Sabtu, 08 Februari 2020

OMAYGAD! Sutardji Presiden Puisi Abadi dan Mau Keluarkan Kredo Baru!?

Shiny.ane el’poesya

Seperti tak mau kalah dari Sapardi yang menerbitkan buku dengan berkolaborasi (Prokem: Tik-Tok-an) bersama Rintik Sendu, dikabarkan oleh KOMPAS-Sabtu 8 Februari 2020, dalam tulisan milik Putu Fajar Arcana di rubrik Sosok halaman 12, bahwa Sutardji ternyata diam-diam tengah mempersiapkan sebuah buku dengan sebuah Kredo baru, Maret nanti.“Omaygad!” Ya, di balik meja kerja, sontak saya berteriak lirih seperti tiba-tiba tercekik: “Omaygad!”

Ya, “Omaygad!” Sebab jujur saja, saya merasa benar-benar kaget mendengar kabar tersebut, terlebih dalam keterangan lebih lanjut, kita mendapatkan semacam gambaran apa yang sedang ada di kepala Sutardji dari kutipan-kutipan pernyataan yang dibuatnya. Seperti dari penggalan Puisi yang coba ditunjukkan oleh Sutardji kepada PFA berikut:

“//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//.”

Atau pada penggalan pernyataan berikut:

“Pertama-tama, seorang penyair bercakap-cakap dengan kata-kata, bukan dengan pembaca. Ketika percakapan itu selesai, barulah kata-kata itu bercakap-cakap dengan pembacanya.”

Atau juga pada pernyataan berikut:

“Kata-kata, meski telah memiliki makna yang mapan, di tangan para penyair, bukan tidak mungkin ia bergeser. Menurut Sutardji, kita membawa lidah kita kemana-mana Ini soal selera. Hari ini kita suka Bakso, esok lusa belum tentu. Dulu kita menyukai masakan ibu di kampong, tetapi suatu hari karena lama di Eropa, sudah tidak suka lagi.”

Atau satu lagi pada parafrase di bawah ini:

“Kata juga selalu membuka kemungkinan terhadap tafsir yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh biografi seseorang. Kata ‘mawar’ tak pernah diresepsi secara sama oleh beberapa orang. Ia bisa berarti traumatic, bisa pula nostalgik. Misalnya, kata Sutardji, bagi seorang gadis yang dicium paksa oleh pacarnya di sebuah taman mawar dan dia berusaha memberontak, kata ‘mawar’ bisa sangat traumatic. Berbeda halnya kalau seorang gadis lainnya diperlakukan secara lembut oleh pacarnya, dia akan mengenang kata ‘mawar’ sebagai sesuatu yang nostalgik.”

“Omaygad!” Apa yang sebenarnya ada di kepala Sutardji dengan mengungkapkan berbagai hal yang--jika kita tinjau dari sejarah panjang perbincangan perpuisian di Indonesia--telah menjadi sesuatu yang hampir pasti diketahui oleh publik sastra yang terliterasi pada umumnya? Apa yang dibayangkan oleh Sutardji, mengenai perjalanan sejarah perbincangan sastra Indonesia sejauh ini, jika yang ia ungkapkan adalah hal yang benar-benar usang seolah-olah mengasumsikan publiknya masih hidup di zaman kegelapan? Padahal, apa yang diungkapkan Sutardji tersebut adalah hal yang mesti telah diketahui bahkan oleh kalangan pegiat sastra yang, bahkan oleh mereka yang tak mendalami ilmu kesusastraan secara serius, atau oleh mereka yang memang mengenyam ilmu kesusastraan di bangku-bangku perkuliahan.

Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita saat ini (catat, saat ini) adalah publik sastra yang memang begitu rendah pengetahuan kesusastraannya sehingga persoalan kata dan kandungan psikologi makna yang mengiringinya, adalah sesuatu yang perlu ditekankan dalam sebuah perbincangan yang hendak dikedepankan? Apakah Sutardji menganggap publik sastra kita (sekali lagi) saat ini adalah publik sastra yang tidak terliterasi sehingga persoalan yang beginner course semacam itu perlu diberikan aksentuasi khusus dalam perbincangan yang hendak dimajukan? Padahal, apa yang diungkapkan oleh Sutardji bukanlah perkara yang untuk benar-benar mengetahuinya diperlukan penelusuran literatur linguistik yang mesti serius. Tidak pula untuk mengetahuinya diperlukan sebuah kerja penelusuran hingga kepada literatur-literatur klasik yang tak jarang merepotkan sehingga tidak mudah diakses oleh banyak orang, kecuali memang bagi mereka yang tekun dan sabar. Apa yang diungkapkan oleh Sutardji, adalah apa yang biasa-biasa saja dan tidak pula sedang terjadi kekeliruan persepsi publik mengenainya di tengah-tengah kita.

Dengan kenyataan yang agak anakronik lagi skizofrenik (seakan-akan dihantui oleh masalah) tersebut, alih-alih kita mendapatkan sebuah penyegaran dari yang akan dihadirkan, kita justru telah merasakan kembali satu situasi di mana memang pergulatan wacana kesusastraan tidak mungkin kita harapkan dari generasi pendahulu yang hidup hanya dalam zeitgeist dan zeitgehalt zamannya belaka. Alih-alih kita mengharapkan sebuah wacana kesusastraan saat ini yang dapat memboyong masa lalu sekaligus masa depan ke dalam presensi di hari ini secara eksistensial (sebagaimana Daseinnya Heidegger yang mampu menunaikan tugasnya sebagai manusia untuk melakukan sebuah refleksi menyeluruh dalam kehidupannya dengan masuk ke dalam sebuah kondisi yang dinamakan Sorge; untuk mengantisipasi kecemasan masa lalu dan kecemasan akan masa depan sekaligus) justru lagi-lagi kita nampaknya akan menemukan generasi pendahulu yang memboyong romantisisme intelektual masa mudanya ke masa kini seakan-akan menjadikan zaman kita saat ini layaknya panti asuhan yang harus siap-siaga untuk meladeni masa pubertas kedua mereka.

Sudah barang tentu, kenyataan demikian adalah kenyataan yang jelas merugikan bagi generasi kita di zaman ini yang sebenarnya layak untuk mengemban masa depan yang lebih baik dan berkesempatan untuk menyetirnya dengan lebih progress. Terlebih, jika kita hendak iseng dengan coba memblejeti penggalan puisi yang telah dibuat oleh Sutardji di atas sebagai sampel kemandekan, kita akan dengan mudah mengatakan bahwa apa yang ditulisnya tidak sama sekali menghadirkan selain nuansa pemikiran sebagaimana telah diungkapkan, juga nuansa penyegaran teknik perpuisian di sana. Justru, sebaliknya kita akan menemukan beberapa kerancuan dalam susunannya. Sebagai contoh:

Dalam rangkaian kalimat ini: “//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/” Jika kita perhatikan baik-baik dan dengan teliti, maka kita akan menemukan ketidaktepatan diksi yang digunakan oleh Sutardji pada penggunaan kata “luas,” yang seharusnya adalah kata “padat.” Mengapa? Karena Sutardji hendak melipatnya dalam bentuk sesuatu. Jika ia gunakan kata “luas,” maka ia sebenarnya telah melakukan penabrakan imaji “lipat” dengan imaji “luas” di sana, juga tentu dengan kata “pendek” yang terdapat setelahnya. Kemudian pada rangkaian kalimat berikutnya: “Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//,” yang menempatkan kata “acungkan” mendahului frasa “tabik takzim.” Lagi-lagi kita boleh mengajukan pertanyaan, baik pertanyaan puitik (atau mungkin bolehlah sedikit pertanyaan moral), “Apakah tepat, seseorang yang hendak mengadakan sebuah pentakdziman terhadap sesuatu dengan cara mengacungkan sesuatu?” Tentu, jawabannya, hanya orang kurang ajar yang justru melakukan hal tersebut. Untuk menghormati kemerdekaan Indonesia, tentu orang Indonesia terlarang mengatakan “mengacungkan bendera” alih-alih “pengibaran bendera,” akan terlarang ia mengajungkan tiang dan senjata, alih-alih menegakkannya.

Sebagian pembaca lain mungkin akan bantu berdalih, bahwa maksudnya tidak begitu, tetapi seperti mana “pengibaran bendera,” dipilihkan kata lain yang lebih cocok. Nah! Justru di situ masalahnya, ada persoalan ketidaktepatan puitik di sana. Atau mungkin Sutardji sendiri akan berdalih, penggunaan kata tersebut hendak diasosiasikan dengan simbolisme yang ada dalam praktik Tahiyatus Sholah yang mana ketika pada penyebutan kata tertentu dilakukan secara bersamaan sebuah praktik “pengacungan jari telunjuk.” Namun, lagi-lagi, jika asosiasi itu diarahkan ke sana, maka Pertama, Sutardji pada dasarnya menjadi kuat bahwa ia telah melakukan sebuah pemulihan imannya terhadap kedudukan kata di dalam puisi, dan sedang benar-benar merasa telah melakukan deklarasi pertobatan dari Kredo pertamanya; dengan kata lain, yang ia lakukan saat ini bukanlah merupakan sebuah pembaharuan, melainkan sebuah pertobatan, yang mundur kembali dari langkah yang pernah dilakukannya, dan Kedua, Sutardji justru kembali terjebak kepada kesalahan yang pernah ia lakukan ketika ia melakukannya pada Mantra; jika memang Sutardji benar-benar hendak mengatakan pertobatan. Apa itu? Yaitu, menggunakan khazanah masa lalu masa lalu yang di dalamnya sebenarnya mengandung unsur kegaiban, menjadi hanya sesuatu yang sifatnya hanya simbol kultural; dalam sebuah hadits shahih, disampaikan bahwa praktik mengacungkan jari (terlebih sambil menggerakkannya berkali-kali) adalah praktik yang jika dilakukan akan membuat payah sekelompok jin-jin kafir. [Duh! Sutardji!]
***

Dalam tulisannya, Putu Fajar Arcana menggunakan judul: “Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Puisi Abadi.” Pemilihan judul yang demikian teranglah menunjukkan bahwa PFA tidak sama sekali melihat persoalan ini dengan benar-benar serius dan kritis. Terlebih, dalam keseluruhan tulisannya sendiri, pokok pembicaraan tidak sama sekali benar-benar membicarakan bagaimana problem Kepresidenan Sutardji ini sebenarnya dipermasalahkan, bahkan sangat-sangat dipermasalahkan terutama oleh generasi 2000an dan yang lebih muda lagi. Jika ingin dibandingkan, dengan judul demikian, PFA hanya terlihat menyinggung (catat: menyinggung bukan membahas) dalam tiga paragraph saja, selebihnya, hampir dari 20 paragraf membahas persoalan lain. Betapa buruknya penjudulan yang dilakukan oleh PFA ini, bahkan untuk dimuatkan bagi media sekelas KOMPAS.

Hal yang perlu kita beri catatan penting pula adalah, dari tiga paragraf yang coba dihadirkan oleh PFA mengenai duduk soal penyematan Presiden Penyair bagi Sutardji, adalah tiga paragraf yang justru hendak mendelegitimasi kedudukan kepenyairan Sutardji sebagai Presiden, sebab diungkapkan kembali bagaimana sebenarnya, pada mulanya Sutardji melakukan hal tersebut karena risau terhadap penyematan-penyematan yang dilakukan oleh H.B. Jassin kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru, dan kepada Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45, atau oleh beberapa pihak penyematan Umbu Landu Paranggi sebagai Presiden Penyair Malioboro.

Tentu, PFA juga bisa mengelak bahwa tulisannya itu bukanlah tulisan yang ditulisnya untuk rubrik opini—budaya, melainkan sebagai tulisan feature biasa untuk rubrik sosok yang sifatnya cenderung apresiatif ketimbang kritis. Tetapi, tentu, lagi-lagi, dengan penjudulan yang justru bernuansa hiperbolis dan tulisan yang tak proporsional dengan judul, pada dasarnya PFA telah menyesatkan pembaca dengan mengabaikan berbagai perbincangan sastra terkait, hingga perkembangan terkini atas fakta-fakta perjalanan kesusastraan belakangan; tak hadirnya Sutardji dalam berkali-kali polemik pemelintiran sejarah sastra Indonesia yang dilakukan oleh sebagian pihak yang tak bertanggung jawab. Jauh peran daripada yang telah dilakukan oleh Saut Situmorang yang dengan itu juga turut memotivasi banyak kalangan muda untuk senantiasa awas terhadap praktik politik sastra di Indonesia yang melibatkan berbagai lembaga kesusastraan. Juga di luar itu, jauh lebih kreatifnya Afrizal Malna dalam terus mengembangkan-ke depan gagasan-gagasannya berkaitan dengan puisi, yang mana, Afrizal sendiri di awal karirnya pernah berpijak dari Kredo Sutardji yang kini oleh Sutardji justru terus makin dikhianatinya sendiri.

Sebagai penutup, saya hendak mengatakan. Ya, jangankan julukan Presiden Penyair, julukan Presiden Perusahaan saja jika kita hendak perlakukannya sebagai main-main, maka itu bisa kita katakan sebagai julukan “main-main” dalam dunia yang memang “main-main” ini. Tetapi, apa iya “main-main” itu semain-main ini—dimana Sutardji sendiri tidak pernah secara publik berani untuk melepaskan julukan main-mainnya itu, alih-alih memanfaatkan situasinya di berbagai tempat, waktu dan kesempatan?!

Babakan, Ciwaringin, Cirebon, 08 Februari 2020. #SainsPuisi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar