Kamis, 04 Juli 2013

Identitas dan Tubuh yang Dilepaskan dari Bahasa

Afrizal Malna
http://publiksastra.net/

DUA lembaga pembacaan sastra hingga kini saling tarik-menarik, menghasilkan negosiasi yang tidak mudah untuk melihat wajah sastra Indonesia masa kini. Yang pertama, lembaga kritik sastra. Saya ingin menyebut lembaga ini sebagai “sastra pertama”. Sastra pertama ini awalnya menghasilkan negosiasi yang gesekannya cukup tajam antara politik dan pandangan-pandangan kebudayaan.
Terutama pada masa-masa polemik kebudayaan, dan pandangan antara universilisme sastra dengan sosialisme dan kemudian kontekstualisme. Negosiasi ini kini kian mereda dan cenderung menghasilkan sastra mono kultur. Infrastruktur Lembaga sastra pertama ini, mekanisme dan konservasinya tidak pernah eksplisit. Umumnya lembaga ini bermain di tingkat redaktur media massa cetak, Dewan Kesenian, Taman Budaya, lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pemberi hadiah sastra, perpustakaan sastra dan komunitas-komunitas sastra.

Lembaga kedua adalah pasar, yang dimainkan oleh para penerbit buku dengan permainan pasar yang mereka jalani, entah lewat pelebelan buku best seler dan imij selebriti. Saya menyebut lembaga ini sebagai “sastra kedua”. Negosiasi yang berlangsung dalam sastra kedua ini lebih banyak bergerak di antara kepentingan modal, pasar dan seremoni. Kapitalisasi sastra dan pasar ikut mengambil isu-isu publik di sekitar gaya hidup, politik gender dan eksotisme sejarah maupun agama. Kedua lembaga ini, antara sastra pertama dan kedua, sama-sama tidak eksplisit memperlihatkan prosedur yang mereka jalani maupun politik sastra yang mereka lakukan. Ada kesan cukup signifikan dimana sastra kedua, yaitu pasar, kian kuat dan mengaburkan peran sastra pertama. Dalam beberapa hal, sastra pertama dan kedua mudah untuk melakukan kolaborasi satu sama lainnya. Hal ini misalnya muncul lewat pengarang-pengarang yang memiliki kemampuan membiayai penerbitannya sendiri, dan menggunakan pengantar pada bukunya dari para penulis yang dianggap sudah menjadi ikon pada lingkungan sastra pertama, atau ikut sebagai juru bicara bukunya.

Di antara kedua fenomena itu, kini muncul fenomena “sastra ketiga”, yaitu semua aktifitas sastra yang bergerak di dunia internet maupun mobile phone. Sastra ketiga ini merupakan fenomena baru, memiliki potensi besar menghasilkan komunitas sastra maupun pergaulan sastra tanpa rejim. Sastra ketiga sebenarnya memiliki potensi besar untuk memasuki dunia digital atau elektrik dan menghasilkan estetikanya sendiri dalam kancah politik multimedia. Kalau sastra pertama berhadapan dengan agresi nilai atau mainstream sastra, sastra kedua berhadapan dengan agresi pasar dan publisitas, maka sastra ketiga berhadapan dengan agresi mobilitas, percepatan dan benturan antar disiplin yang lebih massif.

Ketiga sastra di atas memiliki potensi untuk mendorong terjadinya perubahan radikal dalam klaim sastra. Sastra menjadi bagian dari napas publik. Sastra bukan lagi lingkungan tertutup, setiap orang memiliki hak dan potensi untuk menerbitkan karyanya. Demokratisasi sastra ini juga belum tahu akan bergerak kemana. Demokratisasi sastra ini juga belum menghasilkan negosiasi alternatif untuk estetika yang lain. Ia lebih banyak bermain di tingkat kuantitas daripada kualitas. Negosiasi konseptual belum signifikan terjadi. Karena itu demokrasi ini cenderung menghasilkan polusi sastra. Karya sastra bertumpuk di pasar, dan pembaca tidak memiliki mekanisme atau prosedur berdasarkan apa untuk memutuskan buku yang akan mereka konsumsi. Publik cenderung berhadapan dengan “pasar buta” kesusastraan. Publik harus menjadi bagian dari komunitas sastra tertentu untuk tahu karya sastra yang akan mereka konsumsi.

Bagaimanakah melihat kehidupan sastra Jawa Timur di tengah fenomena sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga ini? Pembacaan sastra lewat kawasan administratif dan konteks budaya yang melatarinya seperti ini baru mungkin dilakukan kalau kita mencoba memetakan kawasan administratif sastra ini sebagai kawasan provinsial. Dan pemetaan ini akan memberikan posisi yang signifikan dari bagaimana peranan sastra Jawa Timur dalam peta ini.

Saya merasa tidak memiliki kemampuan dan waktu untuk membuat peta ini, tetapi pembicaraan ini tidak bisa menghindar dari keharusan dilakukannya pemetaan ini. Pemetaan yang akan saya turunkan di bawah ini sifatnya sementara, sederhana dan apa adanya. Saya lakukan lebih sebagai halte untuk melanjutkan pembicaraan ini.

PETA PUISI
Sumatra Jawa Barat Jakarta

Amir Hamzah Ramadhan KH Yudhistira Adri Nugraha
Chairil Anwar Ajip Rosidi F. Rahardi
Sitor Situmorang AS. Dharta Jefri Al Katili
Rifai Apin Karno Kardibrata
Sutardji Calzoum Bachri Acep Zamzam Noer
Fitri Yani

Jawa Tengah Jawa Timur Dst.

Rendra Abdul Hadi WM
Sapardi Djoko Damono Akhudiat
Darmanto Jatman Zawawi Imron
Wiji Thukul Mashuri
Dorothea Rosa Herliany Mardi Luhung
Joko Pinurbo F. Aziz Manna

PETA PROSA
Sumatra Jawa Barat Jawa Tengah

Hamka Remy Silado Tirto Adisuryo
Ras Siregar Mas Marko
Muchtar Lubis NH. Dini
A.A. Navis Ashadi Siregar
Hamsat Rangkuti Danarto
Triyanto Wirokromo
Gunawan Maryanto

Jawa Timur Jakarta Bali

Idrus Armijn Pane Putu Wijaya
Pramoedya Ananta Toer Sutan Takdir Alisjahbana Oka Rukmini
Budi Darma Ayu Utami
Ratna Sari Ibrahim Jenar Mahesa Ayu
Leres Budi Santoso Nukila Amal
Lan Fang Dian Sastrowardoyo
Fahrudin Nasrulloh

Saya mohon maaf data yang sangat miskin untuk peta ini. Pembaca bisa menambahkan nama-nama dalam peta ini tanpa batas. Karena memang saya hanya membutuhkan tidak terlalu banyak nama untuk pembicaraan yang terbatas ini.

Cara saya menempatkan antara para penulis puisi dengan penulis prosa cukup berbeda. Untuk penulis puisi, faktor geologi, kultur (suku), ideologi, bahasa ibu dan reliji cukup menentukan. Sementara untuk penulis prosa cenderung lebih longgar, lebih menggunakan faktor kota domisili mereka. Penulis-penulis puisi seperti Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Ramadhan KH, Sapardi Djoko Damono, D. Zawawi Imron, faktor geologi alam cukup organik dalam puisi-puisi mereka. Penyair seperti Amir Hamzah, Sutardji Calzoum Bachri, Ramadhan KH. Karno Kardibrata, Darmanto Jatman, faktor kultur (suku) dan bahasa juga organik dalam puisi mereka. Faktor ideologi bisa kita lihat pada Rifai Apin, AS. Dharta atau Wiji Thukul. Sementara faktor lain kuatnya budaya kreol pada puisi Yudhistira Adri Nugraha, Akhudiat, F. Rahardi, Dorothea Rosa Herliany, Joko Pinurbo, Jefri Al Katili, Mardi Luhung atau F. Aziz Manna. Dalam budaya kreol ini, warna urban merupakan bagian dari fenomena puisi-puisi mereka.

Tubuh Geologi dari puitika Zawawi Imron

Dalam peta itu, D. Zawawi Imron memperlihatkan jejak paling berwarna untuk melihat strategi puitika Jawa Timur dalam peta puisi Indonesia. D. Zawawi Imron banyak dilihat puisi-puisinya organik dengan ikon-ikon alam maupun kultur Madura dan tradisi sastra pesantren, juga menyimpan militansi khas Jawa Timur. Militansi yang bisa ditarik ke daya hidup, mistik, maupun konsekuensi-konsekuensi sosial seperti dalam sajaknya Utang atau Celurit Emas. Militansi yang kadang-kadang menjadi tidak berbatas lagi dengan semacam nihilisme puitik. Melalui puisi-puisinya. kita seperti kembali menyusuri daun-daun kering antara cerita-cerita panji dan candi, menaiki perahu antara laut, sungai dan hutan, menyusuri folklor-folklor pesantren dan menciptakan adanya komunitas literer yang memang berpikir dengan imaji dan bukan dengan logika. Budaya lisan saya kira merupakan seponsor utama untuk lahirnya cara berpikir seperti ini.

Puisi-puisi Zawawi memiliki strategi puitik yang umumnya bergerak dari isu-isu sosial, nilai-nilai lokal atau reliji sebagai “tubuh pertama” dari puitikanya. Isu atau nilai-nilai ini kemudian bergerak mengalami internalisasi dan menghasilkan “tubuh kedua”. Lihatlah sajak Utang karya D. Zawawi Imron ini: Kalau utang itu telah menjadi bulu tubuh kami, menjadi rambut dan bulu ketiak kami, utang itu akan mendesir dalam aliran darah kami, dan mendetak dengan sejumlah detak jantung kami, serta tak sempat kami lunasi, sebelum kami mati, utang itu akan menjadi nanah tempat berkubang anak-anak kami, utang itu akan menjadi samudera tempat berlayar cucu-cucu kami (dari Ribut Wijato, “Propinsi Para Penyair”, 2002).

Tema utang dalam puisi Zawawi, yang merupakan isu nasional, dalam strategi puitikanya mengalami internalisasi seakan-akan utang telah menjadi tubuhnya sendiri. Melalui tubuh kedua ini, penggemparan dan pengukuhan atas eksplorasi imaji-imaji puisi mulai dilakukan hingga mendapatkan posisinya yang massif dan militan.

Tubuh kedua ini cenderung melakukan distraksi atas isu atau tema yang diangkat. Tema hutang oleh Zawawi dialihkan melalui internalisasi individual: Hutang menjadi aku, hidup dalam tubuhku dan menjadi tubuhku sendiri. Internaliasi yang berlangsung menjadi mistifikasi antara aku dan hutang. Di sini imaji bergerak menjadi tidak terduga, dan unsur-unsur kultur mendapatkan ruang lebih besar untuk digerakkan. Setelah itu “tubuh ketiga” diciptakan untuk mendistribusi metafor ke ruang dan waktu yang lebih luas, menjadi samudra dan anak-cucu. Tubuh ketiga ini menjalan fungsi untuk menyampaikan semacam pesan yang dibawa puisi. Pesan dengan imaji-imaji kewilayahan.

Geologi puisi muncul dalam jeda antara tubuh kedua dengan tubuh ketiga, yaitu munculnya unsur laut. Dalam puisi yang lain munculnya unsur alam dan ikon-ikon kultural maupun reliji. Strategi puitika seperti ini khas mewarnai banyak puisi Zawawi. Kemampuan geologi tubuhnya bahkan dengan mudah ditransfer oleh Zawawi ketika ia menulis puisi-puisi dalam konteks kultul yang lain. Hal ini bisa dilihat ketika Zawawi menulis sajak-sajak dengan kultur bugis. Kultur bugis bertemu dengan tubuh geologi Zawawi lewat laut: bertemunya Bugis dan Madura lewat budaya laut atau pesisir.

Puisi-puisi Zawawi menjadi lebih kaya bila dibaca melalui puisi-puisi Abdul Hadi WM. Irama-irama yang lebih menghujam, tegas, menikam dan dramatik pada puisi Zawawi, mendapatkan koreografi lain bila dibaca melalui imaji-imaji puisi Abdul Hadi yang lebih banyak melanjutkan lirisisme puisi Indonesia.

Tubuh geologi Zawawi itu cenderung tidak menjadi tubuh yang bertanya, melainkan lebih sebagai tubuh yang menyatakan. Berbeda dengan puisi Abdul Hadi yang cenderung hidup sebagai tubuh filosofis yang memainkan pertanyaan-pertanyaan.

Nilai-nilai heroik pada puisi-puisi Zawawi tidak lagi berlangsung pada puisi-puisi Abdul Hadi WM yang cenderung filosifis. Zawawi, misalnya, tidak mengakses asal-usul hutang yang merupakan tema nasional ini: skandal antara ekonomi nasional dengan keuangan internasional. Ia membawa hutang itu ke dalam tubuhnya sendiri. Di balik kerja mistifikasi seperti ini ada daya hidup dan militansi. Militansi yang kadang-kadang menjadi nihilistik juga.

Identitas dan Bonek

Saya tergoda untuk melihat militansi yang tidak bertanya itu ke wilayah politik identitas. Di balik militansi itu, di antaranya terdapat klaim heroisme yang disandang Jawa Timur, terutama melalui Perang Kemerdekaan. Nilai-nilai militan dan klaim militansi itu sendiri bisa dilihat sebagai dua hal yang berbeda. Namun klaim heroisme mendapatkan peluang yang memang jauh lebih luas untuk mengkaitkan dirinya ke dalam tradisi militansi itu. Militansi yang mungkin datang dari elan vital budaya laut atau pesisir dalam menghadapi kerasnya kehidupan di laut.

Atau militansi itu memang menjadi kheos ketika yang dihadapi bukan lagi laut, melainkan politik kolonialisme global yang berlangsung melalui kolonialisme Belanda dan politik internasional yang dijalankan kepentingan Amerika dan Inggris melalui tentara sekutu. Dalam kheos itu, heroisme itu memperlihatkan sisinya sebagai amok massa; berlangsung di luar strategi politik nasional. Hal ini bisa dilihat misalnya melalui penelanjangan revolusi kemerdekaan yang dilakukan Idrus dalam novelnya Soerabaja. Karya ini sendiri cenderung dihindari dalam banyak kajian sastra di sekitar sastra Jawa Timur. Karena karya ini seakan-akan melawan heroisme yang mau dijadikan tradisi dalam wilayah ini.

Heroisme yang kheos itu kini mendalatkan tubuhnya yang lain dalam fenomena bonek. Saya tidak tidak tahu banyak tentang asal-usul tradisi bonek ini. Tetapi bonek saya kira merupakan bagian dari histeria sejarah untuk merdeka, untuk bebas dari penjajahan tanpa strategi pembacaan untuk tahu apa itu kemerdekaan dan apa penjajahan itu sendiri pada masa revolusi kemerdekaan. Bambu runcing digunakan untuk menghadapi mesin perang tanpa takut. Pekik kemerdekaan atau Allahu Akbar sudah membuat kita menjadi heroik walaupun harus mati sia-sia. Mati tanpa tahu apa itu kemerdekaan dan apa itu penjajahan.

Dalam politik identitas, bonek ini merupakan tubuh kheos dari tidak bertemunya antara tubuh budaya dengan tubuh nasional dalam konteks terjadinya perluasan politik identitas melalui Perang Dunia Kedua. Di balik Perang Dunia Kedua ini, politik identitas bergerak dari modernisme Eropa (yang didalamnya terkandung paham-paham sosialisme) ke modernisme Amerika yang kapitalistik dan hegemonis. Sementara itu di tingkat nasional bergerak isu-isu nasional untuk berdiri di atas kaki sendiri melalui perluasan pandangan-pandangan Marhaenisme yang Marxis ala Sukarno dan kemudian militerisme yang dibawa Nasution.

Bonek dalam novel Pramoediya Ananta Toer, Bumi Manusia, dapat kita temukan pada tokoh Minke: monyet pribumi dalam pergaulan kolonial. Juga dapat kita temukan dalam novel Rafilus karya Budi Darma sebagai dunia besi yang keras dan buta. Rafilus merupakan konstruksi realitas sosial yang tidak terjelaskan dan bergerak sebagai mesin sejarah yang buta. Mesin sejarah yang terbuka untuk lahirnya “negeri dusta” seperti yang berusaha dirumuskan oleh Abdul Mukid dalam cerpen dengan judul yang sama, Negeri Dusta.

Dalam novel Lan Fang, Perempuan Kembang Jepun, politik identitas ini bisa kita temukan melalui tokoh Sujono. Sujono merupakan lelaki Jawa yang hidup sebagai kuli. Ia tidak tahu untuk apa seorang lelaki bekerja. Ia bekerja hanya untuk mabuk dan berjudi. Untuknya lelaki itu seharusnya hidup untuk perang. Tetapi ia juga tidak tahu apa itu perang, siapa musuhnya (Belanda, Jepang atau Tentara Sekutu)? Seorang lelaki Jawa yang sebenarnya sangat polos, dan kemudian harus mengalami banyak luka dalam permainan politik identitas di sekitarnya antara dunia kuli, perjudian, mabuk, perempuan, cinta dan pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial antara China, Belanda dan Jepang. Ketika perang berkecamuk, Sujono justru menghadapi perangnya sendiri dalam konflik domistik yang dialaminya.

Pencairan identitas dan perluasan strategi literer

Lestari, Anak Sujono yang lahir dari seorang perempuan Jepang (Matsumi), merupakan tubuh politik identitas yang harus menerima derita dari pergaulan internasional dalam lingkungan kolonial itu sebagai tubuh korban dalam sejarah. Ia hidup lajang sambil membawa bekas sayatan luka di wajahnya (luka dari konflik domistik). Pencairan atas luka-luka sejarah justru merupakan politik kesadaran yang dilakukan Lestari kepada anak angkatnya, Maya, yang menikah dengan Higashi (seorang lelaki Jepang) pada bulan Desember 2003. Lestari berusaha menyembunyikan sedemikian rupa luka-luka sejarahnya agar anak angkatnya tetapi melihatnya sebagai seorang “orang tua tunggal” yang kuat dan cantik. Tetapi luka itu mudah dibaca lewat sayatan pada wajah Lestari.

Novel Lan Fang ini menurut saya menarik untuk membaca motif-motif “pembersihan diri” dari luka-luka sejarah. Yang menarik kemudian bagaimana politik identitas tidak lagi bergerak sebagai sesuatu yang organik, melainkan dengan mencangkokkannya. Yaitu lewat Maya sebagai anak angkat yang kemudian menikah dengan lelaki Jepang. Lan Fang dengan jelas mencantumkan waktu pernikahan mereka, Desember 2003 di Surabaya. Berarti berlangsung setelah reformasi terjadi.

Identitas yang tidak lagi dilihat sebagai organik atau sesuatu yang terberi itu, berlangsung bersamaan dengan pencairan identitas dan perluasan strategi literer yang berlangsung dalam puisi. Identitas tidak lagi bermain dalam imaji-imaji militan, melainkan melalui koreografi yang lebih bersifat prosaik. Hal ini berlangsung pada puisi-puisi Akhudiat, Arif B. Prasetyo, Mardi Luhung, Mashuri, F. Aziz Manna, R. Adi Ngasiran atau R. Giryadi. Strategi literer yang mereka lakukan sama dengan praktek menulis puisi melalui prosa. Puisi tidak lagi dipraktekkan sebagai genre yang mempertahankan identitasnya pada bentuk. Melainkan sebagai suatu kerja memperaktekan metafora dan bagaimana koreografi atas imaji dilakukan.

Puisi-puisi Akhudiat, yang masih memainkan unsur bunyi yang khas dengan hentakan-hentakan keras Jawa Timur (juga pada puisi Aming Aminoedhin), tidak lagi terjadi pada puisi di bawahnya. Puisi-puisi setelah D. Zawawi Imron dan Akhudiat, memperlihatkan kesan bagaimana bahasa dilepaskan dari tubuh. Bahasa dilihat semata sebagai gerak, dan dengan demikian koreografi atas imaji maupun struktur lebih mudah dilakukan. Beberapa praktek melepaskan bahasa dari tubuh ini memang menghasilkan “pengsumpekan” atau “polusi” puisi melalui bahasa. Bahasa tiba-tiba menjadi ruang yang terlalu luas dengan batas-batas yang tidak jelas lagi: penyair menghadapi semacam agresi dari bahasa yang telah dibuat hiruk-pikuk oleh media-media publik.

Perluasan bahasa seperti ini juga berlangsung pada prosa, terutama pada karya-karya Fahrudin Nasrulloh. Masuknya sekian banyak diksi-diksi baru bahasa Indonesia, dan diksi-diksi ini kemudian mengalami dekorisasi baru melalui dialog-dialog sufistik pada prosa-prosanya.

Fenomena itu memang tidak berdiri sendirian. Di antara puisi-puisi mereka bisa kita lihat puisi Ribut Wijoto yang masih perduli dengan rima, seperti juga yang pernah dilakukan Sabrot D. Maliaboro di antara puisi-puisi Saiful Hajar, R. Timur Budi Raja atau A. Muttaqin. Atau M. Faizi yang menggunakan bahasa dengan jernih.

Politik Geografi Sastra

Melihat politik geografi sastra dalam konteks Jawa Timur, ada 2 hal yang cukup mengherankan saya. Pertama, kehidupan sastra Jawa Timur lebih banyak diramaikan oleh lembaga sastra pertama yang dijalankan oleh komunitas-komunitas sastra, dewan kesenian dan media massa cetak. Pasar atau sastra kedua, lebih banyak diisi justru oleh sastra pertama. Dalam politik georafi ini, batasan kawasan dibuat hampir defenitif. Hampir tidak ada terbitan-terbitan antologi sastra di Jawa Timur yang ikut mengkurasi dirinya dalam konteks peta sastra nasional. Sehingga kawasan ini justru seperti memprotek dirinya untuk terjadinya pembacaan perbandingan secara langsung antara sastra Jawa Timur dengan di luarnya.

Keheranan saya yang lain dalam menghadapi fenomena Arif B. Prasetyo dan Beni Setia. Di kawasan Jawa Timur, Arif dikenal sebagai penyair dan eseis. Sementara di Bali, Arif justru lebih dikenal sebagai kritikus dan kurator seni rupa. Begitu pula Beni Setia, Puisi-puisi Beni yang saya kenal, cukup dekat dengan musik blues yang sangat Bandung. Saya menduka imaji-imaji musik blues ini telah menjalin koreografi dengan model produk-produk imaji ala Si Kabayan dalam kultur Sunda. Imaji-imaji Kabayan bermain untuk terjadinya semacam perayaan sosial maupun sebagai katarsis dari tekanan-tekanan sosial dalam konteks budaya lisan. Sementara pada Beni, ia mengalami distraksi menjadi perayaan individu.

Kalau kawasan sastra Jawa Timur dibaca lewat pelepasan tubuh dari bahasa, dan mengkoreografi gerak imaji maupun metafor sebagai konsekuensi dari perluasan ruang global, maka kawasan ini seharusnya juga lebih membuka dirinya ke ruang politik pembacaan sastra yang lebih luas lagi, dan menjadi bagian dari demokratisasi sastra yang sedang berlangsung antara sastra pertama, sastra kedua dan sastra ketiga. Demokratisasi sastra yang terbuka luas, bahkan untuk menulis puisi tidak lagi melalui media sastra, melainkan media lain yang non-sastra.
______________
Makalah untuk diskusi sastra Jawa Timur di Universitas Airlangga, Surabaya, 20 Juli 2010.
Dijumput dari: http://publiksastra.net/2011/03/identitas-dan-tubuh-yang-dilepaskan-dari-bahasa/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Label

20 Tahun Kebangkitan Sastra-Teater Lamongan A Mustofa Bisri A. Anzieb A. Aziz Masyhuri A. Jabbar Hubbi A. Khoirul Anam A. Kurnia A. Syauqi Sumbawi A. Zakky Zulhazmi A.C. Andre Tanama A.H. J Khuzaini A.H.J Khuzaini A.S Laksana A.S. Laksana Abdul Hadi WM Abdul Kirno Tanda Abdurrahman Wahid Abid Rohmanu Acep Iwan Saidi Acrylic on Canvas Addi Mawahibun Idhom Ade P. Marboen Adib Baroya Adib Muttaqin Asfar Aditya Ardi N Adreas Anggit W. Adu Pesona Sang Wakil Cawapres RI Afrizal Malna AG. Alif Agama Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agunghima Agus Aris Munandar Agus Buchori Agus Prasmono Agus Priyatno Agus R. Subagyo Agus Setiawan Agus Sulton AH J Khuzaini Ahmad Damanik Ahmad Farid Yahya Ahmad Wiyono Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ainul Fitriyah Ajip Rosidi Akhmad Marsudin Akhmad Sahal Akhmad Sekhu Akhmad Taufiq Akmal Nasery Basral Aksin Wijaya Al Mahfud Alex R Nainggolan Ali Nasir Ali Soekardi Alunk Estohank Amanche Franck Oe Ninu Aming Aminoedhin Anakku Inspirasiku Anang Zakaria Andhi Setyo Wibowo AndongBuku #3 Andri Awan Andry Deblenk Anindita S. Thayf Anjrah Lelono Broto Antologi Puisi Kalijaring Antologi Sastra Lamongan Anton Kurnia Anugerah Ronggowarsito Anwar Syueb Tandjung Aprillia Ika Aprillia Ramadhina APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Arafat Nur Arie MP Tamba Arie Yani Arief Junianto Arif 'Minke' Setiawan Arim Kamandaka Aris Setiawan Armawati Arswendo Atmowiloto Art Sabukjanur Arti Bumi Intaran Aryo Wisanggeni G Asap Studio Asarpin Asrizal Nur Awalludin GD Mualif Ayu Sulistyowati Aziz Abdul Gofar Bale Aksara Bambang Kempling Bandung Mawardi Banyuwangi Bara Pattyradja Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Indo Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Lukisan Berita Utama Bernando J. Sujibto Berthold Damshauser Bidan Romana Tari Binhad Nurrohmat Biografi Bisnis Bondowoso Bre Redana Brunel University London Budi P. Hatees Budi Palopo Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cerbung Cerpen Chicilia Risca Coronavirus Cover Buku COVID-19 Cucuk Espe D. Kemalawati Dadang Ari Murtono Dadang Sunendar Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Dedi Gunawan Hutajulu Den Rasyidi Deni Jazuli Denny Mizhar Depan Mts Putra-Putri Simo Sungelebak Desa Glogok Karanggeneng Dessy Wahyuni Dewi Yuliati Dhanu Priyo Prabowo Dhoni Zustiyantoro Dian Sukarno Dien Makmur Dinas Perpustakaan Daerah Lamongan Diskusi buku Djoko Pitono Djoko Saryono Djuli Djatiprambudi Doddy Hidayatullah Dody Yan Masfa Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr. Hilma Rosyida Ahmad Drs H Choirul Anam Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Kartika Rahayu Dwi Pranoto Dwijo Maksum Edeng Syamsul Ma’arif Efendi Ari Wibowo Eidi Krina Jason Sembiring Eka Budianta Eko Hendri Saiful Eko Israhayu Emha Ainun Nadjib Endang Kusumastuti Eni S Eppril Wulaningtyas R Erdogan Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F Rahardi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Faiz Manshur Faizal Af Fajar Setiawan Roekminto Farah Noersativa Fathoni Fedli Azis Felix K. Nesi Festival Gugur Gunung Festival Literasi Nusantara Festival Sastra Gresik Fikram Farazdaq Forum Santri Nasional (FSN) FPM (Forum Penulis Muda) Ponorogo Galeri Lukisan Z Musthofa Galuh Tulus Utama Gerakan Surah Buku (GSB) Gerson Poyk Gesit Ariyanto Gita Ananda Goenawan Mohamad Gola Gong Golan-Mirah Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gus Ahmad Syauqi Ma'ruf Amin Gus Bahaudin H.B. Jassin Halim HD Hamzah Sahal Handoyo El Jeffry Happy Susanto Hardi Hamzah Haris Firdaus Haris Saputra Harun Syafii bin Syam Hasnan Bachtiar Hawe Setiawan Hendra Sugiantoro Hengky Ola Sura Heri Kris Heri Ruslan Herry Mardianto Heru Maryono Hilmi Abedillah Himpunan Mahasiswa Penulis (STKIP PGRI Ponorogo) Holy Adib htanzil Hudan Nur Husin I Nyoman Suaka IAIN Ponorogo Ibnu Wahyudi Idayati Idi Subandy Ibrahim Idris Pasaribu Ignas Kleden Ilham Yusardi Imam Nawawi Imam Nur Suharno Imam Zanatul Huaeri Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Indigo Art Space Indra Intisa Indra Tjahyadi Indri Widiyanti Inti Rohmatun Ni'mah Inung Setyami Irfan El Mardanuzie Isbedy Stiawan ZS Iskandar Noe Isnatin Ulfah Isti Rohayanti Istiqomatul Hayati Jadid Al Farisy Jafar M Sidik Jakob Sumardjo Janual Aidi Jawapos Jejak Laskar Hisbullah Jombang Jember Jember Gemar Membaca JIERO CAFE Jihan Fauziah Jo Batara Surya Jodhi Yudono Johan Edy Raharjo John Halmahera Joko Pinurbo Joko Widodo Joni Syahputra Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Jurnalisme Sastrawi K.H. M. Najib Muhammad K.H. Ma'ruf Amin K.H. Ma’ruf Amin Kabar Pelukis Kalimat Tubuh Kang Daniel Kartika Foundation Karya Lukisan: Z Musthofa Kasnadi Kedai Kopi Sastra Kemah Budaya Panturan (KBP) KH. M. Najib Muhammad KH. Marzuki Mustamar Khadijah Khaerul Anwar Khairul Mufid Jr Khansa Arifah Adila Khawas Auskarni Khudori Husnan Khulda Rahmatia Ki Ompong Sudarsono Kim Ngan Kitab Arbain Nawawi Kompas TV Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Komunitas Perupa Lamongan (KOSPELA) Komunitas Sablon Ponorogo Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) Korban Gempa Koskow Kostela KPRI IKMAL Lamongan Kritik Sastra Kue Kacang Kue Kelapa Pandan Kue Lebaran Edisi 2013 Kue Nastar Keju Kue Nastar Keranjang Kue Pastel Kue Putri Salju Kue Semprit Kurnia Sari Aziza Kuswaidi Syafi'ie L Ridwan Muljosudarmo Lagu Laksmi Shitaresmi Lamongan Jawa Timur Landscape Hutan Bojonegoro Landscape Rumah Blora Lathifa Akmaliyah Legenda lensasastra.id Lie Charlie Linda Christanty Linus Suryadi AG Literasi Lombok Utara Lucia Idayani Ludruk Karya Budaya Lukas Adi Prasetyo Lukisan Andry Deblenk Lukisan Karya: Rengga AP Lukisan Potret K.H. Hasyim Asy'ari Lukisan Sugeng Ariyadi Lukman Santoso Az Lumajang Lusiana Indriasari Lutfi Rakhmawati M Khoirul Anwar KH M Nafiul Haris M. Afif Hasbullah M. Afifuddin M. Fauzi Sukri M. Harir Muzakki M. Harya Ramdhoni Julizarsyah M. Lutfi M. Mustafied M. Riyadhus Solihin M. Taufan Musonip M. Yoesoef M.D. Atmaja M’Shoe Mahamuda Mahendra Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Maimun Zubair Makalah Tinjauan Ilmiah Makyun Subuki Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Margita Widiyatmaka Mario F. Lawi Martin Aleida Mashdar Zainal Mashuri Masuki M. Astro Masyhudi Mathori A Elwa Matroni El-Moezany Maulana Syamsuri Media Ponorogo Media: Crayon on Paper Media: Pastel on Paper Mei Anjar Wintolo Melukis Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Memoar Purnama di Kampung Halaman Menggalang Dana Amal MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mien Uno Miftakhul F.S Mihar Harahap Mila Setyani Misbahus Surur Mix Media on Canvas Moch. Faisol Mochammad A. Tomtom Moh. Jauhar al-Hakimi Mohammad Ali Athwa Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Alimudin Muhammad Antakusuma Muhammad Itsbatun Najih Muhammad Marzuki Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Subarkah Muhammad Wahidul Mashuri Muhammad Yasir MUI Mujtahidin Billah Mukafi Niam Mukani Mukhsin Amar Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujung Pangkah Gresik Jawa Timur Musa Ismail Muslim Abdurrahman Naskah Teater Neva Tuhella Nezar Patria Nidhom Fauzi Niduparas Erlang Ninuk Mardiana Pambudy Nirwan Ahmad Arsuka Noor H. Dee Novel Pekik Novel-novel bahasa Jawa Nur Ahmad Salman H Nur Hidayati Nur Wachid Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Anam Nurul Hadi Koclok Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyiayu Hesty Susanti Obrolan Oil on Canvas Olimpiade Sastra Indonesia 2013 Oyos Saroso H.N. Padepokan Lemah Putih Surakarta Pagelaran Musim Tandur Paguyuban Seni Teater Ponorogo Pameran Lukisan MADIUN OBAH Pameran Seni Lukis Pameran Seni Rupa Parimono V / 40 Plandi Jombang Paring Waluyo Utomo Pasuruan PDS H.B. Jassin Pelukis Dahlan Kong Pelukis Jumartono Pelukis Ponorogo Z Musthofa Pelukis Rengga AP Pelukis Senior Tarmuzie Pelukis Unik di Ponorogo Pemancingan Betri Pendhapa Art Space Penerbit SastraSewu Pengajian Pengetahuan Pesantren An Nawawi Tanara (Penata) Pito Agustin Rudiana Pondok Pesantren Al-Madienah Pondok Pesantren Ali Bin Abi Thalib Kota Tidore Kepulauan Pondok Pesantren Mamba'ul Ma'arif Denanyar Jombang Pramoedya Ananta Toer Presiden Gus Dur Probolinggo Prof Dr Achmad Zahro Prof Dr Aminuddin Kasdi Prof Dr Soediro Satoto Proses Kreatif Puisi Puisi Menolak Korupsi Purnawan Andra Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pusat Grosir Kaos Polos Ponorogo Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putri Asyuro' Rizqiyyah Putu Fajar Arcana R.Ng. Ronggowarsito Radhar Panca Dahana Rahmat Sularso Nh Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Ramadhan Batubara Ranang Aji SP Rasanrasan Boengaketji Ratna Ratna Sarumpaet Raudal Tanjung Banua Raudlotul Immaroh Redland Movie Reiny Dwinanda Rengga AP Resensi Reuni Mts Putra-Putri Simo Sungelebak angkatan 1991-1992 Reyog dalam Lukisan Kaca Ribut Wijoto Ridha Arham Riki Dhamparan Putra Rinto Andriono Ris Pasha Rizka Halida Robin Al Kautsar Rodli TL Romi Zarman Rosi Rosidi Tanabata Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rx King Motor S Prasetyo Utomo S Yoga S. Jai Sabrank Suparno Sahlan Bahuy Sajak Sakinah Annisa Mariz Samsudin Adlawi Samsul Bahri Sandiaga Uno Sanggar Pasir Sanggar Shor Zhambou Santi Maulidah Sapardi Djoko Damono Sapto HP Sartika Dian Nuraini Sasti Gotama Sastra dan Kuasa Simbolik Sastri Bakry Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Self Portrait Senarai Pemikiran Sutejo Seni Ambeng Ponorogo Seniman Tanah Merah Ponorogo Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Septi Sutrisna Sergi Sutanto Setia Budhi Shinta Maharani Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindhunata Situbondo Siwi Dwi Saputro SMP Negeri 1 Madiun Soediro Satoto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sonia Fitri Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Spirit of body 1 Spirit of body 2 Spirit of body 3 Sri Mulyani Sri Wintala Achmad Stefanus P. Elu STKIP PGRI Ponorogo Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugeng Ariyadi Suharwedy Sujarwoko Sujiwo Tedjo Sukitman Sumani Sunaryono Basuki Ks Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Suryanto Sastroatmodjo Sutan Takdir Alisjahbana Sutardi Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Switzy Sabandar Syaikh Prof. Dr. dr. Yusri Abdul Jabbar al-Hasani Asyadzili Syaikh Yusri al-Hasani Al Azhari Tamrin Bey TanahmeraH ArtSpace Tangguh Pitoyo Taufik Ikram Jamil Taufik Rachman Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teater nDrinDinG Teaterikal Teguh Winarsho AS Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo 1910 Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tiyasa Jati Pramono Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Tjut Zakiyah Anshari To Take Delight Tosa Poetra Toto Gutomo Tri Andhi Suprihartono Tri Harun Syafii Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Tulus S UKM Teater Yakuza '54 Universitas Indonesia Universitas Jember Untung Wahyudi Usman Arrumy Usman Awang Ustadz Chris Bangun Samudra Uwell's King Shop Uwell's Setiawan Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W.S. Rendra Wachid Nuraziz Musthafa Warih Wisatsana Warung Boengaketjil Wawan Pinhole Wawancara Widhyanto Muttaqien Widya Oktaviani Wisnu Hp Wita Lestari Wuri Kartiasih Yeni Pitasari Yerusalem Ibu Kota Palestina Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosep Arizal L Yoseph Yoneta Motong Wuwur YS Rat Yuditeha Yuli Yulia Sapthiani Yusri Fajar Yusuf Suharto Yusuf Wibisono Yuval Noah Harari Z. Afif Z. Mustopa Zainal Arifin Thoha Zainuddin Sugendal Zaki Zubaidi Zehan Zareez Zulfian Ebnu Groho Zulfikar Fu’ad Zulkarnain Siregar