—Surendrajati Mohammad
garis-garismu yang tegas
terbentang antara laut dan cemas
antara darah dan langit
antara nama dan kenyataan yang gegas
mengeras pada tiap getar nafas
garis-garismu yang tegas
mecoret tiap halaman yang terbuka
pada hening yang menggetarkan jiwa
menanam nama
pada jendela rumah tua
garis-garismu yang tegas
menjelas
pada tangan yang berkeras
2009
***
Ketika Sang Gandrung Menari
Orang-orang berkerumun
pada waktu yang malam,
titik embun menyerbuk pelan
dan tarian digelarkan
pada ruang yang terang
lampu nanar
sayap-sayap khayal menggetar
Para penguasa meminum darah dari sunyi
lalu bercanda bersama duka
merampas canda dari luka
mengihisap air mata dari tawa.
Orang-orang menegaskan bunyi
pada diam yang lengang
di kedalaman lena riang.
Sang penari menabur senyum
melempar selendang kecemasan
yang diam-diam ngembun
dalam ruang hati yang perih.
Minuman-minuman kekuasaan ditatakan
tawa dan derita dicampur-adukkan
disantap di atas meja perjamuan.
“Inilah kebisingan. Pecahkan gelasmu
pada ketidakberdayaan yang bisu!”
Politk mendirikan bangunan keju
dari tangis rakyat
menertawakan derita yang karat.
Para penari berputar bernyanyi
menyilau pandangan dari api
hingga tak ada sinar bulan di sini,
hanya sisa makna di kaki para pencuri.
Kekuasaan hanya membutuhkan tawa
canda cabul dan kemolekan wanita,
pasar-pasar raksasa
dan kata yang bergetar.
“Mari bersulang! Hentikan segala ocehan
kengawuran dari dapur yang tak memasak!”
Maka tiap kata menyimpan penjara
tiap penjara tak memuja samudera
tiap ketetapan harus dihitung hutang
seperti kesurupan
di akhir malam.
Muncar, 2009
***
Desau
menggelung ramai waktu berderu berasap
derap lekat dideras pekat dilengket desak
tiap derak mengasap lukamu lukaku
menolak kesia-siaan menggeleng
tak menafsir di dasar sunyi yang pergi bernuai
galau melampau desaumu desauku
berbiru melulu. Mari berontak
tembok-tembok yang berdiri
angkuh di tengah derita
bercanda di atas air mata
dan ketawa di lubuk duka nestapa.
2009
***
Satu Semisal
Suatu kata apa berjudul siapa,
begitu molek ke langit, bermendung
berluruh mengecambah di hamparan bumi
memamah waktu meremah cahaya
lampu-lampu lokomotif yang berjulur ke dalam
Suatu di mana menegas apa
yang dinamai duka tak bertepi
Memanjangkan penegas cetusan sejarah
mengular sebagai gerbong biografi
melulu kepurbaan yang sunyi
Lelampu dari rambut-rambut api,
menuaikan badai dan aroma kata.
Dunia menegas kerapuhan
yang keliling dan mengasing,
lalu kita bergetar
pada ramai piring yang terbanting
2009
***
Perjalanan Urban
Kau menata kesemerawutan dalam galau
tapi cemas mengemas kado-kado parau
halaman jemuran yang ramai
mendung memayung pantai
yang belum bersedia ditinggalkan
orang-orang berkaca dalam percakapan
Kanak-kanak, ke mana kalian seharian
rumah dan kamar berleleran coklat
kesialan mengendap di bawah dipan
daun-daun menata helai karatan
Jendela membiarkan melirik cakrawala
yang menciut di atas atap-atap kota
siapa mendesakkan tanya berkeras
dari meja makan yang ranggas
Sekolah hari ini ialah pagi
keriuhan memojokkan sepi pada api
berita-berita mencokot telinga
lebah-lebah semembur dari suara
dan ikan-ikan keluar dari opini
menjelaskan hidup yang tak berbagi
Orang-orang mengutuk tubuh-tubuh berlemak
maksud siapa terhimpit pintu
menanti yang tak pernah kemari
mengingat segala yang tak kembali
Para urban berhambur camar
yang meninggalkan pantai
sampah menjelaskan singgah
dari hidup yang selalu tak bersedia
Kalian, kenapa masih di tepi pantai
bersama sepeda mini milik bocah
mengkacakan nasib yang sibuk oleh batuk
membungkus hujan buat makan malam
Kalian, mengapa terus mengulum luka
dengan senyum yang tak membuka
baju-baju pesta tak bercerita
tentang tatapan manis saat purnama
Lagu-lagu hanya tunggu yang keluh
tapi terus-menerus bergegas
dari tiap denyut tetap meratap
seperti kenangan tua tak bertempat
pada halaman sesak bernafas
dan udara tak melepas
Kaki-kaki kota menginjak resah
kanak-kanak menyelinap di sana
mengejar maksud mimpinya
yang bersembunyi di balik singgah
Lidah-lidah gerimis menjilati kaca
retak menggerak duka
pada pertemuan dengan petang
pada perpisahan dengan riang
yang kadang datang tanpa undang
lalu berkalang darah di malam hilang
Para urban, ke mana kalian menulis surat
ketika tagihan bulanan menikam-nikam
menggedor pintu dan kamar
mengunci pembelaan yang samar
Pintu-pintu ramai membuka lebar
mencemaskan seragam dan sepatu
yang menggambar kupu-kupu
dalam jenak mimpi-mimpimu
Lalu lintas di pinggang kota
membawa terbang buku-buku nota
di mana angka-angkanya
melengket di dalam kepala
Malam-malam yang lelah
menimbun mimpi ribuan lebah
mengurus hidup itu-itu saja
membubuh cemas yang terus mewabah
di kaki kemegahan yang tambah meraksasa
Banyuwangi, 2009
***
Jalan Raya
Orang-orang diam sendiri
pada batas yang hitam
nasib celaka mendatangi hari
menggelung air mata
Tiap mata saling memandang
tatapan tanpa tujuan
kata tak mengeluarkan suara
kebingunan tak berpulang dari udara
2009
***
Drama Tumpangpitu
Seseorang tiba-tiba datang kepadamu,
menyampaikan gerimis kecil-kecil.
Menawarkan sebatang rokok
dan membawa sehelai sungai di matanya
“Orang-orang asing menggali emas
di tanah kami, mereka merobohkan
bukit Tumpangpitu, sumber mata air kami,
dan sekarang laut berkilau
oleh racun yang mematikan.”
Aku yakin kau iba
atau sesekali tertawa
Kini tiba-tiba banjir datang
mengetuk daun pintumu
lalu masuk ke ruang tamu
tidur menggenang di kamarmu
menenggelamkan nyawa keluargamu
Orang itu datang lagi
menawarkan makan malam kepadamu
membawa sebatang rokok
dan tatapan sunyi dari matanya,
kau mungkin berkata:
“Nasib kita sama saja,
dan terima kasih atas perhatiannya.”
Tragedi begitu jenaka
meramaikan ruang
mengenyangkan.
Maka, siapa yang tiba-tiba datang lagi
pada batas yang gawat ini?
Muncar, 2009
Catatan:
Tumpangpitu adalah nama bukit yang terletak di Kab. Banyuwangi bagian selatan. Bukit ini mengandung ratusan ton emas, dan kini tengah ditambang (masih dalam ijin eksplorasi) oleh PT. IMN
***
Laki-laki yang Selalu Gemetar
Pada sebuah padang
laki-laki yang selalu gemetar itu
menunjuk bulan di atas bukit
dalam mimpimu yang lalu
Kini di tengah belantara kota
siang yang diramaikan suara
dan malam dipekatkan derita
lelaki yang selalu gemetar itu
menuding lampu-lampu merah
juga neon-neon tua
Jejak dari hujan terasa berkisah
tentang perjalanan dari ruang ke ruang;
rumah makan dan kamar-kamar penginapan,
sepatu, jas hujan, dan tas besar
tak menyisa harumnya segenap kelelahan
2009
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar