Selasa, 13 Agustus 2019

ISLAM DAN PENGUATAN NASIONALISME

A. Syauqi Sumbawi

Dalam rangkaian acara peringatan Hari Bela Negara pada bulan Desember lima tahun lalu, penulis kebetulan berada di Masjid Istiqlal Jakarta. Melaksanakan shalat Dluhur berjamaah, kemudian duduk-duduk di salah satu bagian serambi masjid tersebut. Ketika mengarahkan mata ke langit, tanpa sengaja penulis melihat sebuah lanskap yang indah, yakni bendera merah putih berkibar di puncak Monumen Nasional bersanding dengan menara masjid Istiqlal. Tentunya, hal itu tidak cukup dimaknai sebatas keindahan visual, tetapi juga keindahan kontekstual yang mencerminkan harmonisasi antara ke-Islam-an dan Ke-Indonesia-an yang mengisi ruang-ruang historis Negara Kesatuan Republik Indonesia hingga dewasa ini.

Dalam perspektif politik, puncak harmonisasi antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an, dapat dilihat dari penerimaan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, setelah melalui serangkaian perdebatan panjang yang mengerucut pada dikotomi antara Islam versus Nasionalisme, Islam versus Pancasila, dan sebagainya. Karena itu, tidak keliru dikatakan bahwa Pancasila merupakan konsensus nasional di bawah kepemimpinan para founding fathers, yang secara historis, berkaitan erat dengan perjuangan kemerdekaan bangsa dari belenggu kolonialisme. Eksistensi Pancasila tidak dapat dilihat sebagai ideologi dan dasar negara an sich, tetapi juga sebagai hasil perjuangan bangsa—kemerdekaan Indonesia dari kolonialisme—, sekaligus sebagai sumber inspirasi dan kekuatan, dalam upaya mewujudkan tujuan didirikannya Negara Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Penerimaan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara atas bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam, tentunya tidak bisa dilepaskan dari proses universalisasi terhadap nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Pada tataran ini, tampak sebuah pemahaman dan kesadaran di kalangan umat Islam—terutama para elit—, terkait kesesuaian di antara keduanya. Proses universalisasi ini pula yang kemudian secara sosiologis, menuntut dan mengarahkan heterogenitas—baik suku, agama, ras dan sebagai—untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara secara konstruktif dan positif. Sederhananya, apabila universalisme Islam mengarahkan pada sikap keberagamaan yang toleran dan inklusif, serta menjauhkan dari radikalisme dan eksklusivisme agama, maka universalisme Pancasila menunjuk pada integrasi bangsa Indonesia secara dinamis.

Harmonisasi antara Islam dan Pancasila, tidak dipungkiri menjadi permasalahan penting yang secara terus-menerus dihadapi oleh umat Islam di Indonesia. Pertanyaan terkait bagaimana wajah dan peran Islam Indonesia, terutama dalam menguatkan kebangsaan, menjadi krusial mengingat berbagai ancaman dan tantangan yang muncul terkait permasalahan agama, seperti radikalisme agama, eksklusivisme agama, serta gerakan religio-politik trans-nasional. Begitupula dengan berbagai persoalan sosial lain, seperti korupsi, kemiskinan, dampak negatif globalisasi dan sebagainya. Karena itu, rekonstruksi Islam Indonesia menjadi sangat mendesak, terutama dalam mewujudkan visi universalnya, yaitu rahmatan lil-alamin.

Wajah Islam Indonesia; Islam Yang Memerdekakan

Berangkat dari simbol Masjid Istiqlal (ke-Islam-an) dan Monumen Nasional (ke-Indonesia-an) di atas, istilah yang barangkali cukup proporsional untuk menyebut Islam Indonesia adalah “Islam yang memerdekakan”. Sebagaimana diketahui, pendirian masjid yang menjadi simbol kemerdekaan Republik Indonesia tersebut diprakarsai oleh para tokoh Islam sekaligus tokoh nasional, seperti KH. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasyim dan sebagainya. Hal ini menunjukkan umat Islam tidak hanya telah berhasil dalam harmonisasi antara Islam dengan nasionalisme Indonesia, tetapi juga menjadi bagian penting dalam kemerdekaan serta pencapaian tujuan didirikannya Republik Indonesia. Di sini, tampak bahwa Islam diposisikan sebagai spirit yang menginspirasi perjuangan kemerdekaan dalam bingkai ke-Indonesia-an.

Secara historis, Islam telah menjadi inspirasi perjuangan kemerdekaan bangsa pribumi—Indonesia—, jauh sebelum nasionalisme Indonesia lahir. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai perlawanan rakyat pribumi pra-Indonesia terhadap kolonialisme Barat, seperti Perang Padri (1821-1827), Perang Diponegoro (1825-1830), Pemberontakan Banten (1888), dan Perang Aceh (1873-1903). Tidak heran jika pemerintah kolonial—Belanda—kemudian menganggap Islam sebagai elemen yang berbahaya bagi kolonialisme, dimana pada gilirannya mempengaruhi lahirnya kebijakan terhadap umat Islam. Pada proses inilah, C. Snouck Hurgronje muncul sebagai penasihat utama dan tokoh penting di balik berbagai kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap umat Islam, terutama di paruh kedua abad ke-19.

Menurut Hurgronje, umat Islam di Hindia Belanda itu “damai”, namun kemampuan politik fanatisme Islam tidak bisa dinafikan begitu saja. Di samping itu, meskipun Islam di Hindia Belanda banyak bercampur dengan kepercayaan animisme dan Hindu, umat Islam di wilayah koloni ini—pada masa itu—memandang agamanya (Islam) sebagai alat pengikat, yang membedakan dirinya dari orang lain. Lebih jauh, Islam dalam hal ini, bahkan dipandang sebagai simbol dari “kebangsaan” yang melambangkan perlawanan terhadap kolonialisme Barat.

Nasionalisme Indonesia, merupakan metamorfosa baru dari “kebangsaan” Islam—umat Islam— di Hindia Belanda. Diawali dengan gerakan ethno-nasionalisme, nasionalisme Indonesia mengalami perkembangan besar sejak tahun 1920-an dan mendapatkan momentumnya pada peristiwa Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yang menegaskan visi besarnya, yaitu “Satu Indonesia” yang merdeka.

Munculnya kesadaran kebangsaan dan kesadaran nasional dalam manifestasi pergerakan dan organisasi nasionalis, sebagaimana yang dapat dilihat pada peristiwa Sumpah Pemuda di atas, mensyaratkan kehadiran golongan intelektual baru sebagai agen dalam mengantarkan pada proses perubahan sosial. Pada konteks ini, stigma bahwa perubahan-perubahan yang revolusioner di Asia, Afrika dan Timur Tengah sejak awal abad ke-20 merupakan pengaruh peradaban Barat melalui westernisasi dan modernisasi, tampaknya menjadi stigma yang tidak keliru. Meskipun demikian, spirit nilai-nilai keagamaan dan primordialisme budaya lokal tidak bisa diabaikan dalam proses tersebut, terutama dalam konstruksi pemikiran dan jati diri sebuah bangsa. Pada titik inilah, permasalahan terkait inspirasi dan ideologi dalam konstruksi Indonesia secara keseluruhan tampak menjadi wacana penting serta menjadi perdebatan panjang di kalangan umat Islam, khususnya antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai sekuler (non-Islam).

Penerimaan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara Republik Indonesia, tidak dipungkiri, menjadi titik temu dari perdebatan ideologis antara tokoh-tokoh Islam dan tokoh-tokoh sekuler— yang notabene juga mayoritas beragama Islam— di atas. Dari peristiwa ini, tampak terjadinya pergeseran pemikiran di kalangan tokoh-tokoh Islam tersebut terkait Islam dan ke-Indonesia-an. Sederhananya, jika perjuangan Islam melawan kolonialisme adalah perjuangan yang bersifat universal (umum), maka perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah bentuk dan sifatnya yang partikular (khusus), dimana keduanya saling menguatkan satu dengan yang lain. Hal inilah yang kemudian tampak pada perkembangan selanjutnya, dimana perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dimaknai sebagai jihad oleh para tokoh Islam, sebagaimana yang dapat ditemui dari fatwa-fatwa jihad yang dikeluarkan oleh para ulama. Bahkan, sejarah pun tak luput mencatat, bahwa pekik “Allahu Akbar” menjadi ungkapan yang mengobarkan semangat perjuangan bangsa Indonesia, sebagaimana yang terjadi pada pertempuran 10 November di Surabaya dan peristiwa lainnya. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Islam menjadi inspirasi teologis kemerdekaan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam.

Islam Indonesia dan Pluralitas Sosial; Pancasila sebagai nilai-nilai Islam dalam Konteks Ke-Indonesia-an

Kendati Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), diyakini sebagai “konstruksi final” oleh mayoritas umat Islam, namun tuntutan terkait berdirinya Negara Islam menjadi sesuatu yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Secara historis, hal ini dapat kita lihat pada keberadaan DI/TII dan beberapa gerakan umat Islam lain dengan tuntutan yang serupa. Fenomena ini, tentunya tidak bisa dilepaskan dari interpretasi dan pemahaman umat Islam terkait posisi agama dan negara. Karena itu, tidak heran jika pada periode berikutnya—bahkan hingga kini—, para tokoh-tokoh Muslim tampak berusaha keras melakukan rekonstruksi Islam Indonesia, terutama dalam upaya menguatkan kebangsaan dan mencegah disintegrasi. Dalam rekonstruksi tersebut, universalisme Islam dan partikularisme sosial-budaya (ke-Indonesia-an), tidak dipungkiri, menjadi tema besar dan pijakan awal di dalamnya.

Pada umumnya, umat Islam—melalui para tokohnya—meyakini Islam sebagai agama universal. Aspek universalisme ini merupakan keniscayaan bagi Islam untuk dapat diterima, bahkan “menumbuhkan”, baik pada setiap locus budaya maupun dalam mengiringi perubahan zaman secara dinamis. Karena itu, pemaknaan Islam tidak bisa dipahami secara partikular dan eksklusif, tetapi mengayomi eksistensi kemanusiaan seluruhnya, tanpa batasan ruang dan waktu serta hambatan kualitas lahiriah manusia, baik asal-usul rasial maupun kebahasaan. Pada titik ini, kontekstualisasi ajaran-ajaran Islam merupakan keharusan untuk menyapa seluruh locus budaya serta perubahan zaman, seperti keindonesiaan maupun gerak globalisasi.

Dalam pandangan universalisme Islam, pluralitas masyarakat merupakan “fitrah sosial” kemanusiaan, dimana pada tataran realitas dapat dilihat pada kehidupan masyarakat Indonesia yang heterogen, meliputi suku, agama, budaya, dan sebagainya. Tentunya, realitas tersebut tidak dapat dipandang sebagai karakteristik Indonesia yang unik an sich, tetapi harus juga diposisikan sebagai permasalahan tersendiri, mengingat stigma bahwa heterogenitas masyarakat menyimpan potensi konflik horizontal yang tinggi, baik antar masyarakat maupun dalam relasi antara agama dan negara.

Indonesia dengan karakteristiknya di atas, diyakini memiliki posisi strategis dalam upaya membangun titik temu antar agama. Keberadaan semua agama besar, pergumulan yang panjang antar pemeluk agama dan sejarah keberagamaan—tanpa menafikan pasang surut hubungan yang terjadi—, merupakan modal sosial yang melahirkan optimisme bahwa suasana hidup beragama yang toleran dan terbuka (inklusif) bisa diwujudkan di Indonesia. Pada titik ini, paradigma teologis yang inklusif dan toleran merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh setiap pemeluk agama dalam kehidupan sosial.

Paradigma teologi inklusif inilah, yang idealnya dikembangkan dalam keberagamaan umat Islam Indonesia sebagai kelompok mayoritas. Secara sosiologis, urgensi hal tersebut mengarah agar Islam (organized religion) tidak diposisikan sebagai kebenaran mutlak dan tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi seperti juga agama dan keyakinan lain, yaitu sebagai salah satu warna dari pluralitas masyarakat Indonesia. Dengan demikian, hubungan sosial antar umat beragama dapat terjalin secara konstrukstif. Di sisi lain secara politis, paradigma teologis ini juga penting supaya permasalahan agama tidak diarahkan pada berbagai kepentingan politik yang tendensius dan sempit, sebagaimana yang dapat dilihat dari fenomena politisasi dan pendangkalan agama serta sikap eksklusif di kalangan umat Islam.

Penegasan di atas merupakan otokritik terhadap umat Islam Indonesia sendiri terkait relasi antara agama dan negara. Fakta sejarah menunjukkan bahwa gerakan ideologisasi Islam, baik tuntutan mendirikan negara Islam, desakan formalisasi syariat Islam melalui legalisasi Piagam Jakarta, dan sebagainya, tidak dipungkiri menjadi masalah sosio-politik yang mengiringi historisitas negara Indonesia hingga dewasa ini.

Terkait hal di atas, tidak dipungkiri, bahwa urgensi Pancasila tidak hanya merupakan jalan tengah bagi penyelesaian perdebatan ideologis terkait agama dan negara, sekaligus untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara. Di samping itu, meskipun tidak ada simbol-simbol Islam di dalamnya, Pancasila merupakan ideologi yang selaras dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang universal. [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar