Rabu, 15 Juli 2020

Cerita Cinta Terlarang Golan dan Mirah

Golan-Mirah, Sukorejo, Kabupaten Ponorogo
Sumani *

Di era yang serba modern, dimana suatu generasi mudah membaur, transformasi barang sangat cepat, masih sering muncul berbagai pertanyaan dari beberapa kalangan, terutama dari orang-orang di luar wilayah Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Ponorogo, misalnya: Betulkah air dari desa Golan dan dari Mirah, tidak mau bercampur? Orang akan mengalami kebingungan, jika membawa benda atau barang dari Golan ke Mirah, dan sebaliknya? Orang Mirah tidak diperkenankan menanam kedelai? Orang Mirah tidak bisa membuat tempe? Orang Mirah dan orang Golan, jika bertemu di tempat orang hajatan di mana saja, jalannya hajatan akan mengalami gangguan? Tidak akan terjadi perkawinan, antara orang Golan dan orang Mirah? Dan sebagainya...

Dari berbagai pertanyaan yang sering muncul itulah, penulis coba telusuri cerita tersebut dengan mencari informasi kepada tokoh-tokoh masyarakat, yang penulis anggap lebih mengenal fenomena kekisahnya, serta membaca buku lakon yang telah ada, dan hasil penelusurannya sebagaimana berikut:
***

Pada jaman dahulu, di suatu tempat terdapat seorang tokoh terkenal dengan gagah berani, punya ilmu kesaktian tinggi, sehingga sangat disegani orang-orang sekitarnya. Beliau bersebut Ki Ageng Honggolono. Di samping sebagai orang pemberani dan sakti, juga bijaksana, dikarena itulah beliau mendapat sebutan Ki Bayu Kusuma. Karena daya kelebihan yang dimilikinya, diangkatlah sebagai Palang atau Kepala Desa.

Dalam cerita ini, Ki Ageng Honggolono mempunyai seorang anak laki-laki bernama Joko Lancur. Seperti halnya ayahnya, Joko Lancur juga terkenal gagah pemberani. Sebagai anak orang terpandang pada umumnya, hampir semua hajat keinginannya selalu terpenuhi. Salah satu kegemarannya bersabung ayam (adu jago). Ke mana pun pergi, tak pernah terpisah seekor ayam jantan (jago) yang menjadi kesayangannya.

Suatu hari dalam lawatannya menyabung ayam, melewati suatu tempat bernama Mirah. Di situlah, jago kesayangannya terlepas dari himpitannya. Maka sangatlah gundah benak Si Joko Lancur oleh peristiwa itu. Ia berusaha menangkap jago kesayangannya. Berbagai upaya dilakukan, tetapi belum jua berhasil. Telah lama kesana-kemari dicari jago itu, akhirnya masuk ke belakang rumah (dapur) Ki Ageng Mirah (Ki Honggojoyo), adik sepupu Ki Honggolono. Si Mirah Putri Ayu (Putri Ki Ageng Honggojoyo) yang sedang membatik, sangatlah terkejut melihat ada seekor ayam jantan memasuki rumahnya. Si Mirah Putri Ayu berhasil menangkap jago yang masuk ke rumahnya, dan betapa senang hatinya, karena jago yang telah ditangkapnya, ternyata sangatlah jinak.

Tak lama kemudian, datanglah pemuda tampan mencari seekor jago. Pemuda itu tiada lain Joko Lancur. Betapa kagetnya hati Joko, melihat jago yang lama dicarinya berada dalam bopongan seorang perawan cantik jelita, bak Bidadari turun dari Kahyangan. Orang-orang Mirah dan sekitarnya, menganggap Mirah Putri Ayu sebagai Bunga Desa, dan memanggil dengan julukan Putri Mirah Kencono Wungu. Si Joko Lancur tidak segera meminta jago kesayangannya, tapi menjadi gugup, karena melihat kecantikan Mirah Putri Ayu. Sebaliknya, Si Mirah Putri Ayu juga demikian sama, sangat terpesona ketampanan Joko Lancur. Keduanya saling curi pandang lantas perkenalan, berlanjut sampailah jatuh cinta pada pandangan pertama. Sama layaknya anak muda yang baru dapati kenalan, mereka saling bercanda tertawa bahagia. Di sela-sela candanya, Si Joko Lancur bertanya: “Mengapa pamannya, Ki Honggojoyo tidak pernah memperkenalkan putrinya yang cantik ini?” Ternyata, Si Mirah Putri Ayu gadis pingitan, dilarang bergaul dengan pria, dan tidak diperkenankan keluar rumah.

Karena asyiknya bercanda, keduanya sampai lupa waktu berganti. Betapa kaget mereka berdua, setelah mendengar Ki Ageng Mirah berada di luar rumah. Mirah Putri Ayu segera menyerahkan jago yang dibopongnya kepada Joko Lancur, dan dengan perasaan halus, meminta Joko Lancur segera pulang, sebab takut-kawatir, kalau nanti dimarahi ayahnya. Joko Lancur segera memenuhi permintaan Si Mirah Putri Ayu, dan segera beranjak pergi. Ketika keluar dari rumah Joko Lancur kepergok Ki Ageng Mirah. Joko menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Ki Ageng Mirah tak menerima apa yang disampaikan Joko. Joko Lancur dimarahi, dicaci maki tak karuan, dikatakan pemuda tak punya tata krama, tak memiliki sopan santun, masuk rumah orang lain tanpa permisi dan sebagainya.

Merasa bersalah, Joko Lancur meminta maaf kepada Ki Ageng Mirah dan menyesali perbuatnnya. Ki Ageng Mirah dengan suaranya yang seram, Joko Lancur dibentak agar segera meninggalkan dari hadapannya. Pulanglah Si Jokodengan perasaan malu sekaligus cemas, tetapi di benaknya senantiasa teringat, paras kecantikan Si Mirah Putri Ayu.

Waktu terus berlalu, Joko Lancur tidak seperti biasanya kemana saja tak pernah pisah dengan jago kesayangannya, tetapi kini selalu mengurung diri di rumah. Sering melamun, karena dalam hatinya hanya ada Si Mirah Putri Ayu, wanita pujaannya. Keadaan seperti itu, akhirnya diketahui Ayahnya, Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng bertanya kepada anaknya, tentang apa yang terjadi padanya. Semula Joko Lancur tak mau mengatakan yang sedang melanda dirinya. Tapi setiap hari Ki Ageng melihat putra kesayangannya bersikap lain dari biasanya; kerap melamun, termenung, menyendiri, sering tak makan, waktu malam-malam pun sering tak tidur, dan yang merisaukan, tidak mau mendekati si jago kesayangannya.

Maka terus didesaklah, apa yang sebenarnya terjadi pada Joko Lancur. Dengan desakan dari sang Ayah, akhirnya membuka mulut, Joko Lancur menyampaikan kepada sang ayah, bahwa dirinya sedang jatuh hati kepada seorang wanita jelita, yakni Si Mirah Putri Ayu, Putri dari Ki Ageng Mirah. Mendengar apa yang dialami putranya, Ki Ageng Honggolono terkaget. Karena Joko Lancur satu-satunya putra kinasih-nya, olehnya tidak merasa keberatan apa yang jadi keinginan puteranya itu. Segeralah Ki Ageng memerintahkan salah seorang muridnya untuk melamar Mirah Putri Ayu.

Berangkatlah utusan Ki Ageng Honggolono menuju Mirah, melamar Si Mirah Putri Ayu. Kedatangan utusan Ki Ageng Honggolono disambut muka ceria oleh Ki Ageng Mirah, meski di benaknya tidak sudi mempunyai calon menantu seorang penjudi sabung ayam. Ki Ageng Mirah berupaya tidak menerima lamaran Putra Ki Ageng Honggolono, tapi dengan cara halus, agar tidak menusuk perasaan keluarga si pelamar, dan tidak menimbulkan pertikaian kemudian hari. Maka lamaran Joko Lancur diterima, tetapi ada syarat atau serahan yang harus dipenuhi oleh keluarga Ki Ageng Honggolono. Adapun syarat-syaratnya antara lain:

1. Supaya dibuatkan bendungan sungai untuk mengairi sawah-sawah di Mirah.
2. Serahan berupa padi satu lumbung yang tidak boleh diantar oleh siapa pun, dalam arti lumbung itu berjalan sendiri.

Itulah siasat Ki Ageng Mirah didalam upaya menggagalkan lamaran Joko Lancur, dengan syarat diluar batas kemampuan manusia biasa. Dan lantas segera pulanglah utusan Ki Ageng Honggolono. Sekembalinya dari Mirah, segera mengabarkan yang disyaratkan Ki Ageng Mirah untuk diterima lamarannya kepada Ki Ageng Honggolono. Honggolono sebenarnya telah mengerti apa yang dimaksud Ki Ageng Mirah, atas rupa-rupa persyaratan seperti itu. Dengan muka garang sambil terkekeh-kekeh, setelah mendengar laporan dari utusannya, Ki Ageng Honggolono tetap menyanggupi apa yang dipersyaratkan Ki Ageng Mirah.

Dengan niat kesanggupan Ki Ageng Honggolono memenuhi persyaratan tersebut, merasa khawatir dan takut perasaan Ki Ageng Mirah, jangan-jangan nantinya Ki Ageng Honggolono bisa memenuhi persyaratannya. Untuk mengantisipasi hal itu, Ki ageng Mirah berusaha keras menggagalkan pembuatan bendungan, serta menggagalkan pengumpulan padi yang dilakukan Ki Ageng Honggolono untuk mengisi lumbung.

Sementara Ki Ageng Honggolono berusaha sungguh dengan bantuan para muridnya didalam membangun bendungan dan mengumpulkan pepadian yang sangat banyak untuk mengisi lumbung serahan. Berkat kerja kerasnya, apa yang diniatkan Honggolono dalam waktu singkat mendekati keberhasilan. Pembuatan bendungan berjalan terus, pengumpulan padi pun lancar.

Melihat apa yang dilakoni Ki Ageng Honggolono, bagaimana Ki Ageng Mirah? Ki Ageng Mirah menemukan strategi untuk menggagalkan apa yang dikerjakan Ki Ageng Honggolono. Ki Ageng Mirah meminta bantuan kepada sahabat karibnya berwujud Genderuwo, agar mengganggu pembuatan bendungan, dan mencuri padi yang telah dikumpulkan di lumbung, sehingga apa yang dikerjakan Honggolono mengalami kegagalan.

Apa yang diperbuat Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah, kiranya diketahui Ki Ageng Honggolono. Maka dari itu, Ki Ageng Honggolono tak mau lagi mengisi lumbungnya dengan padi, lalu menyuruh para muridnya mencari damen (jerami) dan titen (kulit kedelai) untuk mengisi lumbungnya. Dengan kesaktian dimiliki, jerami dan kulit kedelai disabda menjelma padi.

Mengetahui isi lumbung yang sebenarnya, Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah tak lagi mencuri padi yang ada dalam lumbung. Lalu apa yang dilakukan dalam menggagalkan usaha Honggolono. Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah mengalihkan perhatiannya, lalu mengganggu pembuatan bendungan yang akan digunakan mengairi pesawahan di Mirah. Dengan gangguan Genderuwo, maka sering jebol bendungan yang telah dibuat oleh para murid Honggolono.

Rupanya, penyebab kegagalan dalam pembuatan bendungan pun diketahui Honggolono. Maka Ki Ageng Honggolono pun meminta bantuan kepada sahabatnya berupa buaya untuk membuat bendungan. Datanglah buaya-buaya, jumlahnya mencapai ratusan ekor. Kawanan buaya tersebut berjajaran membentuk bendungan, sehingga dapat mengalirkan air ke sawah-sawah di Mirah.

Genderuwo utusan Ki Ageng Mirah yang hendak gagalkan pembuatan bendungan, tertangkap kawanan buaya. Terjadilah peperangan hebat antara Genderuwo dan buaya-buaya. Dalam pertempuran, Genderuwo dapat ditakhlukkan, dan berjanji tidak akan mengganggu pembuatan bendungan lagi. Sejak itulah pembuatan bendungan jadi lancar dan segera selesai.

Semua yang dipersyaratkan Ki Ageng Mirah sebagai serahan sudah purna dipersiapkan, Ki Ageng Honggolono menyabda lumbung berisi padi berangkat sendiri. Maka, berangkatlah iring-iringan calon mempelai laki-laki, Joko Lancur diikuti murid-murid Ayahnya serta menuju Mirah.

Awal kedatangan calon mempelai laki-laki beserta para pengikutnya disambut baik oleh Ki Ageng Mirah. Namun Ki Ageng Mirah juga bukan orang sembarangan, yang memiliki kesaktian tinggi. Apa yang terjadi, Ki Ageng Mirah melihat sendiri, adanya lumbung berisi penuh padi bisa berjalan sendiri, yang sebenarnya isinya bukan padi, tapi berupa damen dan titen (jerami dan kulit kedelai).

Melihat hal tersebut, di hadapan para muridnya dan tetamu, Ki Ageng Mirah bersabda: Hai konco-konco kabeh, titenono ngisor, wiga-tek’no ndhuwur (lihatlah bawah dan tengoklah atas). Atas sabda itu, yang semula isi lumbung berupa padi, dengan seketika berubah menjelma jerami dan kulit kedelai.

Dengan terjadinya peristiwa ini, Ki Ageng Honggolono marah benar, karena rencana perkawinan putranya Joko Lancur dengan Mirah Putri Ayu, gagal. Maka terjadilah perang mulut antara Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya, dengan Ki Ageng Hongglono beserta pengikutnya pula. Dan bukan hanya percekcokan saja, tetapi sampai adu fisik serta unjuk kesaktian.
***

Saat terjadinya peperangan itu, Joko Lancur mencari sang kekasihnya, Mirah Putri Ayu yang cantik jelita, karena tak sanggup menahan asmara. Di balik itu, mereka sudah tahu semua peristiwa yang tengah terjadi. Lantaran kegagalan cinta, mereka berdua mengambil keputusan lampus diri (bunuh diri).

Bersamaan terjadinya peperangan, bendungan yang dibuat oleh ratusan buaya ambrol, maka terjadilah air bah atau banjir bandang amat dahsyat. Ribuan manusia hanyut terbawa arus air yang menderas, dan di mana-mana bergelimpangan mayat, baunya menyengat hidung.

Usai peperangan, Ki Ageng Honggolono berhari-hari mencari putra kesayangannya, Joko Lancur. Lama dalam pencariannya dengan perasaan duka mendalam, karena putra kesayangannya didapati telah tewas bersama kekasihnya beserta ayam jagonya. Jasadnya dimakamkan bersama jago kesayangannya, dan makam itu diberi nama Kuburan Setono Wungu.

Memperhatikan semua peristiwa yang telah usai, di hadapan para pengikutnya yang masih hidup, dan para muridnya, Ki Ageng Honggolon bersabda:

1. Wong Golan lan wong Mirah turun-temurun, ora oleh jejodhohan (Orang Golan dan orang Mirah beserta keturunannya, tidak boleh diperjodohkan).
2. Isen-isene ndonyo soko Golan kang wujude kayu, watu, banyu lan sapanunggalane, ora biso digowo menyang Mirah (Segala sesuatu barang dari Golan yang wujudnya kayu, batu, air dan sebagainya, tidak bisa dibawa ke Mirah).
3. Barang-barange wong Golan lan Mirah, ora biso diwor dadi sidji. (Semua barang dari Golan dan Mirah, tidak bisa disatukan).
4. Wong Golan, ora oleh gawe iyup-iyup soko kawul. (Orang Golan, tidak boleh membuat atap dari jerami).
5. Wong Mirah ora oleh nandur, nyimpen, lan gawe panganan soko dele. (Orang Mirah dilarang menanam, menyimpan, dan membuat makanan dari kedelai).


Usai menyampaikan sabdanya, Ki Ageng Honggolono menandaskan: Sing sopo wonge nglanggar aturan iki, bakal ciloko (Siapa saja yang melanggar aturan ini, akan mendapati celaka). Dengan perasaan sebal dan cemas, Honggolono beserta para murid juga pengikutnya kembali ke Golan.
***

Semenjak kehilangan putra kesayangannya, Ki Ageng Honggolono sering merenung, di dalam hatinya selalu terbayang Joko Lancur. Di samping merenungi hidupnya yang tak pernah merasakan kebahagiaan lahir-batin, meski dari segi materi kaya raya, harta melimpah, dan mempunyai kesaktian tinggi. Ia merasa dalam menjalani hidup selama ini hanya menuruti nafsu duniawi serta tak dapat menahan emosi. Peperangan, perkelahian dan mencari lawan, jadi kebiasaan sehari-hari.

Dengan merenungi hidupnya seperti ini, akhirnya insyaf bertaubat membenahi jadi diri didalam menghabiskan sisa hayatnya, maka berangkatlah  berguru kepada seorang Kyai. Hari demi hari mengabdikan diri, Ki Ageng Honggolono masuk Islam, beribadat dan mempelajari syariat agama.

Dipandang sudah cukup berguru mempelajari titah agama, segera pulanglah demi menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakatnya. Sebelum berpamitan, Ki Ageng Honggolono sempat menanyakan kepada Kyainya: Apakah ilmu-ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum memeluk Agama Islam, masih perlu dipertahankan?

Dari pertanyaan yang diajukan, mendapati kesimpulan jawaban, bahwa ilmu kesaktian yang diperoleh sebelum masuk Islam, tidak perlu dipertahankan. Sekembalinya Ki Ageng Honggolono, penyebaran ajaran Islam berkembang pesat di kampung halamannya. Dengan begitu, tercapai cita-citanya bisa hidup tentram, aman, dan damai, melalui jalan yang benar menuju kebenaran.

Setelah wafat, jasad Ki Ageng Honggolono dimakamkan di Desa Golan, SukorejoPonorogo (Surono, Riwayat Babat Desa Golan, 1997). Demikian juga Ki Ageng Mirah, seusai peperangan serta banyaknya para pengikutnya yang hanyut terbawa air bah saat terjadi peristiwa ambrolnya bendungan, beliau pun masuk Islam. Ki Ageng Mirah juga berguru kepada seorang Kyai. Karena keberhasilannya didalam mempelajari ajaran Islam, beliau pun menjadi seorang Kyai, dengan gelar Kyai Muslim, dan bahkan mendirikan pondok pesantren.
***

Bagaimana keaslian ceritanya? Dari fenomena kisah ini masih ada bekas-bekas yang memungkinkan, bahwa lakon tersebut mendekati peristiwa sebenarnya. Hal itu ditunjukkan adanya makam Ki Ageng Honggolono di Desa Golan, yang sampai kini oleh masyarakat setempat dianggap keramat. Dan di Desa Nambangrejo, Kecamatan Sukorejo, juga terdapat sebuah padukuhan bernama Dukuh Mirah, yang konon kabarnya juga keramat. Namun versi kebenarannya kurang didukung bukti kuat, tersebab banyak yang diceritakan dari mulut ke mulut. Seandainya ada yang tertulis, hanyalah amat sederhana.

Meski demikian, kepercayaan masyarakat dari kedua tempat tersebut terhadap cerita ini masih cukup tinggi. Sabda-sabda Ki Ageng Honggolono sangat dipercayai, meski tidak secara keseluruhan. Bahkan para birokrat tingkat kecamatan setempat yakin adanya kisah tersebut, dan banyak para peziarah datang ke tempat terjadinya lakon Golan Mirah.

*) Sumani, S. Pd., guru SD Negeri Lengkong. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Dinamika PGRI Ponorogo, editor postingan oleh NJ. Dan sumber gambar dari penelusuran di google, terkait Golan-Mirah serta jathil cantik Ponorogo.
http://sastra-indonesia.com/2020/07/fenomena-cerita-cinta-terlarang-golan-dan-mirah/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar