Rabu, 27 Februari 2019

Penulis Penjual Buku?

Refleksi Pendampingan Komunitas Baca-Tulis di Mojokerto
Sutejo

“Tugas penulis memang menulis yang berkualitas, tetapi jika tidak mengerti medan pasar, untuk apa kita menulis. Tersebab, menulis bukan sekadar idealisme tetapi juga bernilai ekonomi.” (Sutejo)
***

Sebelumnya, mohon maaf kepada para guru kehidupan yang sudah lebih dulu menulis. Ini hanya untuk menggairahkan kehidupan kata.

Ingat saya, sudah empat kali (yang bertema komunitas) diundang Balai Bahasa Jatim untuk mendampingi workshop pengembangan komunitas di Jatim: (i) Pacitan, (ii) Trenggalek, (iii) Tuban, dan (iv) Mojokerto.

Apa yang menarik? Keempat kota ini memiliki kecenderungan respon yang berbeda. Mengapa? Saya tidak tahu, tetapi dapat diduga, bahwa mereka ada yang bukan sesungguhnya komunitas. Artinya, ada beberapa yang diundang, patut diduga sekadar formalitas mengatasnamakan dirinya sebagai komunitas. Karakter komunitas sesungguhnya adalah militansi dalam berkumpul dan berkarya, itulah tesis saya yang ada di kepala.

Kali ini, saya ingin berbagi respon atas salah satu pertanyaan dari peserta di Mojokerto (19/2) begini: Mengapa, kata Bapak, penulis harus bisa menjual bukunya? Bukankah tugas penulis adalah menulis. Sementara, yang menjual sudah ada sendiri. Saya pernah mengikuti pelatihan motivasi, tambah si penanya, itu bukan urusan kita (penulis). “Bagaimana tanggapan, Bapak?”
***

Jawaban saya kira-kira komplitnya seperti ini. Sebab, kala di Mojokerto, jujur saya tidak seeksploratif ini, karena keterbatasan waktu; tersebab ada belasan pertanyaan yang harus diselesaikan dalam “tempo sesingkat-singkatnya” (1 jam) karena pemateri selanjutnya sudah menunggu sejak dua jam sebelumnya. Hehe. Sekaligus, sudah menjadi kebiasaan: merenungkan ulang pertanyaan dan jawaban karena ketakutan atas kesalahan dalam “berkata”, dan –maaf—banyak tulisan saya yang bermuara dari pengalaman pendampingan macam begini.

Pertama, tentang tugas penulis. Betul, sangat betul, bahwa tugas penulis adalah menulis sesuai dengan “namanya”. Jika dilihat dari diksinya, maka bukan “penjual”. Jika penjual, pasti mereka adalah “pedagang”. Tetapi jujur: maukah Anda menderita karena karya Anda tidak laku? Siapa pun kita, dipastikan tidak menginginkannya. Apalagi saya.

Pengalaman saya, awal merintis penerbitan buku mandiri begitu banyak omongan nyinyir menghampiri saya begini: (i) Opo Tedjo ki, nulis buku dhewe didol dewe, (ii) buku saya dinilai tidak melalui proses evaluasi keilmuan, (iii) kalau memang buku saya layak, mestinya dibedah di mana-mana, dan (iv) mengapa tidak menggunakan penerbit mayor (besar) sehingga kualitas buku dapat dipertanggungjawabkan. (Saya anggap, orang-orang ini sebagai “buta literasi”, bahasa ekstrimnya “buta huruf”). Selesai.

Keempat nyinyiran itu puluhan kali mampir di kepala saya. Saya tak memedulikannya. Sebab, ini sebuah pilihan. Pada tahun 1998 saya punya pengalaman, buku saya menjadi pemenang di tingkat nasional kemudian dibeli “proyek nasional”, tetapi royalty saat itu hanya terima dua kali. Ingat saya sebesar Rp 3,9 juta (1999) dan 1,9 juta (2000). Padahal, buku itu untuk sebuah provinsi saja, terketahui jumlah eksemplarnya 17.000 (berdasarkan “surat laporan” penerbit). Saat itu, sungguh saya sangat bodoh. Pertama kali mengenal dunia buku. Jadi sangat bangga buku dibeli oleh penerbit. Buku yang kedua yang dibeli penerbit lagi (1999), lebih mengerikan. Tak jelas, sungguh tak jelas kabar beritanya.

Keduanya adalah buku bacaan untuk anak SMA, kategori buku fiksi, yang mestinya menjadi “hidangan renyah” –meskipun tidak semenggoda buku popular lainnya. Judulnya: (i) Monolog Pengakuan Anak Pemburu, dan (ii) Warok Kucing (Kumpulan Cerpen).

Di situlah, bermula: saya punya pikiran, “Wow, kalau begitu penulis buku wajib bisa menjual buku.” Ini disebabkan, kala tahun 2007, mengisi seminar di beberapa kota, mulai ada pertanyaan, “Karya buku-buku Bapak apa saja, apa yang bisa saya koleksi?” Otak saya seperti tertampar. Pertama, ketika dibeli penerbit besar kita tidak bebas, terkebiri, dan “terbodohi”. Kedua, lebih parah lagi, jika tidak punya bukti memiliki karya buku. Inilah awalnya, mengapa saya harus menulis buku, menerbitkan mandiri, dan mampu menjualnya sendiri. Semua ada sejarahnya, karena saya adalah orang yang dibesarkan oleh pengalaman hidup, pemaknaan hidup, dan tentu wajib mampu mensintesakan problema kehidupannya. Termasuk tentu, berkaitan dengan produk tulisan (buku utamanya).

Selama tujuh tahun saya benci menerbitkan buku! (2000-2007). Setelah itu, selama 3 tahun (2008-2011) saya menerbitkan buku lebih dari 15 buah. Rata-rata ketebalan di atas 200-300 halaman. Yang saya bidik adalah mahasiswa dan para guru. Di sinilah, buku itu relatif laku. Rata-rata tercetak di atas 3.000 eksemplar dengan penjualan mandiri melalui jejaring. Bahkan ada buku yang paling saya tidak suka sudah tercetak 15.000 eksemplar: Bahasa Indonesia: Mahir Berbahasa untuk Profesi (maaf, sudah cetak ulang 8 kali sejak 2013).

Maka jawaban pertama, adalah betul tugas penulis adalah menulis! 100 persen itu betul. Tetapi, ingat masih ada tetugas lain yang harus diselesaikan: (i) menyesuaikan dengan “pesanan”; (ii) bertanggung jawab atas apa yang ditulisnya (kata-dan-perbuatan profesi kita); dan (iii) mampu menjualnya. Maka tugas penulis, bagi saya, sungguh tak cukup hanya menulis!

Menyesuaikan dengan pesanan misalnya (tak usah tersinggung wahai para penulis) adalah filosofi dari kemampuan kita menghargai orang lain (pembaca). Misalnya, menulis untuk kepentingan penerbit –yang tentu layak jual—berarti kita mengabdi pada penerbit dan aktualitas, dan pasar tulisan.

Untuk kepentingan lomba misalnya, wah, ini wajib melewati tahap rumit. Misalnya, kita penting mengenali siapa juri di balik lomba, mengenal gaya, dan menyonteknya sesuai dengan “pesanan batin” juri. Itu pun, belum cukup: wajib menyesuaikan pesanan tema. Wah, merendahkan profesi menulis? Sungguh, tidak. Kita professional kok!

Untuk kepentingan media massa, maka kita wajib mencocokkan dengan gaya media yang dituju. Gaya selingkung dan visi-misi media berikut karakternya, masing-masing berbeda. Saya sempat kecewa diawal memasuki menulis di dunia media massa karena mengusung idealisme pribadi. Akibatnya, kirim ke Kompas, harus bernasib sial. Baru tulisan yang ke-24 yang berhasil dimuat. Judulnya: Sinema Wanita dalam Sastra Indonesia (tahun 1995), edisi lupa.

Secara tidak langsung, fungsi “menjual tulisan” sesungguhnya sudah ada dalam filosofi pikiran kita. Kita tidak usah sombong dengan idealisme, buta kejujuran, takut dianggap melacur dalam tulisan. (hehe, kok kelihatan serius). Lupakan saja. Kita fokus: bagaimana belajar berarti bagi orang lain dalam tulisan. Maaf, inilah yang saya lakukan selama kurang lebih 30 tahun!

So, tugas penulis itu, bagi saya, tak cukup hanya menulis. Tak setuju, monggo dipersilakan saja. Tersebab, ini membawa konsekuensi sangat panjang dalam dunia kepenulisan kita di masa depan.
***

Kedua, jika kita hanya menulis, maka berarti kita hanya sebagai “karyawan kata-kata”; padahal, mestinya kita bisa menjadi “juragan kata”. Masa, kita terus akan menjadi karyawan, kapan menjadi bosnya? Ini logika indah, mengapa salah satu filosofi pengembangan komunitas yang saya bawakan kemarin di Mojokerto adalah pentingnya komunitas berjiwa entrepreneurship. Simple: agar kita menjadi Bos, minimal, atas karya kita sendiri, jika memungkinkan menjadi Bos bagi kolega dan teman-teman sejawat dan penggiat kata-kata. (Yang penting kita tidak memanfaatkan kelemahan orang lain). Jangan cengeng, karya kita tak laku. Kita saja yang tak kreatif menjualnya. Banyak tip yang bisa dilakukan. Jika malu, suruh orang lain untuk menjualkannya dengan berbagai cara. Katakanlah, semacam EO buku Anda, buatkan kegiatan (even) berbasis buku kita, dengan misalnya kegiatan berbasis “barter buku”. Ini sudah jamak, dan banyak yang melakukannya. Pelatihan menulis gratis, dijamin bisa! (syarat: membeli 100 eks buku).

Jika masih malu, jual saja melalui online, bisa sendiri atau orang lain. Tak ada masalah. Banyak pemilik depot merangkap juru masak, atau ahli masaknya. Tetapi, untuk pelayannya tidaklah mereka sendiri. Pilih mana? Monggo direnungkan sebelum dijawab dengan kata-kata. Pikiran kita butuh jujur dan terbuka. Maka jika ini dipikirkan, bayangkan kepala kita seperti cangkir yang kosong, masukkan dulu, lihat, baru dinikmati. Jika cangkir kita penuh, maka tulisan ini akan sia-sia saja adanya.

So, bagi saya: tugas penting penulis adalah mampu menjual karya-karyanya! Pelukis menjual lukisannya, biasa.
***

Ketiga, ini lebih ngawur saya. Semua penulis wajib bisa melatih menulis secara praktis. Langsung, bisa dipratikkan kemudahannya. Penulis tidak saja seorang rhapsodist (kata Budi Darma, bergagasan cemerlang dan bernas kata), tetapi bagaimana dia wajib menjadi pelatih. Seorang perenang, bisa melatihkan renang secara langsung. Guru lukis bisa melahirkan pelukis. Guru tari bisa melahirkan anak penari. Tetapi guru bahasa Indonesia, di mana letaknya? Mari berenung. Mestinya, guru bahasa Indonesia bisa melahirkan banyak penulis, minimal untuk kebutuhan hidupnya, untuk medan ekspresi, untuk katarsis jiwa, untuk mengembangkan idealismenya.
***

Maka, untuk pengembangan komunitas, sekali lagi monggo jujur kita bertanya: untuk apakah kita membangun komunitas. Untuk wah-wahan, untuk hobi, untuk sekadar berkumpul, atau untuk mentasbihkan sendiri kita sebagai “raja kata”. Wow, akan menjadi lucu, ironis, bahkan paradoks jika kita gagal menggenggam filosofi komunitas yang benar. Oke, semua orang memiliki “filosofi hidup matinya komunitas” tetapi jika kita jujur maka “bagaimanakah menghidupkan dan menumbuhkan komunitas”? Ini penting. Ini bukan pertanyaan ringan, butuh kreativitas dan inovitas yang joss. Butuh mental, butuh pengorbanan, dan tentu –dibutuhkan beragam hinaan—yang menguatkan otot jiwa-pikiran sehingga berdaya tarung tinggi. Berdaya tumbuh dahsyat! Pinjamlah logika pir, ketika ditekan ia akan melahirkan lompatan yang sepadan dengan tekan yang diterimanya. Mental-otot penulis mestinya melampui benda mati bernama pir.
Memangnya, komunitas untuk medan pertarungan? Bukan, ibaratnya beraktivitas hidup selalu berhimpitan antara bertarung atau bersahabat, kompetisi atau kooperasi. Jika logika berkomunitas benar, maka dipastikan akan saling bisa menghidupkan. Mendayakreasikan bagi kehidupan yang lebih luas! Kita saling berlomba untuk menebarkan kebaikan dalam kata, bukan simbol-simbol yang dipuja-mitoskan.
***

Terakhir ini, barangkali catatan ngawur selanjutnya. Tugas penulis adalah jujur, konsekuen, dan bertanggung jawab atas apa yang dituliskannya. Karena tulisan itu akan menuntut kita, menjadi hakim kita, dan memang, di akherat kita akan dimintai tanggung jawab atas karya-karya kita. (hehe, seperti khotbah saja ini).

Artinya, penulis itu bukan sekadar bisa menulis. Tetapi seperangkat mental, wajib lekat dalam apa yang dituliskannya. Jika tidak, maka tulisan akan menjadi pisau yang sangat berbahaya bagi kehidupan. Sebut misalnya, hoaks. Ini adalah produks mentalitas yang nihil di balik seorang penulis. Tulisan, bisa jadi menjadi pisau tajam yang digunakan untuk membunuh seseorang. Kita bisa mencemarkan nama baik, dan jika di medsos, kita bisa berkepanjangan. Berurusan dengan hukum dan lain sebagainya.

Di sinilah, saya ingin menyebutnya bahwa penulis itu –bagaimanapun—menuntut moralitas super. Makanya, dulu para penulis disebut dengan empu. Pujangga. Mereka melalui proses kejiwaan yang dahsyat sebelum melahirkan kata. Kita di era digital, bisa mentasbiskan apa saja tentang diri, orang lain, dan –termasuk komunitas. Sayang, moralitas tulisan sering dilupakan, diabaikan, atau bahkan dinomorsekiankan.

Pesan menarik sebagai akhir dari refleksi ngawur ini adalah: menjadi penulis tidak gampang, membangun komunitas bertanggung jawab, tentu juga tidak gampang. Sendiri saja susah, apalagi berjamaah tentu lebih susah. Tetapi, sebenarnya jika mau berpijak pada moralitas yang sama: dunia kata adalah surga yang indah karena kata adalah wasilah diri untuk jariyah yang indah di akherat.

Salam perubahan, mindset baru untuk perubahan. Tugas penulis yang paling asasi bagi saya: wajib mampu mengubah mindset, perilaku, dan kehidupan diri untuk lebih baik dari sebelumnya! Baru, mengubah orang lain.

Bravo penulis, bravo komunitas!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar