Satu kata yang mungkin paling tepat mewakili euforia
batin saya tiap kala mendengar kata PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)
hari ini; ialah "tangga".
Sekitar akhir 2007 silam, setelah beberapa bulan
mengawali ketukan pintu sumpeknya kehidupan di Malang dengan status sebagai mahasiswa,
saya berniat ingin mencoba menjadi pribadi yang jujur. 3 tahun dihijrahkan ke
Jombang (sejak 2004) tidak lantas membuat semerta-merta kaki saya sanggup
bergerak sesuai keinginan. Malang-lah yang akan membuat saya lebih hidup, lebih
ganas, lebih garang, lebih luas -- (benak saya waktu itu) -- meskipun diakui
atau tidak pada krisisnya, jatuh juga di suaka yang lebih amburadul, bangkit,
amburadul lagi, bangkit lagi.
Warung Kuning (Warning) adalah saksi. Miftahul Khoirot
(MK) ialah bukti. 2 bangunan yang tunggal lokasi berada di pertigaan Galunggung
menuju UM Malang ini menyimpan bayang-bayang sejarah perihal saya pernah
lungset dan butuh disetrika di sana. Cukup banyak model canda dan tawa yang
bisa saya jumputi satu per satu dari bibir-bibir aktifis muda yang tangguh.
Adalah hal yang tidak keliru, upaya mencari benang bening saat hati keruh,
bukan? Di sana saya mendapatkan radar deteksi kebahagiaan; melalui salah
seorang aktifis garda depan organisasi ahlussunnah wal jamaah ini (hari ini dia
sedang duduk di kursi DPRD Kota Malang), asli kelahiran Jombang, yang tentu
berkaitan erat dengan sejarah sebelum saya benar-benar sah mukim di Malang.
Tapi kiranya tak perlu saya jelaskan panjang di sini. Tidak penting.
Barangkali saya termasuk pribadi yang mendekati durhaka
lantaran pernah meremehkan nasihat bapak saat sebelum pamit berangkat. Sebelum
berangkat ke Malang, beliau sempat berpesan kepada saya, "nak, ada 3 hal
yang mungkin akan mengganggu proses dewasamu dalam berkehidupan di Kota
seberang; (1) Aliran sesat, (2) Organisasi dan (3) Perempuan. Poin satu Insyallah
kamu bisa melewati. Poin dua bobotnya tengah-tengah. Tapi yang ketiga belum
tentu kamu berhasil dengan mulus. Itu saja".
Mendengar nasihat itu, jujur! Saya hanya fokus di poin ke
tiga. Karena memang saya sudah kadung menghayal jauh bahwa saya akan merasakan
kebahagiaan dengan cara punya kekasih. Dalam mantap saya, poin pertama adalah
hal yang haram betul, dengan alasan sejak kecil sudah dididik menapaki jalan
yang moderat. Jadi, aman. Poin ke dua tidak begitu mengganggu, sebab secara
bingkai, hidup sejatinya tak bisa lepas dari kontak sosial bagaimana pun
keadaannya. Poin ke tiga, janggal. Dan fix! Saya mulai mencari alibi dengan
membenar-benarkan langkah saya sendiri di setiap keadaan yang teralami, tak
terkecuali urusan orgnisasi, pun juga soal perempuan.
Saya hanya ingin mengisah sisi poin ke dua yang pernah
saya alami, alias tepat dengan saya resmi mengikuti Mapaba Raya (Proses Legal
Memasuki Gerbang PMII). Saya alumnus pesantren, yang bahkan selama 4 tahun di
Malang juga masih konsisten menjadi santri di pesantren. Sedikit banyak
tanaman akidah yang saya dapat dari kecil, tentu menjadi benteng
terbesar yang menguatkan dalam pertimbangan setiap langkah. Walhasil, saya sah
tergabung di Rayon Al-Maturidi Komisariat Liga Malang, Fakultas Sastra
Universitas Negeri Malang, 2007.
Di sini petualangan baru akan dimulai. Saya tinggal di
pesantren sejak pertama menginjakkan kaki di Malang. Ini amanat inti orang tua
yang wajib saya tunaikan sepenuhnya. Perkara kuliah, adalah sampingan. Asal
ikut prosedur, dilaksanakan semampunya dengan tanggungjawab, lulus, selesai.
Tapi untuk urusan mondok, bagaimana pun keadaannya ini sudah pijakan hidup.
Tidak bisa dibarter dengan badal apa pun.
Penting di sini saya ulas sedikit sejarah peperangan niat
batin. Karena setelah beberapa bulan saya akrab dengan sahabat/i, proses mondok
sedikit banyak kocar-kacir. Tapi tunggu dulu. Memang, ini (PMII) bukan
satu-satunya alasan. Masih banyak alasan-alasan lain yang juga sama kuat. PMII
memberi kehidupan baru, lingkungan baru, gaya sosial baru, rutinitas baru,
canda tawa baru dan hal-hal baru lain yang memang sangat menyenangkan. Hanya
saja, ada hati yang tertinggal saat kecamuk jiwa santri mulai berantakan.
Prinsip bapak, santri itu ya mondok, ya ngaji ke kiai, ya
patuh. Tubuh organisasi se-religi apa pun yang saya seberangi, maksimal hanya
akan menjadi segelintir dari yang siap mengamal-tunaikan ilmu. Itu pun, jika
sudah benar-benar punya sangu ilmu. Sementara disadari atau tidak, keilmuan
saya masih minor saat itu. Sangat minor. Apalagi jika disandingkan dengan
idealisme, egoisitas, arogansi, dst. Barangkali ini yang menjadikan pada
akhirnya saya harus kelimpungan melangkah di pertengahan menjadi musafir muda.
Jika tidak punya ilmu, apa yang diamalkan? Jika belum
punya strategi dakwah berkehidupan, apa yang kemudian akan saya gerakkan. Titik
ini yang menjadikan kapal batin mogok. Saya linglung, menjadi tidak punya
prinsip berjalan gegara memang tak ada modal keilmuan yang lekat di kantung.
Tapi PMII memang menyenangkan. Saya suka. Terlebih secara muara garis sejarah
tiada yang keliru. Saya-nya saja yang partikular dengan menipu daya dan
meremehkan niat amanah awal dari bapak.
Tidak ada santri yang baik-baik saja ketika ia mulai jauh
lahir batin dari kiai-nya. Seperti ada doa-doa yang tidak tertangkap. Seperti
ada benang yang tidak tersambung. Saya sering bolos ngaji, tidak tidur di
pondok, jarang senggama dengan santri-santri di bilik pesantren, dan banyak
lagi fitrah-fitrah santri yang pelan-pelan hijrah dari tubuh. Saya malah lebih
sering menjumputi canda tawa di warung kopi, ngobrol sana-sini seputar hal-hal
yang belum benar-benar saya mengerti. Sekali lagi, ini bukan soal PMII-nya.
Tapi saya-nya yang masih culun mengatur skenario langkah sendiri.
Satu tahun setengah berjalan, saya menyerah. Saya
tertangis kerap kali menjumpai wajah bapak hadir di mimpi-mimpi malam. Saya
malu. Saya terus membenturkan perkelahian antara lahir dan batin. Saya tumbang,
kalah, tunduk dan lunglai sepenuhnya. Dengan berat, akhirnya saya mantap untuk
merajut kembali niat awal. Saya tahu, usia remaja bukan waktu tepat mencari
hal-hal bahagia. Justru sebaliknya, saya harus menjemput kesukaran-kesukaran
proses mencari ilmu dikisaran usia ini.
Ketidaknyamanan, rasa sungkan, sadar kebodohan, menjadi
pribadi arogan yang memalukan, seluruhnya harus saya bayar sebelum benar-benar
terlambat dan menyesal. Cara membayar yang paling mutlak tak lain harus kembali
ke pesantren secara utuh. Pesantren adalah rumah. Adalah surga yang selalu siap
mengulurkan senyum kepada semua penghuninya dan atau yang ingin menggaris kisah
sejarahnya. Ada rantai yang tidak bisa dijelaskan di sini.
Saya memilih tidak aktif di PMII seperti sebelum saya
mengenalnya. Harus ada yang ditanggalkan ketika ingin mengawali sesuatu yang
baru. Resiko adalah hal yang wajar, pasti dan tidak bisa dihindari. Dampak
merupakan bayang-bayang konkrit yang kadang tampil dengan wajah kejam, tapi
kadang juga tersenyum. Entahlah, saya ingin kembali nyantri. Di pesantren. Itu
saja, sembari memunguti cuilan-cuilan doa kiai yang sudah lama saya biarkan
tercecer.
Saya yakin, dengan ataupun tanpa aktif di PMII, saya
tetap punya kewajiban menebar kebermanfaatan. Kebermanfaatan itu luas, banyak
caranya dan tidak harus melalui satu jalan saja. PMII sudah memberikan hikmah
yang luar biasa bagi saya dalam waktu yang terhitung tidak lama. Bahkan saya
punya mimpi, suatu saat nanti akan kembali hadir membersamai meski dengan cara
dan porsi yang berbeda tentunya.
Saya masih akrab dengan seluruh sahabat/i yang pernah
memberi warna baru dalam hidup. Saya masuk gerbang dengan sangat beretika, pun
memilih tak aktif dengan tak lantas menanggalkan silaturrahmi ukhuwwah. Mereka
sudah tergabung bagian dari perjumpaan hidup, dan saya yakin ada canda tawa
saya yang tersisa di hati mereka, hari ini.
Tahun 2011 akhir, saya hengkang pamit dari Kota Malang.
Sungkem ke kiai, mita doa sebagai jembatan aisan restu bekal kembali
melanjutkan langkah. Menyelesaikan kuliah dalam kurun 3 tahun setengah dan IPK
cumlaude harusnya menjadi senjata untuk bisa dibanggakan. Namun lagi-lagi yang
demikian terhitung bukan prestasi mahal yang bisa saya persembahkan di depan
orang tua. Bapak hanya ingin saya bisa ngaji. Itu dulu, baru sembarang mau
berbuat apa. Dan saya paham, itu adalah nasihat baik. Sangat baik malah. Tapi
minimal, di sisi lain, saya berhasil menunjukkan hal produktif dari keputusan
yang saya ambil, lebih-lebih di hadapan sahabat/i yang ada di barisan aktif
PMII hari itu. Harapan saya, prestasi akademis yang demikian setidaknya mampu
mereka bungkus sebagai hadiah motifasi, bahwa sekalipun berorganisasi, kuliah
tetap menduduki kursi moralitas dan tanggungjawab yang pasti.
***
Tahun 2014 saya mulai resmi pulang kampung. Dan di 2016
saya resmi wisuda pascasarjana. Sudah lumayan dewasa. Mulai di tahun itu lah
saya sering ditodong membersamai forum-forum organisasi, baik dalam ruang
lingkup kepenulisan, sastra, kemahasiswaan, dlsb (meskipun dengan bekal
kesiapan mental dan olah figuritas yang masih acakadut). Sekalipun alakdarnya,
saya hanya tidak ingin pura-pura lupa dengan harapan yang pernah saya tanam
sendiri, tentang suatu saat nanti saya akan kembali hadir membersamai PMII
meski dengan wajah yang sudah bukan lagi mahasiswa.
Saya kerap dipaksa bicara tentang proses, tentang
langkah, tentang strategi, tentang motifasi, tentang ilmu, tentang pengalaman,
di hadirat adik-adik PMII baru. Tidak jarang juga dipaksa ngoceh tentang
ke-PMII-an, ke-agamaan/ke-Islaman, ke-Organisasi-an di acara-acara seperti
Mapaba, PKD dan lainnya. Saya juga kadang malu, mengingat proses ber-PMII saya
juga sangat tidak matang. Tapi meskipun tidak sempurna, minimal ini sebuah upaya
menebus keputusan yang pernah saya ambil dulu. Dan baru hal ini bisa maksimal
saya sumbangkan. Saya menyaksikan canda tawa di benak bibir adik-adik hari ini,
sedia kala canda tawa saya waktu itu. Dan jujur, saya rindu.
PMII adalah tangga. Orang banyak berpikir bahwa tangga
adalah alat untuk menaiki sesuatu. Tapi jarang dari kita yang sadar bahwa di
sisi lain fungsi tangga adalah alat untuk menuruni sesuatu. Diagram hidup tidak
seluruhnya mengarah pada pandangan langit. Dalam keadaan tertentu, kita butuh
sejenak turun, butuh sejenak memunguti hal-hal yang belum tuntas terambil,
sebelum kembali memutuskan naik menuju tapakan tangga pertandingan kehidupan
selanjutnya. Bergerak tidak harus selalu maju. Mundur sejenak demi menjumputi
yang belum tuntas -- juga namanya bergerak. Pergerakan adalah sebuah upaya
menuju hal baik yang dicita-citakan. Dan teman terbaik dalam berperjalanan
adalah ilmu. Bhakti (amal) adalah sebuah wujud dedikasi sedekah atas ilmu yang
didapat. Pergerakan bisa terjadi jika tangga-tangga dilampaui dengan benar.
***
"Ilmu dan Bhakti kuberikan" Bukan "Bhakti
dan ilmu kuberikan." Sejauh ini, kutipan mars itu yang saya pegang. Saya
hanya ingin berjuang dan bergerak dalam tujuan dituliskannya kalimat Mars
tersebut. Peletakan athof (dalam istilah nahwu) selalu punya maksud, bukan? Ilmu
dulu baru bhakti. Seperti halnya punya beras dulu baru ada kewajiban zakat
fitrah.
Selamat Ulang Tahun, PMII! Tangan terkepal dan maju ke
muka.
Salam.
17 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar