Ahmad Damanik *
Suara Hidayatullah, Juni 2008
Mulanya ia seorang pendeta. Bermodal ilmu yang ia timba dari pendeta Jostri Ayome selama empat tahun di Jayapura, Papua, ia mulai rajin berceramah di gereja. Ia resmi dilantik menjadi pendeta pada tahun 90-an.
Alasannya menjadi pendeta sederhana saja. Sebagai seorang kepala suku, ia merasa bertanggungjawab menyelamatkan ideologi rakyatnya. “Rakyat harus beragama dan mengenal Tuhan. Jadi, saya harus belajar agama sebagai tanggung jawab tadi,” kata Ismail Saul Yenu, sang pendeta itu.
Banyak yang heran mengapa Yenu menjadi pendeta. Sebab di Papua tak banyak kepala suku bisa merangkap menjadi pendeta.
Yenu tahu, posisinya sebagai kepala suku akan memudahkannya mengambil hati rakyat untuk masuk Kristen. Dugaannya benar. Banyak warga Papua, baik pendatang maupun penduduk asli, termasuk lima keluarga Muslim, masuk Kristen. Kebanyakan mereka adalah transmigran yang hidup di hutan.
“Waktu itu ada yang sakit dan berhasil saya sembuhkan dengan doa. Karena itu mereka masuk Kristen,” cerita Yenu tentang keluarga Muslim ini.
Namun, perjalanan hidup berkata lain. Yenu sang kepala suku mendapat hidayah dan sempat menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji ia disambut oleh rakyatnya dengan teriakan, ”Raja sudah datang … raja sudah datang!” Uniknya, yang menyambut bukan hanya kaum Muslim saja, tapi banyak juga orang Kristen.
Kesempatan ini tak disia-siakan Yenu. Jika dulu ia rajin berceramah di gereja, maka sekarang ia rajin berdakwah untuk Islam. Banyak yang kepincut hatinya untuk mengucap syahadat lewat dakwah Yenu, termasuk keluarga Muslim yang dulu ia murtadkan. Semua ini ia lakukan untuk menebus tanggungjawab yang dulu salah ia terjemahkan.
Bagaimana lika-liku dakwah sang kepala suku di pulau paling timur Indonesia ini? Ahmad Damanik, wartawan majalah Suara Hidayatullah, baru-baru ini berhasil menemui pria asli Irian ini di rumahnya di Fakfak, Papua Barat, saat Kota Pala ini menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur`an. Berikut hasil wawancaranya:
Mengapa Anda tertarik dengan Islam?
Meski saya ini dulunya pendeta, tapi diam-diam saya suka mengamati perilaku orang Islam. Saya tertarik melihat orang Islam rajin shalat dan berdoa. Mereka shalat lima kali dalam sehari.
Ini berbeda dengan cara non-Muslim. Mereka hanya berdoa sekali sepekan, atau jika ada acara sembahyang keluarga. Ini menunjukkan kalau orang Islam itu punya Tuhan yang luar biasa. Saya lalu bertanya, mengapa mereka bisa berdoa sedang saya tidak? Dari sinilah saya mulai tertarik dengan Islam.
Apakah Anda punya pengalaman berkesan tentang Islam ketika masih beragama Nasrani?
Ya. Ketika tahun 70-an, di daerah saya ada program ABRI masuk desa yang dipimpin Jenderal M Yusuf. Semua orang berkumpul, mulai dari militer sampai sipil. Sebagian besar tentara adalah orang Islam. Sedang orang Nasrani kebanyakan sipil.
Ketika apel siaga, Pak Yusuf bertanya, mana orang Islam yang siap membantu rakyat? Serempak orang Islam berdiri, sedang kami orang Nasrani cuma duduk saja.
Lalu Jenderal Yusuf bertanya kepada saya tentang agama yang saya anut. Saya jawab Nasrani. Tapi beliau bilang, ”Dari pada kamu nanti hanya di luar, tak dapat jatah surga, lebih baik ikut begabung dengan mereka (orang Muslim).” Akhirnya entah mengapa saya ikut berdiri juga.
Setelah tertarik dengan Islam, siapa yang membimbing Anda memeluk agama ini?
Saya mencari kebenaran itu sendiri. Saya pernah mencarinya ke Manokwari (Papua Barat), malah diusir dan ditolak. Tapi saya tak marah. Saya kembali mencarinya ke Jakarta.
Di Jakarta saya bertemu banyak rekan-rekan sesama Muslim, termasuk Ustadz Fadzlan (M Zaaf Fadzlan Rabbani al-Garamatan, tokoh Papua yang banyak membantu kaum Muslim di daerahnya). Saya banyak dibantu oleh mereka. Ustadz Fadzlan sampai sekarang malah menyuruh saya keliling untuk berdakwah ke mana-mana.
Kapan Anda bersyahadat?
Tahun 2002, di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran, Jakarta. Saya dibimbing oleh seorang imam masjid di sana .
Esok harinya saya langsung minta dikhitan (sunat). Padahal umur saya sudah 68 tahun. Mana ada di dunia ini orang yang sunat umur 68 tahun kecuali Ismail Yenu. Hehe he.
Bagaimana cerita Anda pergi haji?
Esok hari setelah saya dikhitan, saya telepon Amin Rais (tokoh Muhammadiyah) dan minta dihajikan. Saya juga cerita keadaan masyarakat Irian. Saya katakana bahwa saya tak mampu pulang dan berdakwah di tengah masyarakat Irian jika belum naik haji. Sebab, biasanya masyarakat tak langsung percaya kalau langsung mendakwahi.
Alhasil, Amien Rais menelepon Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah), menanyakan apakah ada lowongan ke Baitullah. Alhamdulillah, rupanya ada calon haji yang batal berangkat di kloter Asiyah. Kloter ibu-ibu yang berjumlah 240 calon jamaah haji. Meski terasa risih karena harus bergabung dengan ibu-ibu, akhirnya saya jadi diikutkan di kloter tersebut.
Bagaimana perasaan Anda ketika itu?
Saya merenung, mengapa baru beberapa hari menjadi muallaf langsung mendapatkan panggilan agung dari-Nya untuk naik haji? Ini karena kebesaran dan izin Allah semata.
Tiga hari berikutnya saya berangkat haji. Padahal waktu itu bekas khitan saya belum kering betul. Saya pergi ke dokter praktik dan beli kondom.
Sebelum berangkat, seluruh calon haji diperiksa. Rupanya saya ketahuan membawa kondom. Setelah ditanya, saya jawab kalau bekas khitan saya masih basah. Karena tak percaya, saya diperiksa lagi oleh dokter.
Ada kenangan menarik sewaktu naik haji?
Di Arafah, kami berdoa mulai pagi hingga siang hari. Padahal, udara dan cuaca ketika itu sangat panas. Seakan-akan tubuh ini terpanggang teriknya matahari. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, ada yang menyiram tubuh saya hingga basah kuyup.
Pakaian saya basah semua. Saking basahnya, sampai-sampai saya berdoa sambil menghirup air. Seketika itu juga saya jadi adem, tak merasa panas lagi. Padahal saat itu jumlah manusia berlapis-lapis. Rasanya tak mungkin kalau ada orang yang datang menyiram saya.
Sewaktu di Masjid al-Haram, ada seorang perempuan besar duduk di sebelah saya. Padahal, jamaah pria tak boleh bercampur dengan jamaah wanita. Saking besarnya, tinggi pinggul wanita itu mencapai bahu saya. Saya merasa ngeri sekali.
Usai berdoa, saya terfikir mau menegur dia. Begitu menoleh, eh, si wanita tadi sudah lenyap entah ke mana. Padahal tubuhnya besar sekali.
Di Masjid Nabawi, suasana sangat padat. Tak ada lagi ruang kosong di dalam masjid. Begitu masuk, rupanya ada tempat lowong yang kira-kira muat untuk dua orang. Saya jadi heran mengapa tak ada yang melihat tempat tersebut. Padahal sejak tadi jamaah sudah berebutan tempat.
Sementara saya shalat, tiba-tiba ada orang datang dengan jubah yang sangat bagus. Kainnya sangat lembut. Kualitas baju saya kalah jauh dibanding dia. Padahal baju saya juga masih baru, istilahnya baru buka plastik.
Seperti kejadian pertama, begitu saya mau menegur, orang yang dimaksud sudah lenyap entah ke mana.
Apa makna dari semua kejadian tersebut buat Anda?
Keyakinan saya semakin bertambah. Allah SWT tak akan pernah lalai memantau segala kelakuan hamba-Nya. Keyakinan saya makin mantap jika agama Islam ini benar-benar agama Allah. Kita tak boleh main-main dengan agama ini.
Saya sampaikan kepada orang Nasrani, karena kalian menyalib Nabi Isa –sebagaimana sangkaan kalian– maka ketika ia dibangkitkan nanti, Nabi Isa datang untuk menyampaikan kebenaran Islam, bukan membawa ajaran Nasrani.
Apa yang Anda lakukan setelah pulang dari Tanah Suci?
Saya tak langsung pulang ke Manokwari, tapi mampir dulu ke Kalimantan Timur selama 14 hari. Saya mengunjungi Balikpapan, Bontang, dan beberapa daerah lain bersama Ustadz Kodiran (orang Yogyakarta yang tinggal di Condet, Jakarta Timur). Kami berdakwah di tempat-tempat itu sekaligus menyaksikan kebesaran Islam.
Bagaimana tanggapan keluarga Anda sepulang dari haji?
Tiba di rumah saya langsung disambut bagai raja oleh masyarakat setempat dengan upacara adat. Saya diminta menginjak 120 buah piring yang ditaruh di jalan menuju rumah.
Setelah masuk Islam, Anda pernah masuk gereja untuk berdakwah. Bagaimana ceritanya?
Saya pernah mendatangi gereja saat sang pendeta khutbah. Tanpa tedeng aling-aling, sambil mengenakan gamis dan songkok haji, saya langsung meminta sang pendeta berhenti berkhutbah. Saya ganti menceramahi mereka. Saya ajak mereka semua masuk Islam. Saya berani melakukan itu karena dulu mereka adalah jamaah saya, termasuk lima keluarga murtad yang pernah saya baptis.
Apakah Anda tak merasa takut?
Sama sekali tidak. Saya sadar, saya bakal menjadi orang yang paling mereka musuhi karena suka menghalangi misi mereka. Bahkan sejak awal, masyarakat sudah tahu kalau saya memiliki watak yang keras dan tak takut pada apa pun. Mereka juga tahu sayalah yang merobek bendera Belanda pada masa lalu.
Bagaimana tanggapan keluarga setelah Anda menjadi Muslim?
Saya katakan, “Maaf, saya tak seperti dulu lagi. Kalau mama masih suka pake baju singlet atau celana pendek, berarti tak boleh mendekat. Silakan pergi tukar baju dulu. Kepala juga harus ditutup pakai kerudung. Kalau tidak begitu, maaf saja.”
Sebelumnya saya telah menyiapkan oleh-oleh pakaian dari Tanah Suci sebanyak 40 pasang. Masing-masing isteri saya mendapat 10 pasang (Yenu memiliki empat isteri). Saya juga minta tolong teman untuk memberi pemahaman Islam kepada para istri saya.
Anda pernah mengatakan bahwa jika saat ini masih beragama Kristen, mungkin Anda ikut Gerakan Papua Merdeka. Benarkah?
Iya. Sudah jelas. Sebagian orang Irian, dan juga orang Belanda, menginginkan Irian merdeka. Bahkan, mereka punya kepercayaan jika bisa berkunjung ke Israel maka Irian bisa merdeka. Karena itu, saya akan beri tahu pemerintah RI agar mereka dilarang dan tak diberi izin pergi ke Israel .
Setelah Anda memeluk Islam, apakah orang-orang yang pernah Anda murtadkan ikut kembali memeluk Islam?
Sebagian besar mereka masuk Islam lagi. Memang ada sebagian kecil yang tetap bertahan (dengan agamanya), namun jumlahnya tak banyak. Malah ada yang beranggapan, waktu masih pendeta saja doa saya dikabulkan oleh Tuhan, apalagi sekarang setelah masuk Islam dan pulang dari Tanah Suci.
Tapi saya katakan kepada mereka bahwa segala sesuatu itu hanya Allah yang mengatur. Manusia cuma bisa berkehendak saja.
Berdakwah Kepada Pendeta
Ismail Saul Yenu lahir di Manokwari, 28 Oktober 1934. Masa kanak-kanaknya banyak dilalui di Serui, Kabupaten Yapen Waropen.
Yenu berasal dari keluarga kepala suku Yapen Waropen. Setelah tamat dari sekolah lanjutan, ia diterima menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum (PU).
Sebagai kepala suku, Yenu memiliki empat istri. Dari pernikahan dengan empat perempuan itu ia dikaruniai 37 anak. Tujuh di antaranya sudah masuk Islam, yakni anak dari istri ketiga dan keempat. “Saya termasuk pelaku poligami,” kata Yenu.
Setelah masuk Islam dan pensiun dari pegawai negeri sipil, aktivitas Yenu cuma membina muallaf. Jumlah yang dibina sekitar 40 orang. Mereka ini adalah jemaat gerejanya dulu.
Yenu juga kerap berdakwah di gereja. Uniknya, tak ada jemaat yang protes. Sebab, sebagian dari mereka masih ada yang menganggap Yenu beragama Kristen, bahkan masih sebagai pendeta. Mereka menyebutnya ”pendeta haji”.
Ketika dulu masih menjadi pendeta, Yenu dikenal sangat toleran kepada umat Islam. Sebab, Alkitab mengajarkan bahwa Nabi Isa sering membantu orang Islam. Karena itulah ia tak mau memusuhi Islam.
Yenu juga mengaku pernah memiliki Injil yang asli. Isinya hampir sama dengan apa yang diajarkan al-Qur`an. “Saya diberi oleh seorang pendeta tua ketika berada di Jayapura. Pendeta itu terkesan dengan saya dan saya dianggap murid yang paling bersungguh-sungguh belajar Injil,” kenangnya.
Meski kini sudah menjadi mubaligh, Yenu tetap kebanjiran tamu orang-orang Kristen. Bahkan, para pendeta juga banyak yang datang ke tempat tinggalnya.
“Saya siapkan kamar khusus untuk berdialog dengan pendeta,”kata Yenu. Dalam dialog tersebut Yenu membekali dirinya dengan kitab Fadhilah Amal. “Mereka tak berkutik ketika saya bacakan kitab tersebut. Sebab, mereka menganggap saya ini masih seorang pendeta,” kata Yenu.
Sehabis membacakan Fadhilah Amal, Yenu mengatakan bahwa yang dibaca tadi adalah firman Tuhan yang belum mereka ketahui. “Mereka hanya bisa melongo saja. Sebab, semuanya memakai bahasa Arab,” kata Yenu.
Mereka juga tak protes ketika Yenu berkata, ”Doa yang kalian punya cuma kunci surga nomor sekian. Adapun Islam punya al-Fathihah sebagai kunci surga nomor satu. Kunci yang mereka punya bisa cocok, bisa tidak. Sedang kunci orang Islam semuanya cocok.”
Uniknya, mereka malah senang. Meski mereka tidak langsung menyatakan masuk Islam, namun setiap hari para pendeta itu datang ke rumah Yenu, minta diajari Islam. Yenu juga sering memberi para pendeta itu buku tentang Islam. Yenu berharap, hidayah Allah akan turun kepada mereka lewat buku-buku itu.
Yenu memiliki perpustakaan khusus di rumahnya. Di sana ia mengoleksi 1.000 judul. Sehari-hari Yenu banyak menghabiskan waktunya di perpustkaan itu jika tidak sedang kedatangan tamu. *
Gigih Berjuang Untuk Irjateng
Kamis, 6 Desember 2007, sejumlah tokoh Papua ramai-ramai mengunjungi Jakarta. Mereka ingin mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meresmikan berdirinya Propinsi Irian Jaya Tengah (Irjateng).
Maklum, sejak UU No 45/1999 terbit, hanya Propinsi Irjateng yang belum diresmikan berdiri. Padahal UU tersebut nyata-nyata menyebut pembentukan propinsi Irjateng bersama Irian Jaya Barat (kini Papua Barat), serta Kabupaten Paniai, Sorong, dan Timika. Semua daerah tersebut sudah resmi terbentuk kecuali Irjateng.
“Propinsi Irian Jaya Tengah itu simbol NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) di Irian. Jangan samakan kami seperti Propinsi Papua dan Papua Barat,” kata Ismail Saul Yenu yang juga Ketua Umum Gerakan Merah Putih ini.
Provinsi Irian Jaya Tengah ditunda pengoperasiannya oleh Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat Menko Polkam tahun 1999. Ketika itu, Yudhoyono menetapkan Propinsi Irian Jaya Tengah dalam status quo akibat gejolak dari sekelompok kecil masyarakat Irian.
“Gejolak itu diciptakan dan direkayasa oleh segelintir elit politik yang berkepentingan, terutama para pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebab, mereka berpandangan bila Irian dipecah-pecah akan sulit merdeka,” tuturnya.
Semua warga dan tokoh masyarakat Irian Jaya Tengah telah bersepakat untuk mendukung terbentuknya propinsi Irjateng. Kesepakatan itu, kata Yenu, telah tertuang dalam Pertemuan Nabire tanggal 31 Agustus 2006 yang diikuti perwakilan warga dari Kabupaten Yapen Waropen, Biak Numfor, Supiori, Paniai, Mimika, dan Nabire. Kelak, ibukota Provinsi Irjateng berada di Nabire.
Mengapa Anda begitu gigih memperjuangkan terbentuknya propinsi Irian Jaya Tengah?
Ini sesuai dengan amanat UU No 45/1999. Dalam undang-undang itu disebutkan adanya pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah bersamaan dengan Irian Jaya Barat dan beberapa kabupaten.
Bukankah sebelumnya rencana pemekaran ini menimbulkan konflik? Bagaimana pendapat Anda?
Konflik itu diciptakan oleh segelintir orang yang punya kepentingan melepaskan Irian dari NKRI (Yenu lebih suka menyebut Irian ketimbang Papua). Dengan terbentuknya propinsi baru itu maka wilayah Irian akan terbagi-bagi sehingga menyulitkan mereka untuk merdeka.
Apakah Anda setuju jika Irian merdeka?
Membebaskan Irian Jaya dari Belanda, kemudian mengembalikan ke pangkuan Indonesia, tidak mudah. Butuh perjuangan luar biasa. Saya menyadari hal itu. Karenanya saya paling tidak setuju jika ada orang munafik yang ingin Irian merdeka.
Apa maksudnya?
Mereka yang sekarang ini teriak-teriak Papua Merdeka sebenarnya tak paham sejarah. Saya ini pelaku sejarah Trikora. Saya sering berkata kepada mereka, “Kamu jangan sembarangan teriak-teriak. Sebab, 40 tahun yang lalu, kamu belum lahir. Saya ini lahir di zaman Belanda, tapi saya tak suka Belanda. Kalian semua lahir di Indonesia, mengapa justru mau keluar dari Indonesia?
Bagaimana reaksi mereka?
Ya, mereka hanya mendengar saja. Tapi saya yakin, dengan sosialisasi terus menerus, mereka akan menyadari kekeliruannya. Sebab, rata-rata mereka itu berpendidikan. Tinggal tunggu waktu saja.
Saya sama sekali tak menganggap gerakan mereka itu sebuah saingan. Mereka masih anak-anak muda yang belum paham fakta sejarah. Kalau sadar, mereka pasti malu sendiri.
Menurut Anda, Gerakan Papua Merdeka itu masih ada?
Mereka masih ada.
Benarkah ada kepentingan asing di balik keinginan memisahkan diri dari NKRI itu?
Kita tak bisa memungkiri hal itu. Bahkan sebagian besar tokoh-tokohnya ada di luar negeri.
Karena itu saya meminta kepada pemerintah agar mengawasi setiap LSM asing yang datang ke sini, terutama LSM-LSM dari Belanda. Mereka harus diperiksa dulu.
Selama ini mereka terkesan baik kepada masyarakat. Padahal, mereka itu pura-pura membantu rakyat. Misi mereka sesungguhnya adalah memprovokasi rakyat agar mendukung Gerakan Papua Merdeka.
Sebagai seorang pejuang Trikora, apa yang Anda harapkan dari perjuangan Anda dahulu?
Saya ini pejuang yang lama bertahan. Saya berjuang sejak umur 18 tahun. Dulu (1957), Bung Karno berkata, ”Kita kibarkan Merah Putih sebelum ayam berkokok.” Tapi ternyata ia tak datang. Saya lalu pergi merobek sendiri bendera Belanda dan memasang Sang Merah Putih di tanah Irian ini. Orang-orang kemudian menjuluki saya Pejuang Merah Putih.
Benarkah ada kepentingan Kristen di balik Gerakan Papua Merdeka?
Benar, memang seperti itu. Saya tahu karena saya mantan pendeta. Saya tahu semua gerakan dan tujuan mereka. Alhamdulillah saya bisa keluar dari lingkaran mereka.
Apakah Anda tak merasa takut?
Sama sekali tidak. Kini tinggal sedikit orang Irian yang pro Indonesia. Kebanyakan mereka cuma berani ngomong di mulut saja, termasuk para pejabat. Semuanya munafik. Tak ada yang berani bicara vokal dan terus terang.
Apakah pernah Anda menerima ancaman atau teror?
Tak sedikit teror datang kepada saya. Namun, saya tak pernah melayani aksi mereka. Saya cuma katakan, ”Kalian itu masih kecil, belum tahu apa-apa. Kalian tak sebanding dengan saya. Jadi, tak usah macam-macam.”
Apa bentuk teror yang Anda terima?
Yang paling banyak berupa fitnah. Mereka menganggap saya ini sudah tua, tak sanggup berbuat apa-apa lagi.
Semua fitnah itu saya anggap angin lalu. Saya biarkan saja mereka berkomentar. Di mata saya, mereka bukan siapa-siapa. Mereka cuma anak muda berusia 20-an tahun, sedang usia saya 70-an tahun.
Jadi, ucapan mereka hanya untuk mereka saja. Mereka mirip layang-layang, kelihatan tinggi tapi tak punya kekuatan sama sekali. Kita putus benangnya, mereka langsung jatuh ke tanah.
Fadzlan Rabbani al-Garamatan (Dai asal Papua)
Dia Menggebu-gebu Saat Berdakwah
Berbicara hidayah, Ismail Saul Yenu sebenarnya bukan masuk Islam. Ia justru kembali kepada Islam. Sebab, semua manusia memiliki fitrah, sedang ayah dan ibunyalah yang menjadikan anak-anak itu beragama lain.
Sosok Ismail Yenu sangat menggebu-gebu dalam berdakwah. Padahal ia kini berusia 72 tahun. Ia berani berdakwah ke mana saja. Membuka dialog di tengah-tengah kaum Nasrani. Ia berani meyakinkan masyarakat Irian bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar.
Dijumput dari: http://majalah.hidayatullah.com/?p=1360
Suara Hidayatullah, Juni 2008
Mulanya ia seorang pendeta. Bermodal ilmu yang ia timba dari pendeta Jostri Ayome selama empat tahun di Jayapura, Papua, ia mulai rajin berceramah di gereja. Ia resmi dilantik menjadi pendeta pada tahun 90-an.
Alasannya menjadi pendeta sederhana saja. Sebagai seorang kepala suku, ia merasa bertanggungjawab menyelamatkan ideologi rakyatnya. “Rakyat harus beragama dan mengenal Tuhan. Jadi, saya harus belajar agama sebagai tanggung jawab tadi,” kata Ismail Saul Yenu, sang pendeta itu.
Banyak yang heran mengapa Yenu menjadi pendeta. Sebab di Papua tak banyak kepala suku bisa merangkap menjadi pendeta.
Yenu tahu, posisinya sebagai kepala suku akan memudahkannya mengambil hati rakyat untuk masuk Kristen. Dugaannya benar. Banyak warga Papua, baik pendatang maupun penduduk asli, termasuk lima keluarga Muslim, masuk Kristen. Kebanyakan mereka adalah transmigran yang hidup di hutan.
“Waktu itu ada yang sakit dan berhasil saya sembuhkan dengan doa. Karena itu mereka masuk Kristen,” cerita Yenu tentang keluarga Muslim ini.
Namun, perjalanan hidup berkata lain. Yenu sang kepala suku mendapat hidayah dan sempat menunaikan ibadah haji. Sepulang dari haji ia disambut oleh rakyatnya dengan teriakan, ”Raja sudah datang … raja sudah datang!” Uniknya, yang menyambut bukan hanya kaum Muslim saja, tapi banyak juga orang Kristen.
Kesempatan ini tak disia-siakan Yenu. Jika dulu ia rajin berceramah di gereja, maka sekarang ia rajin berdakwah untuk Islam. Banyak yang kepincut hatinya untuk mengucap syahadat lewat dakwah Yenu, termasuk keluarga Muslim yang dulu ia murtadkan. Semua ini ia lakukan untuk menebus tanggungjawab yang dulu salah ia terjemahkan.
Bagaimana lika-liku dakwah sang kepala suku di pulau paling timur Indonesia ini? Ahmad Damanik, wartawan majalah Suara Hidayatullah, baru-baru ini berhasil menemui pria asli Irian ini di rumahnya di Fakfak, Papua Barat, saat Kota Pala ini menyelenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur`an. Berikut hasil wawancaranya:
Mengapa Anda tertarik dengan Islam?
Meski saya ini dulunya pendeta, tapi diam-diam saya suka mengamati perilaku orang Islam. Saya tertarik melihat orang Islam rajin shalat dan berdoa. Mereka shalat lima kali dalam sehari.
Ini berbeda dengan cara non-Muslim. Mereka hanya berdoa sekali sepekan, atau jika ada acara sembahyang keluarga. Ini menunjukkan kalau orang Islam itu punya Tuhan yang luar biasa. Saya lalu bertanya, mengapa mereka bisa berdoa sedang saya tidak? Dari sinilah saya mulai tertarik dengan Islam.
Apakah Anda punya pengalaman berkesan tentang Islam ketika masih beragama Nasrani?
Ya. Ketika tahun 70-an, di daerah saya ada program ABRI masuk desa yang dipimpin Jenderal M Yusuf. Semua orang berkumpul, mulai dari militer sampai sipil. Sebagian besar tentara adalah orang Islam. Sedang orang Nasrani kebanyakan sipil.
Ketika apel siaga, Pak Yusuf bertanya, mana orang Islam yang siap membantu rakyat? Serempak orang Islam berdiri, sedang kami orang Nasrani cuma duduk saja.
Lalu Jenderal Yusuf bertanya kepada saya tentang agama yang saya anut. Saya jawab Nasrani. Tapi beliau bilang, ”Dari pada kamu nanti hanya di luar, tak dapat jatah surga, lebih baik ikut begabung dengan mereka (orang Muslim).” Akhirnya entah mengapa saya ikut berdiri juga.
Setelah tertarik dengan Islam, siapa yang membimbing Anda memeluk agama ini?
Saya mencari kebenaran itu sendiri. Saya pernah mencarinya ke Manokwari (Papua Barat), malah diusir dan ditolak. Tapi saya tak marah. Saya kembali mencarinya ke Jakarta.
Di Jakarta saya bertemu banyak rekan-rekan sesama Muslim, termasuk Ustadz Fadzlan (M Zaaf Fadzlan Rabbani al-Garamatan, tokoh Papua yang banyak membantu kaum Muslim di daerahnya). Saya banyak dibantu oleh mereka. Ustadz Fadzlan sampai sekarang malah menyuruh saya keliling untuk berdakwah ke mana-mana.
Kapan Anda bersyahadat?
Tahun 2002, di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran, Jakarta. Saya dibimbing oleh seorang imam masjid di sana .
Esok harinya saya langsung minta dikhitan (sunat). Padahal umur saya sudah 68 tahun. Mana ada di dunia ini orang yang sunat umur 68 tahun kecuali Ismail Yenu. Hehe he.
Bagaimana cerita Anda pergi haji?
Esok hari setelah saya dikhitan, saya telepon Amin Rais (tokoh Muhammadiyah) dan minta dihajikan. Saya juga cerita keadaan masyarakat Irian. Saya katakana bahwa saya tak mampu pulang dan berdakwah di tengah masyarakat Irian jika belum naik haji. Sebab, biasanya masyarakat tak langsung percaya kalau langsung mendakwahi.
Alhasil, Amien Rais menelepon Din Syamsuddin (Ketua PP Muhammadiyah), menanyakan apakah ada lowongan ke Baitullah. Alhamdulillah, rupanya ada calon haji yang batal berangkat di kloter Asiyah. Kloter ibu-ibu yang berjumlah 240 calon jamaah haji. Meski terasa risih karena harus bergabung dengan ibu-ibu, akhirnya saya jadi diikutkan di kloter tersebut.
Bagaimana perasaan Anda ketika itu?
Saya merenung, mengapa baru beberapa hari menjadi muallaf langsung mendapatkan panggilan agung dari-Nya untuk naik haji? Ini karena kebesaran dan izin Allah semata.
Tiga hari berikutnya saya berangkat haji. Padahal waktu itu bekas khitan saya belum kering betul. Saya pergi ke dokter praktik dan beli kondom.
Sebelum berangkat, seluruh calon haji diperiksa. Rupanya saya ketahuan membawa kondom. Setelah ditanya, saya jawab kalau bekas khitan saya masih basah. Karena tak percaya, saya diperiksa lagi oleh dokter.
Ada kenangan menarik sewaktu naik haji?
Di Arafah, kami berdoa mulai pagi hingga siang hari. Padahal, udara dan cuaca ketika itu sangat panas. Seakan-akan tubuh ini terpanggang teriknya matahari. Tiba-tiba, entah dari mana datangnya, ada yang menyiram tubuh saya hingga basah kuyup.
Pakaian saya basah semua. Saking basahnya, sampai-sampai saya berdoa sambil menghirup air. Seketika itu juga saya jadi adem, tak merasa panas lagi. Padahal saat itu jumlah manusia berlapis-lapis. Rasanya tak mungkin kalau ada orang yang datang menyiram saya.
Sewaktu di Masjid al-Haram, ada seorang perempuan besar duduk di sebelah saya. Padahal, jamaah pria tak boleh bercampur dengan jamaah wanita. Saking besarnya, tinggi pinggul wanita itu mencapai bahu saya. Saya merasa ngeri sekali.
Usai berdoa, saya terfikir mau menegur dia. Begitu menoleh, eh, si wanita tadi sudah lenyap entah ke mana. Padahal tubuhnya besar sekali.
Di Masjid Nabawi, suasana sangat padat. Tak ada lagi ruang kosong di dalam masjid. Begitu masuk, rupanya ada tempat lowong yang kira-kira muat untuk dua orang. Saya jadi heran mengapa tak ada yang melihat tempat tersebut. Padahal sejak tadi jamaah sudah berebutan tempat.
Sementara saya shalat, tiba-tiba ada orang datang dengan jubah yang sangat bagus. Kainnya sangat lembut. Kualitas baju saya kalah jauh dibanding dia. Padahal baju saya juga masih baru, istilahnya baru buka plastik.
Seperti kejadian pertama, begitu saya mau menegur, orang yang dimaksud sudah lenyap entah ke mana.
Apa makna dari semua kejadian tersebut buat Anda?
Keyakinan saya semakin bertambah. Allah SWT tak akan pernah lalai memantau segala kelakuan hamba-Nya. Keyakinan saya makin mantap jika agama Islam ini benar-benar agama Allah. Kita tak boleh main-main dengan agama ini.
Saya sampaikan kepada orang Nasrani, karena kalian menyalib Nabi Isa –sebagaimana sangkaan kalian– maka ketika ia dibangkitkan nanti, Nabi Isa datang untuk menyampaikan kebenaran Islam, bukan membawa ajaran Nasrani.
Apa yang Anda lakukan setelah pulang dari Tanah Suci?
Saya tak langsung pulang ke Manokwari, tapi mampir dulu ke Kalimantan Timur selama 14 hari. Saya mengunjungi Balikpapan, Bontang, dan beberapa daerah lain bersama Ustadz Kodiran (orang Yogyakarta yang tinggal di Condet, Jakarta Timur). Kami berdakwah di tempat-tempat itu sekaligus menyaksikan kebesaran Islam.
Bagaimana tanggapan keluarga Anda sepulang dari haji?
Tiba di rumah saya langsung disambut bagai raja oleh masyarakat setempat dengan upacara adat. Saya diminta menginjak 120 buah piring yang ditaruh di jalan menuju rumah.
Setelah masuk Islam, Anda pernah masuk gereja untuk berdakwah. Bagaimana ceritanya?
Saya pernah mendatangi gereja saat sang pendeta khutbah. Tanpa tedeng aling-aling, sambil mengenakan gamis dan songkok haji, saya langsung meminta sang pendeta berhenti berkhutbah. Saya ganti menceramahi mereka. Saya ajak mereka semua masuk Islam. Saya berani melakukan itu karena dulu mereka adalah jamaah saya, termasuk lima keluarga murtad yang pernah saya baptis.
Apakah Anda tak merasa takut?
Sama sekali tidak. Saya sadar, saya bakal menjadi orang yang paling mereka musuhi karena suka menghalangi misi mereka. Bahkan sejak awal, masyarakat sudah tahu kalau saya memiliki watak yang keras dan tak takut pada apa pun. Mereka juga tahu sayalah yang merobek bendera Belanda pada masa lalu.
Bagaimana tanggapan keluarga setelah Anda menjadi Muslim?
Saya katakan, “Maaf, saya tak seperti dulu lagi. Kalau mama masih suka pake baju singlet atau celana pendek, berarti tak boleh mendekat. Silakan pergi tukar baju dulu. Kepala juga harus ditutup pakai kerudung. Kalau tidak begitu, maaf saja.”
Sebelumnya saya telah menyiapkan oleh-oleh pakaian dari Tanah Suci sebanyak 40 pasang. Masing-masing isteri saya mendapat 10 pasang (Yenu memiliki empat isteri). Saya juga minta tolong teman untuk memberi pemahaman Islam kepada para istri saya.
Anda pernah mengatakan bahwa jika saat ini masih beragama Kristen, mungkin Anda ikut Gerakan Papua Merdeka. Benarkah?
Iya. Sudah jelas. Sebagian orang Irian, dan juga orang Belanda, menginginkan Irian merdeka. Bahkan, mereka punya kepercayaan jika bisa berkunjung ke Israel maka Irian bisa merdeka. Karena itu, saya akan beri tahu pemerintah RI agar mereka dilarang dan tak diberi izin pergi ke Israel .
Setelah Anda memeluk Islam, apakah orang-orang yang pernah Anda murtadkan ikut kembali memeluk Islam?
Sebagian besar mereka masuk Islam lagi. Memang ada sebagian kecil yang tetap bertahan (dengan agamanya), namun jumlahnya tak banyak. Malah ada yang beranggapan, waktu masih pendeta saja doa saya dikabulkan oleh Tuhan, apalagi sekarang setelah masuk Islam dan pulang dari Tanah Suci.
Tapi saya katakan kepada mereka bahwa segala sesuatu itu hanya Allah yang mengatur. Manusia cuma bisa berkehendak saja.
Berdakwah Kepada Pendeta
Ismail Saul Yenu lahir di Manokwari, 28 Oktober 1934. Masa kanak-kanaknya banyak dilalui di Serui, Kabupaten Yapen Waropen.
Yenu berasal dari keluarga kepala suku Yapen Waropen. Setelah tamat dari sekolah lanjutan, ia diterima menjadi pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum (PU).
Sebagai kepala suku, Yenu memiliki empat istri. Dari pernikahan dengan empat perempuan itu ia dikaruniai 37 anak. Tujuh di antaranya sudah masuk Islam, yakni anak dari istri ketiga dan keempat. “Saya termasuk pelaku poligami,” kata Yenu.
Setelah masuk Islam dan pensiun dari pegawai negeri sipil, aktivitas Yenu cuma membina muallaf. Jumlah yang dibina sekitar 40 orang. Mereka ini adalah jemaat gerejanya dulu.
Yenu juga kerap berdakwah di gereja. Uniknya, tak ada jemaat yang protes. Sebab, sebagian dari mereka masih ada yang menganggap Yenu beragama Kristen, bahkan masih sebagai pendeta. Mereka menyebutnya ”pendeta haji”.
Ketika dulu masih menjadi pendeta, Yenu dikenal sangat toleran kepada umat Islam. Sebab, Alkitab mengajarkan bahwa Nabi Isa sering membantu orang Islam. Karena itulah ia tak mau memusuhi Islam.
Yenu juga mengaku pernah memiliki Injil yang asli. Isinya hampir sama dengan apa yang diajarkan al-Qur`an. “Saya diberi oleh seorang pendeta tua ketika berada di Jayapura. Pendeta itu terkesan dengan saya dan saya dianggap murid yang paling bersungguh-sungguh belajar Injil,” kenangnya.
Meski kini sudah menjadi mubaligh, Yenu tetap kebanjiran tamu orang-orang Kristen. Bahkan, para pendeta juga banyak yang datang ke tempat tinggalnya.
“Saya siapkan kamar khusus untuk berdialog dengan pendeta,”kata Yenu. Dalam dialog tersebut Yenu membekali dirinya dengan kitab Fadhilah Amal. “Mereka tak berkutik ketika saya bacakan kitab tersebut. Sebab, mereka menganggap saya ini masih seorang pendeta,” kata Yenu.
Sehabis membacakan Fadhilah Amal, Yenu mengatakan bahwa yang dibaca tadi adalah firman Tuhan yang belum mereka ketahui. “Mereka hanya bisa melongo saja. Sebab, semuanya memakai bahasa Arab,” kata Yenu.
Mereka juga tak protes ketika Yenu berkata, ”Doa yang kalian punya cuma kunci surga nomor sekian. Adapun Islam punya al-Fathihah sebagai kunci surga nomor satu. Kunci yang mereka punya bisa cocok, bisa tidak. Sedang kunci orang Islam semuanya cocok.”
Uniknya, mereka malah senang. Meski mereka tidak langsung menyatakan masuk Islam, namun setiap hari para pendeta itu datang ke rumah Yenu, minta diajari Islam. Yenu juga sering memberi para pendeta itu buku tentang Islam. Yenu berharap, hidayah Allah akan turun kepada mereka lewat buku-buku itu.
Yenu memiliki perpustakaan khusus di rumahnya. Di sana ia mengoleksi 1.000 judul. Sehari-hari Yenu banyak menghabiskan waktunya di perpustkaan itu jika tidak sedang kedatangan tamu. *
Gigih Berjuang Untuk Irjateng
Kamis, 6 Desember 2007, sejumlah tokoh Papua ramai-ramai mengunjungi Jakarta. Mereka ingin mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk meresmikan berdirinya Propinsi Irian Jaya Tengah (Irjateng).
Maklum, sejak UU No 45/1999 terbit, hanya Propinsi Irjateng yang belum diresmikan berdiri. Padahal UU tersebut nyata-nyata menyebut pembentukan propinsi Irjateng bersama Irian Jaya Barat (kini Papua Barat), serta Kabupaten Paniai, Sorong, dan Timika. Semua daerah tersebut sudah resmi terbentuk kecuali Irjateng.
“Propinsi Irian Jaya Tengah itu simbol NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) di Irian. Jangan samakan kami seperti Propinsi Papua dan Papua Barat,” kata Ismail Saul Yenu yang juga Ketua Umum Gerakan Merah Putih ini.
Provinsi Irian Jaya Tengah ditunda pengoperasiannya oleh Susilo Bambang Yudhoyono ketika menjabat Menko Polkam tahun 1999. Ketika itu, Yudhoyono menetapkan Propinsi Irian Jaya Tengah dalam status quo akibat gejolak dari sekelompok kecil masyarakat Irian.
“Gejolak itu diciptakan dan direkayasa oleh segelintir elit politik yang berkepentingan, terutama para pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebab, mereka berpandangan bila Irian dipecah-pecah akan sulit merdeka,” tuturnya.
Semua warga dan tokoh masyarakat Irian Jaya Tengah telah bersepakat untuk mendukung terbentuknya propinsi Irjateng. Kesepakatan itu, kata Yenu, telah tertuang dalam Pertemuan Nabire tanggal 31 Agustus 2006 yang diikuti perwakilan warga dari Kabupaten Yapen Waropen, Biak Numfor, Supiori, Paniai, Mimika, dan Nabire. Kelak, ibukota Provinsi Irjateng berada di Nabire.
Mengapa Anda begitu gigih memperjuangkan terbentuknya propinsi Irian Jaya Tengah?
Ini sesuai dengan amanat UU No 45/1999. Dalam undang-undang itu disebutkan adanya pembentukan propinsi Irian Jaya Tengah bersamaan dengan Irian Jaya Barat dan beberapa kabupaten.
Bukankah sebelumnya rencana pemekaran ini menimbulkan konflik? Bagaimana pendapat Anda?
Konflik itu diciptakan oleh segelintir orang yang punya kepentingan melepaskan Irian dari NKRI (Yenu lebih suka menyebut Irian ketimbang Papua). Dengan terbentuknya propinsi baru itu maka wilayah Irian akan terbagi-bagi sehingga menyulitkan mereka untuk merdeka.
Apakah Anda setuju jika Irian merdeka?
Membebaskan Irian Jaya dari Belanda, kemudian mengembalikan ke pangkuan Indonesia, tidak mudah. Butuh perjuangan luar biasa. Saya menyadari hal itu. Karenanya saya paling tidak setuju jika ada orang munafik yang ingin Irian merdeka.
Apa maksudnya?
Mereka yang sekarang ini teriak-teriak Papua Merdeka sebenarnya tak paham sejarah. Saya ini pelaku sejarah Trikora. Saya sering berkata kepada mereka, “Kamu jangan sembarangan teriak-teriak. Sebab, 40 tahun yang lalu, kamu belum lahir. Saya ini lahir di zaman Belanda, tapi saya tak suka Belanda. Kalian semua lahir di Indonesia, mengapa justru mau keluar dari Indonesia?
Bagaimana reaksi mereka?
Ya, mereka hanya mendengar saja. Tapi saya yakin, dengan sosialisasi terus menerus, mereka akan menyadari kekeliruannya. Sebab, rata-rata mereka itu berpendidikan. Tinggal tunggu waktu saja.
Saya sama sekali tak menganggap gerakan mereka itu sebuah saingan. Mereka masih anak-anak muda yang belum paham fakta sejarah. Kalau sadar, mereka pasti malu sendiri.
Menurut Anda, Gerakan Papua Merdeka itu masih ada?
Mereka masih ada.
Benarkah ada kepentingan asing di balik keinginan memisahkan diri dari NKRI itu?
Kita tak bisa memungkiri hal itu. Bahkan sebagian besar tokoh-tokohnya ada di luar negeri.
Karena itu saya meminta kepada pemerintah agar mengawasi setiap LSM asing yang datang ke sini, terutama LSM-LSM dari Belanda. Mereka harus diperiksa dulu.
Selama ini mereka terkesan baik kepada masyarakat. Padahal, mereka itu pura-pura membantu rakyat. Misi mereka sesungguhnya adalah memprovokasi rakyat agar mendukung Gerakan Papua Merdeka.
Sebagai seorang pejuang Trikora, apa yang Anda harapkan dari perjuangan Anda dahulu?
Saya ini pejuang yang lama bertahan. Saya berjuang sejak umur 18 tahun. Dulu (1957), Bung Karno berkata, ”Kita kibarkan Merah Putih sebelum ayam berkokok.” Tapi ternyata ia tak datang. Saya lalu pergi merobek sendiri bendera Belanda dan memasang Sang Merah Putih di tanah Irian ini. Orang-orang kemudian menjuluki saya Pejuang Merah Putih.
Benarkah ada kepentingan Kristen di balik Gerakan Papua Merdeka?
Benar, memang seperti itu. Saya tahu karena saya mantan pendeta. Saya tahu semua gerakan dan tujuan mereka. Alhamdulillah saya bisa keluar dari lingkaran mereka.
Apakah Anda tak merasa takut?
Sama sekali tidak. Kini tinggal sedikit orang Irian yang pro Indonesia. Kebanyakan mereka cuma berani ngomong di mulut saja, termasuk para pejabat. Semuanya munafik. Tak ada yang berani bicara vokal dan terus terang.
Apakah pernah Anda menerima ancaman atau teror?
Tak sedikit teror datang kepada saya. Namun, saya tak pernah melayani aksi mereka. Saya cuma katakan, ”Kalian itu masih kecil, belum tahu apa-apa. Kalian tak sebanding dengan saya. Jadi, tak usah macam-macam.”
Apa bentuk teror yang Anda terima?
Yang paling banyak berupa fitnah. Mereka menganggap saya ini sudah tua, tak sanggup berbuat apa-apa lagi.
Semua fitnah itu saya anggap angin lalu. Saya biarkan saja mereka berkomentar. Di mata saya, mereka bukan siapa-siapa. Mereka cuma anak muda berusia 20-an tahun, sedang usia saya 70-an tahun.
Jadi, ucapan mereka hanya untuk mereka saja. Mereka mirip layang-layang, kelihatan tinggi tapi tak punya kekuatan sama sekali. Kita putus benangnya, mereka langsung jatuh ke tanah.
Fadzlan Rabbani al-Garamatan (Dai asal Papua)
Dia Menggebu-gebu Saat Berdakwah
Berbicara hidayah, Ismail Saul Yenu sebenarnya bukan masuk Islam. Ia justru kembali kepada Islam. Sebab, semua manusia memiliki fitrah, sedang ayah dan ibunyalah yang menjadikan anak-anak itu beragama lain.
Sosok Ismail Yenu sangat menggebu-gebu dalam berdakwah. Padahal ia kini berusia 72 tahun. Ia berani berdakwah ke mana saja. Membuka dialog di tengah-tengah kaum Nasrani. Ia berani meyakinkan masyarakat Irian bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang benar.
Dijumput dari: http://majalah.hidayatullah.com/?p=1360
Tidak ada komentar:
Posting Komentar