Kamis, 23 April 2020

ASRIZAL NUR: DERAP KUDA DAN KEPAK RAJAWALI

Maman S Mahayana *

Hanya ada satu kata: Lawan!” Itulah kalimat pendek yang lahir dari kegelisahan panjang ketika kekuasaan telah menjelma gurita raksasa penindasan, membunuhi kemanusiaan, dan membungkam apa pun yang lahir dari hati nurani. Wiji Thukul, sang penyair, terus bergerak sampai nasib menggelindingkannya pada misteri tak berjawab: Hilang diterkam kekuasaan. Ia lalu menjadi sebuah ikon bagi gerakan perlawanan atas apa pun yang bernama tirani. Asrizal Nur –yang pernah menjadi kawan seperjuangan Wiji Thukul—juga tetap konsisten melakukan perlawanan atas kebrengsekan tirani, penindasan, keterpurukan nasib buruh, dan kemunafikan. Dalam doanya, ia tegas bermohon:

Ya Allah
berikan aku kekuatan
untuk senantiasa
berani mengatakan
TIDAK!
pada kemunafikan

Begitulah, ketika kekuasaan diselewengkan, ketika kemanusiaan mengalami penindasan, dan ketika suara hati nurani dibungkam, gerakan perlawanan akan muncul dalam bentuk apa pun. Para penyair tentu saja akan begitu tersiksa ketika mereka dibungkam atau dipaksa bertindak sebagai penonton belaka. Harus ada suara lembut atau teriakan lantang menentang segala kebrengsekan itu. Harus ada perlawanan, meski di sana menunggu risiko yang tak tertanggungkan. Wiji Thukul adalah satu contoh dari sebuah risiko perjuangan. Asrizal Nur juga harus berhadapan dengan risiko itu. Ia dipaksa mendekam dalam tahanan Polres Jakarta Selatan (1997), saat tirani berada di puncak kekuasaannya.

Keterlibatan Asrizal Nur dalam perjuangan itu adalah salah satu bagian dari sebuah gerakan raksasa yang bernama Reformasi. Sejarah formal memang tidak mencatatnya, sebagaimana banyak terjadi pada peristiwa-peristiwa yang dipandang sebagai lelatu. Tetapi, bagaimana mungkin kobaran api bisa lahir tanpa serangkaian peristiwa yang dipandang sebagai lelatu itu? Itulah sejarah yang selalu terpukau oleh peristiwa besar dan melalaikan sejumlah peristiwa lain yang sebenarnya justru menjadi pemicu lahirnya peristiwa besar. Persaksian Asrizal Nur pun sesungguhnya merupakan bagian dari peristiwa sejarah itu. Di sinilah puisi menjadi sebuah kesaksian, sebagaimana yang dilakukan Taufiq Ismail atau penyair lain dalam menyikapi peristiwa itu. Maka, persaksiannya adalah catatan sejarah yang mewujud dalam puisi yang lahir dari tindak perlawanannya sebagai bagian dari gerakan itu. Ia memang mewujud larik-larik kalimat. Tetapi, di sana ada semangat yang tak hendak menyerah. Sebuah perlawanan yang terus menggelinding menjadi kekuatan dahsyat:

Inilah puisi perlawanan:
kau tak bakal bisa lari
dari kepungan badai kata
bila sepatumu masih injak
nasib kurus orang kecil
maka puisi ini duri!

Lihat juga persaksiannya atas pembubaran pementasannya di Bulungan. Peristiwa itu pun sebagai lelatu. Dan Asrizal tak hendak berhenti hanya sampai di sana. Perjuangan harus diteruskan sampai entah kapan, meskipun ia harus berhadapan dengan sejumlah konsekuensi dan risiko. Bukankah konsekuensi atau risiko selalu mengikuti di belakang setiap langkah apa pun yang menjadi pilihan kita?

Konsekuensi atau risiko apapun dalam perjuangan kemanusiaan adalah bagian dari proses mewujudkan sesuatu yang diyakini sebagai langkah menegakkan dan membangun kebenaran. Mengusung suara hati dan menegakkan nurani. Sangat mungkin ia menjadi korban. Tetapi, ia bukan korban yang sia-sia. Ada makna idealisme di sana. Ada panji yang akan terus berkibar melanjutkan perjuangannya. Ia akan menjadi catatan harum yang digoreskan oleh tinta emas, meskipun hanya Tuhan yang mencatatnya. Jadi, meskipun sejarah formal melalaikannya, di sana tetap tersimpan sebuah kebermaknaan yang mengisi tonggak kehidupan sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Dengan demikian, selalu saja ada kebermaknaan yang tak sia-sia ketika kita meyakini sebuah kebenaran sedang kita perjuangan.

Seorang Rendra, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Wiji Thukul, Asrizal Nur, atau penyair lainnya yang tentu akan sangat panjang jika dideretkan di sini, kapan pun dan dalam suasana apa pun, tak mungkin akan tinggal diam, berkeluh kesah meratapi nasib, bersidakap menonton atau duduk anteng mengurung diri, ketika kejahatan kemanusiaan berseliweran di depan matanya. Mereka akan berbuat, bertindak dan melakukan perlawanan dengan kemampuan dan caranya sendiri. Itulah dinamika kehidupan perjalanan bangsa ini. Dan kesusastraan, Indonesia ditaburi oleh berbagai catatan tentang perjuangan itu. Bahwa mereka melakukannya melalui puisi (: sastra), itulah yang paling mungkin dapat mereka lakukan. Itulah pilihan yang memang sesuai dengan kapasitasnya. Puisi adalah pilihannya, dan mereka menggunakannya sebagai alat perjuangan.

Meskipun demikian, mereka sadar, bahwa nilai puisi tidak hanya terletak pada pesan yang hendak disampaikannya. Puisi bukanlah papan pengumuman atau teriakan caci-maki. Ia juga mengusung estetika. Jika estetika diabaikan, sangat mungkin ia akan jatuh pada pamflet propaganda yang artifisial dan tak mengajak pada sebuah perenungan. Bukankah esensi puisi tidak lain adalah metafora, dan metafora pada akhirnya bersifat analogi. Ia tidak lagi bermain dalam tataran logika, melainkan dalam kualitasnya menyentuh ke dasar perasaan yang paling dalam: hati nurani!

Bahasa dalam puisi dan melalui metafora itu terpancarlah daya pukau yang sangat mungkin dapat menyihir pembacanya. Oleh karena itu, ideologi, tata nilai, pandangan, sikap, dan élan yang dihembuskannya mesti dapat menyelinap masuk dan kemudian menciptakan keterpesonaan atau keterpukauan. Ia sekaligus berusaha mengganggu—menggoncangkan pikiran dan perasaan pembacanya. Bahasa dan lebih khusus lagi, metafora, memang mempunyai kualitas untuk menanamkan nilai-nilai, merusak keangkuhan dan ketersesatan, dan kemudian menggoda dan merebut hati pembaca untuk mempertanyakan eksistensi kepedualiannya pada kemanusiaan. Dalam hal ini, pembaca –tanpa sadar—digiring memasuki wilayah pemihakan. Dengan cara itulah, puisi dapat menjadi sarana yang efektif menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui cara itu pula yang secara sadar dilakukan Asrizal Nur.
***

Antologi puisi karya Asrizal Nur ini, secara tematik bermain dalam tindak perlawanan menentang para penindas nilai-nilai kemanusiaan. Perlawanan terhadap sebuah rezim yang korup, temaha, dan busuk yang terjadi di negeri ini. Maka, ke-30 puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi ini sesungguhnya merupakan representasi dari kegelisahan penyair dalam menyikapi carut-marut kehidupan bangsanya. Jadi, jelas, Asrizal Nur menyimpan pretensi. Dengan sikap itulah, ia coba mengemasnya lewat deretan kata dan tumpukan larik yang sengaja disajikannya dengan kekuatan metafora dan simbolisme. Ia tidak melupakan metafora sebagai esensi puisi. Ia tidak membuat pamflet atau menyebarkan papan pengumuman. Ia menyampaikan puisi yang dibangun dengan kesadaran estetik, dan secara tematik mengejawantah sebagai tindak perlawanan yang menjadi pilihan perjuangannya. Maka, keprihatinannya atas nasib bangsa ini dikatakannya sebagai anak duka yang menanggung beban atas keserakahan penguasa (“Anak Duka”). Lihat juga, betapa luka bangsa ini sebagai buah dari utang dan pinjaman luar negeri yang dilakukan para penguasa itu. Sementara, harapan dan cita-cita anak negeri harus kandas oleh mahalnya biaya pendidikan.

Aku berkepala cahaya
Garis tangan kusut
Tersungkur di bell sekolah
Terhantuk buku
Ditelanjangi baju seragam
Diusir uang bangunan

Bukankah itu yang kini sedang melanda dunia pendidikan kita: semrawut dan segalanya ditentukan oleh limpahan biaya? Lalu dicampakkan ke manakah butir undang-undang dasar kita yang menyebutkan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran? Lihat juga nasib para buruh dan tenaga kerja kita di luar negeri yang berhasil membengkakkan devisa negara. Mereka sekadar ingin hidup layak: mencari rumah yang teduh. Tetapi yang mereka temukan adalah kenistaan.

Dalam puisi “Anak Duka” kita seperti berhadapan dengan kegetiran panjang yang menimpa para petani, buruh wanita, guru, seniman, pedagang kaki lima, dan secara keseluruhan, kehidupan bangsa ini yang selalu gagal menghindar dari tipu daya politikus dan penganiyaan yang dilakukan penguasa. Salahkah jika kemudian lahir ketidakpercayaan pada apa pun dan kepada siapa pun. Bahkan, menunggu uluran tangan Tuhan pun harus dihadapinya dengan kesangsian:

di terminal putus asa
aku menunggu Tuhan
menyeka duka

Tetapi, benarkah Tuhan akan datang menghapus duka yang tak kunjung selesai?

Kegelisahan Asrizal Nur dalam menyikapi carut-marut kehidupan bangsa ini, seperti muncul begitu saja dari suara batinnya. Maka, krisis yang melanda negeri ini, dikatakannya sebagai besi tua—rongsokan yang moralitas bangsanya, penegakan hukumnya, perilaku aparat pemerintahnya dikatakan: “digerogoti tikus api” yang menyebabkan bangsanya sakit (“Rumah Kita”). Betapa busuknya aparat pemerintah, sehingga bencana alam pun, dimanfaatkan sebagai proyek untuk menenggak keuntuingan. Mereka itulah yang sebenar-benarnya pencuri, penjarah, perampok.

Dalam puisi “Rumah Kita” Asrizal memosikan dirinya sebagai pengamat yang tak tahan melihat berbagai kebusukan terjadi dalam setiap sendi struktur birokrasi.

Lihat juga ketika kota-kota dibangun dengan sepenuh gemerlap seolah-olah hidup telah sampai pada “cahaya terang”. Tetapi justru di situlah masalahnya. Dalam hingar-bingar kemajuan yang seolah-olah itu, tersimpan banyak penyelewengan. Maka, kejayaan dan kehancuran, kebenaran dan penyelewengan, kejujuran dan kemunafikan, sudah sulit lagi dibedakan yang dikatakannya: “sulit memilih jalan bersimpang.” Meski begitu, menyerah dan pasrah berarti masuk ke dalam kesia-siaan. Harus ada senjata untuk melakukan perlawanan, bukan pada moncong senapan atau kilau pedang, melainkan pada hati nurani:

Jika punya hati
nyalakan jadi matahari
matahari hati
niscaya tahu telah tiba di musim gelap
manakala orang-orang berpaling
menyangka malam tak pernah jelang
Ya, matahari hati pembeda
mana terang mana kelam
pada musim gelap
badai menguji seberapa besar cahaya hati
bila padam kegelapan menipu pandang

Demikianlah, melalui metafora dan simbolisme, Asrizal coba menyapa dan mengingatkan kita, bahwa di negeri ini, kebrobrokan nyaris terjadi di mana-mana. Kita setiap saat seperti dipaksa untuk memandangi tingkah laku brengsek para penguasa. Maka, sangat wajar jika sapaan Asrizal Nur sesungguhnya menyimpan kegeraman dan sekaligus kepedihan.

Semua puisi yang terhimpun dalam antologi ini adalah persaksiannya tentang kehidupan penuh luka yang terjadi di negeri ini. Sejumlah besar puisinya memang terasa menyimpan kegeraman dan kepedihan. Periksa juga, puisinya yang berjudul “Belajar dengan Bahasa Daun” berikut ini:

Mengapa menara yang kita dirikan
bila kaki terhimpit pilarnya
mengapa bukan bangun kincir
sehingga riak telaga jadi samudera
kita terlanjur suka gemerlap neon
sedang kabelnya
dibiarkan konslet di gudang
kota kota adalah gugusan bintang
kita ciptakan dari hati yang kelam
belajarlah dengan bahasa daun
saat hening
bersahabat dengan angin
kerikil kerikil telaga
burung pun bernyanyi
embun senggayut di rerantingan
belajarlah dengan bahasa daun
bila gugur
terciptalah kehidupan baru

Lihatlah metafora menara yang sengaja disusun lewat kalimat tanya retoris. Lalu, larik berikutnya metafora itu menjadi sebuah ironi, bahkan paradoks ketika penyair mengkontraskannya dengan bila kaki terhimpit pilarnya. Bahwa secara tekstual kaki terhimpit pilar, secara semantis penyair hendak menegaskan adanya kematian yang tak terhindarkan. Secara tematik, penyair mengajak kita untuk merenung, bahwa bagaimanapun juga, alam merupakan alat introspeksi. Dengan menjalin hubungan persaudaraan dengan alam, eksploitasi terhadapnya, tidak bakal terjadi. Atau, setidak-tidaknya, ada kearifan dalam memperlakukan alam bagi kepentingan manusia, dan bukannya keserakahan yang justru akan menghancurkan manusia itu sendiri.

Puisi ini, selain memperlihatkan kekuatan metaforanya, juga berhasil membina citraan (image) yang kemudian melahirkan kesan asosiatif. belajarlah dengan bahasa daun/saat hening/bersahabat dengan angin/kerikil kerikil telaga/burung pun bernyanyi/embun senggayut di rerantingan// Sebuah penghadiran citraan suasana yang sangat kontras dengan suasana yang dimunculkan dalam bait sebelumnya. Penciptaan suasana dalam bait ini membawa kita pada kehidupan alam penuh damai. Di sana, terasa pula ada kepedihan, meski ia tidak muncul lewat teriakan lantang.
***

Mengingat sebagian besar puisi dalam antologi ini merupakan representasi dari sebuah perlawanan atas sebuah rezim yang busuk, maka sesungguhnya, ia akan menjadi alat retorika yang andal jika puisi-puisi itu tak sekadar menjadi santapan di ruang baca atau dalam kamar tertutup. Ia akan menjadi sebuah gemuruh derap kuda dengan kepak sayap burung gagak, jika penyairnya sendiri –yang memang deklamator ulung—membacakannya dalam sebuah pentas. Bukankah pikiran dan perasaan pembaca (atau pendengar) akan terhegemoni oleh sang penyair jika penyair mempunyai kemampuan memanfaatkan bahasa sebagai alat retorika? Sesungguhnya, Asrizal Nur potensial memaksimalkan kekuatannya melakukan retorika. Bukankah setelah Rendra –si Burung Merak, Sutardji Calzoum Bachri –Sang Presiden Penyair—atau Hamid Jabbar (alm)—yang total mengabdi lewat puisi—masih sangat sedikit penyair yang coba memanfaatkan puisi sebagai alat retorika.

Jika Asrizal Nur menyadari kualitas dan kapasitasnya sebagai deklamator ulung, bukan tidak mungkin, derap kudanya –yang mencerminkan semangat dalam melakukan perlawanan—dan kepak sayap burung gagaknya –yang mencerminkan kualitas sebagai deklamator— akan memukau dan menyihir kita. Puisi jadinya bukan sekadar alat yang menggiring pembacanya melakukan perenungan, tetapi juga sebagai alat retorika yang dapat merusak sikap pendengarnya untuk tidak diam membisu, melainkan bergerak bersama dan ikut terlibat dalam meneriakkan yel-yel perlawanan. Maka, seperti yang digoreskan Wiji Thukul: “Hanya ada satu kata: Lawan!” puisi-puisi perlawanan Asrizal Nur potensial menjadi gelombang dahsyat yang akan terus menggelinding menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap tirani dan para penindas kemanusiaan. Kita tunggu saya derap kuda dan kepak sayap sang rajawali!

Semoga bangsa ini terbebas dari penjajahan bangsanya sendiri!

Bojonggede, 6 September 2005
_____________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
http://sastra-indonesia.com/2008/10/asrizal-nur-derap-kuda-dan-kepak-rajawali/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar