Minggu, 06 Juli 2014

Binhad Nurrohmat dan Kembalinya Unsur Sastra Jahiliyah

Aguk Irawan MN *
Jurnal Kalimah, LESBUMI NU, I/Nov/2007

Di setiap erotisme selalu ada penyimpangan!
- Adonis
Hampir dua tahun yang lalu Marshall Clark (2005), peneliti sastra Indonesia di School of Asian Languages and Studies, University of Tasmania, dalam Konferensi Jurnal Antropologi di Universitas Indonesia menyebut puisi-puisi Binhad dalam Kuda Ranjang sebagai ‘puisi metropolitan’. Alasan Marshall ini tidak saja didasarkan pada puisi Binhad yang memukul pembaca dengan visi seksualnya yang sangat menentang, sangat lugas, dan juga sangat banal. Tetapi juga didasarkan pada kehidupan sang penyair, yang keluar masuk kafé-kafé elit kota Jakarta dan sangat akrab dengan alat-alat kehidupan metropolitan seperti HP, SMS, surat-e, dan entah apa lagi.

Dan kita sebagai pembaca, memang menemukan alasan Marshall itu dalam antologi puisi Binhad, Kuda Ranjang (2004) dan ia baru saja melepas antologi puisi terbarunya, Bau Betina (2007). Setali tiga uang dengan yang pertama, lewat Bau Betina ia masih latah bergunjing perihal ‘dunia basah’, ‘dunia tengah’. Dalam dua buku ini kita bisa menikmati imaji baik-buruknya adegan seks lengkap dengan gaya puitis erotis yang sangat mencengangkan.Tema utama puisi Binhad adalah politik seksual antara laki-laki dan perempuan dan yang sangat menonjol adalah unsur seks atau lebih tepat lagi berbau seks. Tapi kenapa Marshall hanya melulu mengaitkan seks dengan kehidupan metropolitan? Padahal bukankah seks adalah gejalah alamiah dalam hidup ini? Dan ia adalah tema yang purba dan selalu mengiringi sejarah hidup anak manusia. Karena sifat dasar kealamiahan inilah, seks bisa juga dipandang bukan semata-mata hubungan badaniah, yang kotor, berlumur berahi, melainkan ‘aktivitas batin’ yang penuh kearifan dan simbol-simbol filosofis-spritual. Namun, bilamana ‘kearifan’ itu sudah diobral dan diumbar di dalam karya, tempat-tempat pelacuran, panti-panti pijat terselubung, kafe, atau diskotik, maka seketika itu bukankah seks berubah menjadi tak lumrah, tak alamiah, tak lazim dan tercela. Karena itu, maka seks harus dipingit, disembunyikan dalam ruang-ruang yang paling pribadi.

***

Sejak Islam turun di bumi (jazirah) Arab, dan al-Qur’an diturunkan sebagai “penyaing” sastra Jahili. Sikap para penyair jahili terbagi menjadi dua kelompok: pertama, mereka mempertahankan nilai-nilai yang dominan, nilai lama yang diakui oleh islam, dan nilai baru yang dibawa (terkandung) Islam. Kedua, mereka memberontak dan menyimpang dari nilai-nilai tersebut. Di dalam literatur kesusastraan Arab dijelaskan, sebagaimana yang direkam oleh Syauqi Dlaif dalam pengantar bukunya “Tarikh al-Adab al-Arabi” (Kairo: Dar al-Maarif, 1968), atau pengantar tulisan Toha Husain “Fi Syi’ir al-Jahili” (Kairo, Haiatul Masry, 1967) Nabi dan para Khalifanya terus mendorong para penyair Jahili itu terus menulis puisi (hal ini dilakukan setelah mengetahui Penyair Labid bin Rabiah melakukan aksi mogok nulis), asal mereka masih berpegang pada pendirian yang pertama, tetapi Nabi dan Khalifahnya tidak segan-segan untuk ‘menegur’ bahkan menghukum para penyair yang berada dalam kecenderungan kedua. Dan di barisan yang kedua ini, muncullah tokoh penyair besar, yang bernama Imri’ al-Qois.

Tidak diragukan lagi kepiawaian Al-Qois sebagai penyair Jahiliyah, al-Ashama’i mengatakan, bahwa ia adalah pionir bagi para penyair (Lihat, Al-Ashma’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, hal 9 dan 18, 19: Beirut, Dar al-Kitab al-Jadid 1971), bahkan Umar bin Khatab mengatakan, bahwa ia adalah penyair garda depan, ia pencipta mata air puisi untuk para penyair (Lihat, Ibnu Qutaibah, asy-Syi’ir wa asy-Syu’ara hal, 68-69: Beirut, Dar ats-Tsaqafah 1969). Meskipun kebesaran namanya tak diragukan dalam kepenyairan, di akhir kehidupan al-Qois sungguh sangat mengenaskan, ia menjadi gelandangan yang terlunta, dan meninggal sebagai orang yang terusir. Ibnu Qutaibah mengatakan sebab terusirnya al-Qois dari rumahnya dikarenakan ia melakukan pencabulan dalam puisi, atau dalam bahasa Mariana Amiruddin, karena ia menulis sastra wangi, lembab, dan melulu hanya seputar selangkangan. Qutaibah meriwayatkan bahwa al-Qois diusir oleh orang tuanya pertama kali sejak menulis puisi ayyuhat ath-thalali al-bali (wahai puing-puing usang). Pengusiran ini menunjukkan di zaman jahiliyah pun moral atau etika merupakan hal yang penting dari sebuah karya sastra (dalam hal ini puisi), sebab berbicara sastra tak bisa lepas dari makna atau nilai-nilai, sebagaimana namanya dalam bahasa arab, ‘adab yang selain berarti sastra, juga etika, atau su-sastra yang berarti pesan-pesan (etika) melalui abjad. Demikianlah Imri’al-Qois menyimpang dari nilai-nilai dominan (moralitas Jahiliyah) juga menyebrang nilai (etika) yang dibawa oleh Islam. Penyimpangan ini dijelaskan al-Marzabani dalam dua poin:

Pertama, karena al-Qois menggunakan bahasa tubuh dengan sangat vulgar dan gamblang, sehingga terkesan jorok dan menjijikkan. Al-Marzabani kemudian menyinggung dua bait puisi al-Qois: Aku menyukai orang hamil dan menyusui/bukan anak gadis yang perawan dan ranum/Tiada kupedulikan perut dan anak yang merengek di teteknya/Tatkala Tubuhnya terperangkap di tubuhku.

Dua bait di atas, Ibnu Qutaibah mengatakan tentang Imri al-Qois, bahwa ia dicela banyak masyarakat, karena terang-terang mengatakan zina, dan perlahan-lahan merusak kehormatan perempuan. Sebagaimana puisi tersebut ditulis dalam qashidah-nya qifa nabqi yang ditujukan kepada Fathima (al-Marzabani, al-Muwasyyah, hal 41: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)

Kedua, karena al-Qois menggunakan bahasa yang tidak umum dalam perpuisian. Misalnya menggunakan bahasa “kuda”, sebagai metafor, yang biasa mempunyai makna simbolis, orang pemberani yang tidak pantang mundur dalam berperang: karena sifatnya kuda adalah bergerak cepat, tanpa menunggu digertak dan terbebas dari rasa lelah. Dan al-Qois dalam menggambarkan kuda menyimpang dari gambaran tipologis itu. Ia justru memakai bahasa “kuda” untuk hal yang negatif, yaitu kejantanan pria untuk menaklukan perempuan dalam hal seksual. Seperti puisinya: Aku naiki kuda dalam peperangan/ bagaikan belalang/Lembut gemulai/Jambulnya tergerai menutupi wajahnya.

Bait puisi itu mendapat kritikan, sebab dinilai tidak adanya kesusuain langsung antara “kata” sebagai penanda dengan makna sebagai petanda, atau antara bahasa yang nampak dengan bahasa yang simbolik. Karena ia mengaitkan kata “kuda” dengan “belalang”, dan kuda dengan “lembut”. Bukankah ini merupakan cacat? Karena “Kuda” yang keras itu bertentangan dengan makna “lembut”. Dan dalam perpuisian arab, sudah menjadi keniscayaan bahwa setiap bait tak boleh ada yang saling bertentangan, tiap kata saling menguatkan, dan menjadi anak kalimat hingga menjadi kesatuan makna yang tak terpisahkan (ia disebut qafiyah). Dan al-Marzabani menunjukkan kecacatan itu. (al-Marzabani, al-Muwasyyah, hal 36: Kairo, Dar al-Mahdlah 1965)

Ketiga, karena Imri’ al-Qois dalam menggunakan kata-kata menyimpang dari makna dasarnya. Ia tidak menyelaraskan antara makna dengan makna tipologisnya, demikian pula ia tidak tidak menyelaraskan antara kata dengan makna yang aslinya. Kerana bukankah sebuah karya puisi merupakan ungkapan tentang struktur pemikiran dengan menggunakan kata-kata yang saling mengikat dan memadai dalam kalimat-kalimat yang masing-masih berdiri sendiri untuk menuju makna yang sesungguhnya. Seperti pada puisinya: wahai malam yang panjang, tidaklah engkau mau pergi/Tuk berganti pagi, tapi pagi tidaklah lebih nikmat dari pada kamu, wahai malam!.

Nampak dalam bait puisi di atas, hanya dibolak-balikkan dan sekedar diperbandingkankan. Ia membuat makna dari jawaban yang ia putar sendiri. Dan ia memutar makna untuk menjawab keresahannya. Perbandingan antara kata “malam” dan “pagi”, mana yang lebih nikmat? Literar puisi itu sendiri yang menjawabnya.

Ketiga kritik diatas itu memang seakan-akan sebagai fakta ilmiah, yang tak terbantahkan dan sudah biasa terjadi dalam dunia perpuisian. tapi justru dari kritik itulah nama al-Qois semakin besar. Sebagaimana al -Ashama’i mengatakan, bahwa kebesaran al-Qois jutsru karena pemberontakan dalam kerangka kepenulisan puisi–dan melakukan penyimpangan dari kebiasaan. Namung sayang kebesaran ini dirusak oleh maknanya yang berbau seks dan selangkangan (al-Ashama’i, Kitab al-Fuhul asy-Syuara, hal 10, ungkapan senada juga dikatakan oleh al-Jumahi dalam kitabnya Thabaqat Fuhul asy-Syu’ara, hal 16-17: Beirut Dar al-Nahdlah al-Arabiyah 1968). Dan al-Qois tidak sendiri di sana, di barisannya ada penyair Abu Mihjan ats-Tsaqafi, Abu ath-Thamhan al-Qaini, Dhabi bin al-Harist al-Barjami, Suhaim Abdul Bani al-Hashas, an-Najasy al-Haritsi, dan Syabil bin-Waraqa. Dan jika dibandingkan semua sajak-sajak penyair ulung Jahili itu dengan puisi Binhad Nurrohmat akan menemui satu titik temu, yaitu dengan gegap gempita mereka mengekplorasi seks.

***

Sekarang justru persoalannya lain, ketika puisi ditangan penyair Binhad Nurrohmat. Ia dalam semua puisinya justru menampakkan makna seks sebanyak-banyaknya, seliar-liarnya, sebebas-bebasnya, dengan (dan) tanpa diikuti oleh pembaharuan kerangka kepenulisan puisi (sebagaimana yang menjadi penyebab kebesaran al-Qois dalam kesusastraan Arab-Timur Tengah). Tetapi kemiripin al-Qois dan Binhad nampak sama dalam segi pemaknaan, lihat saja pada buku kumpulan puisi Binhad yang pertama. Kuda Ranjang. Bukankah yang dimaksud Binhad kata ‘kuda’ adalah lambang kejantanan, sebagaimana al-Qois menggunakannya di atas. Atau lebih jelasnya -meminjam terminologi Marianna Amiruddin (Media Indonesia, 8/8/04), kuda melambangkan ‘otensitas maskulin’. Lalu, dipertautkan dengan kata ‘ranjang’. Bukankah ranjang adalah sebuah medan penaklukan perempuan? Dengan kata lain, bilamana seorang pejantan sudah berhasil merayu perempuan di atas ranjang, maka pejantan dianggap menang, dan perempuan akan tumbang sebagai pecundang. Kepenyairan Binhad yang menjalankan laku ‘tarekat tubuh’ seperti Pejantan disimbolisasikan dengan Kuda (dalam Kuda Ranjang) dan masih sama dalam antologi keduanya, yaitu Singa (dalam Bau Betina) seperti yang termaktub dalam sajak Hidung Belang, Sex After Lunch, Pengakuan Sepasang Girang, Ulang Tahun Tubuhmu, Malam Janda, Homo Eroticus. Kedua antologi ini mempunyai makna yang sama, yaitu menaklukkan perempuan.

Kuda Ranjang adalah puisi pertama yang muncul sejak Pengakuan Pariyem Linus Suryadi yang begitu berhasrat mengungkapkan pertualangan syahwat baik para pejantan urban maupun kanca ranjangnya. Harus diakui juga bahwa erotisisme yang ada di dalam syair Berak, Ngintip, dan Foreplay Binhad, berbedaa dengan Linus yang menggambarkan aroma seks dengan “rasa” berbunga-bunga. Binhad begitu nyinyir dan liar mengumbar aroma nafsu, bahkan seperti “kalap”, “bringas”, dan terkesan “sadis”, betapa banyak ia mengantongi kata Zakar, Penis, Bokong, Payudara, Syahwat, Telanjang, Cupang dan Sperma dalam sajak-sajaknya, simak saja misal di dalam Berak, Ngintip, dan Foreplay, dan lain sebagainya. Misal kita penggal sajaknya yang berjudul “Lajang”: hujan binal berduyun ke palung jantung/mengguyur mujur bertubi urung/menggigilkan ingatan/cerita payudara pertama dalam rematan. Apa sebenarnya yang hendak dikatakan Binhad dalam bait ini? Tak lain adalah ingatan akan kebinalan terhadap perempuan. Gejala ini hampir nampak pada semua jenis puisinya, meski terlihat seperti ada yang mencoba ditenggelamkan kepada kritik sosial, seperti “Ajal Begundal”: Setelah empatpuluh hari kematian/seluruh kota bernafas lega/tak ingat lagi coretan dinding penuh ancaman/atau erang perkosaan di belakang bioskop murahan. Bahkan gejala ini nampal sangat blak-blakkan dalam salah satu judul puisinya, “Kisah Seekor Yanuba Merah”:”Ibuku angin betina/berleha di sela paha kawanan domba/yang tiba waktu gatal birahi/merayapi kelaminnya.Bapakku topan jantan/mencekam kasur pengantin remaja. Atau lihatlah pada judul pusinya “Cuci Mata”: Sepasang tungkai di warung tak terhingga langsatnya/melenggang anggun bersama rok sebatas dengkul/dan menggelandang berpasang mata tak berdaya/menahan sumuk deru gurun yang kesepian.

Puisi Binhad Nurrohmat adalah pernyataan tubuh laki-laki yang norak, namun percaya diri. Selain ia bersembunyi dibalik makna “kuda”, “Singa” ia juga bersandar di balik makna “domba” Memang tubuh laki-laki tak menjadi “haram” bila dibicarakan dalam konteks kejantanan. Tapi yang terasa membosankan adalah Binhad semakin mengumbar metafora penis dan bokong yang bergelayut dalam bentuk yang buruk. Zakarmu sekuyu gelambir leher jompo/bungkuk dan malu-malu/mengintip puing tahi/terjepit bongkah coklat bokongmu. Kalau al-Qois hanya melihat dunia dengan tubuhnya, sudah mendapatkan “kecaman” dari masyarakatnya yang jahili, sementara Binhad mempertontonkan tubuh dengan telanjang bulat, apakah memang tak pantas kita merenungkannnya?.

Agak mengejutkan memang, seorang alumnus pesantren Krapyak (Yogyakarta) seperti Binhad memilih jalan dan mengulang kembali unsur ‘jahiliyah’ dengan menulis sajak-sajak bergelimang syahwat. Apakah ia lantaran sudah terjerembab dalam asyik-masyuk dunia malam kota Jakarta yang memang kerap menyesatkan? Dan ini berpengaruh pada proses kepenyairannya, sehingga benar hepotesa Marshall? Padahal lazimnya sebagai mantan santri, Binhad ‘seharusnya’ menulis puisi sufistik sebagaimana Ahmadun Y Herfanda menulis Sembahyang Rumputan (1996) atau mengikuti jejak kepenyairan Mustofa Bisri, Jamal D. Rahman, Acep Zam-Zam Noor, Ahmad Nurullah, Emha Ainun Nadjib dan lain sebagainya, bukan menulis sajak-sajak yang tidak mencerminkan budaya santri! Dan Apakah memang benar kegeilisahan Marshall, bahwa menulis tentang hal-hal yang benar-benar indah–seperti alis cantik, pipi merah, bibir kayak delima, bunga yang enak wanginya, dan seterusnya–kurang cocok pada zaman yang serba metropolit di negeri ini? Dan kini waktunya, kita dipaksa menulis dan membaca “kejahiliyah-an” kembali, seperti tentang hal-hal yang erotis, banal dan menjijikkan, termasuk berak, brewok, jembut, kelangkangan, zakar sekuyu gelambir leher jompo dan seterusnya?

Yogyakarta, 27 Agustus 2007
*) Penulis adalah Penyair, dan Pengamat Sastra-Budaya Arab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar