Seperti tak mau kalah
dari Sapardi yang menerbitkan buku dengan berkolaborasi (Prokem: Tik-Tok-an)
bersama Rintik Sendu, dikabarkan oleh KOMPAS-Sabtu 8 Februari 2020, dalam
tulisan milik Putu Fajar Arcana di rubrik Sosok halaman 12, bahwa Sutardji
ternyata diam-diam tengah mempersiapkan sebuah buku dengan sebuah Kredo baru, Maret
nanti.“Omaygad!” Ya, di balik meja kerja, sontak saya berteriak lirih seperti
tiba-tiba tercekik: “Omaygad!”
Ya, “Omaygad!” Sebab
jujur saja, saya merasa benar-benar kaget mendengar kabar tersebut, terlebih
dalam keterangan lebih lanjut, kita mendapatkan semacam gambaran apa yang
sedang ada di kepala Sutardji dari kutipan-kutipan pernyataan yang dibuatnya.
Seperti dari penggalan Puisi yang coba ditunjukkan oleh Sutardji kepada PFA berikut:
“//Cukup sejengkal
Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu
larik pendek saja/Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya
itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada
kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//.”
Atau pada penggalan
pernyataan berikut:
“Pertama-tama, seorang
penyair bercakap-cakap dengan kata-kata, bukan dengan pembaca. Ketika
percakapan itu selesai, barulah kata-kata itu bercakap-cakap dengan pembacanya.”
Atau juga pada pernyataan
berikut:
“Kata-kata, meski telah
memiliki makna yang mapan, di tangan para penyair, bukan tidak mungkin ia
bergeser. Menurut Sutardji, kita membawa lidah kita kemana-mana Ini soal
selera. Hari ini kita suka Bakso, esok lusa belum tentu. Dulu kita menyukai
masakan ibu di kampong, tetapi suatu hari karena lama di Eropa, sudah tidak
suka lagi.”
Atau satu lagi pada
parafrase di bawah ini:
“Kata juga selalu membuka
kemungkinan terhadap tafsir yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh biografi
seseorang. Kata ‘mawar’ tak pernah diresepsi secara sama oleh beberapa orang.
Ia bisa berarti traumatic, bisa pula nostalgik. Misalnya, kata Sutardji, bagi
seorang gadis yang dicium paksa oleh pacarnya di sebuah taman mawar dan dia berusaha
memberontak, kata ‘mawar’ bisa sangat traumatic. Berbeda halnya kalau seorang
gadis lainnya diperlakukan secara lembut oleh pacarnya, dia akan mengenang kata
‘mawar’ sebagai sesuatu yang nostalgik.”
“Omaygad!” Apa yang
sebenarnya ada di kepala Sutardji dengan mengungkapkan berbagai hal yang--jika
kita tinjau dari sejarah panjang perbincangan perpuisian di Indonesia--telah
menjadi sesuatu yang hampir pasti diketahui oleh publik sastra yang terliterasi
pada umumnya? Apa yang dibayangkan oleh Sutardji, mengenai perjalanan sejarah
perbincangan sastra Indonesia sejauh ini, jika yang ia ungkapkan adalah hal
yang benar-benar usang seolah-olah mengasumsikan publiknya masih hidup di zaman
kegelapan? Padahal, apa yang diungkapkan Sutardji tersebut adalah hal yang
mesti telah diketahui bahkan oleh kalangan pegiat sastra yang, bahkan oleh
mereka yang tak mendalami ilmu kesusastraan secara serius, atau oleh mereka
yang memang mengenyam ilmu kesusastraan di bangku-bangku perkuliahan.
Apakah Sutardji
menganggap publik sastra kita saat ini (catat, saat ini) adalah publik sastra
yang memang begitu rendah pengetahuan kesusastraannya sehingga persoalan kata
dan kandungan psikologi makna yang mengiringinya, adalah sesuatu yang perlu
ditekankan dalam sebuah perbincangan yang hendak dikedepankan? Apakah Sutardji
menganggap publik sastra kita (sekali lagi) saat ini adalah publik sastra yang
tidak terliterasi sehingga persoalan yang beginner course semacam itu perlu
diberikan aksentuasi khusus dalam perbincangan yang hendak dimajukan? Padahal,
apa yang diungkapkan oleh Sutardji bukanlah perkara yang untuk benar-benar
mengetahuinya diperlukan penelusuran literatur linguistik yang mesti serius.
Tidak pula untuk mengetahuinya diperlukan sebuah kerja penelusuran hingga
kepada literatur-literatur klasik yang tak jarang merepotkan sehingga tidak
mudah diakses oleh banyak orang, kecuali memang bagi mereka yang tekun dan
sabar. Apa yang diungkapkan oleh Sutardji, adalah apa yang biasa-biasa saja dan
tidak pula sedang terjadi kekeliruan persepsi publik mengenainya di
tengah-tengah kita.
Dengan kenyataan yang
agak anakronik lagi skizofrenik (seakan-akan dihantui oleh masalah) tersebut,
alih-alih kita mendapatkan sebuah penyegaran dari yang akan dihadirkan, kita
justru telah merasakan kembali satu situasi di mana memang pergulatan wacana
kesusastraan tidak mungkin kita harapkan dari generasi pendahulu yang hidup
hanya dalam zeitgeist dan zeitgehalt zamannya belaka. Alih-alih kita
mengharapkan sebuah wacana kesusastraan saat ini yang dapat memboyong masa lalu
sekaligus masa depan ke dalam presensi di hari ini secara eksistensial
(sebagaimana Daseinnya Heidegger yang mampu menunaikan tugasnya sebagai manusia
untuk melakukan sebuah refleksi menyeluruh dalam kehidupannya dengan masuk ke
dalam sebuah kondisi yang dinamakan Sorge; untuk mengantisipasi kecemasan masa
lalu dan kecemasan akan masa depan sekaligus) justru lagi-lagi kita nampaknya
akan menemukan generasi pendahulu yang memboyong romantisisme intelektual masa
mudanya ke masa kini seakan-akan menjadikan zaman kita saat ini layaknya panti
asuhan yang harus siap-siaga untuk meladeni masa pubertas kedua mereka.
Sudah barang tentu,
kenyataan demikian adalah kenyataan yang jelas merugikan bagi generasi kita di
zaman ini yang sebenarnya layak untuk mengemban masa depan yang lebih baik dan
berkesempatan untuk menyetirnya dengan lebih progress. Terlebih, jika kita
hendak iseng dengan coba memblejeti penggalan puisi yang telah dibuat oleh
Sutardji di atas sebagai sampel kemandekan, kita akan dengan mudah mengatakan
bahwa apa yang ditulisnya tidak sama sekali menghadirkan selain nuansa
pemikiran sebagaimana telah diungkapkan, juga nuansa penyegaran teknik
perpuisian di sana. Justru, sebaliknya kita akan menemukan beberapa kerancuan dalam
susunannya. Sebagai contoh:
Dalam rangkaian kalimat
ini: “//Cukup sejengkal Saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat
tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/” Jika kita perhatikan baik-baik
dan dengan teliti, maka kita akan menemukan ketidaktepatan diksi yang digunakan
oleh Sutardji pada penggunaan kata “luas,” yang seharusnya adalah kata “padat.”
Mengapa? Karena Sutardji hendak melipatnya dalam bentuk sesuatu. Jika ia
gunakan kata “luas,” maka ia sebenarnya telah melakukan penabrakan imaji
“lipat” dengan imaji “luas” di sana, juga tentu dengan kata “pendek” yang
terdapat setelahnya. Kemudian pada rangkaian kalimat berikutnya: “Tak maksudku
untuk mengagung-agungkan puisi/Kemahamaknaannya itulah/yang menjadikannya
berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan
kita juga//,” yang menempatkan kata “acungkan” mendahului frasa “tabik takzim.”
Lagi-lagi kita boleh mengajukan pertanyaan, baik pertanyaan puitik (atau
mungkin bolehlah sedikit pertanyaan moral), “Apakah tepat, seseorang yang
hendak mengadakan sebuah pentakdziman terhadap sesuatu dengan cara mengacungkan
sesuatu?” Tentu, jawabannya, hanya orang kurang ajar yang justru melakukan hal
tersebut. Untuk menghormati kemerdekaan Indonesia, tentu orang Indonesia
terlarang mengatakan “mengacungkan bendera” alih-alih “pengibaran bendera,”
akan terlarang ia mengajungkan tiang dan senjata, alih-alih menegakkannya.
Sebagian pembaca lain
mungkin akan bantu berdalih, bahwa maksudnya tidak begitu, tetapi seperti mana
“pengibaran bendera,” dipilihkan kata lain yang lebih cocok. Nah! Justru di
situ masalahnya, ada persoalan ketidaktepatan puitik di sana. Atau mungkin
Sutardji sendiri akan berdalih, penggunaan kata tersebut hendak diasosiasikan
dengan simbolisme yang ada dalam praktik Tahiyatus Sholah yang mana ketika pada
penyebutan kata tertentu dilakukan secara bersamaan sebuah praktik “pengacungan
jari telunjuk.” Namun, lagi-lagi, jika asosiasi itu diarahkan ke sana, maka
Pertama, Sutardji pada dasarnya menjadi kuat bahwa ia telah melakukan sebuah
pemulihan imannya terhadap kedudukan kata di dalam puisi, dan sedang
benar-benar merasa telah melakukan deklarasi pertobatan dari Kredo pertamanya;
dengan kata lain, yang ia lakukan saat ini bukanlah merupakan sebuah
pembaharuan, melainkan sebuah pertobatan, yang mundur kembali dari langkah yang
pernah dilakukannya, dan Kedua, Sutardji justru kembali terjebak kepada
kesalahan yang pernah ia lakukan ketika ia melakukannya pada Mantra; jika
memang Sutardji benar-benar hendak mengatakan pertobatan. Apa itu? Yaitu,
menggunakan khazanah masa lalu masa lalu yang di dalamnya sebenarnya mengandung
unsur kegaiban, menjadi hanya sesuatu yang sifatnya hanya simbol kultural;
dalam sebuah hadits shahih, disampaikan bahwa praktik mengacungkan jari
(terlebih sambil menggerakkannya berkali-kali) adalah praktik yang jika
dilakukan akan membuat payah sekelompok jin-jin kafir. [Duh! Sutardji!]
***
Dalam tulisannya, Putu
Fajar Arcana menggunakan judul: “Sutardji Calzoum Bachri, Presiden Puisi
Abadi.” Pemilihan judul yang demikian teranglah menunjukkan bahwa PFA tidak
sama sekali melihat persoalan ini dengan benar-benar serius dan kritis.
Terlebih, dalam keseluruhan tulisannya sendiri, pokok pembicaraan tidak sama
sekali benar-benar membicarakan bagaimana problem Kepresidenan Sutardji ini
sebenarnya dipermasalahkan, bahkan sangat-sangat dipermasalahkan terutama oleh
generasi 2000an dan yang lebih muda lagi. Jika ingin dibandingkan, dengan judul
demikian, PFA hanya terlihat menyinggung (catat: menyinggung bukan membahas)
dalam tiga paragraph saja, selebihnya, hampir dari 20 paragraf membahas
persoalan lain. Betapa buruknya penjudulan yang dilakukan oleh PFA ini, bahkan
untuk dimuatkan bagi media sekelas KOMPAS.
Hal yang perlu kita beri
catatan penting pula adalah, dari tiga paragraf yang coba dihadirkan oleh PFA
mengenai duduk soal penyematan Presiden Penyair bagi Sutardji, adalah tiga
paragraf yang justru hendak mendelegitimasi kedudukan kepenyairan Sutardji
sebagai Presiden, sebab diungkapkan kembali bagaimana sebenarnya, pada mulanya
Sutardji melakukan hal tersebut karena risau terhadap penyematan-penyematan
yang dilakukan oleh H.B. Jassin kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair
Pujangga Baru, dan kepada Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan 45, atau oleh
beberapa pihak penyematan Umbu Landu Paranggi sebagai Presiden Penyair
Malioboro.
Tentu, PFA juga bisa
mengelak bahwa tulisannya itu bukanlah tulisan yang ditulisnya untuk rubrik
opini—budaya, melainkan sebagai tulisan feature biasa untuk rubrik sosok yang
sifatnya cenderung apresiatif ketimbang kritis. Tetapi, tentu, lagi-lagi,
dengan penjudulan yang justru bernuansa hiperbolis dan tulisan yang tak
proporsional dengan judul, pada dasarnya PFA telah menyesatkan pembaca dengan
mengabaikan berbagai perbincangan sastra terkait, hingga perkembangan terkini
atas fakta-fakta perjalanan kesusastraan belakangan; tak hadirnya Sutardji
dalam berkali-kali polemik pemelintiran sejarah sastra Indonesia yang dilakukan
oleh sebagian pihak yang tak bertanggung jawab. Jauh peran daripada yang telah
dilakukan oleh Saut Situmorang yang dengan itu juga turut memotivasi banyak
kalangan muda untuk senantiasa awas terhadap praktik politik sastra di
Indonesia yang melibatkan berbagai lembaga kesusastraan. Juga di luar itu, jauh
lebih kreatifnya Afrizal Malna dalam terus mengembangkan-ke depan
gagasan-gagasannya berkaitan dengan puisi, yang mana, Afrizal sendiri di awal
karirnya pernah berpijak dari Kredo Sutardji yang kini oleh Sutardji justru
terus makin dikhianatinya sendiri.
Sebagai penutup, saya
hendak mengatakan. Ya, jangankan julukan Presiden Penyair, julukan Presiden
Perusahaan saja jika kita hendak perlakukannya sebagai main-main, maka itu bisa
kita katakan sebagai julukan “main-main” dalam dunia yang memang “main-main”
ini. Tetapi, apa iya “main-main” itu semain-main ini—dimana Sutardji sendiri
tidak pernah secara publik berani untuk melepaskan julukan main-mainnya itu,
alih-alih memanfaatkan situasinya di berbagai tempat, waktu dan kesempatan?!
Babakan, Ciwaringin,
Cirebon, 08 Februari 2020. #SainsPuisi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar