan.
Pusat perhatian dan titik
tekan multikulturalisme adalah pada pemahaman dan kesadaran bahwa individu dan
kelompok sosial sejatinya hidup dalam berbagai perbedaan, baik perbedaan
ideologi, agama, suku bangsa, maupun budaya. Melalui pemahaman dan kesadaran
itu, setiap individu sebagai bagian dari kelompok sosial dan warga suku bangsa
akan dapat menempatkan perbedaan budaya dalam kerangka kesetaraan derajat, dan
bukan dalam kategori kelompok mayoritas yang mendominasi kelompok minoritas.
Kesusastraan sebagai
bagian dari kebudayaan, dan secara spesifik sebagai karya yang dihasilkan
melalui proses panjang kegelisahan dan pemikiran sastrawannya, tentu saja tidak
terlepas dari berbagai persoalan yang dalam konteks multikultural, justru dapat
dianggap sebagai representasi salah satu corak kebudayaan. Jadi, ia tidak hanya
dapat diperlakukan sebagai dokumen sosial yang menggambarkan corak individu di
dalam interaksinya dengan sebuah kelompok masyarakat atau suku bangsa, tetapi
juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya yang melahirkan, membesarkan,
dan melingkarinya. Dengan demikian, karya sastra dapat pula persoalannya
ditarik dalam lingkaran cultural studies atau multikulturalisme. Yang kemudian
disoroti bukanlah teks, melainkan konteks budayanya yang mengagungkan
perbedaan-perbedaan dan pluralisme kultural.
***
Masalah multikulturalisme
dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan secara praksis muncul bersamaan dengan
lahirnya sastra Indonesia modern. Ada beberapa alasan yang melatari pemikiran
itu. Pertama, sastra Indonesia modern lahir sebagai hasil pertemuan dengan
kebudayaan Barat yang lalu wujud dalam bentuk sastra tulis. Dengan begitu,
tradisi lisan (oral tradition), tersisih oleh berbagai ragam sastra tulis.
Kedua, sastra Indonesia dilahirkan dari rahim sastrawan yang tidak dapat
melepaskan dirinya dari kultur etnik yang membesarkan dan membentuknya.
Mengingat sastrawan Indonesia berasal dari pluralitas dan keanekaragaman etnik,
maka niscaya khazanah sastra Indonesia mencerminkan juga kenekaragaman itu.
Ketiga, sastra Indonesia ditulis dalam bahasa Indonesia, sebuah bahasa yang
diangkat dari bahasa etnis Melayu yang penyebarannya di wilayah Nusantara telah
punya sejarah yang panjang. Ia juga sudah sejak lama menjadi lingua franca;
bahasa perhubungan antarsuku-suku bangsa yang berbeda dan antara pribumi dan
orang asing, baik dalam hubungan pemerintahan, maupun perdagangan.
Demikian, kesusastraan
Indonesia sejak awal kelahirannya sudah memperlihatkan dirinya sendiri yang
multikultural. Ada pluralitas yang mendiami ruh sastra Indonesia, dan dengan
demikian ada keanekaragaman, baik yang menyangkut tema yang diangkat, maupun
gaya pengucapan yang disampaikannya. Dalam konteks yang lebih luas, sastra
Indonesia merupakan representasi pluralisme budaya yang melatarbelakangi,
melingkari, dan yang melekat dalam diri pengarangnya.
Di dalam perkembangannya
kemudian, representasi pluralitas budaya tadi sering dilupakan atau sengaja
dilalaikan. Akibatnya, sastra Indonesia seolah-olah lahir begitu saja, tanpa
proses kultural. Ia seperti tak punya kaitan dengan problem yang berada di
belakangnya. Ia juga seperti tak berhubungan dengan kegelisahan dan pergolakan
kultural yang berkecamuk dalam diri pengarang, baik sebagai individu, maupun
sebagai anggota masyarakat yang berkebudayaan. Dengan begitu, secara tersirat
kesadaran mengenai identitas kesusastraan Indonesia, sepertinya ditiadakan dan
yang muncul ke permukaan adalah wadah persamaan dan kesatuan keindonesiaan yang
seolah-olah homogen. Sastra Indonesia jadinya tercerabut dari akar pluralitas
kulturalnya.
***
Problem dasar sastra
Indonesia dalam kaitannya dengan multikulturalisme adalah kenyataan bahwa lewat
wadah bahasa Indonesia, berbagai perbedaan etnis dan budaya, dianggap telah
selesai. Padahal, bahasa Indonesia sekadar sarana; hanya alat bagi sastrawan
kita untuk mengejawantahkan kegelisahan kulturalnya. Di dalam masyarakat-bangsa
yang majemuk, pluralitas etnik adalah kenyataan. Dan kenyataan itu tidak
serta-merta lebur dan menjelma dalam keseragamanan, hanya lantaran ia
menggunakan bahasa yang sama.
Dalam kaitan itulah, para
pendiri bangsa ini merumuskan butiran Sumpah Pemuda dengan kesadaran untuk
tidak meninggalkan dan menanggalkan pluralitas etnik. Butiran kedua Sumpah
Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa
Indonesia” tidaklah berhenti hanya sampai di sana, karena ada butiran ketiga
yang mengikuti sekaligus yang melengkapinya. Cermati rumusan butir ketiga
Sumpah Pemuda: “Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa
Indonesia.”
Demikian, secara
politis-ideologis, berbagai perbedaan etnik dapat dipersatukan melalui
kesadaran menjunjung bahasa persatuan dan tidak mengaku sebagai bahasa yang
satu. Ini berarti ada pengakuan mengenai keberadaan bahasa yang lain. Secara
kultural, masing-masing etnis tetap hidup dengan keanekaragaman perbedaan
bahasanya. Tersirat, ada pengakuan kesetaraan terhadap perbedaan-perbedaan
budaya yang melekat pada keanekaragaman pluralitas etnik.
Bagian itulah yang
mestinya dikembangkan sebagai bentuk pengakuan dan sekaligus apresiasi terhadap
perbedaan yang memang sejatinya telah ada sebagai kenyataan. Jadi, pemaknaan
terhadap butir kedua dan ketiga Sumpah Pemuda itu bukanlah dalam kerangka
monokulturalisme yang menekankan penyatuan budaya-budaya sebagai sebuah
kesatuan yang seragam, melainkan dalam kerangka multikulturalisme yang
mengagungkan dan sekaligus mengakomodasi perbedaan-perbedaan kesukubangsaan .
***
Sejak awal kelahiran dan
pertumbuhan sastra Indonesia, politik kolonial Belanda memperlihatkan
cengkeraman hegemoninya. Balai Pustaka sebagai lembaga kolonial, secara efektif
memperalat sastra Indonesia untuk kepentingan membangun citra positif bangsa
Belanda. Langkah-langkah politis melalui kebijaksanaan pendidikan pun lalu
dijalankan. Muncullah kemudian sastra Indonesia yang elitis, yang tidak
menyinggung perbedaan etnis, yang dilarang mengangkat persoalan agama, dan yang
tidak boleh membicarakan semangat kebangsaan.
Hegemoni politik kolonial
pun diperluas dengan usahanya membendung pengaruh bacaan-bacaan yang
diterbitkan pihak swasta. Dikatakannya, bacaan-bacaan itu sebagai produk
agitator dari “Saudagar kitab yang tidak suci hatinya.” Bacaan-bacaan itu
berbahaya karena dapat menghasut dan menyesatkan. Dengan menggunakan cap
sebagai “Bacaan liar,” karya-karya sastra yang diterbitkan pihak swasta, selalu
terhadang memasuki wilayah dunia pendidikan. Jadilah, karya-karya sastra yang
terbit di luar Balai Pustaka bergulir dengan konotasi yang buruk sebagai bacaan
yang menyesatkan.
Sekadar menyinggung
beberapa karya, sebutlah buah tangan para pengarang peranakan Tionghoa, seperti
Oey Se (1903) karya Thio Tjien Boen, Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang,
Tjerita si Riboet (1917) karya Tan Boen Kim, Nyai Marsina (1923) karya Numa,
Boenga Roos dari Tjikembang (1927) dan Drama dari Krakatau (1929) karya Kwee
Tek Hoaij, Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929) karya Madame d’Eden Lovely, dan
Njai Isah (1931) karya Sie Liplap. Selain itu, karya-karya bangsa pribumi macam
Mas Marco Kartodikromo, Studen Hidjo (1919) dan Rasa Medika (Hikajat Soedjanmo)
(1924), Semaun, Hikajat Kadiroen (1924), Hamka, Didjempoet Mamaknja (1930),
Soeman Hs, Pertjobaan Setia (1931), A. Hasjmy, Melaloei Djalan Raja Doenia
(1938), A. Damhoeri, Depok Anak Pagai (1938), dan Merayu Soekma, Menanti
Kekasih dari Mekah (1938) termasuk karya yang diterbitkan pihak swasta.
Lalu apa maknanya
karya-karya itu dalam konteks pembicaraan multikulturalis-me? Sebagai akibat
dijalankannya politik kolonial yang kemudian mengalir terus dalam dunia
pendidikan kita selama ini, karya-karya itu secara apriori dimasukkan ke dalam
kotak roman picisan –menurut Roolvink– dan bacaan liar menurut versi
kebijaksanaan Balai Pustaka pada masa awal berdirinya lembaga itu. Buku-buku
sejarah sastra Indonesia juga tidak memasukkan karya-karya itu dalam kanon
resmi perjalanan sastra Indonesia. Akibatnya, banyak nama dengan sejumlah
karyanya, masih tetap tercecer, termarjinalisasi, dan tenggelam oleh kanon
sastra yang resmi.
Lebih jauh lagi,
persoalannya tidak hanya sampai di sana. Karya-karya yang ditulis oleh para
pengarang peranakan Tionghoa, banyak yang mengangkat wacana asimilasi sebagai
sebuah proses pembauran etnik minoritas ke dalam masyarakat mayoritas. Dalam
novel Lo Fen Koei (1903) karya Gouw Peng Liang, misalnya, proses itu tampak
masih terbatas pada usaha menampilkan kultur masyarakat Tionghoa, pribumi, dan
Belanda.
Hasrat mengangkat wacana
pembauran itu lebih jelas lagi tampak dalam Boenga Roos dari Tjikembang (1927)
karya Kwee Tek Hoaij. Percintaan antaretnis (Tionghoa dan pribumi) dibumbui
pula gambaran budaya Cina dan Sunda. Di dalamnya termasuk juga persoalan
kepercayaan (Konghucu dan Islam). Wacana yang juga dimunculkan Madame d?Eden
Lovely dalam Itu Bidadari dari Rawa Pening (1929). Dalam karya Mas Marco
Martodikromo dan Semaun, konflik budaya feodal dan egaliterian dihadapkan pada
persoalan sukubangsa dan kebangsaan.
Masalah kultur etnik dan
kritik tajam terhadap feodalisme dan tradisi, memang paling mudah dicari dalam
novel-novel terbitan swasta dibandingkan dalam novel-novel terbitan Balai
Pustaka. Kecuali novel Salah Asuhan (1928) karya Abdul Muis yang menampilkan
hubungan dua budaya melalui Corrie (Indo-Perancis, Barat) dan Hanafi
(Minangkabau, pribumi) dan Asmara Jaya (1928) karya Adinegoro yang juga
menampilkan dua budaya melalui Rustam (Minangkabau) dan Dirsina (Sunda), sebagian
besar novel Balai Pustaka sebelum merdeka, tidak menjadikan kultur etnik dan
pertemuan antarbudaya etnik sebagai persoalan atau tema penting. Oleh karena
itu, dalam novel-novel Balai Pustaka, kita akan sulit menjumpai tema yang
mengangkat konflik antarbudaya atau persoalan yang ditimbulkan lantaran
perbedaan-perbedaan budaya, agama, kepercayaan, sukubangsa atau ideologi.
Persoalan itu tentu saja
ada kaitannya dengan politik kolonial Belanda. Nota Rinkes (1910) secara
eksplisit menyebutkan tiga syarat penting yang digunakan Balai Pustaka dalam
menyeleksi naskah-naskah yang akan diterbitkan. Ketiga syarat itu adalah (1)
tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, (2) tidak menyinggung perasaan
dan etika golongan masyarakat tertentu,dan (3) tidak menyinggung perasaan suatu
agama tertentu. Dengan adanya ketentuan Nota Rinkes itu, maka wajarlah jika
novel-novel Balai Pustaka cenderung memperlihatkan tokoh-tokoh yang karikaturis
dan hitam-putih dengan persoalan seputar perkawinan dan kehidupan rumah tangga.
Persyaratan model Nota
Rinkes itu tentu saja tidak berlaku bagi penerbit swasta. Dengan demikian,
penerbit swasta lebih leluasa menerbitkan buku-bukunya tanpa harus
mempertimbangkan masalah etnik, agama, kepercayaan, dan golongan. Bahkan, dalam
beberapa novel, pengarangnya tampaknya justru sengaja mengeksploitasi
konflik-konflik yang ditimbulkan oleh perbedaan sukubangsa, agama, kepercayaan,
etnik, dan golongan sebagai bentuk promosi, baik untuk bukunya itu sendiri,
maupun untuk majalah tempat cerita itu dimuat secara bersambung.
Peristiwa-peristiwa percintaan, kehidupan rumah tangga atau peristiwa apa saja
yang menjadi berita, sering kali kemudian diangkat sebagai novel dengan
menyebutkan bahwa cerita novel itu berdasarkan kejadian yang sebenarnya. Novel Lo
Fen Koei, misalnya, di halaman depannya ada keterangan sebagai berikut:
“Tjerita jang betoel soeda kedjadian di pulo Djawa dari halnja satoe toean tana
dan pachter opioem di Res. Benawan …”
Dengan memperhatikan
tema-tema yang begitu beragam dari khazanah karya sastra terbitan di luar Balai
Pustaka itu, maka di satu pihak, terbuka penelitian yang luas bagi cultural
studies dan lebih khusus lagi melalui pendekatan multikulturalisme untuk
mencari bentuk multikulturalisme yang pas bagi kehidupan bangsa Indonesia yang
majemuk dan pluralis. Di samping itu, sudah saatnya bagi kita membuka
lebar-lebar kesadaran tentang berbagai perbedaan dan interaksi kultural untuk
menempatkan multikulturalisme sebagai sebuah wadah yang dinamis, ruh yang
demokratis.
Meskipun demikian, tentu
saja tidak semua khazanah karya yang diterbitkan di luar Balai Pustaka dapat
digunakan sebagai bahan kajian. Karya-karya yang cuma sekadar mengeksploitasi
konflik-konflik etnis tanpa dibarengi oleh eksplorasi literer-estetik, tentu
saja tidak perlu dipertimbangkan. Nilai estetik dan literer, bagaimanapun tetap
menjadi bahan pertimbangan, di samping sebagai salah satu usaha menghindar dari
kepentingan ideologis tertentu.
***
Khazanah sastra Indonesia
selepas merdeka, terutama di awal tahun 1950-an, sebenarnya lebih kuat
mencerminkan semangat etnik kedaerahan. Dengan begitu, memperlihatkan juga
semangat mengangkat kultur etnik. Hal tersebut dimungkinkan oleh beberapa
faktor berikut.
Pertama, pengaruh Balai
Pustaka selepas merdeka tidaklah sekencang dan sekuat sebelumnya. Nota Rinkes
dan persyaratan penggunaan bahasa Indonesia yang bersih dari unsur etnik, tidak
lagi berlaku. Dengan demikian, sastrawan Indonesia selepas merdeka jauh lebih
leluasa mengungkapkan kegelisahan kulturalnya.
Kedua, bersamaan dengan
pudarnya pengaruh Balai Pustaka, muncul pula penerbit-penerbit lain yang juga
cukup luas pengaruhnya.
Ketiga, pudarnya pengaruh
sastrawan asal Sumatra dan munculnya sastrawan-sastrawan dari berbagai daerah,
terutama Jawa dan Sunda, makin memperkaya style, gaya pengucapan, serta
tema-tema yang dikedepankan.
Keempat, masuknya
pengaruh asing secara lebih leluasa, membuka ruang yang lebih lebar bagi
pemerkayaan tema, gaya atau apapun yang berkaitan dengan usaha sastrawannya
meningkatkan kualitas kesastrawanannya.
Keempat faktor itu
terjadi pada dasawarsa tahun 1950-an ketika pemerintah Indonesia tidak lagi
diganggu oleh militer Belanda. Kini, terjadinya gerakan Reformasi yang
melengserkan rezim Soeharto, telah membawa ke dalam situasi yang dalam
kesusastraan Indonesia kondisinya hampir sama dengan kondisi awal tahun 1950-an
itu. Bahkan kini, arus deras globalisasi dan hilangnya sekat-sekat geografis
dalam dunia telekomunikasi, makin meramaikan keberagaman dan kesemarakan
budaya. Oleh karena itu, saatnya kini sastrawan kita mengeksploitasi
keberagaman dan berbagai perbedaan budaya sebagai lahan garapannya. Ini tentu
saja penting tidak hanya untuk menghindari terjadinya konflik etnik, tetapi
juga menarik persoalannya dalam kerangka integrasi dan kebangsaan. Dalam
konteks itulah, multikulturalisme dapat memainkan peranannya.
***
Kondisi saat ini
sesungguhnya membuka kemungkinan yang sangat besar bagi laju perkembangan
sastra Indonesia di kancah sastra dunia. Ada sejumlah faktor pendukung yang
niscaya membawa kesusastraan Indonesia dengan mudah memasuki wilayah sastra
dunia dan memperoleh pengakuan internasional. Beberapa faktor pendukung itu
dapatlah disebutkan di sini sebagai berikut:
Pertama, pluralitas
kultural yang dimiliki suku-suku bangsa di wilayah Nusantara ini merupakan
lahan yang tak bakal habis digali dan dimanfaatkan bagi pemerkayaan khazanah
sastra Indonesia. Periksa saja karya-karya yang dihasilkan sastrawan kita yang
mengalami kegelisahan kultural atas budaya etniknya sendiri. Dari kultur
Minangkabau, misalnya, kita dapat menyebutkan nama-nama Darman Munir lewat
novelnya, Bako (1983) dan Dendang (1990), Wisran Hadi, Orang-Orang Blanti
(2000), dan Gus tf Sakai, Tambo: Sebuah Pertemuan (Grasindo, 2000). Dari kultur
Jawa, dapat disebutkan di antaranya, karya Arswendo Atmowiloto, Canting (1986),
Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk (1982), Umar Kayam, Para Priyayi (1992),
Kuntowijoyo, Pasar (1994), dan Danarto, Asmaraloka (1999) dan antologi
cerpennya, Setangkai Melati di Sayap Jibril (2001). Dari kultur Melayu dapat
disebutkan karya Ediruslan Pe Amanriza, Dikalahkan Sang Sapurba (2000), Taufik
Ikram Jamil, Hempasan Gelombang (1999) dan Gelombang Sunyi (2001). Dari kultur
Madura dapat kita cermati dari sejumlah antologi puisi D. Zawawi Imron dan dari
kultur Dayak, pilihan jatuh pada novel Upacara (1978) karya Korrie Layun
Rampan.
Tentu saja masih banyak
nama dan karya lain yang tidak disebutkan di atas yang memperlihatkan kuatnya
kegelisahan kultural yang dihadapi pengarangnya. Niscaya pula karya-karya
mereka juga sangat pantas menjadi bahan kajian kita.
Kedua, hadirnya begitu
banyak penerbit di luar Jakarta, seperti Riau, Padang, Yogyakarta, Surabaya,
Magelang, Bandung, Lampung, telah memungkinkan munculnya kesemarakan bagi
khazanah kesusastraan Indonesia. Dalam hal ini, karya-karya yang diterbitkan
penerbit dari berbagai kota itu memperlihatkan kuatnya kultur etnik.
Ketiga, munculnya
sastrawan-sastrawan wanita dengan latar belakang budaya yang berbeda, ikut pula
meramaikan peta kesusastraan Indonesia. Yang menarik dari karya-karya mereka
adalah beragamnya bentuk representasi yang jika dilihat dari perspektif
multikultural, justru memperlihatkan pengagungan pada keanekaragaman dan
pluralitas. Periksa misalnya dua novel Ayu Utami, Saman (1998) dan Larung
(2001), Dewi Lestari, Supernova (2001), antologi cerpen Dorothea Rosa Herliany,
Perempuan yang Menunggu (2000) dan antologi puisinya, Kill the Radio (2001),
Helvy Tiana Rosa, Manusia-Manusia Langit (2000) dan Nyanian Perjalanan (2000),
Fira Basuki, Jendela-Jendela (2001), Abidah el-Khalieqy, Perempuan Berkalung
Sorban (2001) dan antologi cerpen Menari di atas Gunting (2001), antologi
cerpen Ratna Indraswari, Namanya, Massa (2001), dan dua novel Oka Rusmini,
Tarian Bumi (2000) dan Sagra (2001).
Keempat, diberlakukannya
otonomi daerah makin melebarkan peluang bagi sastrawan daerah untuk melakukan
eksplorasi kekayaan budaya suku bangsanya sendiri. Dengan demikian, bakal
meramaikan konstelasi kesusastraan Indonesia melalui eksplorasi dan penggalian berbagai
budaya etnik. Pada gilirannya, kondisi ini makin mempertegas adanya
keanekaragaman budaya dan pluralitas yang melekat dalam diri sastrawan kita.
***
Menempatkan kesusastraan
Indonesia dalam perspektif multikulturalisme pada akhirnya menggulirkan pertanyaan
mendasar: peranan apa yang hendak dimainkan sastra Indonesia di dalam kerangka
multikulturalisme?
Melihat kenyataan pahit
bahwa di berbagai daerah terjadi konflik etnis dan agama serta munculnya
benih-benih disintegrasi, sangat boleh jadi pemicunya lantaran hilangnya
toleransi dan pemahaman budaya etnik yang lain. Dalam konteks itulah, sastra
Indonesia yang merupakan salah satu bentuk representasi kultural sastrawannya,
dapat menjadi alat yang efektif untuk saling mempelajari kebudayaan-kebudayaan
lain. Jadi, melalui karya-karya sastra sebagaimana yang telah disebutkan di
atas, bangsa ini dapat memulai program pendidikan kebudayaan suku-suku bangsa
lain yang tersebar di Nusantara ini. Bersamaan dengan itu, boleh pula dicobakan
pendidikan multikultural yang bahan-bahannya, di antaranya, juga karya-karya
sastra tadi. Persoalannya tinggal, bagaimana pendidikan kebudayaan-kebudayaan
lain lewat karya-karya sastra itu disusun dan disiapkan guna menemukan format
yang paling ideal. Barangkali, gagasan ini bolehlah dicobakan!
***
*) Maman S. Mahayana,
lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda
Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H.
Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra
Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di
almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas
Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas
Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of
Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea
Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil
penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia”
(LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim
Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI,
2000). http://sastra-indonesia.com/2008/12/sastra-indonesia-dalam-perspektif-multikulturalisme/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Label
20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan
A Mustofa Bisri
A. Anzieb
A. Aziz Masyhuri
A. Jabbar Hubbi
A. Khoirul Anam
A. Kurnia
A. Syauqi Sumbawi
A. Zakky Zulhazmi
A.C. Andre Tanama
A.H. J Khuzaini
A.H.J Khuzaini
A.S Laksana
A.S. Laksana
Abdul Hadi WM
Abdul Kirno Tanda
Abdurrahman Wahid
Abid Rohmanu
Acep Iwan Saidi
Acrylic on Canvas
Addi Mawahibun Idhom
Ade P. Marboen
Adib Baroya
Adib Muttaqin Asfar
Aditya Ardi N
Adreas Anggit W.
Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI
Afrizal Malna
AG. Alif
Agama
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agunghima
Agus Aris Munandar
Agus Buchori
Agus Prasmono
Agus Priyatno
Agus R. Subagyo
Agus Setiawan
Agus Sulton
AH J Khuzaini
Ahmad Damanik
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Wiyono
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainul Fitriyah
Ajip Rosidi
Akhmad Marsudin
Akhmad Sahal
Akhmad Sekhu
Akhmad Taufiq
Akmal Nasery Basral
Aksin Wijaya
Al Mahfud
Alex R Nainggolan
Ali Nasir
Ali Soekardi
Alunk Estohank
Amanche Franck Oe Ninu
Aming Aminoedhin
Anakku Inspirasiku
Anang Zakaria
Andhi Setyo Wibowo
AndongBuku #3
Andri Awan
Andry Deblenk
Anindita S. Thayf
Anjrah Lelono Broto
Antologi Puisi Kalijaring
Antologi Sastra Lamongan
Anton Kurnia
Anugerah Ronggowarsito
Anwar Syueb Tandjung
Aprillia Ika
Aprillia Ramadhina
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Arafat Nur
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Junianto
Arif 'Minke' Setiawan
Arim Kamandaka
Aris Setiawan
Armawati
Arswendo Atmowiloto
Art Sabukjanur
Arti Bumi Intaran
Aryo Wisanggeni G
Asap Studio
Asarpin
Asrizal Nur
Awalludin GD Mualif
Ayu Sulistyowati
Aziz Abdul Gofar
Bale Aksara
Bambang Kempling
Bandung Mawardi
Banyuwangi
Bara Pattyradja
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Indo
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Lukisan
Berita Utama
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshauser
Bidan Romana Tari
Binhad Nurrohmat
Biografi
Bisnis
Bondowoso
Bre Redana
Brunel University London
Budi P. Hatees
Budi Palopo
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chicilia Risca
Coronavirus
Cover Buku
COVID-19
Cucuk Espe
D. Kemalawati
Dadang Ari Murtono
Dadang Sunendar
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Dedi Gunawan Hutajulu
Den Rasyidi
Deni Jazuli
Denny Mizhar
Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak
Desa Glogok Karanggeneng
Dessy Wahyuni
Dewi Yuliati
Dhanu Priyo Prabowo
Dhoni Zustiyantoro
Dian Sukarno
Dien Makmur
Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan
Diskusi buku
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Djuli Djatiprambudi
Doddy Hidayatullah
Dody Yan Masfa
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr. Hilma Rosyida Ahmad
Drs H Choirul Anam
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Kartika Rahayu
Dwi Pranoto
Dwijo Maksum
Edeng Syamsul Ma’arif
Efendi Ari Wibowo
Eidi Krina Jason Sembiring
Eka Budianta
Eko Hendri Saiful
Eko Israhayu
Emha Ainun Nadjib
Endang Kusumastuti
Eni S
Eppril Wulaningtyas R
Erdogan
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F Rahardi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Faiz Manshur
Faizal Af
Fajar Setiawan Roekminto
Farah Noersativa
Fathoni
Fedli Azis
Felix K. Nesi
Festival Gugur Gunung
Festival Literasi Nusantara
Festival Sastra Gresik
Fikram Farazdaq
Forum Santri Nasional (FSN)
FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo
Galeri Lukisan Z Musthofa
Galuh Tulus Utama
Gerakan Surah Buku (GSB)
Gerson Poyk
Gesit Ariyanto
Gita Ananda
Goenawan Mohamad
Gola Gong
Golan-Mirah
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin
Gus Bahaudin
H.B. Jassin
Halim HD
Hamzah Sahal
Handoyo El Jeffry
Happy Susanto
Hardi Hamzah
Haris Firdaus
Haris Saputra
Harun Syafii bin Syam
Hasnan Bachtiar
Hawe Setiawan
Hendra Sugiantoro
Hengky Ola Sura
Heri Kris
Heri Ruslan
Herry Mardianto
Heru Maryono
Hilmi Abedillah
Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo)
Holy Adib
htanzil
Hudan Nur
Husin
I Nyoman Suaka
IAIN Ponorogo
Ibnu Wahyudi
Idayati
Idi Subandy Ibrahim
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ilham Yusardi
Imam Nawawi
Imam Nur Suharno
Imam Zanatul Huaeri
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Indigo Art Space
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indri Widiyanti
Inti Rohmatun Ni'mah
Inung Setyami
Irfan El Mardanuzie
Isbedy Stiawan ZS
Iskandar Noe
Isnatin Ulfah
Isti Rohayanti
Istiqomatul Hayati
Jadid Al Farisy
Jafar M Sidik
Jakob Sumardjo
Janual Aidi
Jawapos
Jejak Laskar Hisbullah Jombang
Jember
Jember Gemar Membaca
JIERO CAFE
Jihan Fauziah
Jo Batara Surya
Jodhi Yudono
Johan Edy Raharjo
John Halmahera
Joko Pinurbo
Joko Widodo
Joni Syahputra
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Jurnalisme Sastrawi
K.H. M. Najib Muhammad
K.H. Ma'ruf Amin
K.H. Ma’ruf Amin
Kabar Pelukis
Kalimat Tubuh
Kang Daniel
Kartika Foundation
Karya Lukisan: Z Musthofa
Kasnadi
Kedai Kopi Sastra
Kemah Budaya Panturan (KBP)
KH. M. Najib Muhammad
KH. Marzuki Mustamar
Khadijah
Khaerul Anwar
Khairul Mufid Jr
Khansa Arifah Adila
Khawas Auskarni
Khudori Husnan
Khulda Rahmatia
Ki Ompong Sudarsono
Kim Ngan
Kitab Arbain Nawawi
Kompas TV
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA)
Komunitas Sablon Ponorogo
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI)
Korban Gempa
Koskow
Kostela
KPRI IKMAL Lamongan
Kritik Sastra
Kue Kacang
Kue Kelapa Pandan
Kue Lebaran Edisi 2013
Kue Nastar Keju
Kue Nastar Keranjang
Kue Pastel
Kue Putri Salju
Kue Semprit
Kurnia Sari Aziza
Kuswaidi Syafi'ie
L Ridwan Muljosudarmo
Lagu
Laksmi Shitaresmi
Lamongan Jawa Timur
Landscape Hutan Bojonegoro
Landscape Rumah Blora
Lathifa Akmaliyah
Legenda
lensasastra.id
Lie Charlie
Linda Christanty
Linus Suryadi AG
Literasi
Lombok Utara
Lucia Idayani
Ludruk Karya Budaya
Lukas Adi Prasetyo
Lukisan Andry Deblenk
Lukisan Karya: Rengga AP
Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari
Lukisan Sugeng Ariyadi
Lukman Santoso Az
Lumajang
Lusiana Indriasari
Lutfi Rakhmawati
M Khoirul Anwar KH
M Nafiul Haris
M. Afif Hasbullah
M. Afifuddin
M. Fauzi Sukri
M. Harir Muzakki
M. Harya Ramdhoni Julizarsyah
M. Lutfi
M. Mustafied
M. Riyadhus Solihin
M. Taufan Musonip
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M’Shoe
Mahamuda
Mahendra
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Maimun Zubair
Makalah Tinjauan Ilmiah
Makyun Subuki
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Margita Widiyatmaka
Mario F. Lawi
Martin Aleida
Mashdar Zainal
Mashuri
Masuki M. Astro
Masyhudi
Mathori A Elwa
Matroni El-Moezany
Maulana Syamsuri
Media Ponorogo
Media: Crayon on Paper
Media: Pastel on Paper
Mei Anjar Wintolo
Melukis
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Memoar Purnama di Kampung Halaman
Menggalang Dana Amal
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mien Uno
Miftakhul F.S
Mihar Harahap
Mila Setyani
Misbahus Surur
Mix Media on Canvas
Moch. Faisol
Mochammad A. Tomtom
Moh. Jauhar al-Hakimi
Mohammad Ali Athwa
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Alimudin
Muhammad Antakusuma
Muhammad Itsbatun Najih
Muhammad Marzuki
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Subarkah
Muhammad Wahidul Mashuri
Muhammad Yasir
MUI
Mujtahidin Billah
Mukafi Niam
Mukani
Mukhsin Amar
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur
Musa Ismail
Muslim Abdurrahman
Naskah Teater
Neva Tuhella
Nezar Patria
Nidhom Fauzi
Niduparas Erlang
Ninuk Mardiana Pambudy
Nirwan Ahmad Arsuka
Noor H. Dee
Novel Pekik
Novel-novel bahasa Jawa
Nur Ahmad Salman H
Nur Hidayati
Nur Wachid
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Anam
Nurul Hadi Koclok
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyiayu Hesty Susanti
Obrolan
Oil on Canvas
Olimpiade Sastra Indonesia 2013
Oyos Saroso H.N.
Padepokan Lemah Putih Surakarta
Pagelaran Musim Tandur
Paguyuban Seni Teater Ponorogo
Pameran Lukisan MADIUN OBAH
Pameran Seni Lukis
Pameran Seni Rupa
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Paring Waluyo Utomo
Pasuruan
PDS H.B. Jassin
Pelukis Dahlan Kong
Pelukis Jumartono
Pelukis Ponorogo Z Musthofa
Pelukis Rengga AP
Pelukis Senior Tarmuzie
Pelukis Unik di Ponorogo
Pemancingan Betri
Pendhapa Art Space
Penerbit SastraSewu
Pengajian
Pengetahuan
Pesantren An Nawawi Tanara (Penata)
Pito Agustin Rudiana
Pondok Pesantren Al-Madienah
Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan
Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang
Pramoedya Ananta Toer
Presiden Gus Dur
Probolinggo
Prof Dr Achmad Zahro
Prof Dr Aminuddin Kasdi
Prof Dr Soediro Satoto
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
Purnawan Andra
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putri Asyuro' Rizqiyyah
Putu Fajar Arcana
R.Ng. Ronggowarsito
Radhar Panca Dahana
Rahmat Sularso Nh
Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Ramadhan Batubara
Ranang Aji SP
Rasanrasan Boengaketji
Ratna
Ratna Sarumpaet
Raudal Tanjung Banua
Raudlotul Immaroh
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Rengga AP
Resensi
Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992
Reyog dalam Lukisan Kaca
Ribut Wijoto
Ridha Arham
Riki Dhamparan Putra
Rinto Andriono
Ris Pasha
Rizka Halida
Robin Al Kautsar
Rodli TL
Romi Zarman
Rosi
Rosidi Tanabata
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rx King Motor
S Prasetyo Utomo
S Yoga
S. Jai
Sabrank Suparno
Sahlan Bahuy
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Samsudin Adlawi
Samsul Bahri
Sandiaga Uno
Sanggar Pasir
Sanggar Shor Zhambou
Santi Maulidah
Sapardi Djoko Damono
Sapto HP
Sartika Dian Nuraini
Sasti Gotama
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastri Bakry
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Self Portrait
Senarai Pemikiran Sutejo
Seni Ambeng Ponorogo
Seniman Tanah Merah Ponorogo
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Septi Sutrisna
Sergi Sutanto
Setia Budhi
Shinta Maharani
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindhunata
Situbondo
Siwi Dwi Saputro
SMP Negeri 1 Madiun
Soediro Satoto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sonia Fitri
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Spirit of body 1
Spirit of body 2
Spirit of body 3
Sri Mulyani
Sri Wintala Achmad
Stefanus P. Elu
STKIP PGRI Ponorogo
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugeng Ariyadi
Suharwedy
Sujarwoko
Sujiwo Tedjo
Sukitman
Sumani
Sunaryono Basuki Ks
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Suryanto Sastroatmodjo
Sutan Takdir Alisjahbana
Sutardi
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Switzy Sabandar
Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili
Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari
Tamrin Bey
TanahmeraH ArtSpace
Tangguh Pitoyo
Taufik Ikram Jamil
Taufik Rachman
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teater nDrinDinG
Teaterikal
Teguh Winarsho AS
Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tiyasa Jati Pramono
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Tjut Zakiyah Anshari
To Take Delight
Tosa Poetra
Toto Gutomo
Tri Andhi Suprihartono
Tri Harun Syafii
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
UKM Teater Yakuza '54
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Untung Wahyudi
Usman Arrumy
Usman Awang
Ustadz Chris Bangun Samudra
Uwell's King Shop
Uwell's Setiawan
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W.S. Rendra
Wachid Nuraziz Musthafa
Warih Wisatsana
Warung Boengaketjil
Wawan Pinhole
Wawancara
Widhyanto Muttaqien
Widya Oktaviani
Wisnu Hp
Wita Lestari
Wuri Kartiasih
Yeni Pitasari
Yerusalem Ibu Kota Palestina
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosep Arizal L
Yoseph Yoneta Motong Wuwur
YS Rat
Yuditeha
Yuli
Yulia Sapthiani
Yusri Fajar
Yusuf Suharto
Yusuf Wibisono
Yuval Noah Harari
Z. Afif
Z. Mustopa
Zainal Arifin Thoha
Zainuddin Sugendal
Zaki Zubaidi
Zehan Zareez
Zulfian Ebnu Groho
Zulfikar Fu’ad
Zulkarnain Siregar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar